Anda di halaman 1dari 16

JOURNAL READING

NECESSITY OF LUMBAR PUNCTURE IN


PATIENTS PRESENTING WITH NEW
ONSET COMPLEX FEBRILE SEIZURES
Erin M. Fletcher, Ghazala Sharieff
Western Journal of Emergency Medicine, Volume XIV, no. 3, May 2013

Disusun Oleh :
Astridia Maharani Putri

G99142119

Dorothy Eugene Nindya

G99142120

Pembimbing
dr. Fadhilah, Sp.A, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI


SURAKARTA
2016

NECESSITY OF LUMBAR PUNCTURE IN PATIENTS


PRESENTING WITH NEW ONSET COMPLEX
FEBRILE SEIZURES
Keperluan Lumbal Pungsi pada Pasien-Pasien yang Datang
dengan Kejang Demam Kompleks Onset Baru
Erin M. Fletcher, Ghazala Sharieff

ABSTRAK
Pendahuluan
Studi ini bertujuan untuk menggolongkan populasi dari pasien yang datang
ke IGD anak dengan kejang demam kompeks pertama kali, dan selanjutnya,
menilai tingkat kejadian meningitis bakterial akut pada populasi ini. Lebih lanjut,
studi ini mencari untuk mengidentifikasi apakah suatu bagian spesifik tertentu dari
pasien mungkin ada pada risiko yang lebih rendah untuk meningitis bakterial akut
atau penyakit neurologis berat yang lain.
Metode
Studi kohort retrospektif ini meninjau grafik dari pasien-pasien dengan
usia antara 6 bulan hingga 5 tahun yang masuk ke IGD antara tahun 2005 hingga
2010 untuk kejang demam kompleks yang pertama kali. Departemen informasi
kesehatan mengeluarkan daftar pasien berdasarkan admisi dan diagnosisnya, yang
kemudian disaring dalam hal pemenuhan syaratnya. Kriteria eksklusinya
mencakup riwayat kejang demam kompleks sebelumnya, riwayat kejang tanpa
demam, trauma, atau gangguan neurologis berat yang mendasari. Data yang
diambil mencakup usia, jenis kelamin, riwayat medis yang sesuai, deskripsi dari
kejang, terapi yang diterima, dan data tindak lanjut. Pasien-pasien yang datang

dengan dengan kejang demam singkat sebanyak dua kali dalam 24 jam akan
dianalisis secara terpisah untuk menilai akibat pada kesehatan pada populasi ini.

Hasil
Ada 193 pasien yang memenuhi syarat. Lumbal pungsi dilakukan pada
136 subjek; lumbal pungsi tersebut secara signifikan lebih cenderung dilakukan
pada pasien-pasien dengan kejang fokal, status epileptikus, atau yang perlu
intubasi. Empat belas pasien didapati menampakkan pleositosis setelah koreksi
hitung sel darah putih, dan 1 pasien didiagnosis dengan meningitis bakterial akut
(0.5% [Interval kepercayaan 95%: 0.0-1.5, n=193]). Empat puluh tiga pasien
menampakkan kejang demam 2 kali dalam 24 jam. Dari 43 itu, 17 di antaranya
menerima lumbal pungsi selama di IGD. Tidak ada dari pasien ini yang pada
akhirnya didapati menampakkan meningitis bakterial akut atau penyakit
neurologis berat yang lain.
Kesimpulan
Meningitis bakterial akut jarang ada pada pasien yang datang dengan
kejang demam kompleks yang pertama kali. Pasien yang datang hanya dengan 2
kali kejang demam singkat selama 24 jam mungkin lebih cenderung untuk tidak
menampakkan meningitis bakterial akut, dan mungkin tidak memerlukan lumbal
pungsi tanpa gejala penyakit neurologis yang lain.
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi sehubungan dengan adanya
demam tinggi. Kejang demam terjadi pada sekitar 5% anak, secara khas pada usia
6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam diklasifikasikan sebagai kejang demam
sederhana dan kompleks. Kejang demam sederhana merupakan kejang umum,
kurang dari 15 menit, dan tidak berulang dalam 24 jam. Selain itu, dianggap
sebagai kejang demam kompleks dan terdiri atas 35% dari kejang demam yang
pertama kali. Sebagian besar anak tidak mengalami dampak jangka panjang oleh
karena kejang demam sederhana. Meskipun demikian, kejang demam kompleks

