Anda di halaman 1dari 10

PROPOSAL PROGRAM

“RUMAH SINGGAH BINTANG” BAGI ANAK


JALANAN DI KOTA BANDUNG
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Perencanaan Sosial

Disusun Oleh :

Yandi Fauzi 170310070004

Jhon Ronaldo 170310070014

Lacky Firdaus 170310070028

Dina Merlina 170310070030

Alfin Herdiyana 170310070058

JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2010
Kata Pengantar
Puji dan syukur penyusun panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-NYA, Penyusunan Proposal Program Perencanaan Sosial ini dapat kami
selesaikan.

Penyusunan Proposal Program Perencanaan Sosial tentang Anak Jalanan ini merupakan
hasil penelitian dan kajian yang didasarkan kepada materi-materi yang telah kami dapatkan dari
mata kuliah Perencanaan Sosial dan mata kuliah lainnya.

Penyusunan Proposal Program Perencanaan Sosial ini tentu saja masih banyak sekali
kekurangannya. Hal itu karena keterbatasan – keterbatasan yang ada pada kami sendiri. Oleh
karena itu saran dan kritik sangat kami harapkan terutama untuk perbaikan – perbaikan.

Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat, terutama bagi para pembaca, khususnya
mahasiswa jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Padjadjaran.

Bandung, 22 April 2010

Wassalam

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi negara-negara sedang berkembang, masalah ketimpangan distribusi pendapatan


pada umumnya dijumpai pada tahap-tahap awal proses pembangunan nasionalnya. Hal itu
disebabkan pada tahap tersebut perhatian lebih difokuskan pada usaha mengejar pertumbuhan
ekonomi yang pesat melalui peningkatan GNP. Beberapa ahli ekonomi pembangunan memang
ada yang berpendapat bahwa ketimpangan distribusi pendapatan merupakan realita yang harus
ditoleril sebagai harga yang perlu dibayar untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pendapat tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan adanya realita masih cukup banyaknya
penduduk yang tetap hidup dalam kondisi kemiskinan ditengah laju pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi secara nasional. Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi secara nasional tidak
selalu identik dengan lenyapnya kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah bahwa mekanisme
tetesan kebawah atau (tricle down effect) yang semula diyakini oleh beberapa pihak sebagai
salah satu strategi yang tepat untuk memerangi kemiskinan ternyata tidak selalu berjalan seperti
yang diinginkan, disamping itu, menyerahkan proses kehidupan ekonomi pada mekanisme pasar
dalam kenyataannya selalu kurang menguntungkan lapisan sosial ekonomi rendah.

Pertumbuhan yang sangat pesat, mendorong perubahan sosial yang terjadi di dalam
struktur masyarakat. Perubahan sosial yang pada umumnya terjadi di kota-kota besar
mengakibatkan terjadinya gejolak di dalam struktur masyarakat sebagian masyarakat mampu
untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut, akan tetapi sebagian masyarakat pula ada yang
kurang mampu untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Masyarakat yang tidak
mampu menyesuaikan tentu akan tersingkir dari sistem atau pola-pola yang berubah. Akibat
tidak bisa menyesuaikan tersebut, maka timbullah masalah sosial, Masalah sosial muncul karena
individu gagal dalam proses sosialisasi atau karena individu memiliki beberapa cacat dalam
bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kepercayaan
yang ada dalam masyarakat. misalnya saja Anak Jalanan, Anak Jalanan sebagai salah satu
produk yang dihasilkan dari perubahan-perubahan social di masyarakat, dimana mereka kurang
mampu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Anak jalanan merupakan suatu fenomena
yang masih menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum mampu untuk ditemukan
pemecahan masalahnya.

Untuk mengetahui sumber masalahnya dijumpai dua jawaban yang berbeda. Yang
pertama menyatakan bahwa Anak Jalanan adalah kondisi yang disebabkan karena beberapa
kekurangan dan kecacatan individual baik dalam biologis, psikologis maupun cultural yang
menghalangi seseorang memperoleh kemajuan dalam kehidupannya. Jawaban kedua menunjuk
faktor structural sebagai penyebabnya. Seseorang menjadi Anak Jalanan karena berada dalam
lingkungan masyarakat yang mempunyai karakteristik sebagai berikut : distribusi penguasaan
resources yang timpang, gagal dalam mewujudkan pemerataan kesempatan dalam memperoleh
kesempatan pendidikan, institusi sosial yang melahirkan berbagai bentuk diskriminasi.

Penyandang masalah sosial, seperti Anak Jalanan, tampaknya menjadi rona tersendiri
yang tak pernah pupus mencoreng wajah perkotaan, kendati manusia yang bermartabat tahu
bahwa meminta-minta (mengemis) dan mengamen merupakan pekerjaan yang tergolong hina.
Sebagai contoh di Kota Bandung yang menjadi ibukota Provinsi Jawa Barat, penyakit Anak
Jalanan. Umumnya para Anak Jalanan ini adalah pendatang dari luar daerah, seperti dari Brebes,
Tegal, Indramayu dan Cirebon. "Dari semua Anak Jalanan yang terdata ini sekitar 90 persennya
dari luar daerah

Wajah kota Bandung seakan tercoreng dengan maraknya Anak Jalanan yang mangkal
hampir pada setiap persimpangan jalan terutama di seputar lampu lalu lintas sejak pagi hingga
malam hari, serta dalam cuaca yang panas terik dan keadaan hujan. Mereka menadahkan tangan
minta belas kasihan orang yang lalu-lalang di jalan raya itu, sehingga kondisi itu membahayakan
nyawa mereka, maupun pengemudi motor.

