Beranda
Tokoh islam
Dzikir
Sholawat
Waliyullah
Suf
Tarekat
Adab ilmu
Kisah hikmah
Download
Home dzikir tarekat Silsilah ( sanad ) Talqin Dzikir Kaum Suf ( Tarekat )
21.9.13
Silsilah ( sanad ) Talqin Dzikir Kaum Suf ( Tarekat )
Syeikh Abdul Wahab Asy-Syarani
Adapun penjelasan tentang sanad (silsilah) kaum suf dalam mendikte dan
membimbing secara lisan
(talqin) kalimat Tauhid: La Ilaha IllaLlahu (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah)
kepada para murid (para pemula yang ingin mencari tarekat) adalah sebagaimana
yang diriwayatkan berikut ini: Bahwa Rasulullah Saw. pernah mendikte dan
membimbing para Sahabatnya secara lisan akan kalimat Tauhid, La Ilaha IllaLlahu
(Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah) secara berjamaah dan individu. Dimana
silsilah sanad mereka bersambung dan masing-masing kepada jamaah kaum yang
dibimbing.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, ath-Thabrani dan lain-lain dengan sanad
yang baik (hasan),
dari Sadad bin Aus dan dibenarkan oleh Ubadah bin Shamit, yang menceritakan:
Suatu hari kami pernah berkumpul bersama Rasulullah Saw, lalu beliau bertanya,
Apakah diantara kalian terda pat orang luar (gharib) [yakni, ahlul-kitab]?. Lalu
kami (para Sahabat) menjawab, Tidak, wahai Rasulullah! Kemudian Rasulullah
memerintahkan untuk menutup pintu dan berkata, Angkatlah tangan kalian dan
ucapkan: La Ilaaha Illallah (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah). Sadad bin
Aus berkata: Kemudian kami mengangkat tangan kami sesaat dan mengucapkan
kalimat, La Ilaha IllaLlahu (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah). Lalu
Rasulullah meletakkan tangannya sembari berdoa:
Segala puji hanya milik Allah, ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengutusku
dengan membawa Kalimat ini, Engkau memerintahku dengan Kalimat ini, Engkau
telah menjanjikanku surga atas Kalimat ini, dan sesungguhnya Engkau tidak akan
mengingkari janji.
Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada para Sahabat, Apakah kalian tidak
senang, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian ?
Ini adalah dalil bagi para guru tarekat dalam men-talqin dzikir kepada para jamaah
secara bersamaan. Adapun dalil mereka dalam men-talqin dzikir secara sendirisendiri, maka saya tidak mendapatkannya dalam kitab-kitab para ahli hadis yang
sempat saya telaah, akan tetapi Tuan Guru Yusuf al-Ajami, seorang guru silsilah
telah meriwayatkan dalam risalahnya dengan sanad yang mutashil (sambung)
sampai kepada Ali bin Abu Thalib r.a. yang mengatakan: Aku pernah meminta
kepada Rasulullah Saw, Tunjukkan aku jalan (cara) yang lebih dekat kepada Allah
Azza wa-Jalla dan paling mudah untuk dilakukan oleh para hamba serta paling
utama di sisi Allah Swt. Maka Rasulullah Saw. berkata, Wahai Ali, engkau harus
melanggengkan dzikir kepada Allah Azza wa-Jalla, baik secara sirri (rahasia) atau
keras (terang-terangan). Lalu aku menyahut, Semua orang bisa berdzikir, wahai
Rasulullah! Akan tetapi yang kuinginkan adalah engkau mau mengkhususkan
sesuatu untukku. Maka Rasulullah Saw bersabda:
Jangan, wahai Ali, sebaik-baik apa yang aku dan para nabi terdahulu ucapkan
adalah kalimat, La Ilaha IllaLlah. Dan andaikan tujuh langit dan tujuh bumi berada
pada piringan neraca [yang satu] sedangkan kalimat La Ilaha IllaLlah berada di
piringan neraca [yang lain], tentu kalimat La Ilaha IllaLlah akan tetap mengungguli
(lebih berat).
Untuk menguatkan Hadis ini adalah Hadis yang diriwayatkan Ibnu Hibban, al-Hakim
dan lain-lain dengan Hadis Maifu (sampai kepada Rasulullah Saw): Bahwa Musa a.s.
pernah berkata kepada Tuhannya, Ya Tuhan, ajari aku sesuatu, yang dengan
sesuatu itu aku bisa mengingat-Mu dan berdoa kepada-Mu. Kemudian Allah
menjawab, Wahai Musa, ucapkan, La Ilaha IllaLlah (Tiada Tuhan selain Allah).
Lalu Musa berkata, Wahai Tuhan, seluruh hamba-Mu telah mengucapkan kalimat
ini, Allah menjawabnya, Ucapkan, La Ilaha IllaLlah (Tiada Tuhan selain Allah).
Musa balik berkata, Ya Tuhanku, aku ingin sesuatu yang Engkau khususkan
untukku. Allah menjawab, Wahai Musa, andaikan tujuh langit dan tujuh bumi
berada pada piringan neraca [yang satu] sedangkan kalimat La Ilaha IllaLlah
berada di piringan neraca [yang lain], tentu kalimat La Ilaha IllaLlah akan miring
(lebih berat).
Hadis ini adalah sebanding dengan apa yang ditanyakan Ali r.a. kepada Rasulullah
Saw. Dan dalam Hadis lain diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata
kepada Ali r.a., Wahai Ali, Kiamat tidak akan segera terjadi sementara di muka
bumi ini masih ada orang yang mengucapkan, Allah.
Tuan Guru Yusuf al-Ajami mengatakan: Kemudian Ali r.a. meminta kepada Rasulullah
Saw. untuk membimbing dzikir secara lisan (talqin) sembari berkata: Bagaimana
aku berdzikir? Maka Rasulullah Saw. berkata, Pejamkan kedua matamu dan
dengarkan dariku tiga kali, kemudian kamu ucapkan, La Ilaha IllaLlah (Tidak ada
Tuhan selain Allah) tiga kali, sementara aku mendengarkanmu. Kemudian
Rasulullah Saw. mengucapkan: La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah)
sebanyak tiga kali dengan memejamkan kedua matanya dan mengeraskan
suaranya, sementara Ali mendengarkannya. Lalu Ali r.a. menirukannya dengan
mengucapkan La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah) sebanyak tiga kali
dengan memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sementara Nabi
Saw. mendengarkannya.
Saya tidak menemukan dalil dan landasan tentang cara yang diajarkan Rasulullah
Saw. kepadaAli r.a. ini. Sementara hanya Allah yang Mahatahu.
Dari sini sebagian dari para ahli hadis mengingkari bahwa Hasan al-Bashri pernah
mendapatkan bimbingan secara lisan tentang dzikir kalimat (Tidak ada Tuhan selain
Allah dari Ali r.a., karena sangat langkanya dan sedikitnya argumentasi untuk
menguatkan akan hal itu secara masyhur. Bahkan sebagian dari mereka juga
mengingkari bahwa Hasan al-Bashri sempat berkumpul dengan Ali bin Abu Thalib
r.a., apalagi tentang kesempatan mendapatkan bimbingan tarekat dari Ali r.a. Tapi
yang benar, ia sempat berkumpul dengan Ali r.a. dan ia sempat mendapatkan
bimbingan secara lisan tentang dzikir La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah)
dari Ali r.a. dan Ali pun sempat memakaikan serpihan kain (khirqah) kepada alHasan.
Dalam riwayat lain dari Hasan al-Bashri yang mengatakan: Aku pernah
mendengarAli r.a. di Madinah, dimana ia mendengar suara, lalu ia bertanya: Apa
gerangan ini? Orang-orang menjawab, Utsman bin Affan terbunuh!! Lalu ia
berkata: YaAllah, sesungguhnya aku bersaksi kepada-Mu, bahwa aku tidak rela dan
tidak peduli [siapa pun pembunuhnya].
Dalam Musnad Ibnu Musdi, dari Hasan al-Bashri yang berkata: Aku pernah berjabat
tangan dengan Ali bin Abu Thalib r.a.
Maka bisa diketahui, bahwa sanad talqin (bimbingan dzikir secara lisan) dan
mengenakan serpihan kain (khirqah) yang berlaku di kalangan ulama salaf antara
satu dengan yang lain tidak terdapat sanad yang tetap sesuai dengan cara yang
ditempuh para ahli hadis, karena mereka telah berprasangka baik terhadap
generasi pendahulunya. Sampai pada akhirnya muncul al-Hafzh Ibnu Hajar dan alHafzh Jalaluddin as-Suyuthi serta orang-orang yang sependapat dengan mereka.