telah ditunjukkan meningkatkan risiko dari epilepsi pada beberapa anak, lebih
khususnya pada mereka yang memiliki abnormalitas neurologis yang ada
sebelumnya.
Sebuah parameter praktis yang dikembangkan oleh Akademi Pediatri
Amerika untuk terapi anak-anak yang datang dengan kejang demam sederhana
menghasilkan sebuah pedoman terapi. Parameter praktis kejang demam sederhana
tersebut lebih berfokus kepada mengidentifikasi sumber dari kejang daripada
menampilkan sebuah pemeriksaan diagnostik kejang standar, dan memeriksa
tanda-tanda dari ensefalitis atau meningitis dengan tanda klinis dari penyakit
neurologis. Belum ada semacam pedoman yang tersedia untuk anak-anak yang
datang dengan sebuah kejang demam kompleks yang pertama kali, dan rencana
terapi saat ini untuk populasi ini mempunyai variasi yang bermacam-macam pada
seluruh penyedia layanan kegawatdaruratan pediatri. Penyedia layanan medis
sering memilih melakukan lumbal pungsi pada pasien-pasien ini untuk
menyingkiran meningitis bakterial akut, meskipun literatur sebelumnya telah
menunjukkan bahwa meningitis bakterial akut merupakan diagnosis yang jarang
pada ada tidaknya tanda dan gejala lain dari penyakit neurologis berat.
Studi kami terutama bertujuan untuk menggolongkan populasi pediatri
yang datang dengan kejang demam kompleks yang pertama kali dan menentukan
kemungkinan dari meningitis bakterial akut pada pasien ini. Lebih lanjut, literatur
baru-baru ini telah menunjukkan bahwa lumbal pungsi mungkit tidak bermanfaat
pada pasien yang datang dengan kejang demam singkat sebanyak 2 kali dalam 24
jam. Tujuan kami adalah untuk menentukan apakah subpopulasi spesifik dari
pasien ini ada pada risiko yang lebih rendah dari meningitis bakterial akut atau
penyakit neuorologis berat.
METODE
Desain Studi
Studi ini merupakan sebuah tinjauan kohort retrospektif dari pasien yang
datang ke IGD anak kurang lebih 71.000 pasien setiap tahunnya. Studi ini

diterima oleh Universitas California, Badan Tinjauan Institusi San Diego dan
kantor Administrasi Penelitian Rumah Sakit Anak Rady.

Latar Studi dan Populasi


Studi ini secara retrospektif meninjau catatan dokter yang tersedia secara
elektronik untuk pasien-pasien yang memenuhi kriteria studi. Kriteria inklusinya
adalah datang ke IGD di antara 1 Januari 2005 sampai 1 September 2010, untuk
ketersediaan dari catatan dokter elektronik; diagnosis IGD kejang demam
kompleks atau status epileptikus; dan usia 6 bulan hingga 5 tahun pada saat
datang ke IGD. Kami memilih kelompok usia ini konsisten dengan rentang usia
klasik dari kejang demam sederhana. Semua pasien datang ke IGD dalam 24 jam
dari onset kejang dan memiliki satu atau lebih ciri dari kejang demam kompleks.
Pasien dieksklusi jika mereka memiliki riwayat kejang tanpa demam sebelumnya;
tidak memenuhi kriteria untuk kejang demam kompleks, memiliki riwayat trauma
sebelumnya; atau memiliki riwayat abnormalitas neurologis yang signifikan atau
sebuah riwayat trauma.
Protokol Studi
Pasien diidentifikasi oleh departemen informasi kesehatan, yang secara
elektronis mengeluarkan daftar pasien-pasien yang datang ke IGD dengan kode
ICD 9/10 yaitu 780.32 untuk kejang demam kompleks atau 345.3 untuk status
epileptikus. Penelitian ini mencakup baik admisi dan diagnosis yang dikeluarkan
dari IGD. Sepertinya tidak mungkin untuk mengekslusi pasien dengan diagnosis
tercatat meningitis bakterial akut dari pada kejang demam kompleks sehubungan
dengan praktek pendataan institusi kami, yang mencakup sebuah daftar yang
lengkap dari semua diagnosis. Daftar ini disaring secara manual oleh seluruh
penulis untuk meyakinkan bahwa kriteria inklusi dan eksklusinya dipenuhi.
Ekstraksi Data

