Anda di halaman 1dari 15

Di Susun Oleh:

Kelompok 9
NAMA : 1. KURNIAWATI
(14020101004)
2. SITI NURMUHIMAH
(14020101014)

FAKULTAS SYARIAH PRODI AHWALU AL- SYAKHSHIYYAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SULTAN QAIMUDDIN
KENDARI
2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat mempelancar penyelesaian makalah ini. Untuk
itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak


kekurangan di makalah ini baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada yang membacanya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................

A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................

A. Alat Bukti Persangkaan................................................................................................. 3


B. Alat Bukti Pengakuan ................................................................................................... 6

BAB III PENUTUP ...................................................................................................................

A. KESIMPULAN ............................................................................................................ 11
B. SARAN ........................................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum acara, khususnya Hukum Acara Perdata, tidak terlalu mendapat perhatian khusus
dari para sarjana hukum kita dibandingkan dengan bidang ilmu hukum lainnya dan tidak pula
mendapat tempat yang layak dalam lingkungan pendidikan ilmu hukum yang diselenggarakan di
Indonesia. Padahal bila dilihat sebenarnya Hukum Acara Perdata tidaklah kurang pentingnya
dengan hukum lainnya. Demi tegaknya hukum, khususnya Hukum Perdata materiil, maka
diperlukan Hukum Acara Perdata. Hukum Perdata materiil tidak mungkin berdiri sendiri lepas
dari Hukum Acara Perdata, sebaliknya Hukum Acara Perdata tidak mungkin berdiri sendiri
lepas dari pada Hukum Perdata materiil. Kedua-duanya saling memerlukan satu sama lain dan
memiliki keterkaitan dalam perannya menegakkan hukum di masyarakat.

Perkara perdata di pengadilan, sering terjadi permasalahan dan gugatan balik atau upaya
banding terhadap keputusan-keputusan yang dianggap kurang menguntungkan terhadap salah
satu pihak yang berperkara di pengadilan. Untuk itulah diperlukan alat-alat bukti yang kuat yang
dapat memperkuat putusan hakim dalam suatu perkara sehingga kebenaran perkara secara
materiil dapat dipertanggungjawabkan.

Dari keseluruhan tahap persidangan perkara perdata, maka pembuktian merupakan tahap
spesifik dan menentukan.1 Dikatakan spesifik, karena pada tahap pembuktian ini para pihak
diberi kesempatan untuk menunjukkan kebenaran terhadap fakta-fakta hukum yang menjadi titik
pokok sengketa. Sedangkan disebut sebagai tahap menentukan, dikarenakan hakim dalam
rangka proses mengadili dan memutus perkara tergantung terhadap pembuktian para pihak di
persidangan.

Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat penting
dan sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena
pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu
(past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan

1 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, (Jakarta :
Djambatan, 1999), h. 150.

1
dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolut (ultimate absoluth),
tetapi bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun
untuk mencari kebenaran yang demikian tetap menghadapi kesulitan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan alat bukti persangkaan dan alat bukti pengakuan dalam
hukum Acara Perdata?
2. Bagaimanakah penggunaan alat bukti persangkaan dan Pengakuan dalam Hukum Acara
Perdata d pengadilan?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. ALAT BUKTI PERSANGKAAN


1. Pengertian dan kualifikasi alat bukti persangkaan
Pada hakekatnya yang dimaksud dengan persangkaan tidak lain adalah alat bukti
yang bersifat tidak langsung. Misalnya saja pembuktian dari ketidak hadiran seseorang
pada suatu waktu di tempat tertentu, dengan membuktikan kehadirannya pada waktu
yang sama di tempat lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi
persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa
notoir sebagai persangkaan.
Terkait dengan pengertian alat bukti persangkaan akan dipaparkan terlebih dahulu
menurut undang-undang yang tercantum dalam pasal 1915 KUHPerdata Persangkaan
adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu
peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.2
Sedangkan secara teoretis menurut para ahli pengertian persangkaan adalah sebagai
berikut :
a. Menurut Prof. Subekti Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu
peristiwa yang telah terkenal atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa
yang tidak terkenal, dalam artian sebelum terbukti.3
b. Menurut Prof. Mr. A. Pitlo Persangkaan adalah jika dari fakta-fakta yang
diketahui disimpulkan ke arah mendekati kepastian tentang adanya suatu fikiran
yang sebelumnya tidak diketahui.4