Kemudian mereka menyatakan benar dan sahih, bahwa Hasan al-Bashri pernah
mendengar Ali r.a. Mereka juga menjadikan sanadnya bersambung (mutashil)
sampai kepada al-Bashri. Maka anda jangan heran dan merasa aneh, wahai
saudaraku, bila sebagian para ahli hadis menyatakan Mauquf (berhenti) tentang
persambungan sanad mengenakan serpihan kain dan bimbingan dzikir secara lisan,
karena memang hal itu tidak bisa dilakukan, dimana sebagian besar kaum suf
merasa kesulitan untuk mengeluarkan (takhrij) dan kitab-kitab para ahli hadis.
Semoga Allah Swt. senantiasa memberi rahmat kepada Ibnu Hajar dan Jalaluddin
as-Suyuthi yang telah menjelaskan tentang persambungan sanad masalah tersebut.
Insya Allah hal mi bakal kamijelaskan lebih lanjut ketika kami membicarakan
teiitang sanad mengenakan serpihan kain, dimana Syekh Muhyiddin Ibnu al-Arabi
tidak pernah melihat persambungan sanad mengenakan serpihan kain melalui cara
menukil (mengalihkan kepada orang lain) secara lahiriah. Kemudian ia
mengambilnya melalui Nabi Khidhir a.s. ketika ia sedang berkumpul dengannya,
sampai akhirnya dijadikan sebagai rujukan dalam sanad. Dan segala puji hanya
milik Allah.
Bila sekarang anda telah tahu akan kebenaran dan kesahihan sanad kaum suf dan
sambungnya sanad taiqin dan Nabi Saw. kepada Ali bin Abu Thalib r.a., maka Au r.a.
juga mentaiqin Hasan al-Bashri, kemudian Hasan al-Bashri men-talqin Habib alAjami, dan Habib al-Ajami men-talqin Dawud ath-Thai, kemudian Dawud ath-Thai
men-talqin Maruf al-Karkhi, kemudian Maruf al-Karkhi men-talqin Sari as-Saqathi,
kemudian Sari as-Saqathi men-talqin Abu al-Qasim al-Junaid, kemudian al-Junaid
men-talqin al-Qadhi Ruwaim, kemudian Ruwaim men-talqin Muhammad bin Khaff
asy-Syirazi, kemudian Ibnu Khaff men-talqin Abu al-Abbas an-Nahawandi, kemudian
an-Nahawandi men-taiqin Syekh Faraj az-Zanjani, kemudian az-Zanjani men-talqin
Syekh Syihabuddin as-Suhrawardi, kemudian Syekh Syihabuddin men-talqin Syekh
Najibuddin Burghusy asy-Syirazi, kemudian Ibnu Burghusy men-talqin Syekh
Abdush-Shamad an-Nathtani, kemudian Syekh Abdush-Shamad men-talqin Syekh
Hasan asy-Syamsiri, kemudian asy-Syamsiri men-talqin Syekh Najmuddin, kemudian
Syekh Najmuddin men-talqin Syekh Mahmud al-Ashfahani, kemudian Syekh
Mahmud men-talqin Syekh Yusuf al-Ajami al-Kurani, kemudian Syekh Yusuf mentalqin Syekh Hasan at-Tustari yang dimakamkan di dekat jembatan al-Muski Mesir
al-Mahrusah, kemudian Syekh Hasan men-talqin Syekh Ahmad bin Sulaiman azZahid, kemudian az-Zahid men-talqin Syekh Madyan, kemudian Syekh Madyan mentalqin Syekh Muhammad, putra dan saudara perempuan Madyan, Tuan Guru
Muhammad men-taiqin Syekh Muhammad as-Surawi dan Syekh Ali al-Murshif.
Kedua Tuan Guru tersebut yang membimbing kami bertobat dan men-talqin hamba
yang selalu membutuhkan pertolongan Allah ini Abdul-Wahab bin Ahmad asySyarani, penulis risalah ini.
Kemudian saya juga pernah mendapatkan bimbingan dzikir secara lisan (talqin) dari
Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi, seorang murid dan kedua guru saya yang
terakhir tersebut, dimana beliau membimbing saya dalam bertobat dan memberi
izin saya untuk men-talqin dzikir dan mendidik para murid suf, untuk meniru dan
mencari berkah terhadap tarekat kaum suf.
Sayajuga memiliki jalur tarekat lain yang sanadnya lebih dekat dan kedua sanad di
atas, dimana saya pernah mendapatkan bimbingan secara lisan dari Syekh Islam
Zakaria al-Anshani, dimana ia mendapatkan bimbingan dari Tuan Guru Muhammad
al-Ghamari, murid dari Tuan Guru Ahmad az-Zahid, teman dari Syekh Madyan.
Sehingga silsilah antara saya dengan Syekh az-Zahid hanya ada dua orang. Darij
alur ini saya sejajar dengan Tuan Guru Muhammad as-Surawi, guru dari Syekh
Muhammad asy-Syanawi. Akan tetapi dan jalur ini tidak ada yang mengizinkan saya
untuk men-talqin dan mendidik para murid suf, selain Tuan Guru Muhammad asySyanawi.
Saya juga merniliki jalur tarekat lain, selain jalur-jalur di atas, dimana antara saya
dengan Rasulullah Saw. hanya terdapat dua orang silsilah. Jalur ini saya dapatkan
bimbingan dari Tuan Guru Ali al-Khawwash, dimana dia pernah mendapatkan
bimbingan dari Tuan Guru Ibrahim al-Matbuli yang langsung mendapatkan
bimbingan dari Rasulullah Saw. secara sadar dengan lisan dan dengan cara yang
sudah dikenal di kalangan kaum suf di alam ruhaniah. Kemudian Tuan Guru Ali alKhawwash sebelum wafat juga mendapatkan bimbingan langung dari Rasulullah
Saw. tanpa perantaraan silsilah orang lain, sebagaimana yang pernah didapatkan
oleh gurunya, Syekh Ibrahim al-Matbuli. Dengan demikian antara saya dengan
Rasulullah Saw. hanya ada satu orang silsilah. Jalur tarekat ini hanya saya sendiri
yang bisa mendapatkan di Mesir sampai saat ini. Sebagaimana yang saya jelaskan
dalam Kitab al-Minan wal-Akhlaq dan dalam Kitab al-Uhud al-Muhammadiyyah. Dan
hanya Allah yang Mahatahu.
Jika aku mati, maka siapa yang akan bingung setiap malamnya setelahku, Kemudian
dia berkata kepadaku: Sudah menjadi tradisi para guru tarekat suf, setelah mereka
men-talqin muridnya akan menyebutkan sanad (silsilah) talqin yang mereka
dapatkan dari guru sebelumnya, dan menyebutkan sanad mengenakan serpihan
kain (khirqah) kepada sang murid sebelum sang guru mengenakan serpihan kain
tersebut kepada sang murid. Dia juga memberi tahu saya, bahwa di NegaraYaman
sana terdapat jamaah yang memiliki sanad talqin bacaan shalawat kepada
Rasulullah Saw. Mereka membimbing bacaan shalawat kepada sang murid,
sehingga mereka sibuk untuk memperbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad
Saw. Sang murid akan terus memperbanyak shalawat kepada Nabi, sampai akhirnya
ia bisa bertemu dengan Rasulullah Saw. secara sadar dan berbicara secara lisan. Ia
bisa bertanya kepada Nabi tentang beberapa kejadian sebagaimana seorang murid
yang bertanya kepada gurunya. Tingkatan spiritual sang murid ini ternyata naik
begitu cepat dalam waktu hanya beberapa hari, sehingga ia tidak butuh lagi
bimbingan dari para guru suf, karena langsung dibimbing oleh Rasulullah Saw.
sendiri.
Ya Allah, semoga shalawat (rahmat) tetap Engkau berikan kepada Junjungan kita
Muhammad, seorang Nabi yang Llmmi dan kepada keluarga serta para Sahabatnya,
dan juga salam sejahtera kepadanya.
