Anda di halaman 1dari 11

« Indonesia Butuh Sistem dan Pemimpin Yang Baik (Renungan 63 Tahun Indonesia Merdeka)

Mewujudkan Kemerdekaan Hakiki »


Problematika Sistem Pendidikan Indonesia dan Gagasan
Pendidikan Berbasis Syari’ah
Ditulis oleh alasyjaaripb di/pada 27 Agustus 2008
Oleh: Handayani, S.Pd
Pendidikan merupakan perkara penting dalam membangun sebuah negeri. Rusaknya pendidikan
hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula. Pada hari pendidikan nasional ini, kami ingin
menyajikan sebuah tulisan yang mengungkap problematika sistem pendidikan di negeri ini yang
berbasis sekularisme dan juga solusi untuk menuntaskan persoalan tersebut. Solusi yang
ditawarkan tiada lain adalah dengan menerapkan sistem pendidikan berbasis syariah yang
ditegakkan oleh Daulah Khilafah Rasyidah. Pastikan anda membaca gagasan cerdas yang tidak
akan ditemukan di Perguruan Tinggi yang ada saat ini. Selamat Mambaca! [Pengantar Redaksi]

I. Latar Belakang
Dalam upaya merekonstruksi kebangkitan suatu masyarakat, negara, bahkan peradaban umat
manusia, keberadaan mabda (ideologi) merupakan salah satu aspek penting yang menentukan
kebangkitan dan pembentukan peradaban tersebut. Mabda merupakan aqidah aqliyah (difahami
melalui proses berfikir) yang melahirkan segenap peraturan untuk memecahkan berbagai
problematika kehidupan manusia . Dengan memahami bahwa masyarakat adalah sekumpulan
individu yang memiliki pemikiran dan perasaan yang sama serta diikat oleh peraturan kehidupan
yang sama maka rekonstruksi suatu masyarakat dapat dilakukan dengan perubahan terhadap
unsur 2MQ yaitu mengubah Mafahim (pemahaman, cara berfikir), Maqayis (perasaan-perasaan)
serta Qanaat (ketaatan, keterikatan terhadap nilai-nilai). Masyarakat yang memiliki maqayis,
mafahim, dan qanaat yang bersumber dari mabda kapitalisme maka kehidupannya senantiasa
berjalan di atas rel ‘Sekulerisme’ begitu pula dengan peradaban yang terbentuknya. Demikian
halnya dengan mabda sosialisme-komunisme yang mengarahkan unsur 2MQ dalam masyarakat
berjalan di atas rel ‘Dialektika Materialisme dan Atheisme’. Adapun dengan mabda islam,
masyarakat hendak diarahkan agar memiliki landasan (qaidah) dan arahan/kepemimpinan
(qiyadah) dalam berfikir, berperasaan serta mengikatkan diri pada peraturan yang bersumber dari
aqidah dan syariah islam dalam menjalani kehidupannya. Bahkan dengan mabda islam tersebut
umat manusia diarahkan untuk membangun sebuah peradaban yang mulia melalui tegaknya
institusi negara yang menjamin terpeliharanya aqidah dan syariah tersebut dalam kehidupan.
Saat ini kehidupan kaum muslimin di berbagai negeri tengah didera oleh ideologi kapitalisme
maupun sosialisme-komunisme. Tidak terkecuali dengan Indonesia yang merupakan salah satu
negeri muslim terbesar di dunia kini tengah mengalami berbagai macam keterpurukan akibat
mengemban ideologi tersebut. Secara praktis, mafahim, maqayis, dan qanaah yang dimiliki oleh
masyarakatpun tidak sepenuhnya diberikan kepada Islam, melainkan kepada kapitalisme maupun
sosialisme-komunisme. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban pula bagi kaum muslimin
untuk mengembalikan unsur 2MQ tersebut kepada mabda Islam melalui aktifitas dakwah yang
dilakukan secara berjamaah dalam berinteraksi dengan masyarakat hingga dapat menanamkan
nilai-nilai baru ditengah-tengah masyarakat secara berkesinambungan.