Data yang dibuat oleh dokter yang datang, perawat dan pegawai transpor
kegawatdaruratan, yang berlaku, ditinjau untuk masing-masing pasien oleh semua
penulis. Meskipun demikian, karena tujuan penelitian kami sederhana untuk
menggolongkan populasi pasien ini dan membandingkannya dengan literatur yang
tersedia mengenai topik ini, kami menegaskan tidak ada bias peneliti. Catatan
dokter yang ada diselidiki dalam hal data pemeriksaan fisik, lebih spesifiknya
adanya makrosefali, paralisis Todd, peteki, periode pasca-iktal berkepanjangan,
atau perlunya intubasi. Masing-masing catatan pasien disaring untuk catatan
rumah sakit dan tindak lanjut berikutnya di institusi kami dalam periode 7 hari
setelah pulang jika dirawat inap.
Definisi
Pleositosis cairan serebrospinal ditentukan sebagai hitung sel darah putih
pada cairan serebrospinal > 7/L. Pada kasus adanya sampel LCS dengan
kontaminasi darah, penulis menggunakan rumus koreksi : hitung sel darah putih
LCS yang terkoreksi = (hitung sel darah putih LCS [hitung sel darah merah
LCS/500]). Meningitis bakterial akut ditentukan sebagai adanya pertumbuhan
bakteri dari sampel LCS yang diambil dalam periode 1 minggu setelah kunjungan
ke IGD, atau pleositosis LCS dengan pertumbuhan bakteri dari kultur darah dalam
periode satu minggu setelah kunjungan ke IGD. Pada kasus dari diagnosis
meningitis bakterial akut yang tidak pasti, diagnosis yang dikeluarkan oleh dokter
yang memberi terapi dianggap sebagai diagnosis akhir. Status epileptikus
ditentukan sebagai aktivitas bangkitan yang tidak berhenti selama minimal 30
menit atau kejang berulang tanpa peningkatan kesadaran.
Analisis Data
Kami melakukan analisis data menggunakan MYSTAT 12 (Chicago
Illinois), dan menghitung presentase dan interval kepercayaan menggunakan
fungsi Statistik Deskriptif. Setelah penggolongan dari populasi umum, kami
kemudian menganalisis secara terpisah pasien yang datang dengan dua kali kejang

demam singkat dalam 24 jam, untuk menilai dampak pada kesehatan pada
populasi ini.

HASIL
Identifikasi Kasus
Daftar subjek yang dikeluarkan oleh departemen informasi kesehatan
mendaftar 506 pasien yang memenuhi syarat; dari sejumlah itu, 370 di antaranya
ada pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Setelah menyaring riwayat abnormalitas
neurologis, kejang tanpa demam, kejang demam kompleks, trauma, tersisa 193
pasien.
Informasi latar belakang dari pasien-pasien yang memenuhi syarat
digambarkan pada Tabel 1. Mayoritas dari sampel (70.5%) menampakkan kejang
demam hanya dengan 1 ciri kompleks, 26.9% menampakkan 2 ciri kompleks, dan
2.6% menampakkan 3 ciri kompleks. Gambar 1 menunjukkan rincian lebih lanjut
dari ciri kejang kompleks. Lebih dari separuh (54.4%) dari populasi menerima
pengobatan untuk menghentikan kejang. Median dari temperatur yang tercatat
adalah 39.3 derajat C (rentang interquartil: 38.5-39.9).
Pada pemeriksaan fisik, 132 pasien (68.4%) tidak memiliki catatan
manifestasi dari penyakit neurologis berat; meskipun demikian, 40 pasien
memerlukan intubasi di IGD. Merupakan sebuah hal yang sulit untuk menentukan
apakah perlunya proteksi jalan nafas merupakan hasil dari bagian alamiah dari
kejang, atau sebuah dampak dari pemberian antikejang. Oleh karena itu kami
mencatat intubasi yang dilakukan sebelum (n=5) atau sesudah (n=35) pemberian
antikejang untuk memberi penjelasan mengenai ketidakpastian ini. Hal lain-lain
dari temuan yang tercatat digambarkan pada Tabel 2.