Dan diantara orang yang juga berhasil menempuh jalur ini adalah Syekh Nuruddin
asy-Syanwani, pendiri majelis shalawat yang ada di Jami al-Azhar. Termasuk juga
orang yang berhasil menempuh jalur ini adalah Syekh Muhammad Dawud alMauzalawi, Syekh Muhammad al-SAil ath-Thanaji, Syekh Jalaluddin as-Suyuthi dan
sekelompok orang yang kami sebutkan dalam Mukadimah Kitab al-Vhud 4Muhammadiyyah dan generasi terdahulu dan sekarang.
Sumber : http://cahayadzikir.wordpress.com/2012/11/04/sanad-silsilah-talqin-kaumsuf/
Anda mungkin juga meminati:
TAREKAT SAMANIYAH | MANAQIB SYEKH SAMMAN AL-MADANI AL-HASANI
Beranda
Tokoh islam
Dzikir
Sholawat
Waliyullah
Suf
Tarekat
Adab ilmu
Kisah hikmah
Download
Home dzikir tarekat Silsilah ( sanad ) Talqin Dzikir Kaum Suf ( Tarekat )
21.9.13
Silsilah ( sanad ) Talqin Dzikir Kaum Suf ( Tarekat )
Syeikh Abdul Wahab Asy-Syarani
Adapun penjelasan tentang sanad (silsilah) kaum suf dalam mendikte dan
membimbing secara lisan
(talqin) kalimat Tauhid: La Ilaha IllaLlahu (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah)
kepada para murid (para pemula yang ingin mencari tarekat) adalah sebagaimana
yang diriwayatkan berikut ini: Bahwa Rasulullah Saw. pernah mendikte dan
membimbing para Sahabatnya secara lisan akan kalimat Tauhid, La Ilaha IllaLlahu
(Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah) secara berjamaah dan individu. Dimana
silsilah sanad mereka bersambung dan masing-masing kepada jamaah kaum yang
dibimbing.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, ath-Thabrani dan lain-lain dengan sanad
yang baik (hasan),
dari Sadad bin Aus dan dibenarkan oleh Ubadah bin Shamit, yang menceritakan:
Suatu hari kami pernah berkumpul bersama Rasulullah Saw, lalu beliau bertanya,
Apakah diantara kalian terda pat orang luar (gharib) [yakni, ahlul-kitab]?. Lalu
kami (para Sahabat) menjawab, Tidak, wahai Rasulullah! Kemudian Rasulullah
memerintahkan untuk menutup pintu dan berkata, Angkatlah tangan kalian dan
ucapkan: La Ilaaha Illallah (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah). Sadad bin
Aus berkata: Kemudian kami mengangkat tangan kami sesaat dan mengucapkan
kalimat, La Ilaha IllaLlahu (Tidak ada Tuhan yang haq selain Allah). Lalu
Rasulullah meletakkan tangannya sembari berdoa:
Segala puji hanya milik Allah, ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengutusku
dengan membawa Kalimat ini, Engkau memerintahku dengan Kalimat ini, Engkau
telah menjanjikanku surga atas Kalimat ini, dan sesungguhnya Engkau tidak akan
mengingkari janji.
Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada para Sahabat, Apakah kalian tidak
senang, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian ?
Ini adalah dalil bagi para guru tarekat dalam men-talqin dzikir kepada para jamaah
secara bersamaan. Adapun dalil mereka dalam men-talqin dzikir secara sendirisendiri, maka saya tidak mendapatkannya dalam kitab-kitab para ahli hadis yang
sempat saya telaah, akan tetapi Tuan Guru Yusuf al-Ajami, seorang guru silsilah
telah meriwayatkan dalam risalahnya dengan sanad yang mutashil (sambung)
sampai kepada Ali bin Abu Thalib r.a. yang mengatakan: Aku pernah meminta
kepada Rasulullah Saw, Tunjukkan aku jalan (cara) yang lebih dekat kepada Allah
Azza wa-Jalla dan paling mudah untuk dilakukan oleh para hamba serta paling
utama di sisi Allah Swt. Maka Rasulullah Saw. berkata, Wahai Ali, engkau harus
melanggengkan dzikir kepada Allah Azza wa-Jalla, baik secara sirri (rahasia) atau
keras (terang-terangan). Lalu aku menyahut, Semua orang bisa berdzikir, wahai
Rasulullah! Akan tetapi yang kuinginkan adalah engkau mau mengkhususkan
sesuatu untukku. Maka Rasulullah Saw bersabda:
Jangan, wahai Ali, sebaik-baik apa yang aku dan para nabi terdahulu ucapkan
adalah kalimat, La Ilaha IllaLlah. Dan andaikan tujuh langit dan tujuh bumi berada
pada piringan neraca [yang satu] sedangkan kalimat La Ilaha IllaLlah berada di
piringan neraca [yang lain], tentu kalimat La Ilaha IllaLlah akan tetap mengungguli
(lebih berat).
Untuk menguatkan Hadis ini adalah Hadis yang diriwayatkan Ibnu Hibban, al-Hakim
dan lain-lain dengan Hadis Maifu (sampai kepada Rasulullah Saw): Bahwa Musa a.s.
pernah berkata kepada Tuhannya, Ya Tuhan, ajari aku sesuatu, yang dengan
sesuatu itu aku bisa mengingat-Mu dan berdoa kepada-Mu. Kemudian Allah
menjawab, Wahai Musa, ucapkan, La Ilaha IllaLlah (Tiada Tuhan selain Allah).
Lalu Musa berkata, Wahai Tuhan, seluruh hamba-Mu telah mengucapkan kalimat
ini, Allah menjawabnya, Ucapkan, La Ilaha IllaLlah (Tiada Tuhan selain Allah).
Musa balik berkata, Ya Tuhanku, aku ingin sesuatu yang Engkau khususkan
untukku. Allah menjawab, Wahai Musa, andaikan tujuh langit dan tujuh bumi
berada pada piringan neraca [yang satu] sedangkan kalimat La Ilaha IllaLlah
berada di piringan neraca [yang lain], tentu kalimat La Ilaha IllaLlah akan miring
(lebih berat).
Hadis ini adalah sebanding dengan apa yang ditanyakan Ali r.a. kepada Rasulullah
Saw. Dan dalam Hadis lain diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata
kepada Ali r.a., Wahai Ali, Kiamat tidak akan segera terjadi sementara di muka
bumi ini masih ada orang yang mengucapkan, Allah.
Tuan Guru Yusuf al-Ajami mengatakan: Kemudian Ali r.a. meminta kepada Rasulullah
Saw. untuk membimbing dzikir secara lisan (talqin) sembari berkata: Bagaimana
aku berdzikir? Maka Rasulullah Saw. berkata, Pejamkan kedua matamu dan
dengarkan dariku tiga kali, kemudian kamu ucapkan, La Ilaha IllaLlah (Tidak ada
Tuhan selain Allah) tiga kali, sementara aku mendengarkanmu. Kemudian
Rasulullah Saw. mengucapkan: La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah)
sebanyak tiga kali dengan memejamkan kedua matanya dan mengeraskan
suaranya, sementara Ali mendengarkannya. Lalu Ali r.a. menirukannya dengan
mengucapkan La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah) sebanyak tiga kali
dengan memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sementara Nabi
Saw. mendengarkannya.
Saya tidak menemukan dalil dan landasan tentang cara yang diajarkan Rasulullah
Saw. kepadaAli r.a. ini. Sementara hanya Allah yang Mahatahu.
kaum suf dibangun atas dasar ketertutupan. ini berbeda dengan Syariat suci.
Sehingga seorang pengikut tarekat kaum suf tidak diperkenankan membicarakan
hakikat di depan orang yang tidak meyakininya, karena dikhawatirkan bisa
berakibat mengingkarinya, dan kemudian membenci!
Dari sini sebagian dari para ahli hadis mengingkari bahwa Hasan al-Bashri pernah
mendapatkan bimbingan secara lisan tentang dzikir kalimat (Tidak ada Tuhan selain
Allah dari Ali r.a., karena sangat langkanya dan sedikitnya argumentasi untuk
menguatkan akan hal itu secara masyhur. Bahkan sebagian dari mereka juga
mengingkari bahwa Hasan al-Bashri sempat berkumpul dengan Ali bin Abu Thalib
r.a., apalagi tentang kesempatan mendapatkan bimbingan tarekat dari Ali r.a. Tapi
yang benar, ia sempat berkumpul dengan Ali r.a. dan ia sempat mendapatkan
bimbingan secara lisan tentang dzikir La Ilaha IllaLlah (Tidak ada Tuhan selain Allah)
dari Ali r.a. dan Ali pun sempat memakaikan serpihan kain (khirqah) kepada alHasan.
