Anda di halaman 1dari 2

Indonesia: Kesalahan Melihat Pembangunan Sosial

Kompas
Sabtu, 21 Oktober, 2006

Muhammad Yunus yang dinobatkan Komite Nobel Norwegia sebagai penerima Nobel Perdamaian 2006 seharusnya bisa
membukakan mata bangsa Indonesia. Pekerjaan dan langkah sederhananya sebenarnya bisa dilakukan bangsa Indonesia,
namun kita tak juga beranjak melakukannya.

Sosiolog Universitas Indonesia Prof Dr Paulus Wirutomo mengambil contoh Muhammad Yunus sebagai cermin model
pembangunan Indonesia. Bagi Paulus, apa yang dilakukan Muhammad Yunus dengan Gramen Bank-nya di Banglades
merupakan usaha konkret untuk meningkatkan kualitas hubungan sosial yang menjadi inti dari pembangunan sosial.

"Langkah sederhana, namun implikasinya pada pembangunan sosial yang sangat nyata seperti inilah yang sudah kita
lupakan. Melupakan di sini bukan sekadar lupa, tetapi memang sepertinya tidak ada keinginan untuk melakukan," ujar
guru besar, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia.

Berikut petikan pembicaraan dengan Paulus yang ditemui di ruang kerjanya di Kampus FISIP UI Depok, beberapa hari
menjelang Idul Fitri 1427 H.

Bagaimana Anda melihat pembangunan sosial yang dilakukan sekarang?

Pembangunan sosial saat ini masih disalahpahami. Bagi pemerintah, pembangunan sosial hanya dianggap sebagai sektor
pembangunan saja. Meskipun hal ini tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, pengertian
pembangunan sosial yang benar itu lebih dari sekadar pembangunan sektor. Dalam pembangunan sosial, harus termuat
peningkatan interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat. Tanpa terjadi kualitas hubungan sosial dari langkah
pembangunan sosial yang diambil, sulit mengatakan adanya pembangunan sosial.

Apa arti pembangunan sektor yang dipahami pemerintah?

Saya kira bukan hanya pemerintah, tetapi sebagian besar kita masih memahami pembangunan sosial itu sekadar charity
yang tidak menghasilkan uang. Mengikuti logika pembangunan sosial sebagai sektor, maka pembangunan sosial ini
membutuhkan masukan berupa penyediaan anggaran, perlu pembiayaan. Dan mengikuti pemahaman pembangunan sosial
sebagai charity, maka pembangunan sosial itu dianggap sebagai sebuah langkah yang tidak menghasilkan apa pun. Atau
paling tidak output-nya dinyatakan tidak menghasilkan uang. Bahkan, pendidikan, sama halnya dengan kesehatan dan
agama yang juga dianggap pembangunan sosial, terkadang dianggap sebagai anggaran yang habis terpakai tanpa
menghasilkan uang. Padahal, pembangunan pendidikan itu akan menghasilkan peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Sumber daya manusia yang meningkat inilah yang nantinya diharapkan akan menjadi pendorong terjadinya
peningkatan kualitas hubungan sosial.

Adakah usaha yang sudah dilakukan untuk memberikan pemahaman yang betul?

Departemen Sosiologi UI sudah lebih dari 10 tahun terakhir sebenarnya sudah memberikan pemahaman yang betul,
melalui pembukaan program manajemen pembangunan sosial. Bahkan, sebenarnya Menteri Negara Pemuda dan Olahraga
Adyaksa Dault dan Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali merupakan sebagian kecil
dari orang Indonesia yang pernah mendapatkan pendidikan manajemen pembangunan sosial di pascasarjana UI.

