Anda di halaman 1dari 24

HUBUNGAN STRESS PSIKOLOGIS DENGAN KEJADIAN PENYAKIT PSORIASIS

Penulis :
Rio Yansen Cikutra
Frischa Wibowo
Christine Laurenza
Tammy Vania
Anastasia Marisa

Pembimbing : dr. Elly Tania. SpKJ

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11470
No. Telp (021)56942061 No. Fax (021)5631731
2016

Hubungan Depresi-Cemas Dengan Kejadian Penyakit Psoriasis


Rio Yansen, Frischa Wibowo, Christine Laurenza, Tammy Vania, Anastasia Marisa.S .
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Jalan Arjuna Utara No.6
Jakarta Barat 11470. Rio_yansen94@yahoo.com
Abstrak
Latar belakang: Psoriasis adalah penyakit kulit multifaktorial dengan stresor psikologis sebagai
salah satu faktor risiko. Hingga saat ini tidak terdapat data yang memadai tentang hubungan
stresor psikologis dengan psoriasis, serta hubungannya dengan sistem neuro-endokrin.
Tujuan penelitian: Untuk mengetahui faktor stresor psikologis pada psoriasis serta
hubungannya dengan norepinefrin sebagai hormon stres.
Subyek dan metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional case-control study.
Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan histopatologis.
Untuk menentukan adanya stresor psikologis dilakukan wawancara dengan memakai HolmesRahe Stress Scale test. Pemeriksaan kortisol, norepinefrin, dan IFN- serum dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara faktor stres di sistem neuroendokrin.
Hasil penelitian: Selama 6 bulan mendapatkan 58 sampel yang diteliti terdiri atas 32 pasien
psoriasis dan 26 subyek tanpa psoriasis sebagai kontrol. Sebanyak 12 dari 32 (37,5%) pasien
psoriasis berhubungan dengan peningkatan level stres psikologis. Pada pasien psoriasis terjadi
peningkatan norepinefrin secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan adanya
korelasi positif antara keparahan psoriasis dengan kadar norepinefrin.
Simpulan: Faktor stresor psikologis berperan dalam psoriasis dan terdapat korelasi positif antara
keparahan psoriasis dengan norepinefrin..
Kata kunci : Psoriasis, stresor psikologis, norepinefrin.
ABSTRACT
Background: Psoriasis is a multifactorial skin diseases, one of the environmental risk factors of
the disease is psychological stressor. Up to now it has been no accurate data that reported about
relationship of psychological stressor in psoriasis their relationship neuro-endocrine system.

Aim: To explore the psychological stress in psoriasis patients and its relation with
norepinephrine as neuroendocrine marker in psoriasis.
Subject and method: This is a case-control study of psoriasis patients with conection of
psychological stressor. The diagnoses of psoriasis was based on clinical features and
histopathological finding. To determine the affect of psychological factors (life event) was
performed in-deep interview by using HolmesRahe Stress Scale test and examination of cortisol,
norepinephrine, and IFN- serum level.
Result: For 6-month study examined 58 samples consisting of 32 patients with psoriasis and 26
subjects without psoriasis as control. A total 12 out of 32 (37,5 %) patients with psoriasis is
associated with increased levels of psychological stress. In psoriasis patients were significantly
increased norepinephrine compared with non-psoriasis person, and a positive correlation
between severity of psoriasis with high levels of norepinephrine. This study indicate that
psychological factors play a role in psoriasis patients and positive correlation between severity
of psoriasis and norepinephrine level.
Keyword : Psoriasis, psychological stressor, norepinephrine.

Pendahuluan
Psoriasis adalah penyakit kulit dimana penyebabnya belum diketahui dan diduga
berhubungan dengan stres, infeksi, trauma endokrin dari akibat penyakit ini. Psoriasis adalah
salah satu penyebabnya stres dan diduga sebagai penyebab yang bersifat kronik residif dan
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar
berlapislapis transparan disertai fenomena tetesan lilin dan auspitz. Fenomena kobner
(isomorfik), tanda ini tidak khas hanya kira-kira 47% yang positif dan didapat pula pada penyakit
lain misalnya liken planus dan veruka plana juvenilis.1,2
Kecemasan adalah keadaan individu atau kelompok yang mengalami perasaan gelisah
(penilaian atau opini) dan aktivitas sistem saraf autonom dalam berespons terhadap ancaman
yang tidak jelas, non-spesifik. Kecemasan merupakan unsur kejiwaan yang menggambarkan
perasaan, keadaan emosional yang dimiliki seseorang pada saat menghadapi kenyataan atau
kejadian dalam hidupnya. Sedangkan gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya
fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta,

termasuk perubahan pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa
putus asa, tak berdaya dan gagasan bunuh diri.3
Pada penderita Psoriasis yang mendapat tekanan, akan menyebabkan stres psikologis,
frustasi dan kecemasan. Pada penderita Psoriasis kadang-kadang merasa nyeri, tidak nyaman,
keterbatasan gerak, gatal-gatal, kekeringan kulit, kulit mengelupas terutama yang terkena
kulitnya. Penyakit Psoriasis dapat mengganggu penderita Psoriasis dari segi penampilan fisik
secara psikologis yang dapat berdampak menurunkan hidup kualitas penderita. Penyakit ini tidak
menular,tidak menyebabkan kematian tapi dapat menyebabkan gangguan kosmetik karena
mempengaruhi penderita secara kejiwaan akibat perubahan kulit berupa sisik yang tebal.4
Dengan demikian, penulisan karya ilmiah ini bertujuan agar setiap pembacanya mampu
mengetahui hubungan antara keadaan depresi-cemas dengan kejadian penyakit psoriasis.
Metode penelitian yang digunakan pada karya ilmiah ini berpola pada cara pengumpulan
data dengan penelitian sekunder. Penelitian sekunder adalah pendekatan penelitian yang
menggunakan data yang sudah ada untuk dianalisis dan diinterpretasi sesuai tujuan peneliti. Data
yang sudah ada berupa hasil kajian sejarah atau data kepustakaan yang sudah ada.
Psoriasis
Epidemiologi
Kasus psoriasis makin sering dijumpai. Meskipun penyakit ini tidak menyebabkan
kematian,