Tabel 1. Penggolongan dari Populasi Umum

Median usia:17.2 bulan (IQR=12.4-25.2)


Pasien perempuan
Status vaksinasi yang dilaporkan
Vaksinasi terbaru yang dilaporkan
Pasien yang kembali dari kunjungan IGD sebelumnya dalam
24 jam
Pasien yang menerima antibiotik <24 jam sebelum datang ke
IGD
Pasien dengan riwayat kejang demam sederhana
IQR = Rentang interquartil; IGD = Instalasi Gawat Darurat

n=193

99
180
176
39

51.3
93.3
97.8
20.2

28

14.5

45

23.3

Tabel 2. Pasien dari populasi studi umum dengan temuan fisik abnormal

Pasien dengan 1 temuan abnormal


Pasien hanya dengan periode pasca-iktal
memanjang
Pasien hanya dengan paralisis Todd
Pasien hanya dengan peteki
Pasien ganya dengan makrosefali
Pasien yang hanya memerlukan intubasi
Pasien dengan 2 temuan abnormal
Pasien dengan peteki yang memerlukan
intubasi
Pasien dengan periode pasca-iktal memanjang
yang memerlukan intubasi
Pasien dengan paralisis Todd dan periode
pasca-iktal yang memanjang
Pasien dengan 3 temuan abnormal
Makrosefali, peteki, dan intubasi

n=61
56
11

%
91.8
19.6

7
1
1
36
4
2

12.5
1.8
1.8
64.3
6.6
50.0

25.0

25.0

1
1

1.6
100.0

Diagnosis yang paling sering untuk pasien yang datang karena kejang
demam kompleks yang pertama kali adalah penyakit demam (n=33), sindrom
viral (n=26), dan otitis media (n=24). Dokter yang memberi terapi merawatinapkan 139 pasien; 131 masuk ke pelayanan rawat inap rumah sakit, dan 8 pasien
dirujuk ke institusi lain karena keperluan asuransi. Data tindak lanjut tersedia
untuk 170 pasien (86%), dan mencakup rangkuman keluar pasien rawat inap;

studi pencitraan (CT, elektroensefalogram, atau MRI); atau kunjungan tindak


lanjut ke rumah sakit kami. Sebagai fasilitas rawat untuk bidang kami, kami sadar
terhadap pasien yang masuk ke area kami, dan sepertinya tidak mungkin jika ada
pasien yang sama kembali dirawat tanpa sepengetahuan kami.

D = Durasi, F= Fokalitas, R = Rekurensi


Gambar 1. Ciri-ciri kompleks dari kejang demam
Pelaksanaan Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi dilakukan pada 70,5% subjek pada IGD kami. Faktorfaktor terkait pelaksanaan lumbal pungsi adalah tidak adanya riwayat pasien
dengan kejang demam sederhana (75,6%), kejang fokal (84,0%), status
epileptikus (91,3%), dan yang membutuhkan intubasi (100,0%). Lima puluh tujuh
pasien tidak mendapatkan lumbal pungsi. Tidak ada dari pasien yang kembali ke
rumah sakit ini dengan diagnosis meningitis bakterial akut. Penjelasan lebih lanjut
mengenai 57 pasien yang tidak mendapatkan lumbal pungsi dapat dilihat di Tabel
3.
Hasil LCS

Nilai koreksi median hitung WBC LCS adalah 1/L (IQR: 03). Lima
belas subjek terdapat pleositosis pada LCS; 8 membutuhkan formula koreksi
WBC LCS untuk sampel LCS yang terkontaminasi darah. Terdapat pleositosis
pada 14 subjek (7,3%) setelah koreksi hitung WBC (95% CI: 4.110.1), 7 dari
pasien adalah mereka yang didiagnosis saat pulang dengan gangguan neurologik
serius. Gambar 2 menunjukkan hasil kesehatan dari subjek; hanya satu yang
ditemukan meningitis bakterial akut.

