Anda di halaman 1dari 3

Mengapa Ada yang Golput ?

03-02-2009 / 17:28:53
Bolehkah golput? kalo ternyata yang dipilih nggak yang layak-oke-bagus...

Saat ini ‘euforia’ pemilu 2009 sudah semakin terasa. Banyak partai bermunculan ditelevisi dan di
jalan-jalan untuk memamerkan rayuannya dan dagangannya, termasuk partai yang berasaskan
islam.

Di sisi lain, dalam beberapa diskusi yang diadakan di televisi dan survey yang dipublikasikan
media massa serta publikasi hasil pilkada didapatkan fakta : rakyat semakin ‘enggan’
menyalurkan suara politiknya lewat partai-partai yang ada.

Berangkat dari realitas itu pula beberapa hari kebelakang MUI mengeluarkan fatwa tentang
haramnya ‘golput’ dengan harapan tingkat partisipasi masyarakat di pemilu nanti akan ada
peningkatan. Namun,

Pertanyaannya : Mengapa rakyat (sebagian) cenderung golput?

Pertanyaan ini penting dijawab. Sebab, sejatinya alternatif pilihan masyarakat saat ini adalah
partai-partai Islam tetapi ternyata tidak.
Menurut Rahmat Kurnia (2008) Siapapun yang mengikuti dinamika masyarakat kekinian akan
menemukan setidaknya ada empat (4) faktor penyebabnya yaitu :

1. Kegagalan partai dalam berfihak kepada masyarakat. Keinginan masyarakat pada partai
yang benar-benar memperjuangkan aspirasi Islam sangat ditunggu-tunggu. Survey PPIM tahun
2001 menunjukkan prefernsi (pilihan) masyarakat terhadap syariah 61 %, tahun 2002 meningkat
menjadi 71%, tahun 2003 meningkat menjadi 74%. Ternyata 5 tahun berikutnya, berdasarkan
survey SEM Institute pada awal tahun 2008 meningkat secara tajam mencapai 83 %.

Namun, mengapa keinginan kuat terhadap syariah tidak berbanding lurus dengan dukungan
masyarakat terhadap partai politik islam? Ternyata, penelitian Indo Barometer (2008)
menunjukkan persepsi masyarakat bahwa tidak ada bedanya partai Islam dengan partai lain
(43,3%), dan perilaku elite/pengurus dari partai islam sama dengan partai lain yang bukan dari
partai islam (34,8%).

Wakil-wakil rakyat di DPR pada periode ini menunjukkan perilaku yang mirip dengan wakil
rakyat dari partai sekuler. Pembelaan wakil rakyat terhadap kepentingan umat Islam tidak
tampak. Justru sebaliknya, terbaca oleh masyarakat, partai-partai yang ada tak terkecuali partai
Islam, hanya menjadikan parlemen sebagai ajang untuk mencari penghidupan dan berebut kue
kekuasaan. Kalangan DPR, termasuk partai islam justru setuju dengan kenaikan harga BBM.
Ketika rakyat teriak-teriak antri minyak tanah dan harga sembilan bahan pokok melambung,
kebanyakan para wakil rakyat hanya diam.

2. Kegagalan pendidikan politik idiologis.


Hal ini adalah akibat politik pragmatisme yang menguasai kancah perpolitikan saat ini. Sikap ini
merugikan umat islam dan partai islam. Pragmatisme akan mendegradasi tujuan dan cita-cita
perjuangan islam. Siapapun tak dapat menyangkal, pragmatisme berarti harus merelakan diri
menyesuaikan diri dengan keadaan/fakta; artinya melepaskan nilai-nilai dasar perjuangan dan
idiologi partai yang telah digariskan. Karakter partai Islam akan luntur. Memang bisa berdalih,
ini semeua masih dalam koridor Islam. Namun, dalih ini sebenarnya hanya pemanis mulut,
bukan arus utama.

Proses pendidikan politik masyarakat mandeg. Apa yang dilihat oleh masyarakat hanyalah
dagelan elit politik. Partai-partai hanya menyapa rakyat ketika akan Pemilu atau Pilkada.
Kaderisasi, penanaman Islam sebagai way of life, dan pemikiran politik tidak tergarap.
Sumberdaya hanya dikerahkan demi suara. Wajar belaka jika kesadaran politik rakyat tidak
meningkat.

