Anda di halaman 1dari 4

MULTI PARTAI ADALAH JALAN KELUAR DEMOKRATIS BAGI

POLITIK INDONESIA
Oleh:Retno Yulianti
Ada beberapa hal dalam pernyataan juru bicara kongklomerat ( Media Indonesia Minggu, 10
November 1996) , menegaskan bahwa :
1. konglomerat Indonesia tidak akan ambil pusing terhadap perubahan kepemimpinan nasional
(presiden), siapapun yang menggantikan atau menjadi Presiden tidak menjadi masalah sejauh
dapat menjamin stabilitas ekonomi Indonesia. Pimpinan nasioanl harus dapat menjaga keamanan
konglomerat, untuk mengembangkan modalnya.Kaum konlomerat memilih menjadi penonton
saja dan tidak akan aktif dalam politik indonesia.
2. Kaum Konglomerat tersebut tidak akan lari keluar negeri jika ada krisis, karena semua modal
mereka ada didalam negeri dan tidakmungkin dilarikan keluar negeri.
Pernyataan di atas, mencerminkan :
Pertama, Bahwa kaum kapitalis akan tetap menjauhi (Keep distance) politk, seakan-akan
kepentingan mereka (yang bersangkutan keamanan modal) diserahkan begitu saja pada politisi.
Padahal dalam prakteknya merekalah yang paling banyak terlibat terhadap kebijakan politik
negara selama ini : dari soal perampasan tanah rakyat, penyogokan birokrasi, sistim pengupahan
dan kesejahteraaan kaum buruh, manuver terhadap partai-partai politik dan Golongan Karya,
Sistim keamanan nasional (dari soal penyelundupan kayu, miras sampai ekstasy ). Dan berbagai
rentetan keterlibatan ilegal (Inkonstitusional) yang menopang sisitim dan rezim penguasa, sudah
menjadi rahasia umum dan tidak tabu lagi dibicarakan dimedia massa. Rakyat tahu bahwa Akhir-
akhir ini beberapa konglomerat sangat intensif dalam politik Indonesia menjelag Pemilu. Kasus
terakhir adalah dukungan dana terhadap ABRI dan Suryadi untuk melaksanakan konggres ilegal
di Medan menjatuhkan Mega. Kemudian disusul dengan perebutan Kantor DPP-PDI yang
sah,melibatkan kelompok bisnis Liem dan Sofyan Wanandi. Seperti Pemilu-Pemilu sebelumnya
beberapa knglomerat yangendukung GOLKAR, mendanai GOLKAR untuk membeli suara
saudara-saudara kita yang beragama islam di pesantren-pesantren NU. Kaum Konglomeratlah
yang paling sering menggunakan cara busuk yang merusak watak kerakyatan dalam tubuh
ABRI, dengan membeli mereka menjadi alat menghalau rakyat yang mempertahankan tanah.
Atau menyewa mereka untuk menekan perjuangan kaum buruh untuk meningkatkan
kesejahteraan. Sehingga wajar ABRI yang sengaja di tekan dengan upah rendah dan
kesejahteraan yang terbatas, harus menjual harga diri mereka untuk membantai rakyatnya
sendiri.