Terhadap penyandang masalah sosial yang satu ini timbul sejumlah pertanyaan, siapa
yang salah dan siapa yang bertanggungjawab mengentaskan mereka dari lembah kemiskinan itu.
Sampai saat ini mereka belum banyak tersentuh program kesejahteraan rakyat. Tampaknya
pemerintah belum peduli dengan upaya pengentasan mereka dari lembah kemiskinan, yang
merebak pada hampir semua kota di Indonesia. Secara umum penanganan Anak Jalanan atau
pengentasan kemiskinan menjadi tanggung jawab semua pihak.
Pasalnya dalam penanganan masalah Anak Jalanan di Kota Bandung khususnya, pihak
pemerintah kota (Pemkot) setempat melalui dinas/instansi terkait telah beberapa kali melakukan
razia dan penangkapan terhadap penyandang masalah sosial itu, tetapi tampaknya mereka tetap
beroperasi di jalanan.

Keterperosokan ke dalam dunia Anak Jalanan disebabkan faktor ekonomi, sosial, dan
pola pengasuhan orang tua yang cenderung kurang mendapatkan perhatian, mereka bisa diberi
bekal berupa pelatihan sesuai potensi yang ada padanya. Begitu pula Anak Jalanan yang
terdampar di perkotaan akibat sesuatu dan lain hal bisa dikembalikan ke daerah asal dan
rumahnya masing-masing sejauh hal tersebut bukan faktor kesengajaan. Untuk penanganan
masalah itu semua tentunya harus ada koordinasi dan kerjasama yang baik dari semua pihak
yang terkait.

Kebijakan Terkait Masalah Sosial Anak Jalanan

Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah
mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar,
termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama
dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka
perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan
kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family
envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare),
pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan
khusus (special protection).

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8
juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%,
sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan
menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu
58,7 juta anak (Soewignyo, 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup dan
masa depan anak-anak sangat memperihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan
sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita
memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan negara juga kurang menggembirakan. Bahkan,
tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi
yang hilang).

SUSENAS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa salah satu faktor ketidakberhasilan
pembangunan nasional dalam berbagai bidang itu, antara lain, disebabkan oleh minimnya
perhatian pemerintah dan semua pihak terhadap eksistensi keluarga. Perhatian dan treatment
yang terfokus pada “keluarga sebagai basis dan sistem pemberdayaan” yang menjadi pilar utama
kehidupan berbangsa dan bernegara relatif belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang
serius dari banyak pihak. Padahal, masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan
berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan dalam lingkungan keluarga yang
sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu
adanya penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama
dan utama masa depan anak-anak mereka.

Konsep “anak” didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan
sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah.
Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam merumuskan hak-hak anak. Respon ini telah
menjadi komitmen dunia international dalam melihat hak-hak anak. Ini terbukti dari lahirnya
konvensi internasional hak-hak anak. Indonesiapun sebagai bagian dunia telah meratifikasi
konvensi tersebut. Keseriusan Indonesia melihat persoalan hak anak juga telah dibuktikan
dengan lahirnya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Tanpa
terkecuali, siapapun yang termasuk dalam kategori anak Indonesia berhak mendapatkan hak-
haknya sebagai anak. Khusus di wilayah Bandung kurang lebih berjumlah 5.500 anak jalanan
(Data Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, 2006).
Dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria evaluasi terhadap Kebijakan Perlindungan
Anak dan beberapa program penanganan anak jalanan yang sudah dilaksanakan oleh Pemerintah
maka dipandang perlu untuk meneruskan dan atau memodifikasi beberapa kebijakan yang sudah
ada serta mengajukan alternatif-alternatif baru. 