tetapi

menyebabkan

gangguan

kosmetik,

terlebih-lebih

mengingat

bahwa

perjalanannya menahun dan residif. Insidens pada orang kulit putih lebih tinggi daripada
penduduk kulit bewarna. Di eropa dilaporkan sebanyak 3-7%, di Amerika Serikat 1-2%,
sedangkan di Jepang 0,6%. Pada bangsa berkulit hitam, misal nya di Afrika jarang dilaporkan,
demikian pula bangsa Indian di Amerika.
Insidens pada pria agak lebih banyak daripada wanita, psoriasis terdapat pada semua usia,
tapi umumnya pada orang dewasa.2
Gejala Klinis
Keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali pada psoriasis yang menjadi eritroderma.
Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada scalp, perbatasan daerah

tersebut dengan muka, ekstremitas, bagian ekstensor, terutama siku, serta lutut, dan daerah
lumbosacral.
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama
diatasnya. Eritema sirkumsrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan, sering eritema
yang ditengah menghilang dan hanya terdapat dipinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan
bewarna putih seperti mika, serta transparan. Besar kelainan bervariasi: lentikuler, nummular
atau plakat, dapat berkonfluensi. Jika seluruhnya atau sebagian besar lenticular disebut psoriasis
gutata, biasanya pada anak-anak dan dewasa muda dan terjadi setelah infeksi akut oleh
streptococcus.
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku, yakni sebanyak kira-kira 50%, yang
agak khas ialah yang disebut pitting nail atau nail pit berupa lekukanlekukan miliar. Kelainan
yang tak khas ialah kuku yang keruh, tebal, bagian distalnya terangkat karena terdapat lapisan
tanduk dibawahnya (hyperkeratosis subungual), dan onikolisis.
Di samping menimbulkan kelainan pada kulit dan kuku, penyakit ini dapat pula
menyebabkan kelainan pada sendi (artritis psoriatic), terdapat pada 10-15% pasien psoriasis.
Umumnya bersifat poliartikular, tempat predileksinya pada sendi interfalangs dital, terbanyak
terdapat pada usia 30-50 tahun. Sendi membesar, kemudian terjadi ankilosis dan lesi kistik
subkorteks.2
Macam-Macam Psoriasis
1. Psoriasis Gutata: ukuran 0,2-1 cm bentuk bulat atau sedikit lonjong simetris Predileksi
proksimal anggota tubuh di muka dan kulit kepala jarang terdapat. Sering terdapat pada
anak dan dewasa muda atau setelah infeksi akut streptokokus misal pada saluran nafas
bagian atas. Bila lesi terdapat di muka akan cepat hilang.
2. Psoriasis Plakat: bentuk yang paling sering ditemukan berupa lesi merah tertutup sisik
yang terus berganti dan dapat bertahan berbulanbulan atau tahun. Lesi kecil yang
bergabung dengan lainnya akan membentuk plakat yang pinggirnya menyerupai gambar
peta disebut: Psoriasis Geografika. Bila membentuk lingkaran dan bergabung satu dengan

yang lain menyerupai Gyrus disebut : Psoriasis Gyrata. Bila penyembuhan terdapat di
tengah lesi akan berbentuk linier. Predileksi : siku lutut skalp retroaurikular lumbal
3. Psoriasis Pustulosa: ditandai dengan eritema skuama pustul miliar berwarna putih atau
kekuningan. Ada dua pendapat mengenai psoriasis pustulosa, pertama dianggap sebagai
penyakit tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis. Terdapat dua bentuk
Psoriasis Pustulosa yaitu tipe Barber yang setempat (lokalisata) dan generalisata (tipe
Zumbusch). Pada psoriasis pustulosa tipe Barber terdapat pustul-pustul miliar yang steril
pada telapak tangan dan telapak kaki. Pada psoriasis pustulosa tipe Zumbusch terdapat
pustul pada lesi psoriasis dan kulit yang normal. Pustul bergerombol sirsinar yang disertai
demam, leukositosis dan dengan keadaan umum pasien tampak sakit yang kemudian akan
menjadi eritroderma.
Penyakit ini terjadi karena penghentian obat kortikosteroid sistemik dan perluasan
psoriasis itu sendiri. Pada penderita Psoriasis pada dasar kukunya terjadi penebalan dan
kehilangan kecerahan, di sebut Pitting Nail.
4. Psoriasis inversus (psoriasis fleksural): psoriasis tersebut mempunyai tempat predileksi
pada daerah fleksor sesuai dengan namanya.
5. Psoriasis eksudativa: bentuk tersebut sangat jarang, biasanya kelainan psoriasis kering,
tetapi padabentuk ini kelainannya membasah seperti dermatitis akut.
6. Eritrodermapsoriatik: eritroderma psoriatik dapat disebabkan oleh pengobatan topikal
yang terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas
untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama tebal menyeluruh.
Ada kalanya lesi psoriasis masih tampak samar-samar, yakni lebih eritematosa dan
kulitnya lebih meninggi.2
Faktor-Faktor Pencetus Psoriasis
1. Trauma kulit: garukan atau gesekan dan tekanan atau tahanan yang berulang-ulang pada
saat gatal digaruk terlalu berat atau penekanan anggota tubuh terlalu sering pada saat
beraktifitas. Bila psoriasis sudah muncul dan kemudian digaruk dikorek maka akan
menyebabkan kulit bertambah tebal.