 Kedua adalah Statemen tersebut berarti bahwa kaum konglomerat tersebut hanya akan
mendukung penguasa yang bisa menjamin kelangsungan hidup modal mereka. Siapapun juga
mereka yang naik, statement tersebut , mengarahkan bahwa hanya ABRI-lah yang akan dapat
menyelamatan stabilitas dan kelangsungan hidup konglomerasi. Artinya Kaum kapitalis sudah
melihat secara jernih bahwa hanya ABRI-lah yang akan didukung untuk naik berkuasa. Karena
dalam pengalaman orde baru dimana kaum kapitalis tersebut bisa merambas kesetiap sudut dari
sistim secara aman dan menyenangkan. Statemen tersebut juga sebagai tantangan terhadap kaum
yang percaya terhadap otoritas sipil diatas militer. Katakanlah sekarang yang menjadi perwakilan
dari kelompok ini adalah BJ. Habibi. Harmoko jelas tidak termasuk yang mewakili walaupun
ketua GOLKAR semua orang tahu kalau dia hanya alat Soeharto untuk mengalihkan kebencian
rakyat supaya tidak pada orang nomer satu dinegara ini tapi pada pecundang Harmoko. Seperti
halnya pecundang-pecundang yang lain Suryadi, Fatimah dan Achmad pada Kasus PDI. Agar
rakyat silap mata. Soeharto memang pintar dalam hal adu domba. Kasus yang lain adalah kasus
KOSGORO dan Kasus KNPI. Siapapun yang bermain pilitik elit di bawah Soeharto pasti hanya
jadi pecundang dan sasaran kemarahan massa rakyat. Harmoko yang cukup dikenal gila
perempuan tersebut tentu saja berusaha untuk menjilat pantat penguasa. Ada saja akalnya, seperti
mempelopori isu Mayoritas tunggal (yang tidak jauh beda dengan taktik pendirian Badan
Pendukung Soekarno atau BPS pada masa Orde Lama). Setting berikutnya adalah isunya tentang
ketua Partai yang berkuasa yang boleh menjadi Presiden. Harmoko mengira dengan bersembunyi
pada kepentingan Soeharto untuk tetap berkuasa, ia bisa mengambil hati Soeharto untuk menjadi
Wakil presiden, yang sudah tetntu setelah itu dapat ditebak,karena isu berikutnya soal apakah
Wapres mendatang adalah mandataris MPR atau bukan. Gerilya politik Harmoko memang ulet
namun Soeharto toh tidak bodoh untuk memilih Harmoko yang dibenci rakyat. Nampaknya
soeharto menyiapkan Habibi dan kelompoknya untukberhadapan dengan lawannya dari militer
dan golongan kaiptalis tertentu. Karena ia tidak mau setelah ia turun dari kekuasaan ia akan
dijadikan seperti Roh dan Chun di Korea selatan oleh militer-militer sakit hati, yang diambil alih
bisnisnya karena tidak profesional dan korup. Pertarungan secara diam-diam dikalangan elit
lingkaran politik penguasa ini semakin nyata dan tak mungkin ditutupi dihadapan rakyat. Karena
selalu rakyat yang langsung menjadi korban dalam konflik ABRI-Konglomerat (yang saling
back-Up) berhadapan dengan Sipil yang bernaung dibawah keluarga (kapitalis) Soeharto.
Hal yang kedua dari statement tersebut adalah soal eksistensi kapital dan pemiliknya yang tidak
akan kemana-mana jika ada krisis. Sudah juga menjadi rahasia umum bahwa Kaum kapitalis
secara diam- diam sudah melempar modalnya dalam bentuk investasi di luar negeri jauh-jauh
hari sebelumnya. Contoh 27 Juli sudah menunjukan bahwa ereka telah siap, karena modal dan
keluarga mereka sudah berangkat terlebih dahulu keluar negeri dua minggu sebelum 27 juli.
Untuk jaga-jaga kalau-kalau terjadi penggantian kekuasaan dan tidak memungkinkan kembali ke
Indonesia, mereka perlu menungggu sampai satu bulan untuk mereasa aman kembali.
Kaum kapitalis indonesia selalu sukses berenang diantar dua kubu kekuasaan orde baru yaitu
Militer dan Sipil. Sementara masing-masing Kubu saling menjatuhkan secara politik dengan alat-
alat yang mereka miliki.
Seperti yang dikemukakan oleh Intelektual dalam Media Indonesia (10 November 1996) juga.
Bahwa birokratisme dalam pemerintahan orde baru sedang mengalami penghancuran yang
semakin lama semakin parah. Bahkan lebih parah dari Soviet Union. Dari sini rakyat akan
menjadi sakdsi dikemudian harian, tentang hancurnya negara kesatuan Republik Indonesia, yag
selalu diajar-ajarkan semenjaksekolah dasar. Sejarah bangsa ini akan mengalami disintegritas
seperti halnya eropah timur. Kontradiksi dikalangan elit tersebut akan semakin memperparah
penghancuran tidak saja sistim negara tapi juga masyarakat, bangsa ini sendiri. Diakui atau tidak,
sadar atau tidak sadar bahwa sesungguhnya yang menghantarkan bangsa ini pada sebuah
kehancuran dan disintegrasi adalah politisi elit penguasa orde baru sendiri dengan kepentingan
pemilik modal (konglomerat) atau kaum kapitalis yang tentu saja punya kalkulasi keuntungan
tersendiri terhadap setiap kemungkinana yang bakal terjadi.
