Anda di halaman 1dari 11

MASALAH DEMOKRASI, SOSIALISME DAN DUNIA KETIGA

Hersri (HS): Pak Wertheim, saya ingin mengajukan dua soal pokok. Terserah Pak
Wertheim, mau memilih dari mana untuk menjawabnya. Soal pertama tentang
Demokrasi, dan soal kedua tentang hari depan Sosialisme, tentu saja khususnya untuk
Indonesia. Tentang Demokrasi, karena sebenarnya sudah menjadi kenyataan, bahwa
Demokrasi Barat bukan jalan keluar. 'Demokrasi separoh suara tambah satu' sudah lama
dibantah kenyataan sejarah. Tapi masalahnya mencari Demokrasi penggantinya masih
belum berhasil. Sukarno pernah menawarkan dan mencobakan Demokrasi Terpimpin,
tapi berakhir dengan malapetaka September 1965. Jadi dua tema itu, Pak Wertheim. Saya
silakan, mulai dari mana.
W.F. Wertheim (WFW): Dua tema itu termasuk dalam buku saya yang terbit bulan April
tahun ini, yang berjudul Third World Whence and Whither. Dalam buku itu saya sangat
menekankan beberapa hal, di mana saya sama sekali tidak setuju dengan hal-hal yang
umumnya telah diterima begitu saja sebagai kebenaran yang sejati. Yang satu, bahwa
Sosialisme sudah hancur dan Kapitalisme merupakan sistem yang paling baik untuk
kemudian hari. Malah ada seorang Amerika tapi dengan nama Jepang, Fukuyama saya
kira, yang menulis bahwa dalam tahun 1990 sudah terjadi apa yang disebutnya the end of
historym. Jadi tidak usah pembangunan apa-apa lagi, karena sekarang semuanya sudah
beres. Sejarah sudah habis. Jadi tidak ada perubahan apa pun yang diperlukan lagi. Itu
yang pertama, yang dalam buku Third World Whence and Whither saya ingin
membuktikan, bahwa pendapat tersebut sama sekali salah. Justru kita bahkan boleh
berkata, bahwa pada saat ini Kapitalisme sama sekali bukan merupakan suatu sistem
untuk membawa kesejahteraan. Khususnya untuk Dunia Ketiga, yaitu negeri-negeri
melarat di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Sebaliknya sistem Sosialis masih perlu diikuti
- tapi barangkali perlu dipikirkan Sosialis apa - supaya kesejahteraan di negeri-negeri
tersebut dapat meningkat.
Kedua, bahwa Demokrasi model Barat umumnya juga dianggapsebagai sistem yang
harus diturut untuk membawa kesejahteraan bagi seluruh dunia. Juga dalam hal ini,
dalam hubungannya dengan Dunia Ketiga, saya mempunyai banyak keberatan terhadap
visi itu. Tapi barangkali boleh dikemukakan juga, bahwa bukan kebetulan jika dalam
buku tersebut saya jelaskan, mengapa saya sama sekali tidak setuju terhadap teori yang
umumnya sekarang dibela.
Karena saya sudah belajar dari pengalaman, ketika saya menjadi Profesor Sejarah
Indonesia dalam tahun 1946 di Universitas Amsterdam. Pada saat itu saya mempelajari
buku-buku tulisan ahli-ahli lain. Saya perhatikan, bahwa semua ahli itu seringkali bukan
mencari kebenaran sendiri, tapi hanya mengulang-ulang yang sudah dikatakan ahli-ahli
lain. Misalnya saya baca, bahwa pada awal abad ke-20 seorang tokoh Etikus, Van
Deventer, mengatakan, bahwa ada tiga hal yang selalu disebut-sebut sebagai harus
dikembangkan di Hindia Belanda, sebagai inti dari 'politik etik', yaitu irigasi, edukasi dan
emigrasi. Edukasi ialah pendidikan, dan emigrasi yaitu transmigrasi dari Jawa ke pulau
yang kurang padat penduduknya.
Begitulah yang selalu ditulis. Saya satu kali juga pernah ikut-ikutan menyebut dalam
kuliah saya. Tapi kemudian saya pikir: Di mana Van Deventer pernah menulis begitu?
Lalu saya cari. Ternyata itu tidak benar! Trias itu sama sekali tidak terdapat di dalam
semua karangan Van Deventer. Ia kadang-kadang memang menyebut dua dari tiga sistem
itu, tapi ada tiga atau empat hal lagi yang juga disebutnya sebagai sama penting. Dan dia
tidak pernah mengatakan, bahwa yang ini paling penting dan yang itu kurang penting.
Dan transmigrasi, misalnya, dalam karangannya yang pokoknya tentang politik etis itu,
Van Deventer sama sekali tidak menyebutnya.
Ada juga beberapa pengalaman lain pada waktu itu yang memberi pengertian pada saya,
yaitu bahwa semua hal yang akan saya jelaskan, sebelumnya harus saya cek lagi. Apakah
benar demikian? Jadi buku Third World Whence and Whither ini, seperti semua buku
saya lainnya, bukan kesimpulan dari yang sudah umum diterima. Tapi saya selalu
mencari, apakah benar atau tidak.