Berdasarkan dari ketiga rumusan di atas dapat diketahui bahwa persangkaan


merupakan suatu bentuk konstruksi berpikir yang didasarkan bukti-bukti langsung untuk
disimpulkan kearah hal-hal atau peristiwa yang relevan. Dalam persangkaan alat-alat bukti
yang konkret merupakan tanda atau petunjuk untuk dijadikan sebagai batu loncatan pada

2 Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, (Jakarta: Internusa 1992). H. 590


3 Subekti dalam M. Yahya Harahap, SH, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2015. Hlm.
684
4 Prof. Mr. A. Pitlo, Pembuktian dan Daluarasa (alih bahasa M. Isa Arif, SH), Intermasa, Jakarta,
1986. Hlm. 123.

3
kesimpulan yang mendekati kepastian dengan dibantu oleh pengetahuan-pengetahuan yang
telah umum dipahami.
Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila terdapat kesukaran untuk
mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus
dibuktikan. Misalnya dalam gugatan perkara perceraian yang didasarkan pada perzinahan
sangat sulit sekali mendapatkan saksi yang telah melihat sendiri perbuatan tersebut. Maka
untuk membuktikan perbuatan perzinahan, hakim harus menggunakan alat bukti
persangkaan.
Persangkaan memanglah tidak memberikan kepastian akan kebenaran suatu
peristiwa secara 100% sebagaimana pada alat bukti yang lain, namun persangkaan akan
mendekatkan pada peristiwa yang secara yuridis dan rasional mendekati kepastian.
2. Persangkaan Menurut Undang-undang
Menurut Pasal 1916 KUH Perdata,5 persangkaan-persangkaan menurut undang-undang
ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang,
dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwaperistiwa tertentu.
Persangkaan-persangkaan semacam ini menurut Pasal 1916 KUH Perdata antara lain :
a. perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi
sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan
undang-undang.
b. hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan
utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu.
c. kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang
telah memperoleh kekuatan mutlak.
d. kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada
sumpah salah satu pihak.

Persangkaan menurut undang-undang ini dibagi menjadi dua, antara lain


praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan
adanya pembuktian lawan dan praesumptiones juris et de jure, yaitu persangkaan

5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R.
Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1916.

4
berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.6 Contoh persangkaan
menurut undang-undang yang memungkinkan pembuktian lawan. misalnya : Pasal 159,
633, 658, 662, 1394, dan 1439 KUH Perdata. Menurut Pasal 1921 ayat (1) KUH Perdata,7
persangkaan berdasarkan undang-undang ini membebaskan orang yang untung karenanya
dari segala pembuktian lebih lanjut. Tentang persangkaan menurut undang-undang yang
tidak memungkinkan pembuktian lawan diatur dalam Pasal 1921 ayat (2) KUH Perdata,
yaitu yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu,
misalnya : Pasal 184, 911, 1681 KUH Perdata.

3. Persangkaan Berdasarkan Keyakinan Hakim

Persangkaan ini diatur dalam Pasal 1922 KUH Perdata. Persangkaan hakim
sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, dengan kata lain kekuatan
pembuktiannya terserah kepada penilaian hakim yang bersangkutan, kekuatan bukti apa
yang akan diberikan kepada persangkaan hakim tertentu itu, apakah akan dianggap
sebagai alat bukti yang berkekuatan sempurna, atau sebagai bukti permulaan atau akan
tidak diberi kekuatan apapun juga.146 Berbeda dengan persangkaan menurut undang-
undang, maka di sini hakim bebas dalam menemukan persangkaan berdasarkan
kenyataan. Setiap peristiwa yang telah dibuktikan dalam persidangan dapat digunakan
sebagai persangkaan.8

Pengertian persangkaan hakim sesungguhnya amat luas. Segala peristiwa,


keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari pemeriksaan perkara tersebut,
kesemuanya itu dapat dijadikan bahan untuk menyusun persangkaan hakim.9 Pada
umumnya apabila hanya ada satu persangkaan saja, maka persangkaan tersebut tidaklah
dianggap cukup untuk menganggap dalil yang bersangkutan itu terbukti, dengan kata
lain persangkaan hakim itu baru merupakan bukti lengkap apabila saling berhubungan

6 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketujuh, (Yogyakarta : Liberty,
2006), H. 171
7 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R.
Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1921.
8 Sudikno Mertokusumo, op. cit., h. 173
9 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, Cet. 8, (Bandung : CV Mandar Maju, 1997), h. 78.

