Disusun Oleh :
Penyusunan Proposal Program Perencanaan Sosial tentang Anak Jalanan ini merupakan
hasil penelitian dan kajian yang didasarkan kepada materi-materi yang telah kami dapatkan dari
mata kuliah Perencanaan Sosial dan mata kuliah lainnya.
Penyusunan Proposal Program Perencanaan Sosial ini tentu saja masih banyak sekali
kekurangannya. Hal itu karena keterbatasan – keterbatasan yang ada pada kami sendiri. Oleh
karena itu saran dan kritik sangat kami harapkan terutama untuk perbaikan – perbaikan.
Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat, terutama bagi para pembaca, khususnya
mahasiswa jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Padjadjaran.
Wassalam
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Pertumbuhan yang sangat pesat, mendorong perubahan sosial yang terjadi di dalam
struktur masyarakat. Perubahan sosial yang pada umumnya terjadi di kota-kota besar
mengakibatkan terjadinya gejolak di dalam struktur masyarakat sebagian masyarakat mampu
untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut, akan tetapi sebagian masyarakat pula ada yang
kurang mampu untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Masyarakat yang tidak
mampu menyesuaikan tentu akan tersingkir dari sistem atau pola-pola yang berubah. Akibat
tidak bisa menyesuaikan tersebut, maka timbullah masalah sosial, Masalah sosial muncul karena
individu gagal dalam proses sosialisasi atau karena individu memiliki beberapa cacat dalam
bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kepercayaan
yang ada dalam masyarakat. misalnya saja Anak Jalanan, Anak Jalanan sebagai salah satu
produk yang dihasilkan dari perubahan-perubahan social di masyarakat, dimana mereka kurang
mampu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Anak jalanan merupakan suatu fenomena
yang masih menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum mampu untuk ditemukan
pemecahan masalahnya.
Untuk mengetahui sumber masalahnya dijumpai dua jawaban yang berbeda. Yang
pertama menyatakan bahwa Anak Jalanan adalah kondisi yang disebabkan karena beberapa
kekurangan dan kecacatan individual baik dalam biologis, psikologis maupun cultural yang
menghalangi seseorang memperoleh kemajuan dalam kehidupannya. Jawaban kedua menunjuk
faktor structural sebagai penyebabnya. Seseorang menjadi Anak Jalanan karena berada dalam
lingkungan masyarakat yang mempunyai karakteristik sebagai berikut : distribusi penguasaan
resources yang timpang, gagal dalam mewujudkan pemerataan kesempatan dalam memperoleh
kesempatan pendidikan, institusi sosial yang melahirkan berbagai bentuk diskriminasi.
Penyandang masalah sosial, seperti Anak Jalanan, tampaknya menjadi rona tersendiri
yang tak pernah pupus mencoreng wajah perkotaan, kendati manusia yang bermartabat tahu
bahwa meminta-minta (mengemis) dan mengamen merupakan pekerjaan yang tergolong hina.
Sebagai contoh di Kota Bandung yang menjadi ibukota Provinsi Jawa Barat, penyakit Anak
Jalanan. Umumnya para Anak Jalanan ini adalah pendatang dari luar daerah, seperti dari Brebes,
Tegal, Indramayu dan Cirebon. "Dari semua Anak Jalanan yang terdata ini sekitar 90 persennya
dari luar daerah
Wajah kota Bandung seakan tercoreng dengan maraknya Anak Jalanan yang mangkal
hampir pada setiap persimpangan jalan terutama di seputar lampu lalu lintas sejak pagi hingga
malam hari, serta dalam cuaca yang panas terik dan keadaan hujan. Mereka menadahkan tangan
minta belas kasihan orang yang lalu-lalang di jalan raya itu, sehingga kondisi itu membahayakan
nyawa mereka, maupun pengemudi motor.
Terhadap penyandang masalah sosial yang satu ini timbul sejumlah pertanyaan, siapa
yang salah dan siapa yang bertanggungjawab mengentaskan mereka dari lembah kemiskinan itu.
Sampai saat ini mereka belum banyak tersentuh program kesejahteraan rakyat. Tampaknya
pemerintah belum peduli dengan upaya pengentasan mereka dari lembah kemiskinan, yang
merebak pada hampir semua kota di Indonesia. Secara umum penanganan Anak Jalanan atau
pengentasan kemiskinan menjadi tanggung jawab semua pihak.