Semua itulah yang saya belajar dari pengalaman sejarah pada awal abad ini. Tapi kecuali
itu, ada juga yang dari pengalaman sejarah pada pertengahan abad.. Yaitu tentang
Tiongkok. Di mana-mana sekarang orang menulis, bahwa dalam 'Maju Melompat Besar'
telah terjadi sekitar 20-30 juta orang mati kelaparan. Ini di mana-mana, terus-menerus
diulang-ulang. Jadi sebenarnya tanpa sadar, mereka itu sendiri sudah terlalu banyak
percaya pada apa yang pernah diucapkanMao Zedong. Walaupun selamanya mereka itu
sangat anti-Mao Zedong. Karena dalam tahun 50-an, yaitu dalam tahun 1957, saya
bersama istri saya Hetty Wertheim Gijse Weenink, mengunjungi Tiongkok untuk
pertama kali. Waktu itu diumumkan, bahwa pemerintah telah mengadakan sensus
penduduk dalam tahun 1953. Jumlah seluruh penduduk Tiongkok ketika itu dicatat
sebanyak 600 juta orang. Saya pikir, bahkan juga sebelum berkunjung ke Tiongkok,
angka itu tidak masuk akal. Karena saya tahu, bahwa pada sekitar 15 tahun sebelumnya,
di Tiongkok juga pernah diadakan sensus penduduk. Ketika itu jumlah yang dicatat tidak
lebih dari sekitar 450 juta jiwa. Mungkin saja sedikit lebih banyak dari jumlah itu. Karena
saya juga mempelajari demografi, maka saya tahu, bahwa di Dunia Ketiga hasil
pencatatan sensus selalu lebih rendah dari angka yang sebenarnya. Tetapi boleh dikatakan
pada waktu itu jumlah penduduk Tiongkok tidak lebih dari 500 juta orang. Karena itu
pada waktu berkunjung ke Tiongkok tahun 1957, saya memutuskan untuk mencari
hubungan dengan ahli demografi yang terkenal, yaitu Chen Ta. Dia selalu
mengumumkan karangan-karangannya dengan nama Ta Chen. Di samping ingin bertemu
dengannya, saya juga ingin bertemu dengan sosiolog yang sangat terkenal Fei Hsiao-
tung. Pada tahun 1956 ada gerakan yang dipimpin Mao supaya 'seratus pikiran bersaing
suara, dan seratus bunga mekar bersama'. Tapi dalam tahun 1957 sudah terjadi
perubahan, oleh adanya gerakan dari atas yang anti-kaum kanan. Hal ini saya dengar
sesudah di Tiongkok, ketika saya minta untuk bertemu dengan dua orang ahli tersebut.
Permintaan saya tidak mungkin dipenuhi, karena dua ahli itu disebut sebagai orang-orang
kanan, dan mereka harus mempertanggungjawabkan diri di dalam pemeriksaan. Begitu
penjelasan seseorang dari Institut Filosofi yang datang pada saya tentang kedua ahli yang
saya cari itu. Dikatakannya juga bahwa Chen Ta diperiksa, karena ia tidak mau menerima
angka jumlah penduduk Tiongkok 600 juta, karena menurutnya angka itu terlalu tinggi.
Di samping itu Chen Ta juga berpendapat, sistem sensus 1953 yang dipakai itu tidak
ilmiah, dan ia bersedia ditugaskan untuk menyusun sistem yang lebih ilmiah.
Menurut hemat saya pendapat Chen Ta itu masuk akal. Karena dalam situasi yang
demikian buruk, dan dengan adanya pendudukan Jepang di sebagian besar wilayah
Tiongkok serta terjadinya revolusi, tidak mungkin dalam periode yang sangat singkat
jumlah penduduk naik begitu pesat. Itu memang tidak mungkin. Buat saya ini menjadi
bukti, bahwa angka sensus tersebut hanya angka perkiraan. Pada saat sensus itu keadaan
di Tiongkok, khususnya di selatan, belum tenteram, sehingga sensus yang sejati memang
tak mungkin. Tentang kesimpulan saya ini sebenarnya sudah saya umumkan dalam
banyakkarangan-karangan saya. Tetapi di negeri Belanda, pendapat saya itu tidak
dipercaya. Karena sampai sekarang umum percaya pada angka 600 juta, yang pernah
diumumkan pemerintah, dan yang selanjutnya mereka terus mempercayainya. Oleh sebab
itu pula mereka pun mengatakan, ada kira-kira 20, 30 atau bahkan 40 juta orang telah
mati kelaparan. Karena dalam sensus tahun 60-an ada sebanyak 20-30 juta orang tidak
ditemukan lagi. Padahal menurut saya mereka itu tidak ditemukan, bukan karena telah
mati karena lapar, tetapi karena memang sama sekali tidak pernah hidup.
Dalam buku Third World Whence and Whither ini saya juga mengulangi lagi kesimpulan
saya. Sebelumnya saya telah mencari bukti tentang semua data demografi yang
mengatakan sekitar 30-40 juta manusia mati kelaparan; dan sebetulnya semua itu bertolak
dari sensus penduduk tahun 1953. Ini hanya suatu contoh, bagaimana saya selalu
mencoba mengontrol terhadap semua pendapat yang sudah diterima, baik oleh umum
maupun oleh dunia ilmuwan. Malah justru pendapat para ilmuwan seringkali hanya
mengulang-ulang pendapat yang sudah berlaku.
HS.: Koreksi dan ajakan Pak Wertheim untuk selalu mengontrol kembali kesimpulan-
kesimpulan atau pendapat para ahli, terutama patut diperhatikan kalangan ilmuwan
Indonesia. Karena mereka itu umumnya, kalau menghadapi kesimpulan yang bersumber
dari pakar Barat, lalu segera saja menerima atau menolak tanpa kritik. Kita beralih ke
soal ekonomi, Pak Wertheim. Bagaimana tentang hari depan Sosialisme bagi Dunia
Ketiga, dan khususnya Indonesia?
WFW.: Menurut hemat saya yang umumnya juga masih diterima sejak Adam Smith, jadi
sejak akhir abad ke-18, yaitu pendapat bahwa: pertama, pembangunan ekonomi dan
industri yang paling baik hanya terjadi jika di bawah pimpinan Kapitalisme; dan kedua,
supaya peranan pemerintah dalam kegiatan perekonomian kecil saja. Jadi pendapat
umum yang juga diterima
dalam abad ke-19 ialah, bahwa yang harus diperbuat pemerintah hanyalah untuk menjaga
agar supaya selalu ada krust en ordem. Artinya menjadi gagasan umum dalam awal abad
ke-19 agar pemerintah hanya melakukan tugas yang sangat terbatas, yaitu menegakkan
hukum dan ketertiban. Pemerintah jangan mencampuri urusan perekonomian, yang
semata-mata menjadi urusan perusahaanswasta. Demikian itulah teori umum pada awal
abad ke-19.