5
dengan persangkan-persangkaan hakim yang lain yang terdapat dalam perkara itu.10
Menurut Pitlo, sebagaimana dikutip juga oleh Sudikno Mertokusumo, pendapat ini
sudah tidak lagi dianut, sehingga satu peristiwa saja sudah dianggap cukup.
Misalnya saja, dalam perkara perdata pemeriksaan setempat dan pendapat ahli
sangat erat kaitannya dengan pembuktian. Secara formil keduanya tidak termasuk alat
bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR/284 RBg. Namun demikian,
keduanya memiliki fungsi yang penting apabila dari hasil pemeriksaan, hakim atau para
pihak berpendapat masih ada hal-hal yang belum jelas, dan satu-satunya cara yang
dianggap mampu menjelaskannya hanya berdasarkan pemeriksaan setempat atau
mendengar pendapat ahli. Dalam praktek, keduanya diposisikan sebagai pendukung alat
bukti yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim dan dapat dijadikan
bahan-bahan untuk menyusun persangkaan hakim.

B. ALAT BUKTI PENGAKUAN


Pengertian Pengakuan yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti
dijelaskab pada Pasal 174-176 HIR dan 1923 KUH Perdata adalah alat bukti berupa
pernyataan/keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses
pemeriksaan yang dilakukan dimuka hakim dalam persidangan, dimana pengakuan tersebut
berisi keterangan bahwa apa yang di dalilkan lawan benar sebagian atau seluruhnya. sama
seperti alat bukti persangkaan, bahwa pengakuan juga termasuk dalam Alat Bukti Tidak
Langsung (Indirect Evidence) karena alat bukti tersebut tidak diajukan secara fisik dalam
pemeriksaan persidangan karena bentunya memang tidak dapat dilihat secara fisik
melainkan hanya pernyataan/pengakuan dari para pihak yang berperkara atas dalil yang
telah diajukan.
Dalam Pasal 1925 KUH Perdata diatur tentang siapa saja yang berhak memberikan
pengakuan. Dimana dalam dalam hal ini pihak yang paling berwenang memberikan
pengakuan adalah Pihak Materiil (Principal) yaitu pihak yang berkedudukan sebagai
penggugat atau penggugat.hal ini adalah pengakuan yang paling baik karena yang mengaku
adalah pihak yang paling tahu kejadian/fakta materiil yang sebenarnya. Selain pihak

10 Tresna, Komentar Atas Reglemen Hukum Acara di Dalam Pemeriksaan di Muka Pengadilan
Negeri atau HIR, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1970), hal. 173.

6
materiil, pihak lain yang dapat melakukan pengakuan adalah Kuasa Hukum pihak yang
berperkara, namun pada hakekatnya pengakuan yang disampaikan adalah pengakuan dari
para pihak yang bersengketa, kuasa hukum hanya sebagai perantara untuk menyampaikan
pengakuan tersebut. Dalam menyapaikan pengakuan para pihak, kuasa hukum harus
mempunyai dasar landasan kewenangan untuk melakukan pengucapan pengakuan tersebut,
yaitu dengan Surat Kuasa Istimewa,atau Surat Kuasa Khusus.
Pengakuan (bekentenis confession) sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 174-176
HIR/311-313 RBg dan Pasal 1923-1928 KUH Perdata. Dalam hukum acara perdata dikenal
dua macam pengakuan, yaitu pengakuan yang dilakukan di depan sidang (di muka hakim)
dan pengakuan yang dilakukan di luar persidangan.
Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis) merupakan
keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu
pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari
suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang
mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.11 Pengakuan
merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan dari pihak lawan.
Dengan demikian, maka dengan adanya pengakuan maka sengketanya dianggap selesai,
sekalipun pengakuannya itu tidak sesuai dengan kebenaran, dan hakim tidak perlu meneliti
kebenaran pengakuan tersebut.
Mengenai pengakuan di muka hakim di depan persidangan haruslah diperhatikan
ketentuan dalam Pasal 1926 KUH Perdata12 yang menyebutkan bahwa pengakuan di muka
hakim di depan persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali kalau terbukti bahwa
pengakuan itu adalah akibat dari suatu kesesatan atau kekeliruan mengenai hal-hal yang
terjadi. Dengan alasan seolaholah orang yang melakukan pengakuan keliru tentang hal
hukumnya, suatu pengakuan tidak dapat ditarik kembali.
Berbeda dengan pengakuan di muka hakim di persidangan, pengakuan di luar sidang
ialah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar
persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan lawannya.13

11 Sudikno Mertokusumo, op. cit., h.173.


12 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R.
Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1926.
13 Sudikno Mertokusumo, op. cit., h.. 178.