Dalam riwayat lain dari Hasan al-Bashri yang mengatakan: Aku pernah
mendengarAli r.a. di Madinah, dimana ia mendengar suara, lalu ia bertanya: Apa
gerangan ini? Orang-orang menjawab, Utsman bin Affan terbunuh!! Lalu ia
berkata: YaAllah, sesungguhnya aku bersaksi kepada-Mu, bahwa aku tidak rela dan
tidak peduli [siapa pun pembunuhnya].
Dalam Musnad Ibnu Musdi, dari Hasan al-Bashri yang berkata: Aku pernah berjabat
tangan dengan Ali bin Abu Thalib r.a.
Maka bisa diketahui, bahwa sanad talqin (bimbingan dzikir secara lisan) dan
mengenakan serpihan kain (khirqah) yang berlaku di kalangan ulama salaf antara
satu dengan yang lain tidak terdapat sanad yang tetap sesuai dengan cara yang
ditempuh para ahli hadis, karena mereka telah berprasangka baik terhadap
generasi pendahulunya. Sampai pada akhirnya muncul al-Hafzh Ibnu Hajar dan alHafzh Jalaluddin as-Suyuthi serta orang-orang yang sependapat dengan mereka.
Kemudian mereka menyatakan benar dan sahih, bahwa Hasan al-Bashri pernah
mendengar Ali r.a. Mereka juga menjadikan sanadnya bersambung (mutashil)
sampai kepada al-Bashri. Maka anda jangan heran dan merasa aneh, wahai
saudaraku, bila sebagian para ahli hadis menyatakan Mauquf (berhenti) tentang
persambungan sanad mengenakan serpihan kain dan bimbingan dzikir secara lisan,
karena memang hal itu tidak bisa dilakukan, dimana sebagian besar kaum suf
merasa kesulitan untuk mengeluarkan (takhrij) dan kitab-kitab para ahli hadis.
Semoga Allah Swt. senantiasa memberi rahmat kepada Ibnu Hajar dan Jalaluddin
as-Suyuthi yang telah menjelaskan tentang persambungan sanad masalah tersebut.
Insya Allah hal mi bakal kamijelaskan lebih lanjut ketika kami membicarakan
teiitang sanad mengenakan serpihan kain, dimana Syekh Muhyiddin Ibnu al-Arabi
tidak pernah melihat persambungan sanad mengenakan serpihan kain melalui cara
menukil (mengalihkan kepada orang lain) secara lahiriah. Kemudian ia
mengambilnya melalui Nabi Khidhir a.s. ketika ia sedang berkumpul dengannya,
sampai akhirnya dijadikan sebagai rujukan dalam sanad. Dan segala puji hanya
milik Allah.
Bila sekarang anda telah tahu akan kebenaran dan kesahihan sanad kaum suf dan
sambungnya sanad taiqin dan Nabi Saw. kepada Ali bin Abu Thalib r.a., maka Au r.a.
juga mentaiqin Hasan al-Bashri, kemudian Hasan al-Bashri men-talqin Habib al-
Ajami, dan Habib al-Ajami men-talqin Dawud ath-Thai, kemudian Dawud ath-Thai
men-talqin Maruf al-Karkhi, kemudian Maruf al-Karkhi men-talqin Sari as-Saqathi,
kemudian Sari as-Saqathi men-talqin Abu al-Qasim al-Junaid, kemudian al-Junaid
men-talqin al-Qadhi Ruwaim, kemudian Ruwaim men-talqin Muhammad bin Khaff
asy-Syirazi, kemudian Ibnu Khaff men-talqin Abu al-Abbas an-Nahawandi, kemudian
an-Nahawandi men-taiqin Syekh Faraj az-Zanjani, kemudian az-Zanjani men-talqin
Syekh Syihabuddin as-Suhrawardi, kemudian Syekh Syihabuddin men-talqin Syekh
Najibuddin Burghusy asy-Syirazi, kemudian Ibnu Burghusy men-talqin Syekh
Abdush-Shamad an-Nathtani, kemudian Syekh Abdush-Shamad men-talqin Syekh
Hasan asy-Syamsiri, kemudian asy-Syamsiri men-talqin Syekh Najmuddin, kemudian
Syekh Najmuddin men-talqin Syekh Mahmud al-Ashfahani, kemudian Syekh
Mahmud men-talqin Syekh Yusuf al-Ajami al-Kurani, kemudian Syekh Yusuf mentalqin Syekh Hasan at-Tustari yang dimakamkan di dekat jembatan al-Muski Mesir
al-Mahrusah, kemudian Syekh Hasan men-talqin Syekh Ahmad bin Sulaiman azZahid, kemudian az-Zahid men-talqin Syekh Madyan, kemudian Syekh Madyan mentalqin Syekh Muhammad, putra dan saudara perempuan Madyan, Tuan Guru
Muhammad men-taiqin Syekh Muhammad as-Surawi dan Syekh Ali al-Murshif.
Kedua Tuan Guru tersebut yang membimbing kami bertobat dan men-talqin hamba
yang selalu membutuhkan pertolongan Allah ini Abdul-Wahab bin Ahmad asySyarani, penulis risalah ini.
Kemudian saya juga pernah mendapatkan bimbingan dzikir secara lisan (talqin) dari
Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi, seorang murid dan kedua guru saya yang
terakhir tersebut, dimana beliau membimbing saya dalam bertobat dan memberi
izin saya untuk men-talqin dzikir dan mendidik para murid suf, untuk meniru dan
mencari berkah terhadap tarekat kaum suf.
Sayajuga memiliki jalur tarekat lain yang sanadnya lebih dekat dan kedua sanad di
atas, dimana saya pernah mendapatkan bimbingan secara lisan dari Syekh Islam
Zakaria al-Anshani, dimana ia mendapatkan bimbingan dari Tuan Guru Muhammad
al-Ghamari, murid dari Tuan Guru Ahmad az-Zahid, teman dari Syekh Madyan.
Sehingga silsilah antara saya dengan Syekh az-Zahid hanya ada dua orang. Darij
alur ini saya sejajar dengan Tuan Guru Muhammad as-Surawi, guru dari Syekh
Muhammad asy-Syanawi. Akan tetapi dan jalur ini tidak ada yang mengizinkan saya
untuk men-talqin dan mendidik para murid suf, selain Tuan Guru Muhammad asySyanawi.
Saya juga merniliki jalur tarekat lain, selain jalur-jalur di atas, dimana antara saya
dengan Rasulullah Saw. hanya terdapat dua orang silsilah. Jalur ini saya dapatkan
bimbingan dari Tuan Guru Ali al-Khawwash, dimana dia pernah mendapatkan
Jika aku mati, maka siapa yang akan bingung setiap malamnya setelahku, Kemudian
dia berkata kepadaku: Sudah menjadi tradisi para guru tarekat suf, setelah mereka
men-talqin muridnya akan menyebutkan sanad (silsilah) talqin yang mereka
dapatkan dari guru sebelumnya, dan menyebutkan sanad mengenakan serpihan
kain (khirqah) kepada sang murid sebelum sang guru mengenakan serpihan kain
tersebut kepada sang murid. Dia juga memberi tahu saya, bahwa di NegaraYaman
sana terdapat jamaah yang memiliki sanad talqin bacaan shalawat kepada
Rasulullah Saw. Mereka membimbing bacaan shalawat kepada sang murid,
sehingga mereka sibuk untuk memperbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad
Saw. Sang murid akan terus memperbanyak shalawat kepada Nabi, sampai akhirnya
ia bisa bertemu dengan Rasulullah Saw. secara sadar dan berbicara secara lisan. Ia
bisa bertanya kepada Nabi tentang beberapa kejadian sebagaimana seorang murid
yang bertanya kepada gurunya. Tingkatan spiritual sang murid ini ternyata naik
begitu cepat dalam waktu hanya beberapa hari, sehingga ia tidak butuh lagi
bimbingan dari para guru suf, karena langsung dibimbing oleh Rasulullah Saw.
sendiri.
Damanhuri, dimana wirid shalawatnya kepada Nabi Saw. setiap harinya sebanyak
lima puluh ribu kali shalawat dengan lafal berikut:
Ya Allah, semoga shalawat (rahmat) tetap Engkau berikan kepada Junjungan kita
Muhammad, seorang Nabi yang Llmmi dan kepada keluarga serta para Sahabatnya,
dan juga salam sejahtera kepadanya.