Tapi dalam akhir abad ke-19 sudah menjadi jelas, bahwa hal yang demikian itu tidak lagi
cukup. Karena golongan buruh telah ikut menghimpun kekuatan, misalnya dalam serikat
buruh, untuk melawan supaya buruh tidak hanya digunakan oleh golongan atas. Tapi
supaya buruh juga bisa ikut ambil bagian dalam kegiatan ekonomi. Tapi dalam satu abad
kemudian, yaitu dalam tahun 1990, rupanya mereka sudah lupa tentang hal itu sama
sekali.
Sebenarnya telah terjadi kesalahan yang jauh lebih umum. Yaitu teori, bahwa seolah-olah
industri Inggris telah tumbuh semata-mata karena dorongan Kapitalisme saja. Seolah-
olah pertumbuhan itu spontan, dan yang dipandang menjadi pujangga sejarah Inggris
ialah kaum entrepreneur belaka. Padahal kalau kita mencari tahu bagaimana sejarah
ekonomi di Eropa Barat, sebenarnya yang selalu terjadi justru sebaliknya. Karena sampai
kira-kira tahun 1700, Inggris belum berkembang di bidang industri. Ketika itu yang
paling kuat dalam industri ialah India, misalnya di Bengala dan juga Gujarat. Yang
terjadi selanjutnya, yaitu dalam abad ke-18, semua impor barang tekstil dari India
dilarang. Di Inggris semua orang yang memakai bahan-bahan tekstil buatan India,
misalnya tekstil dari sutera dan kapas, dihukum. Tetapi bukan hanya itu. Di Inggris lama-
kelamaan tumbuh perkembangan di bidang industri, dan juga adanya pemerintahan yang
sangat kuat. Demikian kuatnya, sehingga bisa mendapat kemenangan pada pertempuran
Plassey melawan Bengala pada tahun 1757. Sejak itu Inggris selalu menghalangi semua
impor tekstil dari India, bahkan menaikkan tarif impor tekstil sampai lebih dari 35%.
Parlemen Inggris waktu itu malah menganjurkan, supaya Inggris tidak menjadi importir
barang jadi dari India, tetapi hanya bahan mentah, yaitu kapas dan sisal.
Dengan demikian ide bahwa industrialisasi hanya terjadi atas inisiatif kapital saja sama
sekali salah, oleh karena terbukti selalu sangat ditolong oleh pemerintah. Pada
pertengahan abad ke-19, Inggris sudah merebut posisi sebagai satu-satunya negeri
industri di seluruh dunia. Tetapi waktu itu, misalnya di Jerman dan Amerika Serikat,
segera timbul pula gerakan untuk mengikuti langkah Inggris. Dan yang kemudian terjadi
selalu memperlihatkan adanya campur tangan atau pertolongan pemerintah, yang berupa
proteksionisme. Suatu sistem yang umumnya disebut 'merkantilisme', yaitu sistem
pemerintah untuk menolong swasta. Ini terjadi di Jerman, Amerika Serikat, dan juga
Perancis dalam abad ke-19. Negeri terakhir yang dapat menjadi negara industri melalui
industrialisasi swasta ialah Jepang.
Tapi terhadap semua negeri-negeri jajahan, tidak hanya Inggris terhadap India, tapi juga
Belanda terhadap Indonesia dan Perancis terhadap Vietnam, selamanya tidak pernah ada
bantuan bagi pengembangan industri, melainkan hanya tindakan untuk menghindari
terjadinya persaingan. Sistem yang sama, walaupun sedikit terlambat, juga dilakukan
oleh Amerika Serikat, misalnya terhadap Amerika Selatan, yaitu sistem ajaran Monroe,
dari akhir Perang Dunia II. Sistem itu semata-mata ditujukan untuk mencegah agar
supaya di negara-negara seperti Brazilia, Venazuela dan Kolombia tidak tumbuh industri,
sehingga tetap bisa menjadi pasar untuk barang-barang jadi dari industri Amerika Serikat.
Maka boleh dikatakan, sistem itu bertujuan supaya pemerintah-pemerintah di Dunia
Ketiga tidak mengurus perekonomian mereka, tapi selamanya harus diurus oleh kapital
internasional, melalui globalisasi dan privatisasi. Dalam situasi sekarang bagi negeri-
negeri Dunia Ketiga, di mana industri masih belum kuat, semuanya ini sama sekali tidak
masuk akal. Inilah soal yang saya coba untuk meyakinkan melalui buku saya tersebut di
atas. Karena itu anak-judul yang saya tambahkan pada buku itu ialah 'Protective State
versus Aggressive Market'.
HS.: Mengapa versus'? Apakah kedua-dua sifat, 'protective' dan 'aggressive' itu, bukan
karakter ganda dari kapital internasional?
WFW.: 'Protective state' itu lebih sukar untuk diterangkan. Karena banyak 'states' atau
pemerintah-pemerintah di Dunia Ketiga yang menerima globalisasi dan kekuasaan
kapital internasional. Menurut hemat saya maksud dilakukannya privatisasi oleh Dunia
Barat juga agar supaya industri di Dunia Kedua, 'Dunia Soviet' yang sekarang tidak ada
lagi itu, berhasil diruntuhkannya sama sekali. Jadi sistem yang didorong dan sangat
diperkuat oleh International Monetary Fund dan World Bank itu, justru untuk
menghalangi proteksionisme di semua negara-negara di dunia, agar dengan demikian
market sama sekali bebas. Semuanya itu hanya demi menyelamatkan posisi monopoli
negara-negara industri. Boleh dikatakan bahwa seluruh sistem itu bukan untuk
mengembangkan industri dan kesejahteraan umat manusia seluruh dunia, tetapi hanya
untuk mempertahankan kekuasaan ekonomi yang sudah di tangan mereka.Tetapi di dunia
Barat proteksi itu memang ada, dan pasar itu tidak sama sekali bebas. European Union,
misalnya, semuanya ini dimaksud untuk proteksi belaka. Juga adanya perjanjian Nafta,
antara Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko tak lain dimaksud untuk menolong
monopoli industri Amerika Serikat.
