Anda di halaman 1dari 2

Kapitalisme - Sekularisme Penyebab Utama Kemiskinan

December 14th, 2007 in JURNAL |


Kirim ke email teman
(Tanggapan Untuk Zuly Qodir)
KEMISKINAN
Oleh: M. Hatta*
Tulisan Zuly Qodir di koran Kompas, Jum’at, 7 desember 2007, penting untuk ditanggapi.
Dalam tulisannya itu, Qodir mengatakan beberapa hal yang patut untuk dipertanyakan;
Pertama, berupaya mengaburkan bahwa kemiskinan bukanlah disebabkan oleh sistem dan
dasar negara yang dianut bangsa ini (Paragraf 3, 4, dan 5). Kedua, tentang misi profetik
Islam dengan jalan menerapkan substansi ajaran Islam (paragraf 6 dan 7). Ketiga, tentang
bentuk perlawanan terhadap kemiskinan yang diusulkan oleh Qodir yaitu memberikan suplai
modal usaha untuk kaum miskin, bukan dengan pembagian daging kurban (Paragraf 10).
Tanggapan: Pertama, pernyataan Qodir bahwa kemiskinan bukanlah disebabkan oleh
sistem dan dasar negara yang dianut bangsa ini adalah menunjukkann bahwa Qodir belum
paham (kalau tidak mau dikatakan tidak paham) bagaimana karakter dari sistem
Kapitalisme yang menjadi penyebab utama kemiskinan.
Padahal hal ini bukanlah rahasia lagi bagi kebanyakan ekonom yang jujur dalam menilai
sistem Kapitalisme. Munculnya paham sosialisme dan konsep negara kesejahteraan adalah
sebagai respon dari kegagalan Kapitalisme dalam mensejahterakan umat manusia. Dari sini
saja kita sudah dapat memahami fakta kegagalan sistem Kapitalisme. Leboh dari itu, Salah
satu bentuk paham yang paling menyengsarakan umat manusia adalah konsep kebebasan
kepemilikan. Dengan konsep ini Kapitalisme membolehkan sebagian besar sumber daya
alam di tangan segelintir orang. Tetapi mengapa Qodir berusaha mengatakan bahwa
masalah kemiskinan bukan karena sistem kapitalisme yang dianut oleh Indonesia? Apakah
ini dikarenakan Qodir pengikut setia Kapitalis Sekuler?.
Kedua, dalam point yang kedua ini intinya Qodir mengatakan bahwa untuk membela kaum
yang lemah dan tertindas adalah dengan jalan menerapkan substansi ajaran Islam.
Pernyataan ini sebenarnya adalah pernyataan yang dikeluarkan bukan dalam rangka
memberikan solusi (dalam konteks ini adalah membela kaum yang lemah), tetapi lebih
kepada pengopinian untuk mendekonstruksi ajaran Islam dan menolak Formalisasi Syariah.
Untuk membela kaum yang lemah dan tertindas dengan melalui sebuah substansi hanya
akan membuahkan kegagalan. Demokrasi yang diterapkan dan dijalankan di negeri ini yang
notabenenya adalah sebagai sebuah sistem saja tidak mampu menghapus kemiskinan di
negeri ini apalagi kalau yang diterapkan hanya sebatas substansi dari demokrasi.
Adapun tentang dekonstruksi paham fatalistik jabariah yang digagas oleh Qodir penulis
sepakat (paragraf 8 dan 9). Namun, perlu diingat bahwa paham fatalistik jabariah bukanlah
murni berasal dari Islam tetapi melainkan berasal dari ajaran filsafat india dan paham sufi
yang merasuk kedalam benak umat Islam.
Ketiga, pada point ketiga ini pada intinya Qodir ingin mengatakan bahwa pembagian
daging kurban pada saat Idul Adha tidaklah perlu dilakukan karena hanya bersifat
konsumtif. Logika yang digunakan Qodir ini juga pernah dipakai oleh sebagian orang yang
mengatakan bahwa zakat yang selama ini dijalankan adalah bersifat konsumtif, untuk itu
harus dirubah menjadi zakat yang bersifat produktif dengan jalan mengumpulkan uang
zakat yang ada untuk kemudian digunakan sebagi modal membuka usaha dimana hasil dari
usaha tersebut diberikan kepada kaum miskin.
Pemikiran ini secara sederhana memang terkesan sangat mulia, namun dibaliknya
terkandung kesalahan berpikir dan sekaligus menyalahi hukum syara. Dikatakan kesalahan
berpikir karena salah dalam menentukan mana problem utama diantara banyaknya problem
cabang. Permasalahan kemiskinan tidaklah cukup diselesaikan dengan memproduktifkan
zakat dan dana Idul Qurban sebagaimana yang dikehendaki Qodir. Belum lagi adanya
hambatan atau bahkan kerugian yang setiap saat akan dihadapi dari usaha tersebut yang
sumber dananya berasal dari zakat dan dana Idul Qurban yang tentunya akan lebih
merugikan para mustahiq zakat.
Dikatakan menyalahi hukum syara karena solusi yang ditawarkan tidak dibangun
berdasarkan kepada nash syariat, tetapi murni menggunakan logika maslahat -yang
notabenenya adalah logika akal- yang secara jelas tidak bisa dijadikan dalil.
Lebih dari itu, tingginya tingkat kemiskinan ada lebih disebabkan diterapkannya sistem
Kapitalisme Sekuler. Di negara maju sekalipun seperti AS, tingkat kemiskinan masih sangat
tinggi. Kegagalan Kapitalisme dalam mensejahterakan umat manusia adalah suatu
keniscayaan. Ini dikarenakan sejak lahirnya paham ekonomi Kapitalisme memiliki
kecacatan. Kecacatan Kapitalisme sejak awal adalah pandangannya dalam melihat
permasalahan ekonomi. Kapitalisme memandang bahwa permasalahan ekonomi berawal
dari terbatasnya sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan umat manusia yang tidak
terbatas. Maka dari itu Kapitalisme memiliki semboyan “produce, produce, and to produce”
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin. Tanpa memperhatikan lagi
bagaimana distribusi dari sumber daya alam yang ada kepada masyarakat.
Kesimpulan
Zuly Qodir dalam tulisannya yang berjudul “Islam Melawan Kemiskinan” terkesan
menyembunyikan penyebab utama dari kemiskinan (entah apakah ini memang karena
ketidak ketahuan Qodir atau memang ada maksud tertentu), yaitu sistem ekonomi
Kapitalisme.
Seharusnya sebagai seorang intelektual berani mengatakan mana yang benar mana yang
salah. Bukan malah bersikap tidak jujur dalam melihat sesuatu.
Wallahua’lam bi ash-Shawab

Anda mungkin juga menyukai