3. Pembusukan citra partai islam.


Tidak dipungkiri ada upaya untuk mencitraburukkan partai islam. Hal sederhana, masalah
poligami dipolitisasi sedemikian rupa sehingga seakan akan pelakunya berbuat criminal. Belum
lagi isu kekerasan terus dilekatkan pada gerakan/lembaga dan partai Islam. Untuk menghindari
hal tersebut, bergeraklah partai islam untuk meninggalkan idiologi islam, citra islam, bahkan
symbol-simbol islam. Alih-alih bersifat ofensif menawarkan islam sebagai solusi, justru sibuk
cuci tangan terhadap pelekatan Islam pada dirinya. Sudah dapat ditebak, partai Islam pun tinggal
sekedar nama.

4. Skandal politisi.
Sebagian anggota DPR dilanda skandal seks. Kasus suap dan gratifikasi yang begitu telanjang
dilakukan anggota DPR. Tingkat kesadaran anggota DPR melaporkan gratifikasi hanya 1,9%.
Main mata dalam setiap pembuatan undang-undang bukan rahasia lagi. Semua itu tidak hanya
melibatkan partai sekuler. Partai yang menamakan dirinya Islam sekalipun ada yang terlibat di
dalamnya. LSI menyebutkan di tahun 2008, kepuasan public terhadap pemerintah dalam 3 tahun
terakhir turun, dan kepercayaan masyarakat terhadap DPR pun dibawah 50 %.

Last but not least, penyebab utamanya adalah system demokrasi itu sendiri. Dalam system
demokrasi opini menjadi sangat penting. Orang harus terkenal untuk bisa memenangkan Pemilu.
Uang pun digelontorkan untuk beriklan dimedia massa. Kampanyepun membutuhkan dana yang
tidak sedikit. Darimana uangnya? Dari para anggota partai yang jadi pejabat, para pengusaha
atau asing. Tidaklah mengherankan, anggota DPR makan suap, karena sebagian uangnya masuk
kedalam kocek partai.

Begitu juga logis sekali main-mata dengan pengusaha dan asing hingga pembuatan UU selalu
berfihak kepada mereka karena mereka dibiayai oleh para penguasa dan asing itu. Negara pun
berubah dari nation state (Negara-bangsa) menjadi corporate state(Negara-perusahaan). Negara
laksana sebuah perusahaan besar: para konglomerat sebagai pemilik modal: para pejabat menjadi
pengelolanya; dan rakyat sebagai pihak pembeli yang diekspoitasi. Pilkada dan Pemilu pun tidak
lebih dari suatu industri politik. Karenanya, mempertahankan sistem demokrasi sama dengan
memelihara penyakit.

Melepaskan Pragmatisme

Kondisi sekarang semakin parah dengan adanya idiologi pragmatisme yang dipegang oleh partai-
partai teramsuk partai Islam. Dalam situasi politik yang didominasi kepentingan sesaat seperti
sekarang, bukan persoalan mudah untuk tidak tergiring dalam arus pragmatisme. Apalagi jika
orang-orang yang menjadi anggota partai politik Islam tidak memiliki tameng diri yang kuat.

Namun, bukan berarti itu tidak bisa dihindari oleh partai-partai Islam. Caranya, partai-partai
harus kembali mamahami asas perjuangannya yakni islam dan cita-cita islam itu sendiri
bagaimana harus diterapkan. Partai islam harus lantang menolak UU yang lahir dari sekulerisme
dan bertentangan dengan islam. Partai islam harus terus melakukan koreksi terhadap kebijakan
keliru penguasa (Muhasabah hukkam). Para anggota partai Islam harus ingat betul mereka
berjuang untuk islam sehingga mereka bergabung dengan partai Islam. Jangan sampai terbalik,
dengan dalih Islam, mereka berebut mencari penghidupan dengan duduk menjadi wakil rakyat,
setelah itu lupa tujuan pembentukan partai islam itu sendiri.

Karenanya, jika partai-partai islam ingin meraih dukungan yang signifikan, tidak ada jalan lain,
mereka harus mendefinisikan dirinya kembali sebagai partai Islam sesungguhnya bukan sekedar
nama belaka. Posisi abu-abu yang selama ini mendominasi harus segera disingkirkan. Jatidiri
sebagai partai islam sejati harus ditunjukkan. Tegas menyatakan yang benar sebagai benar dan
salah sebagai salah. Jadikan parlemen sebagai mimbar dakwah. Konsekuensinya berbagai hal
yang bertentangan dengan syariah Islam akan ditentangnya.

Kini saatnya partai-partai islam meniti jalan Islam yang sesungguhnya, sesuai khittahnya sebagai
partai pembawa suara islam (Shaut al- Islam), bukan sekedar basa-basi.

Anda mungkin juga menyukai