Dalam buku Third World Whence and Whither saya kemukakan sebuah anekdot dari
masa kanak-kanak saya. Ketika itu saya suka main catur. Saya dengar tentang seorang
grand master Anu, yang saya beri nama Loewenstein, yang menulis sebuah sistem
permainan sangat tangguh yang baik untuk digunakan. Seorang pemain amatir mencoba
bermain dengan pembukaan yang sama seperti ditulis grand master itu, tetapi ternyata
sama sekali gagal. Lalu seorang grand master lain berkata kepadanya: "Jangan main
menurut yang Loewenstein tulis, mainlah seperti yang dia sendiri main!"
Anjuran anekdot di atas juga menjadi anjuran saya pada Indonesia dan semua negara
Dunia Ketiga. Janganlah mendengar pada apa yang dianjurkan secara tertulis, dan yang
dipaksakan IMF dan World Bank untuk Dunia Ketiga, tetapi hendaklah mengulangi apa
yang pernah diperbuat Dunia Barat untuk menjadikan dirinya kuat di bidang industri.
Baru-baru ini saya baca laporan, bahwa World Bank 'menyarankan pemerintah Indonesia
untuk menekan upah buruh'!
HS.: Bagaimana toepassing dan pengaruhnya bagi negeri-negeri Asia Timur?
WFW.: Di Asia Timur, dari awal abad ke-20, boleh dikata sudah menjadi kuat. Jepang
sudah mulai mengembangkan industrinya dalam akhir abad ke-19. Jepang sudah menjadi
negara yang sangat kuat, juga di bidang ekonomi. Sebagai kekuatan kolonial Jepang juga
sudah mulai mengembangkan industrinya, misalnya di daerah-daerah jajahannya, yaitu di
Korea dan Manchuria, atau Manchukuo, di utara Tiongkok, demikian juga Taiwan atau
Formosa. Jadi lain dengan negara-negara Eropa Barat, Jepang tidak menghindari
industrialisasi negeri-negeri jajahannya. Tetapi sedikit menolongnya, oleh karena letak
negeri-negeri jajahannya itu agak dekat, dan mempunyia bahan-bahan mentah yang
Jepang sendiri tidak punya.
Ada dua perkembangan terjadi di Asia Utara. Pertama di Tiongkok, yang bisa
dibandingkan dengan perkembangan di Uni Soviet. Karena duanegara itu sangat kuat,
dan mempunyai banyak bahan mentah. Sehingga di sana industri dapat dikembangkan
tanpa bantuan Dunia Barat. Namun begitu di Uni Soviet dan Tiongkok, berbeda dengan
di Barat, industri tidak dikembangkan oleh Kapitalisme. Tapi justru untuk menghindari
masuknya Kapitalisme, industri dibangun di bawah pimpinan pemerintah yang sangat
kuat, baik pemerintah Stalin maupun pemerintah Mao. Jadi di kedua negeri itu sudah
dimulai dengan perkembangan industri yang kuat. Tapi sekarang sistem baru, yaitu yang
disebut globalisasi dan privatisasi, dimaksud tidak lain untuk meruntuhkan
perkembangan yang pernah dicapai Uni Soviet dahulu. Di Tiongkok hal ini belum terjadi.
Tapi bahaya agak besar akan timbul, yaitu kalau kapital dari luar menjadi sangat kuat,
maka di sana pun akan mengalami perkembangan serupa. Hongkong sekarang sudah
masuk Tiongkok. Sehingga Kapitalisme ekstern akan menang. Tapi mengapa di Korea
Selatan dan Taiwan industri toh bisa berkembang juga? Karena dalam tahun-tahun 50an-
60an Amerika Serikat mempunyai cukup alasan untuk sedikit mengembangkan industri
di dua negeri - yang sebenarnya sudah dimulai oleh Jepang. Taiwan untuk digunakan
sebagai etalase terhadap Tiongkok, dan Korea Selatan terhadap Korea Utara.
Jadi di Asia Timur boleh dikata sudah ada perkembangan industri. Tapi sama sekali
bukan menurut sistem globalisasi dan privatisasi, melainkan dengan dorongan kuat dari
pemerintah lokal.
HS.: Bagaimana dengan Indonesia?
WFW.: Ini soal yang sukar. Karena pemerintah di Indonesia sejak Orde Baru juga sangat
kuat. Tapi pemerintah ini sama sekali tidak menghiraukan kesejahteraan rakyat banyak.
Rakyat sama sekali tidak boleh mengembangkan inisatif sendiri, semua dipimpin dari
atas. Karena itu, menurut pendapat saya, di sana ada perkembangan industrialisasi, tapi
yang tidak sangat kuat dan tidak memberi manfaat yang berarti bagi rakyat banyak.
Karena jumlah orang yang bekerja di lapangan industri tidak terlalu besar, sehingga tidak
bisa memecahkan masalah kepadatan penduduk. Ini soal pertama. Yang dapat untung
dari industrialisasi di Indonesia, umumnya di Jawa dan bukan di pulau-pulau lain,
hanyalah keluarga Suharto dan kawan-kawan ekonominya, misalnya grup Liem dan grup
Bob Hasan.
Menurut pendapat saya yang paling penting supaya pembangunan ekonomi tidak hanya
menjadi kekuasaan satu golongan kecil.Pembangunan ekonomi hanya berhasil jika
bagian besar penduduk juga dapat ambil peranan aktif. Di Indonesia hal ini sama sekali
tidak terjadi, oleh karena inisiatif rakyat jelata bukannya didorong tapi bahkan dibunuh.
HS.: Jadi karena itu, jika melihat situasi Indonesia sekarang, menurut Pak Wertheim hari
depan cita-cita atau gagasan Sosialisme di sana sudah menjadi gelap?
WFW.: Menurut saya hari depan Sosialisme tetap sangat terang. Tapi harus belajar dari
pengalaman-pengalaman dunia Sosialis, yang sebagian daripadanya sekarang telah
menjadi pelajaran yang negatif. Pertama-tama perlu saya katakan, bahwa sistem yang
dahulu dipakai di Uni Soviet dan di negeri-negeri lain di kawasan Eropa Timur yang dulu
di bawah pimpinan Uni Soviet, serta juga sebagian pengalaman negatif dari Tiongkok,
sejak runtuhnya negara-negara Sosialis sekarang dipakai oleh dunia Kapitalis untuk
meyakinkan seluruh dunia bahwa Sosialisme telah mengalami kegagalan di mana-mana.