Dan diantara orang yang juga berhasil menempuh jalur ini adalah Syekh Nuruddin
asy-Syanwani, pendiri majelis shalawat yang ada di Jami al-Azhar. Termasuk juga
orang yang berhasil menempuh jalur ini adalah Syekh Muhammad Dawud alMauzalawi, Syekh Muhammad al-SAil ath-Thanaji, Syekh Jalaluddin as-Suyuthi dan
sekelompok orang yang kami sebutkan dalam Mukadimah Kitab al-Vhud 4Muhammadiyyah dan generasi terdahulu dan sekarang.
Sumber : http://cahayadzikir.wordpress.com/2012/11/04/sanad-silsilah-talqin-kaumsuf/
Anda mungkin juga meminati:
TAREKAT SAMANIYAH | MANAQIB SYEKH SAMMAN AL-MADANI AL-HASANI
Perjalanan Syaikh Ibn Athaillah as-Sakandari
Perjalanan Syaikh Ahmad bin Muhammad Abu al-Husain an-Nuri
Benarkah Ternyata Tarekat Itu BID'AH
Linkwithin
Diposkan oleh Herbal Beauty Store di 08.17
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
Label: dzikir , tarekat
Tidak ada komentar :
Poskan Komentar
Artikel Terbaru
Dapatkan slideshow ini
...
Popular Posts
...
...
...
...
Blog Archive
2014 ( 18 )
2013 ( 104 )
Desember ( 7 )
November ( 16 )
Oktober ( 46 )
September ( 35 )
Riwayat Singkat KH.Muhammad Zaini Ghani ( Guru Sek...
Download MP3 KH Ahmad Asrori Al ishaqi RA
Habib Lutf : Muslim Bertarekat dan Tidak bertarek...
Riwayat Syarah Wirdul - Latief
Ratibul Al-Hadad Dan Sejarah disusunnya
Labels
hikmah tokoh ulama suf tarekat kisah sholawat tasawuf ahlul bait fadilah waliyullah
Mudzakarah adab dzikir download rasulullah habib luthf ceramah alquran
Google+ Followers
Mengenai Saya
Foto Saya
Copyright 2015 JALAN PARA WALI ALLAH | Designed for JAM'IYAH THARIKAT
JUNAIDY AL BAGDADI, PANGKALANBUN KALIMANTAN TENGAH
Syaikh-syaikh Naqsyabandiyah
Written by Baitul Amin
Monday, 24 August 2009 00:00
Tarekat ini dimasyhurkan oleh
Muhammad bin Muhammad Bahauddin Al-Uwaisi al Bukhari
Naqsyabandi Q.S.
(Mursyid yang berada pada silsilah ke-15
dalam Tarekat Naqsyabandiyah). Pada sumber lain nama beliau ditulis
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari
sementara ada pula yang menyebutnya dengan nama Bahauddin Shah
Naqsyabandi. Beliau
lahir di Qashrul Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah (Uzbekistan),
pada
Muharram tahun 717 H, atau tahun 1318 Masehi. Nasabnya bersambung kepada
Rasulullah
SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA.
Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar
shah,
sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa
Arab
saadah (bentuk jamak dari kata sayyid), sesuai dengan sabda Rasulullah SAW
tentang
1/5
Syaikh-syaikh Naqsyabandiyah
Written by Baitul Amin
Monday, 24 August 2009 00:00
Al-Hasan RA, "Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid."
Shah Naqsyabandi diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap
beragama yang
lurus, tetapi tidak kering. Sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan
yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan
para guru
besar suf yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk jamak dari khwaja atau khoja,
yang dalam
Persia berarti para kiai agung/mahaguru). Mahaguru tersohor pada masa itu adalah
Syaikh
Muhammad Baba As Sammasi Q.S.
(yang berada pada silsilah ke 13).
Ketika Shah Naqsyabandi lahir, Khoja Baba Sammasi melihat cahaya menyemburat
dari arah
Qashrul Arifan, yaitu saat beliau mengunjungi desa sebelahnya. Menurut riwayat
lain,
tanda-tanda aneh yang muncul sebelum kelahiran Shah Naqsyabandi, berupa bau
harum
semerbak ke penjuru desa kelahirannya. Bau harum itu tercium ketika rombongan
Khoja Baba
Sammasi, bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu Khoja Baba
Sammasi
berkata, "Bau harum yang kita cium sekarang ini datang dari seorang laki-laki yang
akan lahir di
desa ini." Sekitar tiga hari sebelum Shah Naqsyabandi lahir, wali besar ini kembali
menegaskan
bahwa bau harum itu semakin semerbak.
Setelah Shah Naqsyabandi lahir, dia segera dibawa oleh ayahnya kepada Khoja
Baba
Sammasi di daerah Sammas (sekitar 4 km dari Bukhara). Khoja Baba Sammasi
menerimanya
dengan gembira dan berkata, "Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu bahwa
aku
menerimanya."
Sumber lain meriwayatkan, setelah 18 tahun Shah Naqsyabandi lahir, Khoja Baba
Sammasi
memanggil kakek Bahauddin agar membawanya kehadapan dirinya dan langsung
dibaiat.
Beliau lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
menerimanya."
Sumber lain meriwayatkan, setelah 18 tahun Shah Naqsyabandi lahir, Khoja Baba
Sammasi
memanggil kakek Bahauddin agar membawanya kehadapan dirinya dan langsung
dibaiat.
Beliau lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
3/5
Syaikh-syaikh Naqsyabandiyah
Written by Baitul Amin
Monday, 24 August 2009 00:00
Sebelum meninggal dunia, Khoja Baba Sammasi memberi wasiat kepada
penerusnya, Syaikh
As Sayyid Amir Kulal Q.S. (silsilah ke 14), agar mendidik Shah Naqsyabandi meniti
suluk suf
sampai ke puncaknya seraya menegaskan, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual
yang telah
kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!"
Meniti Suluk Suf
Shah Naqsyabandi rajin menuntut ilmu dan dengan senang hati menekuni tasawuf.
Beberapa
sumber sepakat, beliau belajar tasawuf kepada Khoja Baba Sammasi sejak berusia
18 tahun.
Untuk itu beliau bermukim di Sammas dan belajar di situ sampai gurunya wafat.
Sebelum Khoja
Baba Sammasi wafat, beliau mengangkat Shah Naqsyabandi sebagai khalifahnya.
Shah Naqsyabandi berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulal di Nasaf dengan
membawa bekal
dasar yang telah diberikan oleh Khoja Baba Sammasi. Antara lain berupa ajaran,
bahwa jalan
tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar
tidak
Baba Sammasi, dan tarekat yang diperoleh dari Sayyid Amir Kulal juga berasal dari
Khoja Baba
Sammasi, namun Tarekat Naqsyabandiyah tidak persis sama dengan Tarekat As
Sammasi.
Dzikir dalam Tarekat As Sammasi diucapkan dengan suara keras bila dilaksanakan
berjamaah,
namun bila dilakukan sendiri-sendiri adalah dzikir qalbi. Sedangkan dzikir Tarekat
Naqsyabandiyah adalah dzikir qalbi, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri.
Sesungguhnya dzikir qalbi yang dikembangkan oleh Tarekat Naqsyabandiyah ini
telah
diajarkan oleh Syaikh Abu Yakub Yusuf Al-Hamadani q.s. (silsilah ke 8). Beliau adalah
seorang
suf yang hidup sezaman dengan wali akbar Syaikh Abdul Qadir Jaelani Q.S. (470 561 H/1077
- 1166 M). Syaikh Al-Hamadani mempunyai dua orang khalifah utama, yaitu, Syaikh
Abdul
Khalik Fajduani - wafat 1220 M, dan Syaikh Ahmad Al-Yasawi - wafat 1169 M.
Syaikh Abdul Khalik Fajduani inilah yang meneruskan silsilah tarekat ini sampai
dengan Syaikh
Bahauddin Shah Naqsyabandi. Syaikh Abdul Khalik Fajduani menyebarluaskan
ajaran tarekat
ini sampai ke daerah Transoxania di Asia Tengah. Adapun dari Syaikh Ahmad AlYasawi
kemudian muncul dan berkembang Tarekat Yasawiyah di Asia, lalu menyebar ke
daerah Turki
dan Anatolia - Asia Kecil.