Dulu kita membuka program manajemen pembangunan sosial ini karena kita di UI merasakan kok Sosiologi sebagai ilmu
enggak punya sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Kami membuat program lanjutan S2, terutama pada pekerja sosial,
pembangunan sosial, LSM, dan Bappeda. Ketika itu, kami melihat tenaga Bappeda yang ada, SDM-nya seadanya. Ada
yang diambil dengan latar belakang ekonomi, hukum, pertanian, ataupun pakar teknik. Mestinya orang sosial budaya yang
punya ilmu untuk pembangunan sosial bisa menyumbangkan pengetahuannya. Dengan membuka program manajemen
pembangunan sosial ini diharapkan akan lahir kader manusia Indonesia yang memahami pembangunan sosial dan punya
sumbangan besar bagi pembangunan bangsa.

Sesudah 10 tahun, bagaimana hasilnya?

Sesudah 10 tahun, kok hasilnya masih kurang dirasakan. Saya berpikir, persoalannya terletak pada inti pembangunan
sosial yang ternyata memang belum bisa ditangkap secara baik oleh masyarakat dan terutama oleh pemerintah. Sekali
lagi saya tegaskan, inti dari adanya pembangunan sosial adalah kualitas interaksi sosial, dan kualitas hubungan sosial di
masyarakat. Interaksi sosial itu sifatnya lebih kasat mata. Misalnya orang berkonflik dengan saling lempar batu, tetapi ada
yang lebih mendalam dari interaksi sosial, misalnya hubungan itu antara buruh dan majikan, guru dan murid, rakyat dan
pemerintah. Yang menyangkut hubungan kekuasaan, bagaimana kekuasaan yang Anda punya dan yang saya punya,
bagaimana kekuasaan yang senjang bisa menghasilkan eksploitasi. Ini yang disebut hubungan sosial.

Kerisauan

Paulus sangat risau dengan perjalanan bangsa yang kualitas hubungan sosialnya sepertinya hanya jalan di tempat.
Menurut Paulus, banyak bibit kreatif sumber daya manusia yang telah dimatikan oleh kebijakan nasional yang tidak
berpihak pada usaha kreatif. Padahal, usaha kreatif ini mampu memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan
bangsa.

Seperti apa kebijakan yang mematikan usaha kreatif itu?

Wah banyak sekali, tetapi saya misalkan saja ya. Si A baru lulus kuliah dari teknik industri dan berhasil memproduksi
ataupun menciptakan alat pertanian, katakanlah pacul. Persoalan pertama yang dihadapi si A, dia tidak punya dana untuk
memproduksi ciptaannya. Sistem perbankan yang ada tidak memungkinkannya meminjam dari bank karena tidak punya
jaminan. Solusi yang mungkin si A lakukan jika tetap ingin memproduksi idenya adalah meminjam uang dari saudara,
kenalan, atau dari rentenir. Katakanlah dia berhasil mendapatkan pinjaman dana, lantas dia memulai produksi pacul
ciptaannya. Apa yang terjadi kemudian, pemerintah mengimpor pacul dalam jumlah banyak dan dijual dengan harga lebih
murah dari harga jual buatan si A. Jelas produksi si A tidak laku, kalah bersaing, dan akhirnya terpaksa menutup usaha
produksinya yang menjadi produk kreatif anak bangsa. Karena tutup usaha pada saat belum berkembang, si A
meninggalkan utang, hidupnya terbelit utang. Cita-citanya pupus dan tidak banyak yang bisa dilakukannya.

Apa yang bisa kita atau pemerintah lakukan sekarang?

Saya pikir tidak ada jalan lain, kecuali pengambil kebijakan memberikan dukungan pada usaha-usaha anak bangsa yang
kreatif untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Persoalan ini tidak sulit kalau memang pemerintah mau dan punya
keberpihakan pada usaha kreatif. Inilah yang harus dilakukan sekarang, yaitu membuat kebijakan nasional yang berpihak
pada usaha kreatif. Tanpa ini, saya kira, bangsa ini akan tetap seperti sekarang, kualitas hubungan sosialnya tidak
meningkat.

Anda mungkin juga menyukai