Untuk itu digunakan segala akal dan daya-upaya. Misalnya dikatakan, bahwa di Uni
Soviet segala-galanya sudah runtuh, karena Sosialisme sama sekali jelek. Demikian pula
halnya, kata-kata jelek yang serupa, juga berlaku terhadap sistem Mao.
Karena itu semua teori dan pernyataan, seperti tentang angka mati kelaparan yang 20-30
juta dari jaman 'Maju Melompat Besar' tersebut di atas, semata-mata didorong oleh
propaganda untuk membusukkan sistem Sosialisme. Padahal sebenarnya pernah ada dua
negeri di dunia yang telah berhasil menjadi kuat, yaitu Tiongkok dan Uni Soviet. Tapi
untuk memenangkan ide Kapitalis, maka sekarang harus dikatakan bahwa semuanya itu
bukan sukses melainkan kegagalan total. Tapi Vietnam masih lebih jelas. Karena di sana,
pada waktu Ho Chi Minh, gerakan Sosialis begitu kuatnya, sehingga pada tahun 1975
bahkan berhasil mengalahkan kekuatan militer Amerika Serikat. Tetapi karena sabotase
dan boikot Dunia Barat, khususnya Amerika Serikat, timbullah sekarang di sana
pemerintahan yang sama sekali mau menuruti sistem privatisasi dan globalisasi, dengan
menerima semua anjuran dari IMF untuk tidak mengembangkan diri sendiri. Di Kuba
Castro masih bertahan. Tapi propaganda terus-menerus dilancarkan, bahwa juga di Kuba
segala-galanya sudah gagal. Kegagalan itu, sampai taraf tertentu,memang telah terjadi
sebagai akibat boikot total Amerika Serikat, yaitu agar Amerika Selatan, Eropa, dan
bahkan seluruh dunia tidak lagi mengadakan hubungan dagang lagi dengan Kuba. Di
Kuba sampai sekarang bahkan masih ada pelabuhan yang dikuasai tentara Amerika
Serikat.
Semua propaganda, juga dulu terhadap Nikaragua, selalu dipakai untuk membuktikan
bahwa Sosialisme tidak bisa berkembang. Yang bagi saya paling mengecewakan, yaitu
bahwa banyak orang yang sekarang menjadi kehilangan harapan sama sekali pada
Sosialisme. Inilah hasil dari sistem pemerintah Amerika Serikat yang sangat kuat, supaya
tidak ada seorang pun di dunia yang masih hendak mengucapkan 'Hidup Sosialisme'.
Buku saya tersebut justru mencoba membuktikan, bahwa Sosialisme mempunyai banyak
kemungkinan untuk berkembang. Justru di Dunia Barat sekarang terlihat banyak hal yang
sangat berbahaya. Seperti yang terjadi di mana-mana, di dunia Kapitalis, yang dikatakan
sama sekali bebas itu. Spekulasi di pasar uang membawa malapetaka di mana-mana.
Masalah finansial yang sekarang terjadi di Thailand, Indonesia, dan Malaysia itu pun
membuktikan tentang bagaimana sangat berhayanya sistem Kapitalisme. Saya sudah
membaca banyak karangan para pakar, dan juga jurnalis di suratkabar-suratkabar, yang
mengakui ketidakpercayaan mereka lagi terhadap Kapitalisme bagi Dunia Barat. Third
World Whence and Whither khususnya untuk membuktikan, bahwa bagi Dunia Ketiga
Kapitalisme masih jauh lebih berbahaya. Jadi Dunia Ketiga harus mencari suatu sistem
Sosialis yang lebih sesuai.
Walaupun sistem Soviet dan juga sistem Mao runtuh, justru sekarang bisa dikatakan
bahwa ekonomi di Tiongkok pernah berkembang sangat baik, barangkali sampai tahun
1975. Tentu saja ada kelemahan-kelemahan. Sesuatu hal yang sebenarnya sangat
berbahaya, yaitu kalau ada pemerintahan, di negeri mana pun juga, yang sama sekali
tidak mau menerima keterbukaan. Kalau di sana tidak boleh ada kritik sama sekali
terhadap sistem. Inilah yang paling berbahaya, dan bukan Sosialisme. Karena dalam
Sosialisme justru terdapat banyak hal yang sangat penting. Tetapi kalau di sesuatu
negara, di sana berlaku sistem diktaturial, maka pembangunan Sosialis pasti tidak akan
berhasil. Menurut saya inilah kelemahannya. Bukan Sosialisme, tapi pelaksanaannya
yang diktaturial itulah yang salah.
HS.: Bagaimana tentang krisis valuta yang sekarang terjadi? Mengapa justru di
Indonesia, dan juga Asia Tenggara pada umumnya?
WFW.: Itu bisa terjadi di mana-mana. Tapi barangkali kebetulan di kawasan itu, karena
di sana ekonomi masih lemah, sehingga semua sistem ekonomi gampang diruntuhkan.
Misalnya mengapa terjadi di Indonesia? Karena Suharto telah mengijinkan dinaikkannya
hutang pemerintah sampai entah berapa ratus milyar dolar, saya tidak tahu. Ini tentu
sangat berbahaya. Juga ide ICMI Habibie untuk mengembangkan industri sampai sama
tingginya dengan industri dunia, tentu sama sekali tidak mungkin dengan basis yang
demikian sempit itu. Tentu saja juga karena adanya korupsi yang merajalela di negara-
negara Asia Tenggara pada umumnya.
Bagaimana keadaan di Thailand dan Malaysia saya tidak tahu secara detail. Tapi tentang
Indonesia, juga terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera baru-baru ini
merupakan tanda bahwa wewenang pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan kapitalis
terlalu lemah. Tapi dalam hubungan ini, barangkali baik juga untuk mencari tahu,
bagaimana caranya agar sistem diktaturial dapat dihindari.