2. Infeksi saluran pernafasan atas, yang kelihatannya dapat berupa, demam, nyeri menelan,
batuk dan beberapa infeksi lainnya, makanan berkalori sangat tinggi sehingga badan
terasa panas dan kulit menjadi merah, misalnya mengandung alkohol,
3. Stres yang tidak terkendali,
4. Infeksi fokal,
5. Obat anti hipertensi dan antibiotik,
6. Mengoleskan obat terlalu keras bagi kulit,
7. Endokrin: cahaya, gangguan metabolik, alkohol, merokok.2
Stress Psikologis
Stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa
sehari hari stres di kenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu untuk
melakukan penyesuaian.
Menurut Lazarus & Folkman, stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh
tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial
membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres
juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis. Stres juga diterangkan
sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan
situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan kepada
organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya.5
Menurut Lazarus & Folkman, stres memiliki memiliki tiga bentuk yaitu:
1. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres
atau disebut juga dengan stressor.
2. Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul
karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara
psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing, serta respon psikologis seperti: takut,
cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.
3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif
dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi.5

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu keadaan
yang menekan diri individu. Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan
respon yang saling terkait baik fisiologis, psikologis, maupun perilaku pada individu yang
mengalaminya, dimana mekanisme tersebut bersifat individual yang sifatnya berbeda antara
individu yang satu dengan individu yang lain.5
Penyebab Stress
Penyebab utama stress adalah ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Stress
adalah tuntutan, stress selalu menuntut dan menuntut saja. Stress awalnya di gunakan pemicu
untuk meningkatkan performa dalam hal apapun namun saat ini stress sudah berlebihan dan
merusak keseimbangan yang ada. Banyak sekali penyebab stress. Penyebab-penyebab stress
tersebut mengelilingi kita dan hadir dalam kehidupan sehari-hati kita. Stress yang berbahaya
adalah stress yang berlebihan.5
Berikut adalah beberapa penyebab stress yang dapat ditemukan dengan mudah:
1.

Gangguan kecemasan.
Orang awam biasanya mencampuradukan saja pengertian fear, phobia,dan anxienty.

Semu disebut takut saja, tetapi dalam psikiatri dan psikologi, kegiatan istilah mempunyai arti
masing-masing. Fear adalah rasa takut (keadaan emosi yang tidak menyenangkan), yang
ditimbulkan oleh suatu obyek yang jelas dan alesanya pun jelas, atau disebut juga takut yang
rasional. Rasa takut ini normal, ada pada setiap orang yang berakal sehat. Contohnya, takut
digigit ular di hutan, takut ketabrak mobil kalau menyabrang di jalan tol, takut pada dosen yang
galak atau takut pada mertua.
Anxiety atau cemas, adalah takut yang tidak jelas objeknya dan tidak jelas pula alasanya.
Pada orang normal sering terjadi rasa cemas yang normal. Sebagai contoh, seorang ibu yang
selalu cemas jika anak gadisnya keluar malam dengan teman-temannya. Dia khawatir akan
terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan pada anaknya. Apa yang di khawatirkanya, dia tidak
tau pasti. Mungkin sang ibu terlalu banyak membaca atau menonton TV tentang pemerkosaan.
Padahal selama ini anak gadisnya itu selalu pulang dengan selamat.
Kecemasan bisa berawal sejak masih usia kanak-kanak dan berkembang tahap demi
tahap. Misalnya, kecemasan yang timbul karena di masa kecil sering di kunci di kamar sendirian

sementara ibunya berbelanja. Di sisi lain kecemasan bisa juga terjadi setelah suatu peristiwa
yang menimbulkan trauma mental. Jenis kecemasan antara lain adalah kecemasan umum yang
terdapat pada perempuan dua kali lebih banyak daripada laki-laki. Jenis ini tidak focus pada
objek atau situasi tertentu, tidak spesifik atau mengambang. Orang yang bersangkutan dapat
mengatakan bahwa dia cemas, takut, tetapi tidak bisa menyebutkan apa yang dicemaskannya dan
mengapa dia cemas. Yang jelas dia tidak bisa mengontrol emosi takutnya dan reaksi takut pada
tubuhnya (otot-otot tegang, jantung berdebar,sakit kepala, tidak bisa tidur dan sebagainya).
Jenis yang lain adalah panik, yaitu perasaan teror yang intens, gemetar, bingung yang
muncul begitu saja. Rasa panik ini biasanya timbul karena suatu peristiwa yang menakutkan,
stres yang berkelanjutan. Reaksi fisik yang yang intens bisa terjadi selama sepuluh menit atau
kurang tetapi dampaknya bisa berjam-jam sesudahnya.

