Anda di halaman 1dari 7

Kegagalan Solusi

Kapitalisme

Written by Yahya Abdurahman


Monday, 02 February 2009 11:56
Krisis ekonomi mutakhir yang dimulai dengan meletusnya krisis finansial
di Amerika, secara simultan menyebar ke seluruh dunia. Begitu parah
krisis itu membuat para kapitalis harus mengingkari ideologi pasar yang
mereka anut. Untuk menyelamatkan ekonomi, negara-negara kapitalis
melakukan intervensi dalam berbagai bentuk. Hal itu menunjukkan
kegagalan sistem Kapitalisme dan ketidakmampuannya untuk terus
berjalan sebagaimana aslinya tanpa dilakukan perubahan. Presiden Prancis, Sarkozy, bahkan
menyerukan, “Sesungguhnya kondisi keguncangan yang dipicu oleh pasar finansial Amerika
telah meletakkan akhir bagi ekonomi pasar bebas.”

Ia melanjutkan, “Sesungguhnya ide kekuatan pasar secara mutlak dan tidak boleh adanya
pembatasan dengan peraturan dan intervensi politis merupakan ide gila. Ide bahwa pasar
selalu berada di atas kebenaran juga merupakan ide gila.” (Aljazeera, 2/9/08).

Hal itu menunjukkan gagalnya sistem kapitalis secara riil. Sebab, pasar dan lembaga-
lembaga finansial, bahkan ekonomi secara keseluruhan, tidak bisa berjalan sendiri tanpa
intervensi negara, tanpa batasan-batasan yang ditetapkan atasnya, tanpa peraturan dan
perundang-undangan serta tanpa monitoring dan manajemen oleh negara.

Semua negara ramai-ramai melakukan intervensi untuk menyelamatkan perekonomiannya.


Langkah penyelamatan yang ditempuh oleh negara-negara kapitalis pada intinya ada tiga.
Pertama: menyuntikkan miliaran dolar untuk menyehatkan kembali likuiditas bank dan
lembaga keuangan. Kedua, negara melakukan intervensi di pasar modal dengan membeli
saham, obligasi, dan surat-surat berharga yang telah kehilangan sebagian besar nilainya dan
melampaui batas toleransinya. Ketiga, menurunkan suku bunga agar kredit meningkat dan
selanjutnya akan menggerakkan kegiatan usaha (sektor riil).

Solusi-solusi itu gagal menyembuhkan perekonomian. Yang terjadi hanya meredakan rasa
sakitnya saja. Sebab, semua itu adalah gejala dan dampak sakitnya, sementara sumber
sakitnya sendiri tidak tersentuh.
Solusi yang Gagal

AS sudah menyuntikkan dana besar pasca 11 September 2001 untuk mengembalikan


likuiditas di pasar. Di samping itu, tingkat suku bunga pun mulai diturunkan. Hal itu
memudahkan diperolehnya kredit dan kemudahan pembayaran. Masa ini dinamakan Tahap I
Krisis Ekonomi. Namun, gelontoran uang yang besar di pasar sedikit demi sedikit justru
menaikkan angka inflasi. Inflasi yang tinggi memaksa Bank Sentral AS pada awal 2005
mengetatkan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga. Akibatnya, bunga dan
angsuran kredit meningkat. Hal itu mulai memunculkan gelombang kredit macet, khususnya
kredit properti. Inilah Tahap II Krisis Ekonomi.

Tahap III adalah meletusnya krisis kredit properti. Hal itu karena akumulasi kredit properti
yang macet, lalu menyebabkan bangkrutnya lembaga pemberi kredit dan bank, kemudian
berikutnya menyeret semua sektor ke dalam pusaran krisis. Di samping itu, krisis juga
menyebar ke seluruh dunia secara simultan melalui terintegrasinya sistem keuangan global.

Suntikan dana di AS sudah dimulai pada pertengahan 2007. Bank sentral AS menyuntikkan
miliaran dolar kepada dua perusahaan pemberi mortgage, Fannie Mae dan Freddie Mac.
Namun, hal itu tidak mampu menyelamatkan dua perusahaan itu hingga akhirnya hampir
ambruk dan negara harus mengambil alih keduanya. Menurut Global Insight, kerugian kedua
perusahaan itu mencapai US$ 1200 miliar. Akumulasi kredit properti macet di AS mencapai
US $ 2,5 triliun. Investasi kedua perusahaan setengah BUMN itu hingga awal 2008 mencapai
US$ 7,6 triliun. Dari jumlah itu, US$ 1,541 triliun berasal dari bank sentral asing (bank
sentral Cina US$ 400 M, bank sentral negara Teluk US$ 30 M dan sebagian besar sisanya
dari bank sentral Eropa). Kredit macet properti itu akhirnya juga menyeret bank. Yang
terparah adalah Lehman Brothers–bank investasi terbesar ke empat setelah Goldman Sachs,
Morgan Stanley dan Merrill Lynch–yang nilai sahamnya selama setahun turun 85% (AFP,
16/9/08). Namun, Lehman tidak mendapat dukungan pemerintah seperti yang diterima
Fannie Mae dan Freddie Mac. Akhirnya, Lehman bangkrut. Setelah itu, Kongres baru setuju
Lehman dimasukkan di dalam program penyelamatan. Sebab, jika tidak, ia akan menyeret
bank-bank lainnya menuju kebangkrutan. Bank Merrill Lynch sudah diambang bangkrut, lalu
diselamatkan negara dan digabungkan ke Bank of America.