HS.: Jaman Sukarno sering dikatakan orang sebagai 'jaman diktaturial'. Tapi jaman
Suharto sekarang ini apakah tidak jauh lebih diktaturial? Walaupun begitu mengapa
'dunia demokrasi' Barat lebih menerima Suharto daripada Sukarno? Apakah 'diktatur
hijau' lebih baik dibanding 'diktatur merah'?
WFW.: Ya, benar. Jaman Suharto jauh lebih diktaturial dari jaman Sukarno. Oleh karena
dalam jaman Sukarno dengan sistem Demokrasi Terpimpin, mulai dari tahun 1957
sampai 1965, semua gerakan anti-Sukarno masih dimungkinkan terjadi. Kehidupan kaum
oposisi saat itu mungkin tidak terlalu gampang. Ada orang-orang yang dipenjara dan
sebagainya. Tetapi keadaan di jaman Sukarno jauh kurang jelek dibandingkan dengan
yang terjadi sesudah Oktober 1965. Di samping itu juga jangan lupa, Demokrasi
Terpimpin berlaku sebenarnya bukan oleh kemauan Sukarno. Tapi Sukarno justru
bertindak karena didorong dan dipaksa oleh Jendral Nasution. Dia dipaksa dalam suatu
situasi, ketika di luar Jawa sudah terjadi pemberontakan pada tahun 1957-58.Sehingga
karena itu sukar bagi Sukarno untuk tidak mengumumkan sistem militer SvB (Staat van
Beleg). Boleh dikata pada saat itu tentara sudah mulai dengan kemenangannya yang
pertama, dan yang akhirnya memuncak ke kemenangan akhir yaitu pada akhir September
1965. Tapi, menghadapi situasi yang demikian, sistem apa yang harus ditempuh Sukarno,
atau siapa saja pun, kalau bukan sistem diktatur?
Dalam hubungan ini, ada pengalaman lain yang perlu diperhatikan sebagai bahan
banding. Yaitu pengalaman tentang bagaimana sangat sukarnya perjuangan sekarang ini.
Juga di sini saya sama sekali tidak setuju dengan pendapat yang dianjurkan di mana-
mana, oleh banyak badan dan ahli-ahli, yaitu untuk mengikuti Demokrasi Barat. Menurut
saya yang terutama penting, yaitu kita harus mencari jawab dulu, mengapa sampai suatu
taraf tertentu Demokrasi Barat berhasil? Memang belum sangat tinggi hasil itu, tapi boleh
dikatakan bahwa di Barat demokrasi telah dapat menolong perkembangan ekonomi
sampai pada taraf yang sederhana.
HS.: Apakah karena itu juga, maka di dalam kehidupan modern kata Demokrasi seakan-
akan dipandang sebagai sepatah kata mantra? Tapi dalam perkembangannya di Barat,
mengapa taraf sederhana yang pernah dicapai Demokrasi itu kemudian menjadi mundur?
WFW.: Sebenarnya dari praktik Demokrasi selama beberapa abad sudah ada pengalaman
yang bisa dipakai sebagai pelajaran. Yaitu bahwa yang perlu dalam Demokrasi bukannya
menghitung, berapa prosen dari penduduk yang pro dan berapa prosen yang kontra. Itulah
sistem formal Demokrasi. Tapi mencari tahu, apa alasannya maka sistem Demokrasi
tidak langsung, yang bisa berjalan melalui pemilu-pemilu itu, dapat berkembang di Eropa
Barat? Sebab, bersamaan dengan jalannya Demokrasi, lama-kelamaan lalu tumbuh suatu
sistem di mana dikembangkan juga pengertian tentang kemungkinan untuk beroposisi.
Sehingga karenanya, toleransi menjadi ciri yang paling penting untuk menghidupkan
sistem Demokrasi. Jadi sekali lagi saya tegaskan, sama sekali tidak penting hitungan
berapa prosen pro dan berapa prosen kontra. Tapi yang penting bahwa bagi yang kalah
sudah tahu, suatu ketika mungkin datang kesempatan baginya untuk menang.
Jadi ada ruangan bagi oposisi, dan ada kemungkinan untuk berkembang dari minoritas
menjadi mayoritas, dan sebaliknya dari mayoritas berubah menjadi minoritas. Ini tentu
saja merupakan sistem yang tidak gampang. Tapi ini merupakan satu syarat yang paling
penting bagi perkembangan Demokrasi. Sementara itu di Dunia Ketiga pada umumnya
terdapat banyak hal-hal yang sangat urgen, sangat penting dan mendesak, yang tidak bisa
ditunggu sampai 4, 8 atau 12 tahun sampai suatu perubahan akan dapat terjadi.
Sedangkan di Barat sebaliknya yang terjadi. Lama-kelamaan lalu tercipta situasi di mana
kesejahteraan umum, walaupun belum sama sekali baik tapi tokh tidak urgen untuk
dilakukan perubahan.
Barangkali inilah alasannya, mengapa sistem Demokrasi indirek - dengan pemilihan
umum setiap jangka tahun tertentu - tidak bisa berjalan di Dunia Ketiga. Bukan soal
bangsa-bangsa Dunia Ketiga bodoh, dan tidak mengerti tentang sistem Demokrasi, tapi
karena syarat untuk itu memang tidak ada. Soal yang di sana urgen, khususnya di daerah
yang kelebihan penduduknya terlalu besar, ialah buruknya keadaan kehidupan. Karena itu
harus ditempuh metode-metode yang, dalam jangka waktu kira-kira 10 tahun,
diperkirakan bisa dilakukan perbaikan-perbaikan. Keadaan demikian terdapat misalnya di
Jawa, Bangladesh, Luzon, Vietnam Utara - daerah Tongkin. Keadaan kependudukan
sangat gawat, sehingga tidak bisa menunggu lama dengan menuruti metode
menumbuhkan minoritas menjadi mayoritas. Mungkin Thailand lebih baik keadaannya.
Di Malaysia lain lagi halnya, karena di sana tidak ada sistem sawah kecuali di daerah
Kelantan - di utara. Di Malaysia jauh lebih gampang lagi, karena situasi kependudukan
tidak begitu gawat.
