Anda di halaman 1dari 18

ANAK ANGKAT

AHMAD FADHIL NUR


14020101012
AS

1. Pengertian Anak Angkat


Anak angkat (bahasa Arab, tabanni) adalah seseorang mengambil
anak orang lain untuk dijadikan layaknya anak sendiri secara penuh
dalam berbagai aspek hukum, sosial, ekonomi dan kekerabatan yang
biasa dimiliki oleh anak kandung.
Menurut Soerjono Soekanto, mendefinisikan: Anak Angkat adalah
anak orang lain (dalam hubungan perkawinan yang sah menurut agama
dan adat)yang diangkat karena alasan tertentu dan dianggap sebagai
anak kandung.
Menurut Mahmud Syaltut seperti yang dikutip oleh Muderis Zaini,
bahwa: Tabanni/Anak Angkat ialah penyatuan seseorang terhadap anak
yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang lain ke dalam
keluarganya untuk diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan,
pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala
kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan


Anak Pasal 1 point (9) :Anak angkat adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan.

2. Sejarah Adopsi Dalam


Islam

Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat


anak orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung
sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si
anak anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga
dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti halnya anak
kandung lainnya.
Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersentuhan dengan kebiasaan ini. Beliau pernah mengangkat
seorang anak, yaitu Zaid bin Hritsah. Bahkan karenanya, kemudian Allah
Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa firman-Nya untuk meluruskan
keadaan. Mula kisah ini, berawal dari dialog antara Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, Zaid, dan Hritsah, bapak kandung Zaid.

Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban peperangan antar suku
yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh pihak "musuh". Waktu
itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi barang dagangan.
Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminn Khadjah binti
Khuwailid Radhiyallahu 'anhuma yang bernama Hakm bin Hazam bin
Khuwailid membelinya. Zaid pun berpindah-tangan ke Khadjah
Radhiyallahu 'anha sebagai hadiah. Yang kemudian pasca pernikahannya
dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh Khadijah, Zaid
diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hadiah.
Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, terasalah kebahagiaan menyelimuti kehidupan Zaid. Sampai
akhirnya, datanglah bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana
mencarinya. Begitu menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus
Zaid dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau tidak
menerima tebusan tersebut, justru menawarkan sebuah kemudahan. Yakni
dengan menawarkan kebebasan memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal
bersama beliau, atau pulang dan tinggal bersama keluarganya?

Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal bersama


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam merasa terharu dengan keputusan Zaid yang
mengesankan itu, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menggandeng tangan Zaid menuju Kabah dan berhenti di Hijir
Ismail sembari mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy:


"Wahai kaum Quraisy! saksikanlah bahwa dia Harits bin
Haritsahadalah anakku. Dia akan menerima warisanku dan aku
menerima warisannya. ". (riwayat ibnu umar yang tertulis pada
buku karangan Muhammad bin Ahmad Al-Anshari dalam Tafsir
Al-Qurtubi , hal 14/111).

Mendengar ungkapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tenteramlah


hati bapak dan paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan Zaid hidup bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejak saat itu, Zaid dikenal dengan sebutan
Zaid bin Muhammad, r6sampai turunnya surat al-Ahzb ayat 4-5 yang berbunyi:


Yang artinya: Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja.
Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)
(QS al-Ahzaab: 4).




Yang artinya: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah,
dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu Dan
tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang
ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Ahzaab: 5)

Dan untuk lebih memperjelas kedudukan Rasulullah saat itu Allah


SWT kemudian menurunkan surat Al-Ahzab ayat 40 yang
berbunyi:

Yang artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari


seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan
penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu (QS al-Ahzaab: 40)

3. Hukum Anak Angkat Dalam Islam


a. Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya.
seperti yang telah disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 5 yang
berarti: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka
(panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maulamaulamu...... Imam Ibnu Katsir berkata, (Ayat) ini (berisi) perintah
(Allah Taala) yang Menghapus dan melarang adanya anak angkat yang
dianggap sebagai anak yang hakiki dalam segala sisi. Maka (dalam ayat
ini) Allah Taala memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan
mereka kepada ayah mereka yang sebenarnya (ayah kandung), dan
inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah.

Selain firman Allah SWT, terdapat beberapa hadits dari Rasulullah


tentang hal ini yaitu sebagai berikut:





Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya
padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka
diharamkan baginya surga (HR. Bukhari)
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

,
,
Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya
atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya
laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti,
Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang
sunnah (HR Muslim, no. 3314 dan 3373)

b. Anak angkat tidak memiliki hak waris dari ayah angkatnya.