Berikutnya adalah fobia sosial. Orang yang bersangkutan merasa bahwa dirinya selalu
dinilai jelek oleh orang lain. Termasuk dalam golongan ini adalah demam panggung yaitu
orang yang takut untuk tampil di depan umum (berkeringat dingin dan gemetar setiap kali harus
membacakan laporan di depan rapat atau untuk menerangkan PR nya di depan kelas). Pada
remaja laki-laki banyak terjadi gejala malu-malu kucing yaitu takut untuk bergaul dengan
lawan jenis.
Selanjutnya adalah cemas menghadapi perpisahan. Banyak terjadi pada anak-anak yaitu
ketika anak itu harus berpisah dari orang yang selama ini memberinya perasaan aman dan
terlindungi misalnya ketika anak itu harus ditinggalkan sendirian di kelas pada waktu awal
masuk sekolah. Jika gejala ini terjadi pada anak khususnya jika tidak berlangsung lama maka
tidak termasuk gangguan mental. Jika hal ini terjadi pada orang dewasa aplagi berulang-ulang
terjadi maka perlu di bantu mengatasinya oleh psikiater atau psikolog klinis.
2.

Emosi yang berubah-ubah dari positif ke negative dan sebaliknya.


Gangguan mental ini adalah pergantian terus-menerus antara emosi sangat positif seperti

riang gembira, senang dan sebagainya dan emosi sangat negatif (depresif) seperti murung, sedih,
ingin menangis dan sebagainya.

3.

Fobia (rasa takut yang tidak beralasan)


Fobia berasal dari kata Yunani yang berarti takut. Takut dalam fobia adalah tidak

rasional, menetap dan sangat intens (ditandai dengan gejala fisik seperti sesak napas, keringat
dingin, bisa juga menjerit-jerit histeria dan sebagainya) yang ditunjukan kepada situasi, benda,
kegiatan atau orang tertentu. Sepanjang hal yang ditakuti tidak ada, maka orang tersebut biasabiasa (normal) saja. Fobia adalah takut yang irasional pada suatu objek atau situasi tertentu.
Artinya, objeknya memang jelas, tetapi alasanya tidak masuk akal atau tidak jelas. Misalnya,
takut gelap, takut pada kucing, takut kepada tempat ramai, takut pada tempat yang tertutup dan
sebagainya. Fobia tergolong gangguan mental.
Dengan perkataan lain penderita fobia masih bisa mengontrol ketakutannya dengan cara
menghindari objek yang ditakutinya tersebut, maka diagnosis yang lebih tepat adalah gangguan
kecemasan (anxiety disorder).
Sekarang para ahli menduga bahwa fobia disebsbkan oleh kombinasi antara faktor bakat,
keturunan dan pengalaman tertentu (biasanya pengalaman traumatis).
4.

Halusinasi auditif (Schizophrenia)


Suatu diagnosis gangguan mental yang di tandai oleh kelainan dalam persepsi atau

ekspresi dari realitas.Yang sering adalah halusinasi auditif (seakan-akan mendengar suara suara
atau ada yang mengajak bercakap-cakap) delusi paranoid (curiga). Faktor penyebab skizofrenia
belum jelas dan bisa karena keturunan atau ginetik juga karena gangguan syaraf.
5.

Dissociative Identity Disorder (DID)


DID atau yang lebih dikenal dengan istilah Split Personality atau Multiple Personality

(Kepribadian ganda), dulu dianggap sebagai salah satu jenis skizofrenia karena mengandung
suatu gejala dari gangguan mental itu yaitu pola pikir yang kacau. DID sudah digolongkan
sebagai jenis gangguan mental tersendiri.
Cirinya adalah adanya minimal dua identitas atau kepribadian yang berbeda yang
mengendalikan perilaku orang yang bersangkutan. Kepribadian itu mempersepsi, menilai, dan
bereaksi terhadap lingkungan dengan cara yang sangat berbeda dan ketika yang satu sedang
memegang kendali, kepribadian-kepribadian yang lain tidak tahu- menahu.5

Jenis-Jenis Stress
Jenis Stres
1.

Quick mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:

a.

Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif

(bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang
diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance
yang tinggi.
b.

Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan

destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi
seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang
diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.6
Gejala Klinis
Reaksi Fisik - Psikologis
1.

Reaksi fisik : sakit kepala, sakit lambung, darah tinggi, sakit jantung (jantung berdebar-

debar), mudah lelah, kurang selera makan, sering buang air kecil, keluar keringat dingin, sulit
tidur (insomnia).
Hans Selye telah melakukan riset terhadap 2 respon fisiologis tubuh terhadap stress: Local
Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation Syndrome (GAS).
a.

Local Adaptation Syndrom (LAS)


Tubuh menghasilkan banyak respons setempat terhadap stress. Respon setempat ini

termasuk pembekuan darah dan penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya, dll.
Responnya berjangka pendek.
Karakteristik dari LAS :
1) respon yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua system
2) respon bersifat adaptif; diperlukan stressor untuk menstimulasikannya.
3) respon bersifat jangka pendek dan tidak terus menerus.
4) respon bersifat restorative.