7
Pengakuan di luar persidangan diatur dalam Pasal 175 HIR/312 RBg, Pasal 1927-1928 KUH
Perdata. Menurut Sudikno Mertokusumo, pengakuan di luar sidang ini dapat ditarik kembali.
Kedua macam pengakuan yang telah disebutkan di atas, satu sama lain berbeda nilai
pembuktiannya.14 Pasal 174 HIR/311 RBg dan Pasal 1925 KUH Perdata15 tidak menentukan
apa yang disebut pengakuan di muka hakim di persidangan, akan tetapi hanya menentukan
bahwa pengakuan merupakan bukti sempurna terhadap yang melakukannya, baik secara
pribadi maupun diwakilkan secara khusus. Dalam hal ini pengakuan bukan hanya sekedar
merupakan alat bukti yang sempurna saja, tetapi juga merupakan alat bukti yang bersifat
menentukan, yang tidak memungkinkan pembuktian lawan (Pasal 1916 ayat (2) nomor 4
KUH Perdata). Sebaliknya dalam Pasal 175 HIR/312 RBg16 diatur perihal pengakuan yang
dilakukan di luar sidang, dimana ditentukan bahwa diserahkan kepada pertimbangan dan
awasan hakim akan menentukan kekuatan mana akan diberikannya kepada suatu pengakuan
dengan lisan yang diperbuat di luar hukum. Dengan demikian penilaian terhadap kekuatan
pembuktian pengakuan di luar sidang merupakan bukti bebas.

Terhadap alat bukti pengakuan ini berlaku apa yang disebut onsplitsbare aveu, yang
artinya bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan. Pasal 176 HIR/313 RBg
menyebutkan bahwa:
Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas akan
menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku
itu, kecuali orang yang berutang itu dengan maksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan
perkara yang terbukti yang kenyataan dusta.17
Selanjutnya Pasal 1924 KUH Perdata pada pokoknya juga mengatur ketentuan yang
sama, dijelaskan bahwa :
Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang
melakukannya. Namun hakim adalah leluasa untuk memisah-misah pengakuan itu manakala

14 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, Cet. 8, (Bandung : CV Mandar Maju, 1997), h. 80
15 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R.
Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1925.
16 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura S. 1927 No.27 (RBg),
diterjemahkan oleh Ropaun Rambe, op. cit.,, Pasal 312.
17 Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi,
op. cit., Pasal 176.

8
si berutang didalam melakukannya, guna membebaskan dirinya, telah memajukan peristiwa-
peristiwa yang ternyata palsu.18
Ketidak bolehan undang-undang untuk melarang melakukan pemisahan antara
bagian keterangan yang berisi pengakuan dan keterangan yang berisi keterangan bersyarat
dan keterangan tambahan yang berisi sangkalan atas gugatan. Dengan demikian,
keseluruhan pengakuan dan bantahan harus diterima secara keseluruhan, dilarang hanya
menerima syarat atau sangkalan atau dilarang hanya menerima syarat atau sangkalan dan
menolak bagian yang diakui.
Larangan untuk memisah misahkan pengakuan bagi hakim terhadap pengakuan
dengan kualifikasi maupun dengan klausa, dimaksudkan agar tidak memberatkan salah satu
pihak yang mengakui akibat pemisahan pengakuannya. Larangan untuk memisahkan
pengakuan juga dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan penerapan pembebanan wajib
bukti kepada para pihak yang berperkara.
Dari dua ketentuan tersebut jelas bahwa suatu pengakuan harus diterima bulat.
Hakim tidak boleh memisah-misah atau memecah-mecah pengakuan itu dan menerima
sebagian dari pengakuan sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dan menolak sebagian lainnya
yang masih perlu dibuktikan lebih lanjut.