Dari pengalaman Soviet Union, menunjukkan bahwa kontradiksi didalam negeri, akan
mengundang kepentingan Luar Negeri, dalam hal ini Kapitalis Amerika dan Kapitalis Eropah
Barat untuk mempercepat proses krisis dan memenangkannya. Setelah rezim Gorby (dan slogan
glasnost perestroikanya) jatuh maka penggantinya adalah seorang yeltzin yang melempengkan
jalan kapitalisme untuk menjarah setiap republik ex Soviet Union, yang sudah terpecah sehingga
mudah untuk dikuasai. Sebenarnya pengalaman bangsa ini juga sudah cukup banyak. Taktik
persekutuan dagang Belanda VOC, untuk memecah belah dan mengadu domba agar dapat
dikuasai,dari ekonomi dan politik sampai kebudayaan. Tahun-tahun kolonial tersebut
mewariskan ketololan, minder, irasionalitas, mental budak dan ketakutan untuk berontak pada
rakyat. Karena terlalu sering dipecah belah dan diadu domba oleh tuan-tuan pedagang dari negeri
Belanda. Taktik ini juga digunakan oleh Soeharto, pada waktu akan menjatuhkan Soekarno,
setelah itu digunakan terus sebagai cara untuk menguasai politik dan rakyat Indonesia. Negara
dan Pemerintahan hanyalah alat untuk menguasai rakyat, da militer adalah tukang pukulnya.
Kalau sampai terjadi perpecahan ditubuh bangsa Indonesia, seperti yag terjadi di Soviet Union,
maka yang paling beruntung adalah kaum kapitalis itu sendiri baik yang di Internasional maupun
Lokal. Karena cakar-cakarnya akan lebih mudah menggaruk ekonomi rayat yang sedang hancur
karena perpecahan tersebut. Kepulaun Indoneisa akan lebih mudah dikuasai oleh kapitalis
Internasional (imperialisme). Perlahan-lahan rakyat sudah mulai melihat bagaimana Kaum
imperialis ikut serta daam mengerogoti bangsa ini. Kejatuhan soekarno adalah satu awal untuk
merebut kembali Indonesia dari tangan rakyat. Satu fase berikutnya adalh penyiapan
infrastruktur kapitalisme yang dinamakan pembanguanna dalammassa orde baru. Setelah itu
adalah pecah belah untuk dikuasai secara penuh dalam era globalisasi. Fase-fase inilah yang
disiapkan dan dijalankan dengan matang oleh imperialisme. Kaum kapitalis nasional, negara,
pemerintahan Indoensia adalah alatnya saja. Karena watak komprador (menjual bangsa dan tanah
air pada asing) adalah lahan subur imperialisme untuk menacapkan kukunya (yang nyata didepan
mata rakyat adalah freeport di Irian).
Generasi yang akan datang tidak perlu menangisi keharusan sejarah masa depan. Diera
globalisasi. Soeharto atau bukan,tetap tidak akandapat lari dari cengkraman imperialisme.
Kapitalisme Internasional tersebut tidakakan pernah dapat menjawab persoalan penindasan,
kemiskinan dan kesenjangan sosial, karena kapitalisme melahirkan semua itu sebagai sampah
industrinya secara ajar. Pertarungan kepentingan dan rebutan kekuasaan ekonomi politik itu akan
mendorong demokratisasi, yang walaupun tidak fair tapi mendigan dibandingkan demokratisasi
ala orde baru. Namun bagi generasi mendatang, pertanyaan yang crucial adalah: haruskah
demokratisasi tersebut berarti perpecahan kesatuan bangsa Indonesia, yang akan berarti
hilangnya identitas Indoneisa sebagai sebuah bangsa, kerena ladang ladang minyak perkebunan,
pabrik dan industri bukan menjadi milik rakyat yang sudah terpecah-pecah itu. Anak-cucu kita
hanya akan menjadi buruh dan budak kapitalisme itu sendiri ? Bisakah demokratisasi yang di
bantu dorongoleh globalisasi tersebut menghindar dari perpecahan bangsa ?
Rezim Orde baru memang jahat, sehingga generasi muda sekarang berada diujung jurang
kehancuran. Setelah dirampok hartanya rakyat dan diperas tenaganya, dalam keadaan buta dan
telanjang politik, rakyat harus merangkak dan merayap mencari keyakinan dirinya. Soeharto
memang pintar, belajar dari Belanda bagaimana mempertahankan kenaifan, ketololan dan
kebutaan politik rakyat sehingga kalau melawan dan berontak tidak pernah berhasil menang.