Aksi penyelamatan dengan suntikan dana itu tidak berhasil. Suntikan dana yang dikucurkan
kepada Fannie Mae dan Freddie Mac mencapai lebih dari US$ 300 M selama setahun (2007-
2008) ternyata tidak bisa menyelamatkan keduanya hingga akhirnya harus diambil-alih oleh
pemerintah. Suntikan dana itu ternyata tidak bisa menyelamatkan berbagai perusahaan dan
bank. Sebab, ibaratnya, suntikan dana itu hanya membuat perusahaan “bad boys” agar bisa
tetap likuid dan tetap bisa menjalankan bisnis. Suntikan triliunan dolar ternyata tidak bisa
menghentikan gelombang krisis. Seluruh dunia selama krisis mutakhir ini telah
menyuntikkan dana sekitar US$ 4 triliun. Meski demikian, ekonom PBB dalam report
“Kondisi Ekonomi Global dan Prediksi 2009” memprediksi bahwa perekonomian dunia
diperkirakan akan tetap terjerumus di dalam resesi pada tahun 2009 ini.

Negara-negara Eropa juga memberikan suntikan dana ke perbankan dan lembaga keuangan.
Jerman menggelontorkan 500 miliar ke perbankan, di antaranya 400 M dalam bentuk
penjaminan hutang, dan 20 M disuntikkan langsung ke perbankan. Inggris menyuntikkan
500 M, di antaranya 250 M penjaminan hutang, 37 M bantuan langsung dan 200 M dalam
bentuk hutang. Prancis menggelontorkan 360 M: 320 M penjaminan hutang dan 40 M
bantuan langsung. Bahkan negara kecil juga menggelontorkan miliaran dolar. Irlandia
menggelontorkan 400 M, Belanda 220 M dan Spanyol 150 M. Secara keseluruhan negara-
negara Eropa menggelontorkan lebih dari US$ 2 triliun. Itu masih ditambah lagi Bank Sentral
Eropa yang memberikan kesempatan hutang ratusan juta Euro kepada bank dan lembaga
keuangan.

Program penyelamatan dalam bentuk bail out dengan membeli saham, kredit macet (toxic
debt), surat utang dan surat berharga lainnya milik perusahaan yang kolaps juga gagal.
Menkeu AS sendiri, Henry Paulson, tidak lama setelah program itu disetujui Kongres, justru
meragukan efektivitas langkah bail out itu. Ia menyatakan, “Berdasar evaluasi pemerintah
saat ini, tampak bahwa bail out bukanlah jalan yang lebih efektif untuk memanfaatkan dana
penyelamatan finansial.” (Financial Times dikutip oleh Aljazeera, 13/11/08).

Rencana bail out yang akan dilaksanakan hanya US$ 350 M, atau hanya separuh dari
rencana semula. Total kredit properti macet di AS sendiri menurut Global Insight mencapai
US$ 1,25 triliun. Artinya, rencana bail out sebesar US$ 700 M hanya akan menyelesaikan
setengahnya saja. Lebih dari itu, pemerintah AS sendiri sebenarnya tidak punya cukup uang
untuk melakukan itu. Pasalnya, APBN AS sendiri sedang bermasalah karena tekanan hutang
dan defisit perdagangan. Utang pemerintah AS mencapai US$ 11,3 triliun. Defisit
perdagangannya tahun 2007 mencapai US$ 816 Miliar. Itu artinya, pemerintah AS
sebenarnya tidak punya uang US$ 700 M untuk mem-bail out kredit macet (Associated
Press).

Pemerintah AS akan menggantungkan kepada dana asing. Menkeu AS Henry Paulson


menyatakan kepada TV ABC, bahwa bank-bank asing bisa berperan dalam penyelamatan
kredit macet dalam kerangka rencana penyelamatan yang sudah ditetapkan (Asharqul
Awsath, 22/9/08).