Syaikh Abdul Khalik Fajduani yang tarekatnya disebut Khwajakhan atau
Khwajakhaniah (
Baca
: Mozaik No. 05/2009
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada
abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa
mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan
nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai
tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah
tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan suf mana pun.
A.
1.
Menurut ajaran tarekat Syattariyah, alam diciptakan oleh Allah dari Nur Muhammad.
Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, alam berada di dalam ilmu Allah
yang diberi nama Ayan Tsabitah. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah.
Sesudah Ayan Tsabitah ini menjelma pada Ayan Kharijiyyah (kenyataan yang
berada di luar), maka Ayan Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang
Memiliki bayang-bayang, dan ia tiada lain daripada-Nya.
Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh, antara lain:
2.
a.
Aturan-aturan berdzikir
menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling
utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar,
dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu
harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan
Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada
sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat,
zuhud, tawakkal, qanaah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
b.
Tingkatan dzikir
Pelaksanaan dzikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran,
yaitu: mubtadi (tingkat permulaan), mutawasitah (tingkat menengah), dan muntahi
(tingkat terakhir). Tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu
mengumpulkan dua makrifat, yaitu marifat tanziyyah dan marifat tasybiyyah.
Marifat tanziyyah adalah suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat diserupakan
dengan sesuatu apapun. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi
batiniah/hakikatnya. Sedangkan marifat tasybiyyah adalah mengetahui dan
mengiktikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar, dalam makrifat
ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya.
c.
Macam-macam dzikir
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai tangga
untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam
nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia
untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendalikan tujuh
nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
1) Dzikir Thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju
bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai
di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam
hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat
bersarangnya nafsu lawwamah.
2) Dzikir Naf Itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih
mengeraskan suara naf-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang
diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3) Dzikir Itsbat Faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang
dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4) Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengahtengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan
kehidupan manusia.
5) Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam
dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini
dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Illahi.
6) Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait almakmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang
salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Illahi.
7) Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut
dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah
kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada frman Allah SWT di dalam Surat alMukminun ayat 17:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan,
dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya
tujuh buah jalan tersebut).
Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
1) Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat
senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong,
pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2) Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini:
enggan, acuh, pamer, ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3) Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifatsifatnya: dermawan, sederhana, qanaah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu,
tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4) Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu
kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan
takut kepada Allah SWT.
5) Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara,
riyadlah, dan menepati janji.
6) Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak
mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7) Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya:
Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma al-husna), tarekat ini membagi
dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok.
1) Menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya,
seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain.
2) Menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti,
al-Malik, al-Quddus, al-Alim, dan lain-lain.
3) Menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat
tersebut, seperti al-Mumin, al-Muhaimin, dan lain-lain.
Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang
disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang,
sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah
mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik
yang bersifat jasmani maupun ruhani.
d.
Syarat-syarat berdzikir
B.
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para
guru atau wasithah-nya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Di
dalam tarekat ini, wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam
mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali
bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin
mujahadah; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk),
murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan
menyempurnakan).
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau
wasithah-nya di Indonesia:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
C.
Secara etimologi tarekat berasal dari kata Arab Tariqatun yang berarti jalan atau
mazab atau cara. Kecuali itu tarekat diartikan sebagai suatu sistem atau petunjuk
dalam melakukan sesuatu ibadah dengan tujuan untuk memperoleh ridha Allah
dengan dibimbing oleh seorang guru/mursyid yang memiliki hubungan silsilah (ilmu
tarekat) sampai kepada Nabi Muhammad Saw. yang pengamalan ibadah itu lebih
mengutamakan aspek batiniah daripada aspek lahiriahnya, dengan cara
memperbanyak dzikir kepada Allah. Oleh sebab itu tarekat merupakan suatu
metode pelaksanaan teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid secara haqqul
yakin.
Untuk selanjutnya pembahasan mengenai hubungan syariat dengan tarekat
Syattariyah di sini akan dibatasi pada tiga hal:
1.
2.
3.
D.
hal yang lahir dan yang batin (Q.S. Al-Hadid: 3). Pendapat ini dikuatkan pula oleh
Syech Abu Said Al-Harazi bahwa Hakikat ke-Tuhanan itu dapat dikenal meialui
pemaduan dari dua hal yang bertentangan (hal. 18).
Berdasarkan keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa fungsi khusus naskah
Syattariyah adalah untuk memberikan penjelasan kepada pembaca tentang
masalah ketauhidan dan hal ihwal marifat.
Referensi
Setelah berkembang selama lebih dari enam abad, thariqah saat ini telah tersebar
di seluruh nusantara. Pada awal abad dua puluh satu ini ribuan guru mursyid tinggal
dan mengajarkan ilmunya di seluruh pelosok tanah air. Berikut sekilas profl lima
mursyid yang mewakili tiga thariqah terbesar di tanah air: Qadiriyyah wa
Naqsyabandiyyah, Naqsyabandiyyah Khalidiyyah dan Syadziliyyah.
Abah Anom yang sejak muda tidak makan daging dan selalu minum air putih itu
adalah putra kelima KH. Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) dari
istri keduanya Hj. Juhriyah. Ia memang disiapkan ayahnya untuk meneruskan
kepemimpinan thariqah di Suryalaya. Selepas pendidikan dasar di sekolah dan
pesantren orangtuanya, pada tahun 1930 Abah Anom memulai pengembaraan
menuntut ilmu agama Islam secara lebih mendalam.
Diawali dengan mengaji ilmu fqih di pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar
ilmu alat dan balaghah di pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah dua tahun di
Jambudipa ia melanjutkan mengaji pada ajengan Syatibi di Gentur Cianjur dan
ajengan Aceng Mumu di pesantren Cireungas Sukabumi yang terkenal dengan
penguasaan ilmu hikmahnya pada 2 tahun berikutnya. Kegemaran akan ilmu silat
dan hikmah kemudian diperdalam di pesantren Citengah Panjalu yang diasuh oleh
Ajengan Junaidi, seorang ulama ahli ilmu alat dan hikmah.
Kematangan ilmu Abah Anom di usia 19 tahun diuji dengan kepercayaan yang
diberikan oleh Abah Sepuh untuk membantu mengasuh pesantren Suryalaya
sampai beliau wafat pada tahun 1956 dalam usia 120 tahun. Dua tahun sebelum
wafat Abah Sepuh mengangkat Abah Anom menjadi wakil talqinnya, kemudian
menjadi mursyid penuh Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekaligus pengasuh
pesantren menggantikan Abahnya yang mulai sakit-sakitan.
Manajer Handal
Beban tanggung jawab yang begitu berat tertumpu dibahunya di usianya yang baru
menginjak 41 tahun, menenggelamkan Abah Anom ke dalam samudera riyadhah.
Kecintaannya kepada pesantren, thariqah dan umat melarutkan hari-harinya dalam
ibadah, tarbiyah dan doa.
Sepanjang sisa hidupnya Abah Anom hampir tidak pernah tidur, demikian cerita
salah satu keponakan Abah Anom yang pernah mengabdi di rumahnya. Di luar
kegiatan ibadah mahdlah, mengajar dan kunjungan, Abah Anom menghabiskan
seluruh waktunya dengan melakukan dzikir khaf. Setiap kali kantuk menyerang,
Abah Anom segera berwudhu dan shalat sunah lalu melanjutkan dzikirnya.
Selain berdzikir, Abah Anom juga seorang manajer yang handal. Di tangannya
Suryalaya, yang dulunya pesantren kecil di tengah hutan, berkembang pesat
menjadi salah satu pesantren yang sangat disegani di negeri ini. Santri dan
pengikutnya yang mencapai angka jutaan tersebar di seluruh Indonesia bahkan
negeri-negeri tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan lain sebagainya.
Jumlah ini mencakup sekitar 3000 santri yang bermukim untuk belajar dan kuliah di
lingkungan pesantren Suryalaya, alumni, puluhan santri remaja Inabah serta jutaan
ikhwan-akhwat Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN).
Kini di usianya yang semakin senja, Abah Anom tidak lagi secara intens
mendampingi santrinya. Tubuhnya yang semakin renta tak lagi mampu mensejajari
semangat dan kecintaannya kepada sesama. Karena itu beberapa tahun
belakangan semua urusan pesantren dan thariqah diserahkan kepada 3 orang yang
ditunjuk sebagai Pengemban Amanat, yang terdiri dari KH. Zainal Abidin Anwar, KH.