Karena itu sistem Demokrasi parlementer tidak bisa memecahkan soal-soal besar. Ini
sudah dirasa oleh Sukarno. Karena ketika memulai dengan Demokrasi Terpimpin, dalam
tahun 1957, dia sudah mengerti bahwa sistem parlementer yang saban tahun dengan satu
kabinet itu, tidak bisa menolong keadaan. Dia sudah mengerti hal yang negatif dari
sistem Demokrasi Barat itu. Walaupun begitu sudah terbentuk anggapan umum yang
berlaku di mana pun juga, bahwa yang diterima sebagai alat untuk memecahkan semua
masalah dunia ialah dengan memasuki sistem Demokrasi parlementer.
Tapi anehnya begini. Dalam hal ekonomi sistem globalisasi boleh dikatakan bohong
belaka. Di dunia Barat sendiri sistem 'free market' tidak dipakai, karena ingin selalu
mempertahankan sistem monopolinya atas pasar dengan bantuan kekuasaan pemerintah.
Jadi 'free market' bukan suatu sistem yang baik, yang dapat dipakai oleh Dunia Ketiga.
Karena Barat sendiri selalu menggunakan suatu sistem, di mana pemerintah selalu
campur tangan untuk menolong ekonomi nasional.
Dalam hal Demokrasi agak berbeda soalnya. Ini lebih sukar dimengerti. Karena di Barat
sistem Demokrasi memang benar ada, dan juga bisa berjalan terus. Karena itu di Barat
masih terlalu sukar untuk meyakinkan pendapat umum, bahwa sistem Demokrasi yang
baik untuk Dunia
Barat, di mana kesejahteraan taraf yang sederhana bisa tercipta, tidak cocok bagi Dunia
Ketiga.
HS.: Kalau Demokrasi Barat tidak bisa memecahkan soal, lalu timbul pertanyaan: Jadi
demokrasi apa yang bisa? Seperti dalam konteks hari depan Sosialisme, juga
dipertanyakan Sosialisme apa?
WFW.: Sukar untuk menemukan satu jawaban yang sama sekali cocok untuk pertanyaan
itu. Ada satu percobaan yang menurut saya penting sekali, tetapi akhirnya toh tidak
berhasil juga. Yaitu sistem yang dipakai Mao Zedong, yang pada pokoknya bisa disebut
'sistem dari massa kepada massa'. Sistem Demokrasi direk. Sistem yang menjamin orang-
orang tani, misalnya, dapat mengambil bagian dalam pengambilan keputusan atas semua
kehidupan mereka. Ini ideal yang paling baik dari Mao dan juga Chou Enlai. Mereka itu
dalam tahun 1949 sudah mengatakan: Jangan terburu-buru, tetapi harus selalu menunggu
sampai rakyat mengerti dan setuju.
Dalam teori sistem 'dari massa ke massa' Mao Zedong selalu disebut-sebut sebagai sistem
yang ideal. Tapi dalam praktik, banyak terjadi Mao tokh memutuskan dengan terburu-
buru. Ini terjadi, misalnya, dengan program 'Maju Melompat Besar' dalam tahun 1958.
Dalam hal ini terlalu banyak keputusan yang ditetapkan dari atas, dan bukan kemauan
yang datang dari rakyat. Demikian juga yang terjadi dalam Revolusi Kebudayaan.
Menurut teorinya ada kemungkinan untuk mengajukan kritik, misalnya melalui
suratkabar tembok. Tetapi kemungkinan itu tetap berada di dalam satu sistem, di mana
orang tidak boleh berbeda mengenai ide pokok. Karena itulah maka Demokrasi Direk
tidak berhasil dalam dua hal itu.
Tapi di Vietnam pada masa Ho Chi Minh mungkin bisa dikatakan berhasil. Barangkali
karena Ho Chi Minh agak lebih hati-hati daripada Mao. Walaupun begitu Mao juga
banyak berhasil. Misalnya dalam hal ekonomi. Saya empat kali ke Tiongkok, ketika Mao
masih hidup dan juga sesudah ia meninggal. Pengalaman saya terutama di pedesaan,
misalnya. Menurut saya banyak hal-hal yang baik, yang dicapai sesudah tahun 1962.
Sebelum 1962 memang, saya membenarkan, ada masalah kelaparan dan kekurangan gizi
yang gawat, di mana-mana di seluruh Tiongkok. Pada tahun 1960 dan 1961 diperkirakan
boleh jadi ada 4 atau 5 juta mati kelaparan. Ini mungkin. Tapi dalam tahun 1964 saya
kembali ke Tiongkok, juga pada waktu Natal 1970 dan awal tahun 1971, juga tahun 1979
ketika peranan Mao sudah mundur, tapi
masih cukup kuat. Ketika itu saya melihat, bahwa dalam soal pertanian dan industri
Tiongkok jauh lebih maju dibandingkan dengan India, Bangladesh, dan Indonesia. Itu
bukan saja merupakan pengalaman pribadi saya, tetapi juga pengalaman ahli pertanian
Perancis terkenal yang sering mengunjungi Tiongkok dan Vietnam, yaitu Rene Dumont.
Dalam tahun 1976 ia menulis tentang betapa bagusnya Tiongkok kalau dilihat dari
Bangladesh. Maka saya sama sekali yakin, bahwa keadaan di bidang pertanian dan
industri tingkat awal sudah agak maju. Tidak benar jika dikatakan, bahwa ekonomi
Tiongkok hanya berkembang sejak Deng Xiaoping, yaitu sesudah tahun 1980.
HS.: Bagaimana halnya di bidang politik dan kebudayaan, dengan Revolusi Kebudayaan
yang terjadi semasa Mao Zedong?