Allah SWT berfirman dalam Al-Quran:

Yang artinya: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu


sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada
orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu
berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)
Akan tetapi, anak angkat dapat menerima bagian harta dalam bentuk
wasiat seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran yaitu:


Yang artinya:Dan jika ada orang-orang yang kalian telah bersumpah
setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. (AnNisa: 33)

Pewasiatan ini didukung oleh Ibnu Jarir rahimahullahu yang mengutip


riwayat dari Said ibnul Musayyab rahimahullahu yang menyatakan,
Ayat ini (an-Nisa: 33) hanyalah turun terhadap orang-orang yang
dulunya menganggap anak pada selain anak kandung mereka dan
mereka memberikan warisan terhadap anak-anak angkat tersebut.
Maka Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat dalam perkara mereka.
Untuk anak-anak angkat, Allah Subhanahu wa Taala berikan bagian
dari harta (orangtua/ayah angkat mereka) dalam bentuk wasiat,
sementara warisan dikembalikan kepada yang berhak dari kalangan
dzawil arham dan ashabah. Allah Azza wa Jalla meniadakan adanya
hak waris dari orangtua angkat untuk anak angkat mereka, namun
Allah Azza wa Jalla tetapkan adanya bagian harta untuk anak angkat
tersebut dalam bentuk wasiat.

c. Anak angkat bukanlah mahram.


selayaknya orang lain, anak angkat bukanlah mahram bagi keluarga
yang mengangkat dia. Sehingga wajib hukumnya bagi orang tua
angkatnya dan anak kandung mereka untuk menggunakan hijab yang
menutupi aurat mereka. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh
Aisyah ra. Bahwa: Salim maula (bekas budak) Abu Hudzaifah ra.
Tinggal bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya dirumah mereka
(sebagai anak angkat), maka (ketika turunnya ayat yang menghapuskan
kebolehan mengadopsi anak) datanglah Sahlah bintu Suhail ra. Istri
Abu Hudzaifah kepada Rasulullah SAW dan dia berkata: sesungguhnya
Salim telah mencapai usia laki-laki dewasa dan telah paham
sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah biasa (keluar) masuk
rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku menduga
dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) akan hal
tersebut. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, susukanlah dia
agar engkau menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan yang
ada dalam diri Abu Hudzaifah (HR Muslim no.1453) (hadits yang
semakna juga terdapat dalam Shahih Al-Bukhari no.3778)

d. Diperbolehkannya ayah angkat menikahi mantan istri anak angkatnya.


Sebagaimana firman Allah SWT yaitu:







Yang artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang
Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi
nikmat kepadanya: Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada
Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah
yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mumin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak
angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya
(menceraikannya). Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi (QS alAhzaab: 37).

Menurut Syaikh Abdur Rahman as-Sadi berkata: Sebab


turunnya ayat ini adalah bahwa Allah Taala ingin menetapkan
ketentuan syariat yang umum bagi semua kaum mukminin, (yaitu)
bahwa anak-anak angkat hukumnya berbeda dengan anak-anak
yang sebenarnya (kandung) dari semua segi, dan bahwa (bekas)
istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat merekaDan
jika Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan
menjadikan suatu sebab bagi (terjadinya) hal tersebut.

e. Panggilan orang tua angkat bagi anak angkatnya.


Panggilan nak atau anak dalam artian menyetarakan kedudukan
antara anak kandung dan anak angkat merupakan suatu hal yang
diharamkan. Akan tetapi, jika pemanggilan itu digunakan dalam artian
untuk memuliakan dan menunjukkan rasa kasih sayang sesama umat
muslim hal ini tidaklah dilarang. Karena Rasulullah SAW melakukan
hal yang serupa sebagaimana disebutkan dalam hadits diantaranya:
- Dari Ibnu Abbas ra. Dia berkata: ketika malam (menginap) di
muzdalifah, kami anak-anak kecil keturunan Abu Muthtalib datang
kepada Rasulullah SAW (dengan menunggangi) keledai, lalu beliau
menepuk paha kami lalu bersabda: wahai anak-anak kecilku,
janganlah kalian melempar/menlontar jamrah aqabah (pada hari
tanggal 10 Dzulhijjah) sampai matahari terbit ( HR Abu Dawud,
Ibnu Majah dan Ahmad)
- Dari Anas bin Malik ra. Dia berkata: Rasulullah SAW pernah
berkata kepadanya: wahai anakku (HR Muslim)

Kedua hadits diatas diperkuat dengan adanya firman Allah SWT yang
memerintahkan kita untuk tolong menolong dalam rangka kebajikan
dan ketakwaan serta mengajak semua manusia untuk berbuat baik dan
menebarkan kasih sayang.
Firman Allah SWT :

Yang artinya: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)


kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran (Al-Maidah : 2)
Selain itu, dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:


Artinya: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam masalah kecintaan
dan kasih sayang serta pertolongan di antara mereka bagaikan satu
tubuh. Jika salah satu organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh
ikut panas dan tak dapat tidur (HR Ahmad dan Muslim)

SEKIAN
DAN
TERIMA KASIH
ATAS PERHATIANNYA

Anda mungkin juga menyukai