Dudun Nur Syaidudin dan KH. Nur Anom Mubarok.
Namun demikian dengan sisa-sisa tenaga yang semakin melemah Abah Anom tetap
bersikeras menerima semua tamu yang mengunjunginya dari berbagai pelosok
tanah air, walau hanya sekedar dengan berjabat tangan. Juga diyakini, secara
ruhaniah Abah Anom masih akan terus mengasuh jiwa-jiwa yang membutuhkan
tetes demi tetes embun hikmah yang mengalir dari kejernihan telaga hatinya.
Kiai Utsman yang masih keturunan Sunan Giri itu adalah murid kesayangan dan
badal K.H. Romli Tamim (ayah K.H. Mustain), Rejoso, Jombang, salah satu sesepuh
Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di negeri ini. Ia dibaiat sebagai mursyid
bersama Kiai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri Mojosari Mojokerto.
Sepeninggal Kiai Mustain (sekitar tahun 1977), Kiai Utsman mengadakan kegiatan
sendiri di kediamannya, Sawah Pulo, Surabaya.
Menyajikan Suguhan
Hebatnya, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, Gus Rori tetap
bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Ia adalah sosok yang tidak
banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan tak jarang ia sendiri
yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Kini, ulama yang usianya sekitar lima puluh tahunan itu menjadi magnet tersendiri
bagi sebagian kaum, khususnya ahli tarekat. Karena kesibukannya dan banyaknya
tamu, Gus Rori kini menyediakan waktu khusus buat para tamu, yaitu tiap hari
Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jemaah baru maupun jemaah lama,
dilakukan seminggu sekali.
Ada tiga macam pembaiatan yang dilakukan Kiai Asrori, yaitu Baiat bihusnidzdzan
bagi pemula, Baiat bilbarakah (tingkat menengah), dan Baiat bittarbiyah (tingkat
tinggi). Untuk menapaki level-level itu, tiap jemaah diwajibkan melakukan
serangkaian zikir rutin sebagai ciri tarekat, yaitu zikir Jahri (dengan lisan) sebanyak
165 kali dan zikir khafy (dalam hati) 1.000 kali tiap usai salat. Kemudian, ada zikir
khusus mingguan (khushushiyah/usbuiyah) yang umumnya dilakukan berjemaah
per wilayah, seperti kecamatan.
Sementara itu di Jawa Tengah tokoh mursyid thariqah terbilang cukup banyak. Dari
kalangan Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, misalnya, terdapat salah seorang tokoh
besar yang sangat bersahaja. Dialah K.H. Muhammad Salman Dahlawi, pengasuh
pesantren Al-Manshuriyah Popongan, Klaten. Ratusan ribu murid Mbah Salman saat
ini tersebar di seantero Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur bahkan Sumatera.
Mbah Salman, demikian sang kiai akrab disapa, adalah anak laki-laki tertua dari
K.H.M. Mukri bin K.H. Kafrawi. Dan dia merupakan cucu laki-laki tertua dari K.H.M.
Manshur, pendiri pesantren yang sekarang ini diasuhnya. Kiai Manshur sendiri
adalah putra dari Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo, salah seorang khalifah
Syaikh Sulaiman Zuhdi, guru besar Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Jabal Abi Qubais
Makkah.
Sebagai cucu laki-laki tertua, Salman memang dipersiapkan oleh sang kakek, K.H.M.
Manshur yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai awliya, untuk
melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Thariqah
Naqsyabandiyah.
Tahun 1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun
kemudian, membaiatnya sebagai mursyid, guru pembimbing tarekat. Maka, ketika
pemuda-pemuada lain seusianya tengah menikmati puncak masa remajanya,mau
tidak mau- Gus Salman harus memangku jabatan pengasuh pesantren sekaligus
mursyid.
Pesantren Sepuh
Seiring dengan perkembangan jaman, pesantren yang diasuh oleh Kiai Salman juga
mengalami perkembangan. Jika semula santri hanya ngaji dengan sistem sorogan
dan bandongan, mulai tahun 1963 didirikan lembaga pendidikan formal mulai
Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Diniyah (1964), Madrasah Aliyah (1966) dan
yang terakhir TK Al-Manshur (1980).
Saat ini pesantren Al-Manshur Popongan terdiri tiga bagian : pesantren putra,
pesantren putri dan pesantren sepuh yang diikuti oleh orang-orang tua yang
menjalani suluk, lelaku tarekat. Berbagai bentuk kegiatan pesantren juga ditata
ulang, sekaligus dengan penunjukkan penanggung jawabnya. Kiai Salman sendiri,
selain sebagai sesepuh pesantren, juga mengasuh santri putra dan santri sepuh
(santri thariqah) yang datang untuk suluk dan tawajuhhan pada bulan-bulan
tertentu.
Belakangan, seiring dengan kian lanjutnya usia beliau, Kiai Salman tampaknya juga
menyiapkan kader pribadinya, baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid
thariqah, yaitu Gus Multazam (35 th). Kondisi fsik Kiai yang sangat tawadhu ini,
belakangan, memang agak melemah dan intonasi suaranya tidak lagi sekeras dulu.
Maka putra ketujuhnya yang lahir di Makkah inilah yang menjadi badalnya
(pengganti) untuk memberikan pengajian-pengajian.
Figur yang amat bersahaja, ramah serta tawadlu adalah kesan yang akan didapati
oleh siapapun yang bertamu ke rumah kiai, yang bulan Ramadlan 1425 H lalu
genap berusia 70 tahun menurut perhitungan hijriyah ini. Ketika berbicara dengan
para tamunya Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala sebagai wujud sikap
rendah hatinya. Bahkan tidak jarang, beliau sendiri yang membawa baki berisi air
minum dari dalam rumahnya untuk disuguhkan kepada para tamu.
Dari garis ayahandanya, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Syaikh Muda
Waly, mengalir darah ulama besar di Minang. Paman Syaikh Muda Waly, misalnya,
adalah Datuk Pelumat, seorang wali Allah yang sangat termasyhur di tanah
Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syaikh Muda Waly juga
mewarisi kharisma dan karomahnya. Konon beliau pernah memindahkan anaknya
dari Minangkabau ke Aceh dalam sekejap mata.
Syaikh Muda Waly, ayah Buya Muhibbudin adalah sahabat Syaikh Yasin al-Fadany
Mekkah saat masih sama-sama berguru pada Sayyid Ali Al-Maliky, kakek dari Sayyid
Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky al-Maliky al-Hasany. Karena hubungan itu
pula, ulama besar tersebut pernah mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya
kepada Buya beberapa tahun lalu.
Pertemuan berikutnya dengan Syaikh Yasin al-Fadani juga tidak berbeda. Sambil
terus memegang tangannya, Syaikh Yasin kemudian memberikan ijazah atas semua
hadits Rasulullah yang dikuasainya.
Teungku Muhibbudin Waly belajar tarekat pertama kali dari ayahnya, yang
membimbingnya meniti tarekat Naqsyabandiyah. Namun karena takzim, setelah
dianggap cukup, Syaikh Muda Wali menyerahkan pengangkatan anaknya menjadi
mursyid kepada gurunya, Syaikh Abdul Ghoni al-Kampary.
Belakangan Buya Muhibbudin Waly juga mendapat ijazah irsyad, menjadi guru
mursyid, Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dari ulama kharismatik KH. Shohibul
Wafa Tajul Arifn (Abah Anom) pengasuh pesantren Suryalaya dan Tarekat
Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari guru besarnya Syaikh Muhammad Nadzim AlHaqqany.
Silaturahmi dan selalu belajar kepada para alim ulama memang sudah menjadi
kebiasaan yang mendarah daging, bahkan hingga kini. Buya menceritakan nasihat
ayahandanya, Jika kau bertemu dengan orang alim, jangan pernah berdebat.
Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan ijazahnya lalu
cium tangannya.
Kini, setelah kesibukannya sebagai anggota DPR RI berakhir tahun 2004 lalu, Buya
Muhibbudin Waly lebih banyak mengisi waktunya dengan mengajar tarekat, dan
menulis. Saat ini ada beberapa buku tentang Tasawuf dan pengantar hukum Islam
yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku ensiklopedi Tarekat yang
diberi judul Kapita Selecta Tarekat Shufyyah.
