Anda di halaman 1dari 2

Menyempurnakan Demokrasi Kita

By Thobias, on 14-12-2008 12:37

Views : 285
Dari Nusa Dua Bali, Presiden SBY menyatakan bahwa tidak ada satupun sistem demokrasi yang
sempurna. Tidak ada sistem demokrasi yang ideal karena ia merupakan proses yang terus
berjalan. Pernyataan SBY tersebut mudah disepakati. Memang sangat terang bagi kita bahwa
demokrasi pada dasarnya adalah demokratisasi, proses yang terus-menerus untuk menjadi
demokrasi. Dinamika tantangan dan masalah adalah "hukum sejarah" yang memaksa sistem
demokrasi untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Itulah kelebihan sistem demokrasi, yakni
tersedianya ruang untuk koreksi dan perbaikan terus menerus.
Berbagai tantangan dan masalah nyata yang dihadapi negara-negara demokrasi adalah ruang,
kesempatan dan sekaligus tuntutan bagi demokrasi untuk selalu adaptif, kenyal dan menawarkan
solusi. Itulah ruang dialog antara sistem demokrasi dengan realitas. Nilai-nilai demokrasi harus
diterjemahkan untuk menjawab tantangan nyata tersebut, terutama adalah kemakmuran rakyat,
lahir dan batin. Kemakmuran lahir bisa di jawab dengan keamanan dan ekonomi yang tumbuh
dan terdistribusi dengan adil. Kemakmuran batin bisa dicapai dengan kebebasan, tegaknya
hukum, kedalaman praktek beragama, kemartabatan budaya, dan sebagainya.
Demokrasi di Indonesia juga musti terus disempurnakan. Selain memang masih sangat muda,
demokrasi di Indonesia belum menemukan bentuk yang mendekati cita-cita reformasi. Karena
itu, kreativitas praktek di lapangan menjadi salah satu kunci dari keberhasilan. Disertasi
Syamsuddin Haris misalnya, menyebutkan bahwa sikap dan kecakapan kompromi Presiden SBY
adalah faktor yang menghindarkan terjadinya jalan buntu. Ini memang "ilmu praktis", bukan
"teori normatif" demokrasi ala sistem Presidensial.
Apa yang akan menyempurnakan demokrasi kita? Pertama, kesediaan untuk berpikir luas dan
jangka panjang. Bahwa perbaikan berbagai Undang-undang Politik yang mendukung bangunan
demokrasi yang makin baik dan produktif hanya bisa berjalan jika semua pihak (terutama partai
politik) mampu melampaui kepentingan sendiri-sendiri. Sistem kepartaian yang makin sederhana
dan sistem pemilu yang makin akuntabel, sebagai dua misal, harus menjadi prioritas.
Kepentingan parsial partai dan golongan harus mampu kita tempatkan di belakang.
Kedua, kesediaan untuk bekerja amat keras untuk mendekatkan (bahkan mengawinkan)
kemakmuran politik demokrasi dengan kemakmuran ekonomi. Reformasi telah mengusir
tekanan politik negara otoritarian kepada masyarakat politik. Kebebasan demikian nyata dan
sangat berkelimpahan. Inilah yang dinikmati, terutama oleh para pelaku politik. Rakyat pun
merasakan kebebasan tersebut. Kemakmuran politik inilah yang harus menjadi modal dasar bagi
kerja keras untuk mengusir tekanan ekonomi yang masih dirasakan oleh rakyat miskin. Politik
APBN kita yang makin ramah dengan pendidikan, kesehatan, program pembelaan dan
pemberdayaan, dan sebagainya, adalah etape awal untuk terus dilanjutkan dengan konsistensi
dan penyempurnaan. Hal yang sama juga musti dipastikan dalam politik APBD-APBD kita yang
perannya makin penting.
Ketiga, kesediaan para aktor demokrasi untuk menjadi teladan yang nyata. Bahkan keikhlasan
untuk belajar dari rakyat banyak. Para pelaku utama harus lebih matang dan dewasa ketimbang
pemain pembantu. Dendam tak berkesudahan dan memutus silaturrahim hanya karena kalah
mutlak harus dijauhkan dari praktek demokrasi. Para elit perlu bercermin dari sikap para
pendukung yang sudah akur kembali dalam pergaulan sehari-hari, meskipun mereka sangat
fanatik.
Jika beberapa hal tersebut bisa lakukan, harapan akan terjadinya penyempurnaan sistem
demokrasi kita, akan berjalan seiring dengan berputarnya roda momentum dan kegiatan politik
demokrasi. Pemilu 2009 adalah salah satu etape yang musti dipetik hikmah dan saripati
pelajarannya oleh kita semua. Demokrasi kita adalah untuk kemanfaatan rakyat dan tegaknya
Merah-Putih. Bukan untuk menjulangnya bendera partai-partai, secara egosentrik. Wallahu
a`lam. ( Anas Urbaningrum)

Anda mungkin juga menyukai