Respon LAS ini banyak kita temui dalam kehidupan kita sehari hari seperti yang diuraikan
dibawah ini :

Respon inflamasi
Respon ini distimulasi oleh adanya trauma dan infeksi. Respon ini memusatkan diri
hanya pada area tubuh yang trauma sehingga penyebaran inflamasi dapat dihambat dan
proses penyembuhan dapat berlangsung cepat. Respon inflamasi dibagi kedalam 3 fase:

Fase pertama : adanya perubahan sel dan system sirkulasi, dimulai dengan penyempitan
pembuluh darah ditempat cedera dan secara bersamaan teraktifasinya kini,histamin, sel
darah putih. Kinin berperan dalam memperbaiki permeabilitas kapiler sehingga protein,
leucosit dan cairan yang lain dapat masuk ketempat yang cedera tersebut.
Fase kedua : pelepasan eksudat. Eksudat adalah kombinasi cairan dan sel yang telah mati
dan bahan lain yang dihasilkan ditempat cedera.
Fase ketiga : Regenerasi jaringan dan terbentuknya jaringan parut.

Respon refleks nyeri


Respon ini merupakan respon adaptif yang bertujuan melindungi tubuh dari kerusakan
lebih lanjut. Misalnya mengangkat kaki ketika bersentuhan dengan benda tajam.

b. General Adaptation Syndrom (GAS)


GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres. Respon yang terlibat
didalamanya adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin. Di beberapa buku teks GAS sering
disamakan dengan Sistem Neuroendokrin. Ada 3 fase GAS yaitu :
1) Fase Alarm ( Waspada)
Melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk
menghadapi stressor. Reaksi psikologis fight or flight dan reaksi fisiologis.
Tanda fisik : curah jantung meningkat, peredaran darah cepat, darah di perifer dan
gastrointestinal mengalir ke kepala dan ekstremitas. Banyak organ tubuh
terpengaruh, gejala stress memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot dan daya
tahan tubuh menurun.

Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh seperti


pengaktifan hormon yang berakibat meningkatnya volume darah dan akhirnya
menyiapkan

individu

untuk

bereaksi.

Hormon

lainnya

dilepas

untuk

meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan untuk menyiapkan energi untuk
keperluan adaptasi, teraktifasinya epineprin dan norepineprin mengakibatkan
denyut jantung meningkat dan peningkatan aliran darah ke otot. Peningkatan
ambilan O2 dan meningkatnya kewaspadaan mental.
Aktifitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan respons
melawan atau menghindar . Respon ini bisa berlangsung dari menit sampai jam.
Bila stresor masih menetap maka individu akan masuk ke dalam fase resistensi.
2) Fase Resistance (Melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan
pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh berusaha menyeimbangkan
kondisi fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal dan tubuh mencoba
mengatasi faktor-faktor penyebab stress.
Bila

teratasi

gejala

stress

menurun

atau

normal

tubuh kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah, cardiac
out put. Individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stressor, jika ini berhasil
tubuh akan memperbaiki sel sel yang rusak. Bila gagal maka individu tersebut
akan jatuh pada tahapa terakhir dari GAS yaitu: Fase kehabisan tenaga.

3) Fase Exhaustion (Kelelahan)


Merupakan fase perpanjangan stress yang belum dapat tertanggulangi pada fase
sebelumnya. Energi penyesuaian terkuras. Timbul gejala penyesuaian diri
terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri
koroner, dll. Bila usaha melawan tidak dapat lagi diusahakan, maka kelelahan
dapat mengakibatkan kematian.

Tahap ini cadangan energi telah menipis atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu
lagi menghadapi stres. Ketidak mampuan tubuh untuk mepertahankan diri
terhadap stressor inilah yang akan berdampak pada kematian individu tersbut.
2.

Reaksi psikologis : gelisah, cemas, tidak dapat berkonsentrasi dalam pekejaan atau belajar,

sikap pesimis, hilang rasa humor, malas, sikap apatis, sering melamun, sering marah-marah
bersikap agresif baik secara verbal seperti berkata-kata kasar, suka menghina, mupun non verbal
seperti menendang-nendang, menempeleng, membanting pintu atau memecahkan barang-barang.
a. Kecemasan
Respon yang paling umum merupakan tanda bahaya yang menyatakan diri dengan suatu
penghayatan yang khas, yang sukar digambarkan adalah emosi yang tidak menyenangkan
istilah kuatir, tegang, prihatin, takutfisik antung berdebar, keluar keringat dingin,
mulut kering, tekanan darah tinggi dan susah tidur.
b. Kemarahan dan agresi
Yakni perasaan jengkel sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai
ancaman.
Merupakan reaksi umum lain terhadap situasi stress yang mungkin dapat menyebabkan
agresi, Agresi ialah kemarahan yang meluap-luap, dan orang melakukan serangan secara
kasar dengan jalan yang tidak wajar. Kadang-kadang disertai perilaku kegilaan, tindak
sadis dan usaha membunuh orang.
c. Depresi
Yaitu keadaan yang ditandai dengan hilangnya gairah dan semangat. Terkadang disertai
rasa sedih.6
Klasifikasi Stress
1. Stres Akut (Acute Stress) merupakan reaksi terhadap ancaman yang segera, umunya
dikenal dengan respon atas pertengkaran atau penerbangan (fight or flight). Suatu
ancaman dapat terjadi pada situasi apa pun yang pernah dialami bahkan secara tidak
disadari atau salah dianggap sebagai suatu bahaya. Penyebab-penyebab stres akut antara
lain:

kebisingan,

keramaian,

pengasingan,

lapar,

bahaya,

infeksi, dan

bayangan suatu ancaman atau ingatan atas suatu peristiwa berbahaya (mengerikan).
Pada banyak kejadian, suatu waktu ancaman akut telah dilalui, suatu respon menjadi
tidak aktif dan tingkat-tingkat hormon stres kembali normal, suatu kondisi yang disebut
respon relaksasi (relaxation response).