Waktu senggangnya juga dimanfaatkan untuk meramu tiga buah kitab yang
diharapkan akan jadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya. Tiga
kitab tersebut adalah Tafsir Waly (Tafsir al-Quran), Fathul Waly (Syarah dari kitab
Jauharatut Tauhid) dan Nahjatuh an-Nadiyah ila Martabat as-Shufyyah (Sebuah
kitab di bidang ilmu Tasawuf).
Kini, di usianya yang terbilang senja, Buya mengaku tidak lagi sekuat dulu dalam
berkhidmah pada agama, nusa dan bangsa. Namun demikian beliau tetap berusaha
melayani umat. Karena itu ia membagi jadwal kegiatan bulannannya menjadi tiga.
Bulan pertama Buya tinggal di Jakarta, bulan kedua ia habiskan di Aceh dan bulan
ketiga Tengku Muhibbudin melayani undangan ke daerah-daerah lain.
Selain kedua thariqah di muka, thariqah yang pengikutnya tak kalah besar saat ini
adalah Thariqah Syadziliyyah. Menjelang akhir abad dua puluh lalu ada beberapa
pusat pengajaran thariqah Syadziliyyah di Jawa yang sangat besar, yaitu Pesantren
Peta Tulungagung yang diasuh Kiai Abdul Jalil Mustaqim, Pesantren Watucongol
Magelang yang diasuh K.H. Ahmad Abdul Haq, Pesantren Parakan Temanggung yang
diasuh K.H.R. Muhaminan Gunardo, Pesantren Cibadak Pandeglang yang diasuh K.H.
Dimyathi, Zawiyyah Kacangan dipimpin oleh K.H. Idris dan Kanzus Shalawat yang
diasuh Habib Luthf Bin Yahya.
Telah Wafat
Namun sayangnya, sebagian besar pengasuh itu telah wafat. Dan saat ini hanya
tinggal Habib Luthf dan K.H. Ahmad Abdul Haq saja yang masih hidup dan
mengajarkan thariqahnya.
Habib Luthf bin Ali bin Haysim Bim Yahya, misalnya, saat ini berkududukan sebagai
Khalifah Thariqah Sadziliyyah sekaligus pemimpin tertinggi Jamiyyah Ahlith
Habib Luthf adalah sosok pelayan umat sejati. Setiap hari, rumahnya di kawasan
Noyontaan Gang 7, Pekalongan, Jawa Tengah, selalu marak oleh tamu yang datang
dari berbagai daerah di tanah air. Hampir 24 jam, pintu rumah ayah lima anak itu
selalu terbuka untuk ratusan orang yang datang dengan berbagai keperluan. Mulai
dari minta restu, mohon doa dan ijazah, sampai konsultasi berbagai problematika
kehidupan. Biasanya mereka akan merasa tenang setelah mendapat nasihat.
Habib, suami saya terkena penyakit liver dan hatinya tinggal 20 persen yang
berfungsi. Saya mohon Habib mendoakan suami saya, kata seorang ibu suatu
ketika sambil terisak.
Dengan lembut, Habib Luthf menghiburnya, Ibu, tidak ada penyakit yang bisa
mematikan seseorang. Semua itu berada di tangan Allah. Karena itu berdoalah. Tak
ada yang mustahil bagi Allah, semuanya mungkin.
Mereka kan tamu saya, sudah menjadi kewajiban saya untuk menghormati tamu.
Karena itu, saya selalu terbuka, demikian jawab Habib Luthf ketika ditanya
tentang para tamunya.
Selain melalui konsultasi yang waktunya nyaris tanpa batas, Habib Luthf juga
menularkan ilmunya melalui majelis taklim yang digelar seminggu dua kali. Selasa
malam, bada Isya, Habib Luthf membacakan kitab Ihya Ulumiddin. Keesokan
paginya, pukul 06.00 07.30 Habib Luthf mengajarkan kitab fqih Taqrib untuk
kaum hawa.
Selain kajian mingguan, setiap bada Subuh hari Jumat Kliwon, Habib Luthf juga
membacakan kitab Jamiul Ushul fl Auliya. Di antara tiga majelisnya, pengajian
malam Rabu dan Jumat pagi itulah yang selalu dihadiri ribuan umat hingga
menutup jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Meski banyak mengkaji tasawuf, majelis taklim tersebut terbuka untuk siapa saja.
Untuk memasuki tarekat, menurut sang Habib, seseorang harus mengerti tauhid
dan fqih terlebih dahulu. Dalam tauhid, misalnya, minimal calon pengikut tarekat
harus mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil, dan yang jaiz bagi Allah dan
rasul-rasul-Nya. Dalam fqih, ia harus tahu semua perintah oleh Allah, terutama
shalat lengkap dengan syarat kelengkapannya, rukun, dan hal-hal yang
membatalkannya. Ia juga harus memahami perkara yang halal dan yang haram,
yang diperintahkan dan yang dilarang.
Dengan demikian, seseorang tidak boleh memasuki tarekat begitu saja tanpa
mengetahui dan memenuhi syarat-syaratnya, terutama bidang syariat. Karena,
pada dasarnya tarekat adalah cara bagaimana membuahkan syariat, sebagaimana
dikatakan oleh kaum suf ath-Thariqatu natijatusy-syariah (tarekat adalah buah dari
syariat).
Bersilaturahmi dan mengaji kepada Habib Luthf, baik secara langsung maupun
melalui buku karyanya, memang menyenangkan. Pribadinya mencerminkan
keluwesan dan keleluasaan khas ulama tradisional. Kedalaman ilmunya juga dipadu
dengan keluasan wawasan keumatannya, sehingga setiap kalimat mengalir dengan
lancar dan penuh hikmah. Beberapa orang juga meyakini, Habib Luthf sebagai
sosok yang waskita, atau dalam bahasa jawa weruh sak durunge winarah, alias
mengetahui hal yang belum terjadi.
Selain itu Habib Luthf juga pernah berguru kepada Habib Syekh bin Abu Bakar bin
Yahya (Cirebon) dan Mbah K.H. Muhammad Bajuri (Indramayu). Puncaknya, Habib
yang piawai memainkan alat musik organ dan sering menggubah lagu itu
mendalami tarekat Syadziliyyah kepada Al-Habib Muhammad Abdul Malik bin Ilyas
Bin Yahya, alias Mbah Malik. Setelah beberapa tahun berguru kepada waliyullah
yang tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah, itulah Habib Luthf memperoleh ijazah
kemursyidan Thariqah Syadziliyyah.
Kedudukan sebagai pimpinan kaum tarekat di tanah air, memang membuat Habib
Luthf didekati semua kalangan. Ia juga sering dikunjungi para guru mursyid dari
berbagai negara, seperti Syaikh Hisham Kabbani, mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah
Haqqaniyyah dari Amerika Serikat dan Syaikh Muhammad Al-Yaqoubi, mursyid
Tarekat Syadziliyyah dari Damaskus, Syiria. Dalam pertemuan antar mursyid
tersebut, di samping saling berkisah tentang aktivitas dakwah masing-masing,
biasanya mereka juga salang meminta ijazah atas sanad keilmuan yang dimiliki.
Poskan Komentar
Link ke posting ini
Google
Download Muzik
Loker Terbaru
Cari Arsip
WELCOME
Selamat datang di web Blog MATA_ES
Slide Show
My Arsip
2009 (32)
September (3)
Agustus (13)
Ghauts Al-Azam Muhyiddin Sayid Abdul Qadir Jailani...
Futhuuhul Ghaib (Syeikh Abdul Qadir Jailani)
Tarekat Qadiriyah
Tarekat Naqsyabandiyah
PERJUANGAN KULTUR MELALUI DZIKIR
SYEKH ACHMAD KHATIB SAMBASI IBN ABD GHAFFAR
THORIQOH QODIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH
ASAL-USUL TAREKAT DAN PERANANNYA
Rela Dimasukkan ke Dalam Neraka
MURSYID-MURSYID THORIQOH SAAT INI
Seri Humor 1
Seri Humor 2
Seri Humor 3
April (1)
Februari (7)
Januari (8)
2008 (3)
Tentang Saya
Foto Saya
irul AB
Jakarta, Indonesia
Aku hanyalah seorang hamba faqir yg mencari cinta dari sang kekasih.... "Ilahi
Anta Maqshudi Wa Ridhoka Mathlubi A'tini Mahabbataka Wa Ma'rifataka"