ABRI-nya menjadi yes-men dan tidak berani Kudeta. Setelah semua itu dipinggiran jurang
kehancuran bangsa, kita di hantar ke mulut naga imperialisme yang datang bersama angin
globalisasi.
Kearrah mana perubahan yang akan dihadapi oleh bangsa indonesia dalam kondisi seperti ini ?
Aparatus birokrat yang kotor, ABRI yang anti rakyat, kesenjangan sosial adalah akibat dari
Depolitisasi massa rakyat, setelah pembantaian kaum komunis, sosialis, nasionalis (yang diadu
domba dengan kaum Agama). Setiap usaha rakyat untuk berpolitik secara independen, selalu
dipatahkan degan cap komunis sehingga demokrasi orde baru punya makna tanpa kaum
komunis. Betulkah Penguasa orde baru punya niat baik untuk mengurangi kemiskinan ? Tidak
sepandai-pandainya usaha (kalau benar) untuk menutup kemiskinan, tidak akan pernah berhasil
selama kebebasan berpolitik massa rakyat tidak pernah berhasil direbut oleh rakyat. Karena
sisitim penghisapan dan penindasan tidak pernah akan berganti menjadi demokrasi apabila
rakyat buta poltik.
Multi Partai adalah jawaban satu satunya untuk membangun demokrasi di Indonesia. Untuk
menjamin kesatuan dan persatuan bangsa. Kepentingan-kepentingan akan beradu secara fair dan
demokratis, dan akan menghasilkan pemerintahan yang semakin lama semakin baik, karena akan
menunjuk kekuasaan yang mewakili semua aspirasi dan kepentingan mayoritas rakyat. Multi
partai aan mengangkat kepentingan setiap daerah. Karena Desentralisasi ekonomi dan politik
akan menemui jalan yang mudah, sehingga justru menjamin keutuhan kesatuan dan persatuan
bangsa. Setiap setiap sektor sosial, aliran dan keyakinan masyarakat akan diperjuangkan lewat
partai ppartai di dean-dewan perwakilan rakyat. Negara dan tentara hanaylah alat untuk melayani
masayrakat dan untuk kepentingan rakyat, karena kalau tidak maka partai-partai oposisi yang
diluar kekuasan akan menumbangkannya.
Keharusan untuk multi partai sudah sangat mendesak. Soeharto atau bukan, rakyat harus sudah
mulai berpartai secara independen, agar demokratisasi mendapatkan jalannya secara wajar. Atau
rakyat akan berontak dengan partai-partai bawah tanahnya, karena pasti akan didukung oleh
kepentingan modal nasional dan internasional secara ilegal seperti halnya PRRI, Permesta dan
DI/TII.
Terorganisir atau tidak, rakyat pasti akan berontak. Pengalaman sudah menunjukkan bagaimana
spontanitas massa rakyat dalam merebut kemerdekaan. Kaum muda datang menculik sukarno-
hatta, dan memaksanya untuk memerdekakan bangsa. Satu momen pembacaan teks proklamasi
yang tidak pernah direncanakan sebelumnya, menggerakkan massa rakyat untuk menendang
jepang secara aktif. Semua skenario Soekarno termasuk konsepsi hadiah kemerdekaan dari
jepang tidak pernah terjadi karena massa rakyat yang dipimpin pemuda-pemuda, berhasil
mendorong revolusi kemerdekaan. Sebuah revolusi tidak pernah konstitusional dan sesuai aturan
rencana politik, tapi ia lebih menekankan pada momentum yang dibuat atau datang sendiri,
setelah itu adalah pertumpahan darah. Kalau bangsa ini takut dan menghindari pertumpahan
darah maka multi partai adalah jawabannya. Kecuali sistim multi partai itu harus direbut lewat
pertumpahan darah, karena rezim ngotot mempertahankan kekuasaan otoriternya. Tidak ada
satupun yang pasti dan mutlak di dunia fana ini, semuanya mengalami perubahan, yang pasti
adalah perubahan itu sendiri. Maka semua usaha yang menghalangi perubahan akan terlibas oleh
sejarah, seperti halnya Revolusi 45,

Anda mungkin juga menyukai