2. Stres Kronis (Chronic Stress). Kehidupan modern menciptakan situasi stres


berkesinambungan yang tidak berumur pendek. Penyebab-penyebab umum stres kronis
antara lain:

kerja dengan tekanan tinggi yang terus menerus,

problem-problem hubungan jangka panjang,

kesepian, dan

kekhawatiran finansial yang terus-menerus.6

Pembahasan
Hubungan Stress Dengan Kejadian Penyakit Psoriasis
Saat terjadi stress yang berlebihan, pusat emosi kita dalam otak, akan mengantarkan
pesan-pesan saraf (impuls) ke hipothalamus, yaitu suatu bagian dari pusat emosi kita yang
terletak dibagian dasar dan tengah otak besar. Kemudian, hipothalamus akan mengolah impuls
saraf tersebut, memproduksi dan melepaskan suatu zat yang disebut CRH (Corticothropin
Releasing Hormone) kepada bagian otak lain yang berada dibawahnya, hipofisis atau pituitari.
CRH selanjutnya akan merangsan hipofisis untuk melepaskan ACTH (Adrenocorticotropin
Hormone) ke dalam sirkulasi darah. ACTH yang membanjiri sirkulasi darah suatu saat akan
mencapai kelenjar adrenal yang berada di atas ginjal kanan dan kiri tubuh kita dan
memerintahkan kelenjar ini untuk memproduksi dan mengeluarkan zat yang sudah lama kita
kenal yaitu adrenalin, noradrenalin dan kortisol. Keseluruhan rantai sinyal di atas sering disebut
sebagai HPA aksis (Hipothalamus-Pituitary-Adrenal). Adrenalin dan noradrenalin inilah yang

bertindak sebagai komando dalam tubuh kita selanjutnya dalam memerintah kan berbagai
macam organ untuk merubah ritme dasar proses fisioligisnya menjadi lebih cepat dan kuat.7
Efek dari kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap berbagai hal dalam tubuh kita,
seperti sistem imun, organ-organ (jantung, sistem pencernaan), endokrin, sistem musculoskeletal
dan kulit. Kulit adalah organ sasaran terhadap reaktivitas stress, dan bila stress tersebut terjadi,
pembuluh darah akan mengalami konstriksi dan aliran darah perifer menurun. Beberapa kondisi
vasospastik, seperti psoriasis ini lah yang dapat disebabkan oleh stress akibat depresi dan cemas
yang berlebihan.7
Subyek dan Metode Penelitian
Untuk mengetahui peran stres sebagai faktor risiko pada psoriasis dan hubungannya
dengan kadar kortisol, norepinefrin sebagai biomarker neuroendokrin, digunakan rancangan
case-control study. Penelitian ini dilakukan oleh Made Wardhana dari FK Udayana, Bali pada
tahun 2012. Kasus adalah pasien psoriasis yang berobat ke Poliklinik Penyakit Kulit dan
Kelamin RS Sanglah Denpasar yang belum mendapat pengobatan, berumur 14-65 tahun.
Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dan pemeriksaan
histopatologis. Kontrol adalah subyek yang tidak menderita psoriasis.8
Subyek diikutsertakan dalam penelitian ini setelah diberi penjelasan dan menandatangani
informed consent. Pengukuran Psoriasis Area Severity Index (PASI) berdasarkan metode yang
digunakan oleh Sampogna banyak cara mengukur tingkat stres seseorang, namun yang paling
sederhana dengan akurasi tinggi adalah metode yang diperkenalkan oleh Thomas Holmes and
Richard Rahe dengan melakukan ekplorasi dengan wawancara mendalam terhadap kejadian
dalam hidup (life event) selama 3-6 bulan terakhir, dengan meggunakan skoring terhadap 43
pertanyaan peristiwa dalam hidup, misalnya kematian salah seorang pasangan mendapat skor
tertinggi 100, pelanggaran hukum ringan mendapatkan skor terkecil 11. Bila jumlah skor > 150
maka seseorang rentan terhadap stres. Semua subyek penelitian diambil darahnya dari vena cubiti
pada pagi hari untuk pemeriksaan kortisol, norepinefrin, dan IFN-.8
Data dianalisis dengan uji T untuk membandingkan nilai rerata, uji Chi square untuk
membandingkan proporsi dan analisis korelasi/regresi linier untuk mengetahui kekuatan
hubungan antar variabel.8

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Sampel
Dalam 6 bulan penelitian diperoleh 58 subyek yang terdiri atas 32 pasien psoriasis dan 26
tanpa psoriasis sebagai kontrol. Karateristik umum subyek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.8

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 32 pasien psoriasis, terdiri dari 18 orang laki-laki
(56,25%) dan 14 orang perempuan (43,75%). Kelompok usia yang terbanyak adalah 30-50
tahun, 17 orang (53,12 %). Lama sakit yang terbanyak adalah 6-12 bulan. Berdasarkan
keparahan penyakit didapatkan 10 orang (31,25%) pasien dengan psoriasis ringan (skor PASI <