Gambar 2. Hasil pasien setelah lumbal pungsi


Satu orang pasien laki-laki berusia 3 tahun dibawa ke fasilitas kami setelah
mengalami kejang demam sederhana di IGD sebelumnya. Pasien mengalami 4
kali kejang, satu diantaranya berlangsung selama 30 menit. Pasien diintubasi
setelah menerima antikonvulsan, tetapi tidak ada indikator lain dari pemeriksaan
fisik yang mengarah ke gangguan neurologik. Setelah lumbal pungsi, terdapat

pleositosis pada LCS (WBC = 12). Tidak ada pertumbuhan pada kultur darah
ataupun LCS, namun ditemukan antibodi untuk spesies bakteri mycoplasma pada
darah. Pemeriksa mendiagnosis pasien dengan meningitis bakterial, kemudian
rawat inap selama satu bulan. Berdasarkan tinjauan kami, kami menyimpulkan
bahwa tingkat meningitis bakterial akut pada keseluruhan populasi pasien (n=193)
adalah 0.5% [95% CI: 0.0%1.5%]).
Dari 7 pasien dengan pleositosis LCS dan gangguan neurologis serius,
semuanya dimasukkan ke rumah sakit untuk perawatan dan observasi; 1 ditransfer
ke fasilitas lain dengan alasan asuransi. Satu pasien kembali ke IGD setelah
pulang dari rumah sakit untuk follow-up selama pemulihan dari meningitis viral;
kondisi pasien stabil dan dapat dipulangkan kembali ke rumah.
Tabel 3. Pasien yang tidak mendapat lumbal pungsi di IGD
Pasien tanpa temuan pemeriksaan fisik abnormal
Pasien dengan temuan pemeriksaan fisik abnormal
Pasien dengan pemanjangan periode postiktal
Pasien dengan Todds paralisis
Pasien dengan petekiae
Pasien dengan makrocephali
Pasien yang membutuhkan intubasi
Pasien yang dirawat inap
Pasien yang didiagnosis dengan gangguan neurologis
Diagnosis pulang paling sering
Otitis media
Infeksi virus tidak spesifik
Gastroenteritis

n=57
51
6
3
2
1
0
0
25
0

%
89.5
10.5
50.0
33.3
16.7
0
0
43.9
0

9
8
4

15.8
14.0
7.0

n=43

22
40
40
20
9

51.2
93.0
100.0
46.5
20.9

Tabel 4. Karakteristik sub-populasi dengan 2 kejang demam


Median usia: 17.2 bulan (Interquartile Range = 12.8 24.2)
Pasien wanita
Status vaksinasi yang dilaporkan
Vaksinasi yang dilaporkan terbaru
Pasien yang kembali ke IGD dalam 24 jam
Pasien yang menerima antibiotik <24 jam sebelum ke

IGD
Pasien dengan riwayat kejang demam sederhana

14

32.6

Sub-analisis Pasien dengan 2 Kejang Demam Singkat


Dari 193 pasien dalam penelitian ini, 43 teridentifikasi dengan hanya 1
kejang, tanpa laporan fokal atau pemanjangan durasi kejang. Dari 43 pasien ini, 7
mengalami kejang kedua di IGD dan kemudian menerima antikonvulsan. Dua
puluh pasien pada sub-populasi ini mengalami kejang demam pertama di IGD dan
pulang dengan diagnosis kejang demam sederhana. Hanya 1 dari 20 pasien
mendapat lumbal pungsi pada kunjungan pertama karena terdapat petekiae,
namun LCS tampak normal dan tidak ada gejala fisik penyakit lain yang muncul.
Pasien tersebut dan 8 pasien lainnya pulang dengan antibiotik. Latar belakang data
pasien-pasien ini terangkum dalam Tabel 4.
Lumbal pungsi dilakukan padda 17 pasien tersebut, tidak termasuk pasien
yang menerima LP saat kunjungan pertama di IGD. Satu subjek ditemukan
terdapat pleositosis (WBC=11), tetapi tidak ada pertumbuhan organisme apapun
pada kultur LCS ataupun darah, dan tidak ada manifestasi klinis gangguan
neurologis. Tidak ada pertumbuhan organisme pada kultur LCS pasien yang
menjalani lumbal pungsi. Kultur darah dilakukan pada 22 pasien, dan tidak ada
organisme yang diisolasi dari sampel ini. Tidak ada pasien yang didiagnosis
masuk maupun pulang dengan meningitis bakterial atau gangguan neurologis
serius.
Selama penanganan di IGD, 10 pasien membutuhkan oksigen suplemental,
tetapi 0/43 membutuhkan intubasi. Tidak ada pasien dengan paralysis Todds atau
makrocephali; namun, terdapat pemanjangan periode postictal pada 3 pasien, dan
1 pasien yang disebutkan sebelumnya terdapat petekiae. Dua puluh pasien dirawat
untuk obsertavi, termasuk 2 pasien oleh karena permintaan orangtua. Tidak ada
pasien yang mengalami kejang tambahan atau efek samping selama masa rawat
inap. Pada pasien yang tidak mendapat lumbal pungsi, 3 diagnosis pulang paling