Menurut Abdul Kadir Muhammad, ada dua cara untuk menyelesaikan pengakuan
dengan keterangan tambahan, yaitu:
1. Penggugat menolak sama sekali pengakuan tergugat dengan keterangan tambahannya itu
dan memberikan pembuktian sendiri. Jadi pengakuan tergugat dipandang sebagai
penyangkalan. Dengan demikian pembuktian dibebankan kepada termohon sesuai engan
pasal 163 HIR dan pasal 283 R.Bg.
2. Penggugat dapat menerima pengakuan tambahan tergugat dan memberikan pembuktian
bahwa keterangan tambahan itu tidak benar. Jika penggugat berhasil membuktikannya, ia
dapat meminta Hakim supaya memisahkan pengakuan tergugat dari keterangan
tambahannya yang terbukti tidak benar itu. Dengan pemisahan itu, pengakuan tergugat
menjadi pengakuan murni dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Sedangkan keterangan tambahan yang telah dibuktikan oleh penggugat, tergugat harus

18 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R.
Tjitrosudibio, op. cit., Pasal 1924.

9
membuktikannya. Jika tergugat berhasil membuktikannya, gugatan penggugat dikabulkan
sesuai dengan pengakuan tergugat. Tetapi jika tergugat tidak berhasil membuktikan
keterangan tambahannya itu, maka seluruh permohonan pemohon dikabulkan.

10
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Persangkaan merupakan suatu bentuk konstruksi berpikir yang didasarkan bukti-bukti
langsung untuk disimpulkan kearah hal-hal atau peristiwa yang relevan. Dalam
persangkaan alat-alat bukti yang konkret merupakan tanda atau petunjuk untuk dijadikan
sebagai batu loncatan pada kesimpulan yang mendekati kepastian dengan dibantu oleh
pengetahuan-pengetahuan yang telah umum dipahami. Pembuktian dengan persangkaan
dilakukan bila terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau
mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Misalnya dalam gugatan perkara
perceraian yang didasarkan pada perzinahan sangat sulit sekali mendapatkan saksi yang
telah melihat sendiri perbuatan tersebut. Maka untuk membuktikan perbuatan perzinahan,
hakim harus menggunakan alat bukti persangkaan.
2. Alat bukti pengakuan yang diberikan di luar persidangan hanya dapat diberikan dengan
cara lisan, namun dalam praktek juga dikenal suatu pengakuan di luar persidangan yang
dilakukan secara tertulis. Suatu pengakuan lisan yang diberikan di luar persidangan tidak
dapat dipakai, selain dalam hal-hal dimana diizinkan pembuktian dengan saksi-saksi
sedangkan pengakuan yang diberikan di luar persidangan dengan cara tertulis dapat
bernilai sebagai alat bukti tertulis, apabila pengakuan ditandatangani pihak yang
membuat pengakuan. Kekuatan pembuktian pengakuan lisan dan tertulis yang diberikan
di luar persidangan sepenuhnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Hal ini berarti
bahwa kekuatan pembuktian yang melekat pada pengakuan lisan dan tertulis yang
diberikan di luar persidangan itu tidak mempunyai nilai kekuatan yang mengikat tetapi
hanya mempunyai kekuatan pembuktian bebas.
B. SARAN
Demikianlah makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran
dan kritik yang ingin disampaikan, silahkanlah sampaikan kepada penulis, agar kedepannya
penulisan makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.
Apabila ada terdapat kesalahan kata dan penafsiran, mohon dimaafkan dan
memakluminya, karena penulis hanyalah hamba Allah SWT yang tak luput dari salah,
khilaf, alfa dan lupa

11
DAFTAR PUSTAKA

Engelbrecht. 1992. Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI. Jakarta :


Internusa.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
2008.Diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta : Pradnya Paramita.
Mulyadi, Lilik. 2002. Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik
Peradilan Indonesia. Cet. Kedua (Edisi Revisi). Jakarta : Djambatan.
M. Yahya Harahap, SH, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.
Prof. Mr. A. Pitlo, Pembuktian dan Daluarasa (alih bahasa M. Isa Arif, SH),
Intermasa, Jakarta, 1986
Mertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Cet. Pertama.
Edisi Keenam. Yogyakarta : Liberty.
Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(RBg/Rechtsreglement voor de Buitengewesten). Staatsblad 1927 No. 27. Diterjemahkan
oleh Ropaun Rambe. 2003. Hukum Acara Perdata Lengkap. Cet. Kedua. Jakarta : Sinar
Grafika.
Sutantio, Retnowulan. dan Iskandar Oeripkartawinata. 1997. Hukum Acara
Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung : CV Mandar Maju.
Tresna. 1970. Komentar Atas Reglemen Hukum Acara di Dalam Pemeriksaan di
Muka Pengadilan Negeri atau HIR. Jakarta : Pradnya Paramita.

12

Anda mungkin juga menyukai