BAB II

PROGRAM DAN TUJUAN PROGRAM

Program merupakan media yang menerjemahkan suatu kebijakan sosial menjadi


pelayanan sosial. Apabila penyusunan program didasarkan pada pemikiran dan logika yang cacat
atu tidak lengkap,baik kebijakan maupun pelayanan yang akan dilaksanakan akan menjadi tidak
efektif. Efektifitas itu sendiri dipandang secara luas sebagai program social dan pelayanan sosial
yang berhasil menciptakan perubahan yang positif terhadap kehidupan klien yang diberikan
pelayanan.
Rumah Singgah Bintang sendiri, merupakan suatu program yang diusulkan oleh
kelompok kami untuk menjawab tantangan mengenai permasalahan sosial Anak Jalanan.
Program Rumah Singgah Bintang memang merupakan program yang sudah ada sebelumnya,
dengan sedikit memodifikasi dan menambah program-program yang ada didalam konsep rumah
singgah.
Rumah Singgah Bintang mungkin sedikit berbeda dengan rumah singgah lainnya, letak
perbedaannya terletak pada fokus dan perhatian rumah bintang berikan terhadap para Anak
jalanan. Rumah Singgah Bintang tidak hanya memberikan label kepada anak jalanan, melainkan
juga memberikan motivasi dan akses kemandirian bagi para anak jalanan. Tidak hanya motivasi
dan akses kemandirian, Rumah Singgah Bintang juga sangatlah peduli kepada kesehatan para
anak jalanan, karena dengan mereka sehat, aktivitas mereka akan berjalan dengan baik,serta
pemberian pendidikan yang diharapkan dapat menunjang proses pembentukan kemandirian anak
jalanan.
Program-program Rumah Singgah Bintang meliputi :
a. Pemenuhan Kebutuhan Gizi gratis, Seperti halnya layanan pemberian makanan
tambahan bagi anak sekolah di sekolah-sekolah formal, perlu diberikan layanan
pemenuhan gizi gratis bagi anak jalanan.  Anak-anak jalanan diarahkan untuk
mendatangi tempat-tempat yang telah ditentukan untuk mendapatkan layanan
pemenuhan gizi ini dengan frekuensi yang disesuaikan dengan ketersediaan anggaran.
b. Pemberian Pelayanan Kesehatan Dasar Gratis, Pemberian layanan kesehatan
dasar gratis ini dapat dilakukan melalui Puskesmas Keliling.  Dengan pemeriksaan
kesehatan secara rutin dan tersedianya pengobatan gratis diharapkan anak-anak
jalanan mempunyai ketahanan fisik yang baik dan berdampak positif terhadap
perkembangan intelektual maupun emosionalnya.
c. Pemberian Layanan Pendidikan Gratis, Program ini dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu membebaskan biaya sekolah bagi anak jalanan di sekolah-sekolah formal
yang ditunjuk dan memberikan layanan pendidikan model seperti Perpustakaan
Keliling di mana guru yang mendatangi tempat-tempat yang biasanya digunakan
anak-anak jalanan untuk berkumpul serta memberikan materi pelajaran di tempat
tersebut. .

Tujuan Program

Tujuan yang ingin dicapai dari program Rumah Singgah Bintang dalam penanganan anak
jalanan di kota Bandung adalah “terpenuhinya kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak jalanan
secara memadai dan berkesinambungan sehingga tidak lagi melakukan kegiatan mencari nafkah
di jalan”. 

BAB III

PROGRAM HYPHOTESIS

Asumsi-asumsi permasalahan anak jalanan:

a. Perubahan sosial yang berdampak negatif menghasilkan kemiskinan.


b. Kemiskinan menjadikan setiap anak Indonesia berpotensi menjadi anak jalanan..

c. Kejadian tersebut akibat dari ketidakmampuan anak jalanan berkompetisi untuk


mendapatkan hak-haknya.
Berdasarkan pada asumsi masalah anak jalanan di kota Bandung, maka akan dapat
disusun suatu program hyphotesis sebagai berikut :

1. Jika kita dapat mengidentifikasi kelompok masalah yang beresiko,


2. Jika kita dapat mengajak mereka untuk terlibat dalam program kita,
3. Jika kita dapat menawarkan pelayanan yang efektif terkait dengan penanganan anak
jalanan, maka,
4. Kita akan mengurangi angka anak jalanan di kota Bandung, dan maka
5. Kita akan mencerdaskan anak Bangsa Indonesia.

Dari program hypothesis diatas maka akan didapat proses perencanaan sebagai berikut :
a. Masalah Sosial anak jalanan terjadi karena
b. Perubahan sosial,
c. Perubahan tersebut tidak dapat diikuti dengan baik oleh para anak jalanan
d. Maka dari itu, pelayanan social yang focus terhadap anak jalanan sangatlah penting.

BAB IV

PROGRAM DESIGN

Untuk mencapai tujuan pengentasan masalah social anak jalanan, maka program
designny adalah sebagai berikut :

1. Inputs program : pekerja social, psikiater, tenaga kesehatan, ruang konsultasi, dan
alat-alat kesehatan.
2. Throughputs program : kegiatan konsultasi dilakukan satu minggu sekali, serta
pengadaan kegiatan bimbingan anak jalanan dilakukan setiap tiga hari dengan
pengawasan dan metode yang menyenangkan.
3. Outputs program : pemberian layanan sosial anak jalanan akan selesai jika tidak
ada lagi anak yang hidup di jalanan di daerah kota Bandung.
4. Outcomes program : mencerdaskan Anak Bangsa Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Soetomo, 1995.Masalah Sosial dan Pembangunan, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

Soekanto,Soejono,2006.Pengantar ilmu Sosiologi, Raja Grafindo Persada ,Jakarta.

Skidmore, Thackeray dan Farley,1947, Introduction to Social Work, Prentice –Hall


Internasional,Inc.

www.google.com

Anda mungkin juga menyukai