Dalam pendekatan sistemik, diantara ushlub (strategi) dakwah yang dapat dilakukan adalah
melalui perubahan sistem pendidikan nasional yang saat ini berkarakteristik sekuler agar menjadi
sistem pendidikan yang berbasiskan syari’ah islam.
II. Fakta Pendidikan di Indonesia
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan
bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan
definisi ini, dapat difahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk
membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan
peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan
yang sebenarnya adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-
urusan kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan bahwa yang
menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah nilai-nilai
dari aqidah islam, melainkan justru nilai-nilai dari demokrasi.
Pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan)
tersebut, sebagaimana terungkap dalam pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional
bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Sepintas, tujuan pendidikan nasional di atas memang tidak nampak sekuler, namun perlu
difahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang sama sekali tidak mengakui
adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-
Nya dalam pengaturan kehidupan manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah
yang dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus
memarjinalkan peranan Tuhan.
Keterpurukan yang diakibatkan dari penerapan sistem pendidikan nasional yang sekuler antara
lain:
1. Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat
di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia
terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai
memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina,
serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam
(www.kompas.com).
2. Laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005,
menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk.
Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara. Tahun 2005 IPM
Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda
dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah
negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108).
Bahkan jika dibandingkan dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25),
Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83).
Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130),
Myanmar (132) dan Laos (135) (www.suara pembaruan.com/16 juli 2004 dan Pan
Mohamad Faiz. 2006).
3. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan
pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk
tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326
anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar
SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga
tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak
(www.pikiran-rakyat.com). Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran
penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir
Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS,
menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS
menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK
sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar
11% (news.okezone.com). Dalam hal tawuran, di kota-kota besar seperti Jakarta,
Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup
memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992
tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan
menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13
pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15
pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban
tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat.
Bahkan sering tercatat, dalam satu hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian
di tiga tempat sekaligus (www.smu-net.com).
4. Pencapaian APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) sebagai
indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh pemerintah, hingga tahun
2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada
indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira
693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke
jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia
7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendidikan
rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk
berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. (www.republikaonline.com) sampai sekarang
masih terdapat 9 provinsi dengan jumlah buta aksara terbesar usia 10 tahun ke atas dan
15-44 tahun, yakni: Jawa Timur (1.086.921 orang), Jawa Tengah (640.428), Jawa Barat
(383.288), Sulawesi Selatan (291.230), Papua (264.895), Nusa Tenggara Barat (254.457),
Nusa Tenggara Timur (117.839), Kalimantan Barat (117.338), dan Banten (114.763
orang). (www.pikiran-rakyat.com).
5. Data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan
yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan
total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10
Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung
beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung.
Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat
(selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan
total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004,
Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan
nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah dapat menanggung
pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih
terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah
Indonesia masih merupakan yang terendah. (www.worldbank.com).
6. Perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang
sudah berlangsung sejak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit
(TIB), Revrisond Bashwir sebagai agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak
lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor
pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi badan hukum
pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk
seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
7. Kebijakan UN yang banyak ditentang oleh masyarakat karena dinilai diskriminatif dan
hanya menghamburkan anggaran pendidikan, antara lain ditentang oleh Koalisi
Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education
Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the
Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru
Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru
Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga
Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan
Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian
Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan
(www.tokohindonesia.com).
8. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru yang berpengaruh terahadap rendahnya kualitas
pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia)
pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta.
guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam.
Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi
tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
9. Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit. Ketentuan anggaran pendidikan dalam
UU No.20/2003 pasal dinyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) (ayat 1). Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari
APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario
yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam
jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah
sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk
pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran
pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih
terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun.
Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR
dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap
2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005),
12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan
dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan
9,1 % pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).Tahun 2007 hanya mencapai 11,8
persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun.
(www.tempointeraktif.com).
10. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka
pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0
sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan
kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%,
14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3
juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan
kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional
terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Pada
tahun 2009 diperkirakan ada 116,5 juta orang yang akan mencari kerja
(www.kompas.com).