Pasalnya dalam penanganan masalah Anak Jalanan di Kota Bandung khususnya, pihak
pemerintah kota (Pemkot) setempat melalui dinas/instansi terkait telah beberapa kali melakukan
razia dan penangkapan terhadap penyandang masalah sosial itu, tetapi tampaknya mereka tetap
beroperasi di jalanan.
Keterperosokan ke dalam dunia Anak Jalanan disebabkan faktor ekonomi, sosial, dan
pola pengasuhan orang tua yang cenderung kurang mendapatkan perhatian, mereka bisa diberi
bekal berupa pelatihan sesuai potensi yang ada padanya. Begitu pula Anak Jalanan yang
terdampar di perkotaan akibat sesuatu dan lain hal bisa dikembalikan ke daerah asal dan
rumahnya masing-masing sejauh hal tersebut bukan faktor kesengajaan. Untuk penanganan
masalah itu semua tentunya harus ada koordinasi dan kerjasama yang baik dari semua pihak
yang terkait.
Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah
mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar,
termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama
dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka
perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan
kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family
envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare),
pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan
khusus (special protection).
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8
juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%,
sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan
menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu
58,7 juta anak (Soewignyo, 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup dan
masa depan anak-anak sangat memperihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan
sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita
memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan negara juga kurang menggembirakan. Bahkan,
tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi
yang hilang).
SUSENAS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa salah satu faktor ketidakberhasilan
pembangunan nasional dalam berbagai bidang itu, antara lain, disebabkan oleh minimnya
perhatian pemerintah dan semua pihak terhadap eksistensi keluarga. Perhatian dan treatment
yang terfokus pada “keluarga sebagai basis dan sistem pemberdayaan” yang menjadi pilar utama
kehidupan berbangsa dan bernegara relatif belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang
serius dari banyak pihak. Padahal, masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan
berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan dalam lingkungan keluarga yang
sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu
adanya penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama
dan utama masa depan anak-anak mereka.
Konsep “anak” didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan
sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah.
Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam merumuskan hak-hak anak. Respon ini telah
menjadi komitmen dunia international dalam melihat hak-hak anak. Ini terbukti dari lahirnya
konvensi internasional hak-hak anak. Indonesiapun sebagai bagian dunia telah meratifikasi
konvensi tersebut. Keseriusan Indonesia melihat persoalan hak anak juga telah dibuktikan
dengan lahirnya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Tanpa
terkecuali, siapapun yang termasuk dalam kategori anak Indonesia berhak mendapatkan hak-
haknya sebagai anak. Khusus di wilayah Bandung kurang lebih berjumlah 5.500 anak jalanan
(Data Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, 2006).
Dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria evaluasi terhadap Kebijakan Perlindungan
Anak dan beberapa program penanganan anak jalanan yang sudah dilaksanakan oleh Pemerintah
maka dipandang perlu untuk meneruskan dan atau memodifikasi beberapa kebijakan yang sudah
ada serta mengajukan alternatif-alternatif baru.
BAB II
Tujuan Program
Tujuan yang ingin dicapai dari program Rumah Singgah Bintang dalam penanganan anak
jalanan di kota Bandung adalah “terpenuhinya kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak jalanan
secara memadai dan berkesinambungan sehingga tidak lagi melakukan kegiatan mencari nafkah
di jalan”.
BAB III
PROGRAM HYPHOTESIS
Dari program hypothesis diatas maka akan didapat proses perencanaan sebagai berikut :
a. Masalah Sosial anak jalanan terjadi karena
b. Perubahan sosial,
c. Perubahan tersebut tidak dapat diikuti dengan baik oleh para anak jalanan
d. Maka dari itu, pelayanan social yang focus terhadap anak jalanan sangatlah penting.
BAB IV
PROGRAM DESIGN
Untuk mencapai tujuan pengentasan masalah social anak jalanan, maka program
designny adalah sebagai berikut :
1. Inputs program : pekerja social, psikiater, tenaga kesehatan, ruang konsultasi, dan
alat-alat kesehatan.
2. Throughputs program : kegiatan konsultasi dilakukan satu minggu sekali, serta
pengadaan kegiatan bimbingan anak jalanan dilakukan setiap tiga hari dengan
pengawasan dan metode yang menyenangkan.
3. Outputs program : pemberian layanan sosial anak jalanan akan selesai jika tidak
ada lagi anak yang hidup di jalanan di daerah kota Bandung.
4. Outcomes program : mencerdaskan Anak Bangsa Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Soetomo, 1995.Masalah Sosial dan Pembangunan, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
www.google.com