umum adalah penyakit virus yang tidak spesifik (n=7), otitis media (n=6), dan
gastroenteritis (n=4), tidak ada anak yang didiagnosis dengan gangguan
neurologis serius. Satu pasien kembali setelah pulang dengan keluhan herpangina.
Data follow-up semua pasien tersedia. Tidak ada pasien yang kembali dengan
laporan kejang tambahan atau sequel neurologis lainnya.
DISKUSI
Mendiagnosis meningitis bakterial akut pada pasien anak adalah hal
terpenting; proses penyakit berjalan dengan cepat dan dapat menyebabkan
kerusakan jangka panjang kurang dari sehari setelah gejala timbul. Perhatian
medis segera sangat vital untuk survival pasien. Lumbal pungsi efektif dalam
mendiagnosis meningitis bakterial akut dan karena itu adalah prosedur standar
dalam membuat diagnosis banding ketika pasien datang dengan kejang demam
kompleks pertama. Namun, lumbal pungsi adalah tindakan invasif dan dapat
menyebabkan trauma, dan populasi pasien memiliki kemungkinan lebih kecil
mengalami penyakit neurologis serius. Sales et al menunjukkan perbedaan yang
besar pada rencana terapi antara mengobati kedaruratan pediatri pada pasien
dengan kejang demam kompleks. Pasien sebaiknya dirawat pada IGD pediatri,
dan penting untuk menentukan pasien mana yang membutuhkan lumbal pungsi
lebih mendesak daripada pasien lainnya.
Pada sampel dengan 193 pasien, hanya 1 pasien yang didiagnosis dengan
meningitis bakterial akut. Tingkat insidensi dari meningitis bakterial akut pada
populasi kami dapat dibandingkan dengan studi serupa, dan mendukung
pernyataan bahwa meningitis bakterial akut jarang terjadi pada populasi ini. Oleh
karena itu, memungkinkan untuk mengidentifikasi sebagian pasien dengan kejang
demam kompleks pertama yang cenderung berisiko lebih rendah dari meningitis
bakterial akut atau penyakit neurologis serius lainnya untuk memberikan
pengobatan tepat lebih efisien.