Adapun solusi dengan menurunkan tingkat suku bunga bank sentral ini sudah biasa
dilakukan. Penurunan tingkat suku bunga diharapkan akan bisa menggerakkan ekonomi.
Sebab, ketika suku bunga turun maka kredit akan mengalir yang dengan itu kegiatan usaha
(sektor riil) akan bergerak. Begitu juga kredit konsumsi akan mengalir karena orang
kepincut bunga rendah; termasuk kredit jangka menengah dan panjang seperti kredit
properti, otomotif, dsb. Dengan itu, akan tercipta lapangan kerja dan pendapatan rumah
tangga secara kumulatif akan meningkat yang menyebabkan konsumsi meningkat pula;
artinya akan meningkatkan permintaan. Dengan bunga yang rendah para pemilik uang akan
lebih memilih investasi lain selain tabungan. Ketika kredit lebih banyak mengalir daripada
tabungan yang masuk, bank kekurangan modal yang bisa disalurkan. Itu artinya, uang yang
beredar di pasar lebih banyak daripada yang tersimpan di bank. Dengan kata lain, suplay
uang di pasar akan besar. Akibatnya, harga-harga biasanya akan meningkat (inflasi
meningkat) sampai pada satu titik bank sentral harus menaikkan suku bunga. Ketika suku
bunga dinaikkan, yang terjadi adalah sebaliknya. Kenaikan suku bunga itu juga menaikkan
suku bunga kredit. Akibatnya, beban bunga kredit menengah dan panjang yang disalurkan
ketika suku bunga rendah akan meningkat pula. Selanjutnya, akan banyak terjadi kredit
yang gagal bayar atau macet. Ketika kumulasi kredit macet itu sangat besar maka
meletuslah krisis. Apalagi jika kredit berisiko seperti sub prime mortgage porsinya besar.
Krisis yang terjadipun akan sangat parah. Itulah yang terjadi pada krisis finansial saat ini.

Akibat krisis dot com buble tahun 2001 dan peristiwa 11/9 2001, terjadi krisis ekonomi di
AS. Lalu bank sentral menurunkan tingkat suku bunga secara bertahap; dari 6,5% tahun
2000 menjadi 1.0% tahun 2003. Pada masa ini kredit mengalir deras, termasuk kredit
perumahan. Namun akhirnya, mulai terjadi peningkatan angka inflasi. Bank sentral AS
akhirnya secara bertahap menaikkan kembali suku bunganya; dari 1% tahun 2003 menjadi
5,25% tahun 2006. Kenaikan suku bunga ini juga menaikkan bunga kredit perumahan dari
2,5% menjadi 7%. Kredit perumahan di AS dikenakan bunga terakhir 7% pada tahun I dan
setelah dua tahun dinaikkan menjadi 9,5%. Akibat kenaikan bunga tersebut, yang dibarengi
dengan kondisi perekonomian yang melambat, kredit properti yang gagal bayar bahkan
macet dan disita kian banyak. Aliran kredit dari bank pun terus mengecil. Akibatnya,
likuiditas makin mengering. Muncullah krisis pada tahun 2006. Awal tahun 2007 krisis makin
parah dan akhirnya meletus pada kuartal ketiga 2007, yang terus berlanjut hingga kini.
Bahkan ada prediksi akan terjadi krisis yang lebih parah pada kuartal ketiga 2009.

Untuk mengatasi krisis, bank sentral AS kembali menurunkan suku bunganya sejak
pertengahan 2007 hingga awal tahun 2008 menjadi 3% (Aljazeera Qatar, 31/1/08), lalu
kembali diturunkan menjadi 2% pada 9/9 2008 (CNN), kembali diturunkan menjadi 1,5%
pada 9/10/08, dan kembali diturunkan menjadi 1% pada awal 2009. Ini adalah angka
terendah sepanjang sejarah Amerika. Ini juga sejarah penurunan suku bunga tercepat
dalam kurun waktu yang singkat.

Meski demikian, karena krisis yang terjadi sangat parah, penurunan suku bunga itu tidak
juga bisa dengan cepat menggerakkan sektor riil. Bank-bank sentral Eropa sendiri sudah
lebih dulu menurunkan suku bunganya sampai titik itu. Sekalipun demikian, kondisi
perekonomian baik di AS maupun di Eropa tidak segera membaik.

Paparan singkat ini menjelaskan bagaimana suku bunga diturunkan untuk mengatasi krisis
tahun 2001. Setelah itu terlihat seakan ekonomi benar-benar sehat. Namun, tahun 2005
mulai terjadi krisis dan meletus kuartal ketiga tahun 2007. Untuk mengatasinya, suku bunga
kembali diturunkan. Siklus seperti ini sudah berlangsung puluhan tahun dan terjadi
berulang-ulang. Begitu juga krisis demi krisis ekonomi terjadi berulang sesering siklus naik
turunnya suku bunga itu.