WFW.: Sistem yang mengatakan bahwa hanya ada satu sayap yang selalu benar, ini tentu
sangat berbahaya. Maka itu Revolusi Kebudayaan menimbulkan ketidakpuasan sangat
besar di kalangan pemuda yang dikirim ke daerah pertanian, dan juga karena sistem
pendidikan mengalami kemunduran, dan banyaknya reaksi dari kaum burjuasi baru di
kota-kota seperti Shanghai dan lain-lainnya. Maka boleh dikatakan, sistem demokrasi
'dari massa kepada massa' model Mao ketika itu tidak cukup memberi kemungkinan
untuk beroposisi. Barangkali akan lebih baik jika Demokrasi tidak memutuskan
semuanya dengan satu sistem untuk seluruh negara yang besar, tetapi demi inisiatif-
inisiatif rakyat di daerah-daerah, asal saja para pemimpin di daerah-daerah itu sendiri
tidak menjadi burjuasi-burjuasi baru. Tapi sukar dikatakan, di mana contoh yang benar
tentang demokrasi ini. Bukanlah saya, orang Barat, yang harus mengusulkan suatu
sistem. Tapi mereka sendiri, orang-orang melarat atau pemimpin-pemimpin mereka di
Dunia Ketiga itulah, yang harus memilih sistem yang mana. Tapi tentu bukanlah sistem
kapitalis yang sekarang sudah terbukti hanya menimbulkan khaos belaka.
HS.: Di Tiongkok tidak berhasil, tapi di Vietnam pada zaman Ho Chi Minh agak berhasil.
Apakah mungkin ada pengaruh luasnya negeri dan besarnya jumlah penduduk? Dan
bagaimana dengan Indonesia, yang berpenduduk tidak sebesar Tiongkok tapi tidak
sekecil Vietnam, berwilayah luas tapi terdiri dari banyak pulau dan bangsa-bangsa?
WFW.: Waktu saya mengunjungi Indonesia terakhir, tahun 1956-57, dua kali saya
bertemu dengan Presiden, Bung Karno. Waktu itu saya punya banyak pengalaman dari
daerah-daerah luar Jawa, misalnya Lampung dan Minangkabau, sedikit dari Bali. Di
mana-mana bersama mahasiswa dan asisten saya, Kampto Oetomo yang sekarang
terkenal sebagai Prof.Dr.Ir. Sajogyo, kami melakukan penyelidikan di daerah-daerah
pedesaan. Kami selalu menjumpai situasi, bahwa di Jakarta sebenarnya tidak tahu tentang
apa yang terjadi di luar Jawa. Jadi pada akhir kunjungan saya sebagai guru besar tamu
untuk satu tahun di Fakultas Pertanian Bogor, sehari sebelum saya berangkat kembali ke
Belanda bersama istri, saya bertemu dengan Sukarno untuk kedua kali. Berdasar
pengalaman kami tersebut, dan mengingat bahwa Jakarta tidak banyak tahu tentang apa
yang sebenarnya terjadi di daerah-daerah, maka pada waktu itu saya kemukakan kepada
Bung Karno, mungkin akan lebih baik jika inisiatif yang lebih besar diberikan kepada
daerah-daerah luar Jawa, dan bahkan di Jawa di luar Jakarta. Jawaban Sukarno ketika itu:
Itu tidak mungkin. Kami di sini di Jakarta yang harus memutuskan, di mana akan ada
industri, di mana ada ini dan itu dan seterusnya ..., semua harus dari Jakarta.
HS.: Alasannya?
WFW.: Menurut saya karena pada waktu itu pemberontakan sudah terjadi di luar Jawa.
Di Sumatera sudah ada pemberontakan Dewan Banteng, Dewan Garuda, dan Permesta di
Sulawesi. Mungkin inilah alasannya dia tidak mau menerima ide saya itu. Padahal
sebenarnya, khususnya bagi Indonesia yang mempunyai situasi yang sangat banyak
perbedaannya antara Jawa dan pulau-pulau luar Jawa, menurut saya inisiatif harus
ditumbuhkan dari bawah. Tapi saya sama sekali tidak yakin, bahwa untuk Indonesia
seluruhnya perlu berlaku satu sistem Sosialisme baru yang datang dari bawah. Barangkali
yang lebih mungkin dan masuk akal, jika pertama-tama ditimbulkan satu sistem di
sesuatu daerah sebagai contoh.
HS.: Soal itu pernah saya lempar sekitar empat tahun lalu, dengan mengambil
perumpamaan 'seandainya di Indonesia lahir Republik Rakyat Delanggu, walaupun mata-
uangnya kereweng dan benderanya daun jati kering, selama republik itu benar-benar setia
kepada namanya 'republik rakyat', segera saya akan pulang kembali dan mengabdi pada
republiknya rakyat itu, dan dari situ mengubah daerah-daerah selebihnya ...'
WFW.: Tentu tidak ada yang menyambut, bukan?
HS.: Tidak ada. Jadi menurut Pak Wertheim, federasi atau setidaknya autonomi luas lebih
baik?
WFW.: Barangkali begitu. Tapi yang selalu berbahaya yaitu jika pemerintahan federal
menjadi suatu kekuatan konservatif dan sovinistis. Itu sangat berbahaya. Inilah yang
terjadi di India. Sistem yang berlaku agak demokratis di seluruh India. Tapi kekuasaan
yang ada di setiap negara-negara bagian, umumnya di tangan kasta yang paling atas.
Masih ada yang ingin saya tambahkan. Satu hal yang sekarang sudah menjadi sama sekali
terang untuk semua orang yang dapat melihat dan mendengar dengan mata dan telinga
sendiri. Yaitu bahwa sistem yang sekarang, yang mau memaksakan Demokrasi
Parlementer, di mana saja, hanya membawa khaos dan malapetaka. Begitulah misalnya
yang terjadi di Eropa Timur. Sebab, jika dalam suatu masyarakat tidak ada toleransi
untuk menerima, bahwa sesuatu golongan besok bisa menjadi minoritas atau mayoritas,
ini akan mengakibatkan seperti yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia. Tapi
sistem demokrasi, di mana saja pun di Dunia Ketiga, entah di Tanzania atau India dan di
mana saja, tidak berhasil dalam memecahkan soal ekonomi. Karena terlalu banyak grup
yang kuat. Sehingga kalau tidak ada cukup kritik dan claim dari bawah, maka demokrasi
tidak akan berhasil, sebaliknya malah akan tumbuh menjadi kekuatan represi.

Prof. W.F. Wertheim


(Sosiolog dan Historikus Belanda)
(Sumber : fortunecity.com Wawancara dari Hersri mantan tapol Buru4 Oktober 1997 )
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Anda mungkin juga menyukai