Data di atas merupakan beberapa indikator yang menunjukan betapa sistem pendidikan nasional
kita saat ini tengah didera oleh berbagai problematika, yang pada akhirnya penyelenggaraan
pendidikan tidak dapat memberikan penyelesaian terhadap permasalahan pembentukan karakter
insan yang berakhlak mulia, pembentukan keterampilan hidup, penguasaan IPTEK untuk
peningkatan kualitas dan taraf hidup masyarakat, serta memecahkan berbagai problematika
kehidupan lainnya. Padahal diantara tujuan semula pendidikan adalah untuk itu semua.
II. Pemecahan Masalah
2.1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu
hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari
perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma pendidikan Islam. Hal ini sangat
penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam
masalah cabang pendidikan dapat diselesaikan (yang antara lain dikelompokan menjadi masalah
aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas
pendidikan).
Solusi masalah mendasar tersebut adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara
bersamaan dan menyeluruh agar sistem pendidikan dapat berubah lebih baik maka harus pula
dilakukan perubahan terhadap paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang
kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan
politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam,
sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik pun dapat diubah menjadi pendidikan
yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan semacam
ini pun perlu dikokohkan dengan aspek formal, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang
pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah Islam.
Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial, semisal perbaikan hanya terhadap kurikulum,
tenaga pendidik dan kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan sebagainya tidak akan dapat
berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki. Salah satu
bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada
dan menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan (Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang
wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang
menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan
struktur kurikulum.
2.2 Solusi Untuk Permasalahan Derivat (Turunan)
Permasalahan cabang dalam sistem pendidikan nasional kita diantaranya dapat dikelompokan
sebagai berikut:
1) Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung,; 2) Kerusakan sarana dan prasarana; 3)
Kekurangan tenaga guru; 4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal; 5) Proses
pembelajaran yang konvensional; 6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai; 7) Otonomi
Pendidikan; Keterbatasan anggaran; 9) Mutu SDM Pengelola pendidikan; 10) Life skill

yang dihasilkan belum optimal (Diknas Jabar. Makalah UPI EXPO 2006).
Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa
dilepaskan dari penyelesaian terhadap masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya
secara garis besar terdapat dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik. Yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi,
dan lainnya. Penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis
akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan
pendidikan, dimana pendidikan sebagai salah satu kewajiban negara yang harus diberikan kepada
rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi
terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital) untuk mengenyam pendidikan,
karena pendanaan pendidikan harus dialokasikan dari kas negara, bukan dibebankan kepada
rakyat sebagaimana Rasulullah Saw pernah mencontohkan dengan menetapkan tebusan bagi
orang-orang kafir yang menjadi tawanan dalam perang Badar dengan mengajari masing-masing
sepuluh anak kaum muslimin, padahal harta tebusan tersebut statusnya merupakan ghanimah
yang akan disimpan dalam Baitul Maal (kas negara) dan menjadi milik kaum muslimin (Struktur
Negara Khilafah hal.213: HTI Press). Atas dasar inilah jaminan pendidikan terhadap rakyat
merupakan kewajiban negara.
Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan
paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat, dimana politik akan
difahami sebagai aktifitas perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai
kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam menetapkan kebijakan bidang
pendidikan, sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka
agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial
yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran
yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga masyarakat akan
menyadari pula bahwa peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah
sebagai pihak yang dapat memberikan tauladan sekaligus mengontrol aplikasi nilai-nilai
pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi
dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas
gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim)
Kedua, solusi teknis. Yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya, secara tegas, pemerintah harus mempunyai
komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang
diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik
ummat, menyita kembali harta milik rakyat yang telah dicuri oleh para koruptor baik dari
kalangan penguasa, aparat pemerintah mauapun para pelaku usaha. Dengan adanya ketersediaan
dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan
dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun
yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah
(SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. Merekrut jumlah tenaga
pendidik dan kependidikan sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya peningkatan
kualitas dan kompetensi yang tinggi, jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka.
Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-
mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan
As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas
dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala
kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik
yang berasal dari islam maupun dari non islam sepanjang bersifat umum) dan mempersiapkan
mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya
penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
III. Sistem Pendidikan Berbasis Syari’ah
Seperti diungkapkan di atas, bahwa sistem pendidikan Islam merupakan alternatif solusi
mendasar untuk menggantikan sistem pendidikan sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran
sistem pendidikan Islam tersebut? Berikut uraiannya secara sekilas.
3.1 Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan
untuk membentuk manusia yang berkarakter (khas) Islami. Antara lain:
Pertama, berkepribadian Islam (shaksiyah islamiyah). Ini sebetulnya merupakan konsekuensi
keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang
fundamental, yaitu pola pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah
Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh,
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
1. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori
akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah (akidah yang muncul dari proses
pemikiran yang mendalam).
2. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah
Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang
diyakininya.
3. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan
senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan
tsaqâfah islâmiyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai perangkat ilmu dan pengetahuan (tsaqâfah) Islam. Islam telah mewajibkan
setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali,
ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap
Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam;
bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul
fikih, dll.
2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang
mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika,
kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni/IPTEKS).
Menguasai IPTEKS diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga
dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam
menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat
diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Begitu pula dengan penguasaan terhadap seni, dimana seni merupakan sesuatu yang dibutuhkan
pula baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menyelaraskan teknologi dengan fitrah
manusia yang menyenangi keindahan (sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syara’).
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta
latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang
harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.
Sebagaimana penguasaan IPTEKS, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai
fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa
industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
3.2. Pendidikan Islam Adalah Pendidikan Terpadu
Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem
pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja.
Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang
unggul. Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian, yaitu:
Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus
melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual
obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping
masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar. Buruknya pendidikan anak di
rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di
tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan
sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang
mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang
optimal. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah
kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan
Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan
pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Selain muatan penunjang proses
pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK
hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan)
diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik
berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum
sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang
mengikutinya. Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada
gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang
dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang
baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya,
“Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya.
Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya
mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian hafalkan
kepadanya al-Quran…”
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi
sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada
kaum Muslim setelah mereka memahami mabda Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain
mabda Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan,
melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah
manusia, agar menjadi pemahamaan untuk menguraikan kerusakan mabda selain islam tersebut.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam
implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.

3.3. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara


Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang
dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia.
Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk
mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan
mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas
urusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para
tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang
anak kaum muslimin Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang
tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan
pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan
itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain,
beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda
yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala
negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan.
Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah)
berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk
mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu
besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya
terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-
Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang
mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka
masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas). Jika harga 1 gram emas=Rp
200.000,00, maka gaji seorang pendidik yang diberikan oleh Daulah Khilafah sejak 13 abad yang
lalu jumlahnya mencapai Rp 12.750.000,00 (subhanallah), sungguh merupakan angka yang
fantastis, apalagi jika dibandingkan dengan saat ini dimana berlangsungnya sistem ekonomi
kapitalisme telah nyata sangat tidak menghargai peran pendidik, semisal upah yang didapatkan
seorang guru honorer hanya berkisar Rp 5.000-30.000 untuk setiap jam pelajaran dengan
perhitungan kerja riil satu bulan namun gajinya hanya dihitung satu minggu.
Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana
pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam,
di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin
Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca
atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara
gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di
perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji
para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman
sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam
abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para
penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
4.3 Sistem Pendidikan Islam bersifat Multidisipliner
Sistem pendidikan Islam juga sekaligus merupakan sub sistem yang tak terlepas dari pengaruh
sub sistem yang lain dalam penyelenggaraannya. Sistem ekonomi, politik, sosial-budaya, dan
idoelogi akan sangat menentukan keberhasilan penyelenggaran sistem pendidikan yang
berbasiskan aqidah dan syari’ah islam. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa dengan sistem
ekonomi yang islami maka penyediaan dana pendidikan akan menjadi perhatian penting negara
agar dapat dialokasikan dari kas negara dalam jumlah yang memadai, yang sumber-sumbernya
dapat diperoleh dari hasil pengelolaan kepemilikan umum yang saat ini di Indonesia misalnya,
jumlahnya masih melimpah seperti barang tambang, mineral, hasil hutan, kekayaan laut, maupun
dari hasil penyitaan kembali asset rakyat yang dikorupsi oleh para pejabat, pemerintah, dan
pengusaha. Sistem politik yang islami akan mengarahkan penguasa untuk mengambil kebijakan
yang berpihak pada rakyat sebagai konsekuensi dari aktifitas politiknya yaitu riayah syu’unil
ummah (mengatur urusan-urusan ummat) termasuk kebijakan dalam bidang pendidikan yang
harus didasarkan pada aqidah dan syari’ah islam. Sistem sosial-budaya yang islami akan
mengarahkan masyarakat memiliki perspektif yang benar tentang wajibnya berpendidikan,
memiliki motivasi yang tinggi untuk menggali ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan dan
menciptakan berbagai kreasi yang bermanfaat untuk kemaslahatan hidup. Selain itu sistem
sosial-budaya yang islami juga akan mampu menjadi filter dan pengendali terhadap berbagai
aktifitas yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat, dimana satu sama lain akan menyadari
tentang kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar, yang dengan aktifitas ini maka hasil pendidikan
di sekolah dapat bersinergi dengan pengaplikasiannya di masyarakat. Adapun ideologi,
merupakan aspek yang sangat berpengaruh terhadap pendidikan karena antara keduanya saling
mempengaruhi, yakni pendidikan merupakan salah satu proses menginternalisasikan ideologi
kepada semua warga negara dan ideologi merupakan asas bagi penyelenggaran sistem
pendidikan tersebut.
Dengan demikian maka pengaruh berbagai sistem lainnya terhadap keberhasilan penyelenggaran
sistem pendidikan islam memiliki keterkaitan yang erat. Sedangkan Boundary (sistem yang
menaungi semua sistem) terhadap berbagai sistem tersebut adalah sistem pemerintahan/ negara.
Oleh karenanya penjuangan terhadap terlaksananya sistem pendidikan yang berbasis syari’ah
juga tidak terlepas dari perjuangan terhadap wajibnya menegakan kembali institusi Daulah
Khilafah Islamiyah sebagai institusi yang akan menjamin penerapan hukum-hukum islam dalam
semua aspek secara kaffah. Wallahu a’lam bi shawab. [artikel/syabab.com]
* Tulisan ini merupakan revisi tulisan sebelumnya dengan judul yang sama, yang dipublikasikan
melalui www.Syabab.Com pada bulan Juli 2007.
Referensi:
• UU No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
• PP No. 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
• Media Cetak : Kompas,5/9/2001; Pikiran Rakyat, 06/10/2002; Republika, 10/5/2005;
Republika, 13/7/2005; Pikiran Rakyat,15/07/2005; Kompas, 6/2/2007; Koran Tempo,
07/03/2007.
• Website : www.suara pembaruan.com/16 juli 2004; www.undp.org/hdr2004 ;
www.worldbank.com; www.republikaonline.com; www.indonesia.go.id (Senin 12/2/07);
http://www.perbendaharaan.go.id/20-02-2007; www.Pikiran Rakyat.com (03/2004;
www.okezone.com.; www.tempointeraktif.com; www.bapeda-jabar.go.id/2006.
www.tempointeraktif.com (8/3/2007); www.smu-net.com
• Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bangil-
Jatim: Al-Izzah
• Muhamad Shidiq Al-Jawi. Pendidikan Di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Artikel.
www.khilafah1924.org
• Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006.
• Bulletin Epitech 2006, Disdik Prov.Jabar.
• Struktur Negara Khilafah. 2005: HTI Press

Anda mungkin juga menyukai