Anda di halaman 1dari 4

Manfaat Kunjungan Pelapor Khusus PBB

untuk Indonesia
Selasa, 06-11-2007 11:53:33 oleh: Bustaman Al Rauf
Kanal: Opini

Indonesia, khususnya daerah-daerah rawan konflik atau “hotspots”


yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Maluku, Maluku Utara serta
Poso Sulawesi Tengah selalu mendapatkan perhatian internasional,
khususnya berkaitan dengan sering atau maraknya laporan tuduhan
terjadinya pelanggaran HAM di daerah “hotspots” ini yang dilaporkan
kalangan human rights defender khususnya dari NGO ke Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau United Nations. Oleh karena itu, tidak pelak lagi
maka PBB sering mengirimkan pelapor khusus atau special
rapporteurnya ke daerah-daerah “hotspots” tersebut.

Hal ini tercatat dilakukan pertama kali pada tahun 1991 tepatnya dari
tanggal 4 s/d 16 November 1991 yang dilakukan oleh P Kooijman,
seorang pelapor khusus PBB untuk Penyiksaan dan Perlakuan serta
Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan meredahkan
martabat. Sebenarnya, waktu itu P Kooijman juga ingin mengunjungi
Daerah Istimewa Aceh karena didasari atas banyaknya pengaduan
yang diterima oleh Pelapor Khusus mengenai kasus-kasus penyiksaan
di Aceh, hanya saja permintaan P Kooijman tersebut tidak diizinkan
oleh Pemerintah Indonesia bukan karena alasan apapun, melainkan
karena P Kooijman baru meminta hal tersebut pada 25 Oktober 1991.

Berbagai NGO yang tidak suka terhadap Indonesia waktu itu


melaporkan kepada PBB atas berbagai tuduhan berkaitan penyiksaan
yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia antara lain Papua, Timor
Leste dan Aceh. Tuduhan-tuduhan yang masuk ke PBB pada tahun
1991 yang dilontarkan kalangan NGO antara lain tuduhan pelanggaran
hak kebebasan berekspresi dan hak berasosiasi/organisasi, tuduhan
menyangkut Bakorstanas, tuduhan pelanggaran hak atas judicial
review dan pra peradilan serta tuduhan pelanggaran HAM Aceh.

Namun tidak disangka, dalam laporan akhirnya P Kooijman


menyarankan beberapa hal kepada Pemerintah Republik Indonesia, di
mana berbagai saran tersebut langsung direalisasikan oleh Pemerintah
Indonesia antara lain membentuk Komnas HAM bahkan sampai ke
tingkat Provinsi, meratifikasi berbagai international covenant yang
berkaitan dengan HAM dan lain-lain.
Nampaknya, berbagai tuduhan dan “laporan palsu” berbagai kalangan
radikal ataupun yang kurang senang dengan kedamaian dan kemajuan
di Indonesia tetap berlanjut, dengan menyatakan bahwa masih sering
terjadi pelanggaran HAM berat termasuk genocida di Indonesia. Dalam
rangka mengetahui hal tersebut secara mendalam, maka PBB akhirnya
menurunkan Louise Arbour untuk melakukan investigasi pada awal
tahun 2007, namun dalam “final reportnya” Louise Arbour malah
memuji langkah-langkah pemajuan dan penegakkan HAM di
Indonesia.

Bahkan, pada tahun 2007 ini Hina Jalani, Ketua Komisi Tinggi HAM
PBB mengunjungi daerah-daerah “hotspots” di Indonesia termasuk
Aceh. Kemudian, dalam press briefing Hina Jalani setelah diterima
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maka Ketua Komisi Tinggi HAM
PBB inipun mengatakan sangat terkesan dengan penanganan masalah
Aceh. Bahkan, kata Hina Jalani waktu itu, kalangan NGO di Aceh
mengakui mereka bisa melakukan aktivitasnya seperti sekarang ini
disebabkan karena adanya jaminan keamanan serta adanya
profesionalisme dari aparat intelijen serta aparat keamanan yang
bertugas di Aceh, terbukti MoU Helsinki diamankan semua pihak di
Aceh termasuk juga karena aparat keamanan dan aparat intelijen
menghormati apa kemauan GAM walaupun kadang-kadang terlalu
“berlebihan” kemauan tersebut.

