Anda di halaman 1dari 2

Kebijakan pembangunan mengandalkan utang dari negara lain, mempunyai konsekuensi sosial yang

amat negatif. Inilah yang dilupakan pemerintah.


-----------------
Pemerintah harus Cepat Menyadari Dampak Utang Luar Negeri
Oleh GPB Suka Arjawa
HINGGA tahun 2006 ini, jumlah utang Indonesia ada sekitar 81 milyar dolar AS.
Setiap bulan Juli atau Desember negara harus mengeluarkan dana ratusan milyar
untuk membayar bunga dan cicilan. Ketika kemudian terjadi berbagai bencana alam,
sering muncul keluhan dari masyarakat bahwa seandainya utang tidak menumpuk
sebanyak itu, mungkin proses rekonstruksi sosial akan mampu lebih cepat dilakukan
karena dana tersedia lebih banyak.
---------------------------
Beda Politik
Kebijakan meminjam dana luar negeri tidak bisa dilepaskan dari upaya Orde Baru untuk ''tampil beda''
dengan Orde Lama. Strategi yang dipakai adalah membedakan fokus pembangunan sosial. Jika pada
masa pemerintahan Soekarno konsep itu bertolak pada politik sebagai panglima, masa Orde Baru fokus
itu bergeser menjadi ekonomi sebagai panglima. Konsekuensi dari pembangunan ekonomi sudah jelas
harus memiliki modal. Di sinilah titik persoalannya. Saat itu, sebagai negara yang berusia 22 tahun dan
tertimpa musibah G-30-S yang menewaskan jutaan orang, Indonesia tidak memiliki dana besar.
Pemerintahan Soekarno meninggalkan utang luar negeri sebanyak 6,3 milyar dolar AS yang terdiri atas 4
milyar dolar warisan pemerintah Hindia-Belanda, 2,3 milyar merupakan utang luar negeri lain. Dari
data ini terlihat bahwa modal pembangunan ekonomi negara jelas minim.
Untuk melaksanakan konsep pembangunan ekonomi melalui pentahapan (disebut Pelita), maka upaya
yang dilakukan adalah dengan meminjam dana dari luar negeri. Dari sinilah muncul lembaga IGGI (Inter
Govermental Group on Indonesia), kelompok sekitar 15 negara pemberi donor kepada Indonesia, di
antaranya melibatkan Belanda dan Jepang. Lembaga inilah setiap tahun bersidang, memberikan
penilaian atas pembangunan yang telah dilakukan dan memutuskan berapa jumlah dana bantuan yang
harus diberikan. Demi mengontrol dan memetakan proyek itu, Orde Baru menugaskan ekonom
terkemuka Indonesia yang mengajar studi pembangunan di Fakultas Ekonomi UI. Mayoritas dari mereka
tamatan doktor Universitas Barkley, California, Amerika Serikat. Di antara anggota itu adalah Subroto,
Muhamad Sadli, Emil Salim dan Wijoyo Nitisastro. Mereka semuanya kemudian menjabat menteri yang
memegang sentra ekonomi strategis. Para pengecam proyek pembangunan ini sering menyebut
kelompok ini sebagai Mafia Barkeley.
Pola pembangunan dengan titik sentral ekonomi itu, terus dipertahankan selama Soeharto berkuasa dan
secara kasat mata kelihatan ''berhasil''. Jakarta yang pada era tujuh puluhan masih lengang (seperti bisa
dilihat pada film-film ''Benyamin Tukang Ngibul'', ''Badai Pasti Berlalu'', ''Ranjang Pengantin'' dan
sebagainya), tiba-tiba saja berubah menjadi belantara beton pada dekade delapan puluhan.
Pembangunan fisik di kota-kota besar, mulai Jakarta sampai Denpasar, menyerupai pola pembangunan
di negara-negara yang tergabung dalam IGGI. Jalan-jalan raya juga mulai dibangun dan bersamaan
dengan itu, berbagai kendaraan mulai sepeda motor sampai truk bikinan Jepang masuk Indonesia.
Berbagai kendaraan tersebut mulai berdatangan pertengahan dekade tujuh puluhan. Produk ini secara
perlahan mendepak kendaraan bikinan negara lain yang sudah ada sebelumnya.
Dengan corak pembangunan ekonomi seperti itu, secara politis pemerintah Orde Baru telah mampu
''tampil beda'' dibanding dengan Orde Lama. Total jenderal, akibat kebijakan meminjam dana dari luar
tersebut, Indonesia di bawah rezim Orde Baru mempunyai utang sebanyak 54 milyar dolar AS.

Yang Dilupakan
Persoalannya kemudian, penampilan mentereng seringkali berbeda dengan isi dalam dari fisik tersebut.
Kebijakan pembangunan mengandalkan utang dari negara lain, mempunyai konsekuensi sosial yang
amat negatif. Inilah yang dilupakan pemerintah.
Pembangunan Indonesia itu diarahkan atau tergantung dari perkembangan kelompok negara pemberi
bantuan (IGGI). Jadi kelihatan ada korelasi antara pembangunan jalan raya dengan mengalirnya
produk-produk kendaraan baru buatan Jepang dekade tujuh puluhan.
Pada dekade tujuh puluhan telah terjadi kekeliruan kebijakan politik-ekonomi, di mana pembangunan
hanya memusat di daerah perkotaan yang membuat hanya orang-orang kota mampu menikmati hasil
pembangunan, merangsang arus urbanisasi desa-kota meningkat. Kota-kota besar di Indonesia dipadati
penduduk migran yang membuat situasi kumuh. Hingga sekarang Indonesia masih belum bisa keluar dari
krisis ekonomi 1997. Ini mengindikasikan bahwa perekonomian kita belum bisa mandiri.

Bagaimana Kini?
Dalam beberapa catatan total utang Indonesia sampai tahun 2006 ini sekitar Rp 1.200 trilyun. Rp 600
trilyun merupakan utang luar negeri, setengah di antaranya milik Jepang. Dengan jumlah itu, Indonesia
diwajibkan membayar bunga Rp 141 trilyun terdiri atas Rp 77 trilyun untuk bunga dan Rp 64 trilyun
untuk cicilan utang pokok. Setiap tahun sekitar 20 sampai 30 persen dana APBN habis untuk anggaran
ini. Banyak yang berpendapat bagaimana harus mengelola utang yang demikian besar ini.
Untuk memperingan keadaan, kiranya ada tiga langkah yang mesti dilakukan pemerintah sekarang.
Harus dikurangi pinjaman tersebut secara sistematis dan dengan skala prioritas, kemudian ubah fokus
penggunaan dana dari kota ke desa dan perlu keberanian argumentatif untuk menghadapi ''protes'' dari
negara-negara pemberi utang.
Venuzuela, Bolivia, dan Iran kini berani bersikap argumentatif terhadap negara-negara maju. Indonesia
tidak perlu seradikal negara-negara tersebut, tetapi harus memiliki modal keberanian untuk
berargumentasi menghadapi mereka. Meski pengurangan utang akan berakibat kelesuan pembangunan,
ini hanya dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang akan melahirkan kemandirian.

Anda mungkin juga menyukai