10), 15 orang (46,88%) orang dengan psoriasis sedang (skor PASI 10-25) dan 7 orang (21,88%)
dengan psoriasis berat (skor PASI > 25).8
Stres Psikologis pada Psoriasis
Secara umum banyak konsep stres yang dikemukakan oleh para ahli, Selye dan Fortier
menyatakan bahwa stres adalah suatu respons nonspesifik tubuh terhadap setiap kebutuhan atau
stimuli, konsep tersebut lebih bernuansa biologis, karena perubahan temperatur, mekanik, stres
fisik termasuk dalam konsep ini.9 Stres dimaksud dapat berupa stres biologis, stres fisik, stres
mekanik, dan stres psikologis. Stimulus stress akan diterima di sistem limbik, susunan saraf
pusat sebagai stress perception, disini akan terjadi perubahan neurokimiawi dan gelombang otak
yang akan diteruskan ke hipotalamus yang akan mengawali terjadinya stress responses berupa
dilepaskannya hormon kortikotropin (corticotrpin realeasing hormone, CRH) melalui
paraventricular nucleus akan menstimuli kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan
adrenocorticotropin hormone (ACTH), sebagai hasil akhir hormon ini akan mengaktifkan
korteks adrenal untuk memproduksi kortisol. Seperti diketahui kortisol merupakan mediator
imunosupresan dan anti-inflamasi. Jalur ini disebut sumbu HPA. Dalam waktu yang sama
respons stres juga akan mengaktifkan sumbu simpatethetic-adreno medullary (sumbu SAM)
yang akan melepaskan norepinefrin dari medula adrenal. Kortisol dan norepinefrin sebagai
hormon stres utama akan menyebabkan terganggunya keseimbangan sel Th1 dan Th2 dengan
berbagai dampak klinisnya.10 Pada penelitian ini rentang skala stres berkisar antara 30165 pada
kelompok kasus, 12 pasien dari 32 (37,5%) dengan skala stres > 150, sedangkan pada kelompok
kontrol hanya 3 dari 26 orang (11,5%) dengan skala stres > 150. Dengan uji Chi square
didapatkan nilai p = 0.0124 (<0,05), perbedaan proporsi tersebut sangat bermakna, juga
dilakukan analisis beda rerata skala stres antara kasus dan kontrol, ternyata berbeda secara
signifikan. Dengan analisis 2 by 2 table maka didapatkan rasio Odds sebesar 4,6, yang berarti
stres psikologis, 4,6 kali berisiko terjadi psoriasis.8
Kadar Hormon Stres dan Interferon gamma pada Psoriasis.
Penelitian ini hasil pengukuran kadar kortisol padakasus (7,80 + 2,85 ug/dl) tampak lebih
rendah dibandingkan kontrol (8,12 + 2,33 ug/dl) namun tidak bermakna secara statistik. Kadar
norepinefrin pada kasus (4,90 + 2,17 ng/ml) meningkat secara bermakna dibanding kontrol (1,84

+ 0,81ng/ml), demikian juga kadar IFN- pada kasus (20,68 +8,39 pg/ml) lebih tinggi secara
bermakna dibanding control (9,68 + 6,94 pg/ml). Hal yang sama didapatkan oleh peneliti lain,
yaitu Schmid-Ott, pada psoriasis meningkatnya norepinefrin secara sangat bermakna pada
psoriasis, namun kadar kortisol tidak ada perbedaan yang bermakna antara psoriasis dan
kontrol.11 Buske-Kirschbaum terjadi peningkatan kadar norepinefrin dan IFN- secara bermakna
pada kasus, namun tidak ada perbedaan terhadap kadar kortisol. 12 Pada penelitian ini tampak
pada tabel 2.8

Tabel 2 menunjukkan kadar norepinefrin dan IFN- pada pasien psoriasis lebih tinggi
secara bermakna dibandingkan dengan kontrol, sedangkan kadar kortisol tidak ada perbedaan
yang bermakna.8 Norepinefrin selain sebagai neuropeptide juga sebagai hormon karena disintesis
dan dilepaskan dari kelenjar medula adrenal. Norepinefrin melalui reseptor beta adrenergik pada
makrofag dan sel Th1 dapat menstimuli sel Th1 mensintesis IFN- sitokin ini sangat penting
dalam patogenesis psoriasis. Pada keadaan fisiologis, adanya stresor menyebabkan peningkatan
norepinepfrin dan juga peningkatan dari kortisol. Kedua stres hormone ini akan menjaga
homeostatis tubuh dengan menjaga keseimbangan Th1/Th2 Dikatakan adanya reseptor
adrenergik di permukaan sel T helper sangat penting dalam meregulasi sel Th1/sel Th2, namun
kegagalan sumbu HPA dalam merespons stres sehingga terjadi penurunan sistesism kortisol.12-13

Korelasi skala stress dengan keparahan Psoriasis


Untuk mengetahui kekuatan hubungan antara skala stres dengan keparahan penyakit
(PASI), dilakukan analisis korelasi dan regresi yang digambarkan pada scatter plot (diagram
baur) dibawah ini. 8

Gambar 1. menunjukkan diagram baur hubungan skala stress antara dengan koefisien
korelasi (r) sebesar 0,681 yang berarti ada hubungan yang kuat. Hal tersebut menunjukkan
bahwa semakin tinggi tingkat stres akan memperberat penyakitnya.8
Hubungan antara skala stres dan norepinefrin juga dilakukan analisis korelasi dengan
gambar 2 diagram baur dibawah ini.8