Tidak hanya itu saja, MoU Helsinki dalam rangka menangani konflik
Aceh akhirnya dijadikan model penyelesaian konflik secara damai bagi
konflik yang masih melanda kawasan ASEAN khususnya diThailand
bagian selatan dan Myanmar, hal ini terungkap dalam pertemuan para
Menteri Luar Negeri ASEAN belum lama ini. Kalaupun ada berbagai
pihak yang masih menyangsikan “pengakuan ataupun laporan” baik
yang disampaikan Hina Jalani maupun Louise Arbour memang sangat
disayangkan, karena notabene kedatangan dan kegiatan investigasi
yang dilakukan pelapor khusus PBB di berbagai negara termasuk
Indonesia seringkali selalu dirahasiakan, termasuk hal ini karena
permintaan pelapor khusus tersebut untuk menghindari “over expose”
oleh media massa, sehingga seringkali kedatangan mereka
“disarrange/diatur” 100% oleh biasanya UNDP, sehingga independensi
laporan akhirnya layak dipercaya.

Sekarang ini, khususnya di Aceh jika ada kunjungan pelapor khusus


PBB kemungkinan besar persoalan hukuman cambuk yang akan
disampaikan khususnya oleh kalangan NGO, karena bukan rahasia
umum lagi banyak kalangan NGO di Aceh termasuk mereka yang
berpikiran ”sekuler” bahwa hukuman cambuk di Aceh pantas dicabut
karena berpotensi terjadinya pelanggaran HAM khususnya terhadap
perempuan.

Penulis bahkan memprediksikan sebenarnya tidak hanya hukuman


cambuk yang ingin minta dicabut dari Aceh, namun tidak menutup
kemungkinan suatu saat nanti akan muncul tuntutan pencabutan
penerapan syariat Islam di Aceh, entah karena adanya permainan
kalangan neoliberal yang sudah banyak menanamkan modalnya di
Aceh, di mana mereka saat ini “bermain” di Aceh, dengan
memanfaatkan mulai longgarnya netralitas dan
kecerdasan/kemandirian kalangan aktivis dan intelektual di Aceh pasca
tsunami atau karena skenario global yang menginginkan Aceh bukan
lagi berjuluk “Serambi Mekkah.”

Namun, penulis sangat yakin jika persoalan pencabutan hukuman


cambuk disampaikan oleh kalangan tertentu kepada PBB, jelas akan
kalah sebab pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh sebenarnya dalam
kerangka menjalankan syariat Islam serta diatur Qanun-Qanun, jika
ingin hukuman cambuk dicabut maka harus dilakukan judicial review
terlebih dahulu terhadap qanun-qanun tersebut. Di samping itu, dari
sejak awal pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh sampai saat ini
ternyata sangat efektif sebagai “mental shock therapy” untuk
mengatasi berbagai pelanggaran syariat Islam, terbukti tidak ada
satupun pelaku pelanggaran syariat Islam yang mengulangi
perbuatannya setelah dihukum cambuk.

Tidak hanya itu saja, tidak ada satupun orang yang dihukum cambuk
di Aceh kemudian tewas atau cacat, karena memang hukuman
cambuk di Aceh dalam rangka “penyadaran/pembinaan” termasuk
menciptakan “rasa malu”. Tidak seperti di Malaysia ataupun
Singapura, yang pelaksanaan hukuman cambuknya dilakukan di luar
batas perikemanusiaan, sehingga seringkali anus (maaf) korban
hukuman cambuk baik di Malaysia dan Singapura menjadi rusak pasca
menjalani hukuman cambuk tersebut.

Bagaimanapun juga, dengan mendatangkan atau menerima kunjungan


pelapor khusus PBB ke Indonesia ternyata sangat berdampak positif
bagi Indonesia, apalagi saat ini Indonesia duduk sebagai anggota
Dewan HAM PBB. Bahkan, kemungkinan besar hasil UPR (Universal
Periodic Review) yang akan dilakukan PBB ke Indonesia pada April
2008 mendatang juga akan menilai baik wajah dan prospek
penghormatan HAM di Indonesia, sebab diakui atau tidak sebenarnya
kedatangan pelapor khusus PBB justru telah membuat panik beberapa
NGO yang selama ini selalu membuat “false report/laporan palsu” ke
PBB berkaitan dengan pelaksanaan dan penghormatan HAM di
Indonesia. Buktinya, laporan mereka setelah diinvestigasi secara
independen oleh para pelapor khusus PBB ternyata tidak sesuai
dengan kenyataan di lapangan.

Oleh karena itu, introspeksilah dan waspadalah!

Anda mungkin juga menyukai