Kegagalan solusi di atas terlihat jelas. Krisis finansial yang terjadi telah membesar menjadi
krisis ekonomi yang menerjang semua sektor. Sementara itu, solusi di atas lebih ditujukan
pada sektor finansial, yaitu untuk perbankan dan lembaga keuangan. Adapun usaha di
sektor riil, yaitu barang dan jasa, tidak mendapat dukungan dan penyelamatan yang berarti.
Di AS, misalnya, permintaan dana talangan yang diajukan oleh General Motor, Ford dan
Chrysler tidak dikabulkan oleh pemerintah dan Kongres. Banyak perusahaan yang
menurunkan skala usahanya atau bahkan bangkrut. Akibatnya, angka pengangguran di AS
melonjak. Selama bulan November 2008, di AS terjadi PHK 500.000 orang (Deir Spigel,
5/12/08). Bahkan Roger Wiegand, analisis di Kitco.com, memprediksi keadaan yang lebih
buruk akan terjadi pada tahun 2009. Dalam tulisannya, “Our Prediction 2009,” ia
memprediksi:

1. Akan terjadi gelombang kredit macet yang lebih besar daripada kredit perumahan.

2. Terjangan gelombang besar pertama dari kredit macet otomotif.


3. Lebih dari US$ 40 miliar kartu kredit yang macet, memukul bank pemberi kredit.

4. Terjadi gelombang pertama kegagalan kredit dan penyitaan pertokoan, gedung


perkantoran dan bangunan bisnis lainnya.

5. Pukulan akhir dari CDS (Credit Devault Swaps) yang hangus. Kabarnya total
mencapai US$ 500 triliun.

Kelima hal itu akan bisa membuat indeks DOWJONES terjun bebas dari 10400-10800
menjadi 7250, atau bisa sampai 6600 atau 5600. (Kitco.com, 22/12/08). Ia menambahkan,
angka pengangguran secara nasional di AS menembus angka 16%. Angka yang diakui
pemerintah adalah setengahnya. Tahun 2009 angka pengangguran akan menyamai angka
pada 1930-an, yaitu lebih dari 25%. Bahkan prediksi riil angka pengangguran bisa berkisar
30-40%. Laporan terakhir memperlihakan bahwa jumlah orang yang harus diberi bantuan
makanan mencapai 11 juta orang dengan 700.000 anak kelaparan setiap hari. Kami
menduga, jumlah orang yang harus mendapat bantuan makanan bisa mencapai 35 juta
orang. Yang menyedihkan, pemerintah tampaknya tidak siap menghadapi bencana ini. Yang
lebih buruk, kekacauan karena makanan dan kekerasan kepada kelompok kaya akan
menjadi sesuatu yang biasa. (Kitco.com, 22/12/08).

Hal yang sama terjadi di Eropa. Produksi mengalami penurunan. Misalnya, untuk bulan
Oktober 2008 dibandingkan dengan tahun sebelumnya di Prancis menurun 7,2%, Swedia
menurun 7,1%, Yunani menurun 4,5% dan Jerman 2,1%. Adapun produksi industri,
misalnya di Spanyol, menurun 12,3%. Hampir tidak ada satu pun industri yang tidak
terpengaruh krisis. Pembelian mobil di Inggris menurun 37%, Swedia 36%, Italia 30%,
Jerman 18% dan Prancis 15%. Di sektor kimia, raksasa kimia Jerman, BASF, memutuskan
menutup sementara 180 pabriknya di Eropa dan dunia. Perusahaan DOW menutup
sementara 200 pabrik. Perusahaan Prancis DUPONT menutup sementara 100 pabriknya.

Akibatnya, angka PHK meningkat. Di Spanyol pada sektor konstruksi akan terjadi PHK
sebanyak 354.000. Di Belanda angka pengangguran bisa mencapai 7,1%. Di Prancis bisa
mencapai 400.000 orang menganggur. Bahkan perusahaan asuransi Jerman, Allianz,
memprediksi jumlah perusahaan yang bangkrut bisa mencapai 200.000 perusahaan, dan itu
baru pada tahap permulaan. Semua itu mengenai manusia dan pasti akan melahirkan
problem sosial dan psikis yang luar biasa.

Negara-negara lainnya di seluruh dunia umumnya menempuh langkah yang sama.


Pertanyaannya, jika negara-negara yang menjadi guru dan dedengkot kapitalisme saja gagal
menyembuhkan perekonomian mereka, lalu akankah negara-negara yang mengikuti dan
membebek mereka bisa berhasil? Tentu saja tidak. Jadi solusi-solusi kapitalisme jelas gagal.
Paling banter hanya bisa meredakan demamnya saja. Sementara penyakitnya sendiri masih
bercokol. Krisis bisa muncul lagi kapan saja dan bisa lebih parah. Dunia sangat mebutuhkan
sistem yang bisa menyembuhkan.

WaLlâh a’lam bi ash-shawâb.

Anda mungkin juga menyukai