Analisis kami dari kesamaan di antara pasien yang menerima lumbal


pungsi di IGD kami menunjukkan bahwa pada pasien sering terjadi kejang fokal,
status epileptikus, atau kebutuhan untuk intubasi. Kejang fokal sebagai akibat dari
akumulasi cairan dalam ruang subdural dapat menjadi indikator yang penting pada
meningitis bakterial akut. Status konvulsif epileptikus ditemukan memiliki kaitan
dengan peningkatan meningitis bakterial akut. Tingkat intubasi untuk pasien anak
yang mengalami kejang bervariasi, tetapi dilaporkan hingga hampir 50%, dan
jelas menunjukkan perlunya perhatian medis segera. Hal ini tidak selalu menjadi
indikasi untuk lumbal pungsi, tapi memberikan bukti konkret untuk dapat
menyingkirkan meningitis bakterial atau penyakit neurologis lainnya pada pasien
ini. Keterampilan klinis dokter terlatih tidak boleh diabaikan. Dengan pemikiran
ini, analisis sub-populasi kami pada pasien dengan 2 kejang singkat dalam waktu
24 jam terkecuali pasien dengan kejang fokal atau status epileptikus, dan tidak ada
pasien yang memenuhi syarat untuk dilakukan intubasi selama pengobatan di
IGD. Kecenderungan dokter pediatrik untuk mengobati pasien dengan indikatorindikator spesifik penyakit neurologis mencerminkan persepsi yang ada mengenai
seperti apa penampakan dari penyakit neurologi yang serius saat di IGD pediatrik.
Sebaliknya, subpopulasi kami dapat pada dasarnya merupakan ujung lain dari
spektrum.
Analisis sub-populasi kami termasuk 43 pasien, 17 diantaranya menerima
lumbal pungsi. Tidak ada penyakit neurologis yang terdiagnosis pada kelompok
pasien, yang konsisten dengan analisis pada populasi serupa. Tidak ada pasien
pada populasi ini ditemukan memiliki sekuel neurologis pada follow-up.
Sementara setiap kejang demam harus dievaluasi berdasarkan kasus-per-kasus,
data kami menunjukkkan bahwa pasien yang masuk ke dalam sub-populasi ini
memiliki risiko meningitis bakterial akut atau penyakit neurologis serius yang
rendah. Pasien dengan 2 kejang demam singkat dalam 24 jam tanpa tanda-tanda
gangguan neurologis tidak membutuhkan lumbal pungsi di IGD anak.
KETERBATASAN

Analisis retrospektif memiliki beberapa keterbatasan. Satu faktor penting


yang dipertimbangkan dalam analisis kami adalah tingkat meningitis bakterial
akut yang relatif jarang, sehingga penelitian tentang insidensi pada populasi ini
membutuhkan ukuran sampel yang sangat besar. Sulit untuk membuat kesimpulan
kuat mengenai tingkat meningitis bakterial akut dalam populasi 193 pasien ini;
kami mencatat bahwa temuan kami konsisten dengan studi serupa dan kami
berharap dapat menjadi suplemen literatur yang telah ada mengenai topik ini.
Pertimbangan lainnya adalah vaksin Haemophilus influenzae tipe B
biasanya diberikan pada anak kecil sebelum berusia 6 bulan untuk menghindari
meningitis bakterial. Status vaksin ini belum dilaporkan pada grafik pasien, jadi
kami tidak dapat mengendalikan pasien mana saja yang sebelumnya sudah
divaksinasi.
Keterbatasan

terakhir

adalah

penggunaan

kode

ICD-9/10

untuk

menentukan daftar penyebab penyakit. Walaupun kami secara manual memilah


rekam medis pasien untuk memastikan setiap pasien memenuhi persyaratan, anak
lain yang mengalami FCFS mungkin bisa salah terekam. Hal ini berlaku terutama
pada pasien yang mengalami kejang demam multipel saat demam dimana tidak
ada kelainan lain yang diamati, karena setiap kejang dapat muncul seperti kejang
demam sederhana. Kami mencoba untuk mengendalikan ini dengan memastikan
pencarian

grafik

pasien

kami

sekomprehensif

mungkin.

Kami

juga

mengasumsikan bahwa semua fitur kompleks saat kejang sudah diamati. Hal ini
mungkin bukan menjadi kasus untuk anak-anak yang mengalami kejang multipel
dirumah sebelum dibawa ke IGD, atau untuk pasien kejang fokal yang tidak
segera dikenali oleh orangtua. Keterbatasan ini tidak dapat dihindari. Penelitian
lebih lanjut pada topik ini dapat berfokus secara prospektif pada pasien yang
masuk untuk mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai kejang demam.
KESIMPULAN

Meningitis bakterial akut jarang terjadi pada pasien yang mengalmi kejang
demam kompleks pertama kali. Seperti yang diutarakan oleh Kimia et al, pasien
dengan hanya 2 kejang demam singkat dalam 24 jam memiliki kemungkinan
meningitis bakterial akut lebih kecil, dan tidak membutuhkan lumbal pungsi tanpa
gejala klinis gangguan neurologis lainnya. Selanjutnya, pada pasien dengan
kejang demam kompleks pertama kali, lumbal pungsi secara signifikan lebih
sering dilakukan pada pasien dengan kejang fokal, status epileptiukus, atau yang
membutuhkan intubasi.

Anda mungkin juga menyukai