Gambar 2. Korelasi antara indeks stres dan kadar norepinefrin8


Pada gambar 2 dengan jelas tampak adanya korelasi positif kuat antara skala stres dengan
kadar norepinefrin dengan r = 0.632, hal ini sudah diketahui bahwa stres psikologis akan
meningkatkan sintesis norepinefrin, yang kemudian menstimulasi pergeseran sel Th ke arah sel
Th1. Norepinefrin juga dapat meningkatkan produksi interleukin-12 (IL-12) yang akan
merangsang sel Th1 melalui reseptor beta-adrenergik di permukaannya untuk memproduksi IFN sebagai sitokin pro-inflamasi yang sangat berperan meningkatkan epidermal growth factor
(EGF) dan nerve growth factor (NGF) sebagai sitokin yang sangat berperan dalam proliferasi
keratinosit dan reaksi autoimun.14,15 Pada penelitian ini terjadi peningkatan kortisol, namun tidak
signifikan, beberapa penelitian lain malah terjadi penurunan kadar kortisol, sampai saat ini belum
ada informasi tentang hal tersebut, kemungkinan akibat gangguan reseptor glukokortikoid di
permukaan sel limfosit, hal ini perlu diteliti lebih lanjut. Seperti pada gambar 3 diagram baur di
bawah ini koefisien korelasinya (r) sebesar 0.132 yang berarti berkorelasi sangat lemah. Kita
ketahui peran kortisol sangat penting sebagai antiinflamasi dan imunosupresan.8

Gambar 3. Korelasi antara indeks stres dan kadar kortisol8


Hasil yang sama juga didapat dari penelitian Buske-Kirschbaum dan Zangeneh dkk.
bahwa kortisol pada psoriasis meningkat namun tidak bermakna. Beberapa penelitian lain
menemukan bahwa pada pasien psoriasis berbeda dengan dermatitis atopik, kortisol bahkan lebih
rendah secara bermakna, hal tersebut akibat menurunnya aktivitas sumbu HPA pada pasien
dengan penyakit atopik.14,15
Kesimpulan
Stres psikologis berperan pada psoriasis, sebesar 37,5% dengan skala stres yang tinggi,
dengan rasio Odds sebesar 4,6. Psoriasis merupakan penyakit kulit inflamasi kronis residif yang
bersifat multifaktorial, salah satu factor pencetusnya adalah stres psikologis. Adanya stresor
psikologis secara fisiologis akan direspons oleh sumbu SAM dengan norepinefrin sebagai salah
satu petanda dan sumbu HPA dengan biomarkernya adalah kortisol. Peran keseimbangan
norepinefrin dan kortisol sangat penting dalam menjaga keseimbangan peran Th1/Th2 dalam
upaya menjaga homeostasis tubuh. Adanya gangguan pada psoriasis dalam merespons stres,
peningkatan norepinefrin secara bermakna dan peningkatan yang tidak signifikan pada kortisol

menyebabkan kelebihan produksi dari IFN- sebagai sitokin pro-inflamasi yang memegang
peran penting patogenesis psoriasis. Pada penelitian ini juga diketahui bahwa skala stres
berkorelasi positif yang kuat terhadap keparahan (PASI) psoriasis. Masih banyak yang perlu
diteliti sehubungan peran stres dengan psoriasis atau dengan penyakit kulit yang lainnya

Daftar Pustaka
1. Andrews. Disease of the skin clinical dermatology. London: W.B.Saunders Company;
2006. h. 198-207.
2. Djuanda A, Hamzah M, Alsah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI; 2010. h. 189.
3. Kaplan, Sadock, Benjamin. Gangguan kecemasan dalam sinopsis psikiatri: ilmu
pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Jakarta: Bina Rupa Aksara; 2007. h. 1-15.
4. Assourence, M,N, Bellujali H, Albes. B, Marguery. M.C, Fouriwe,B Bazi, Psoriasis,
relastionships between junt and skin disease in 20 th world congres of Dermatology Paris,
2006.h.157.
5. Hawari D. Manajemen stress, cemas dan depresi. Jakarta : Badan Penerbit FK UI; 2008.
h. 20-5.
6. National Safety Council. Manajemen stress. Jakarta : Penerbit Buku Kedokeran EGC;
2006.h. 18-20
7. Tambayong J. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC; 2007. h. 11-5.
8. Wardhana M. Stres psikologis pada pasien psoriasis: suatu kajian psikoneuroimunologi.
Bali: Lab/SMF Penyakit Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana; 2012.
9. Holmes T, Rahe R. The social readjustment rating scale. J Psycho Res. 2006; 11(2): 2138.
10. Selye H, Fortier C. Adaptive reaction to stress. Psychosomatic Medicine. 2000; 12(3) :
149-57
11. Elencov IJ, Chrousos GP. Stress hormones, Th1/Th2 patterns, pro/anti-inflamatory
cytokines and susceptibility to disease. Trends Endocrinol Metab. 2005; 10(9): 359-68.
14.

12. Schmid-Ott G, Jacobs R, Jager B, Klages S, Wolf J, Werfel T, dkk. Stress-induce


endocrine and immunological changes in psoriasis patients and healthy controls; a
preliminary study. Psychother Psychsom. 2007; 67: 37-42.
13. Buske-Kirschbaum A, Ebrecht M, Hellhammer DH. Endocrine stress responses in Th1mediated chronic inflamatory skin disease (psoriasis vulgaris)do they parallel stressinduce endocrine changes in Th2-mediated inflamatory dermatoses (atopic dermatosis)?
Psychoneuroendocrinology.2006; 31(4): 439-46.
14. Raychaudhuri SP, Farber EM. Neuroimmunologic aspects of psoriasis. Cutis. 2000; 66:
357-62.
15. Abdallah MA, Abdel-Hamid MF, Kotb AM, Mabrouk EA. Serum interferon-gamma is a
psoriasis severity and prognostic marker. Cutis. 2009; 84(3): 163-8.

Anda mungkin juga menyukai