Disusun Oleh :
Astridia Maharani Putri
G99142119
G99142120
Pembimbing
dr. Fadhilah, Sp.A, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
ABSTRAK
Pendahuluan
Studi ini bertujuan untuk menggolongkan populasi dari pasien yang datang
ke IGD anak dengan kejang demam kompeks pertama kali, dan selanjutnya,
menilai tingkat kejadian meningitis bakterial akut pada populasi ini. Lebih lanjut,
studi ini mencari untuk mengidentifikasi apakah suatu bagian spesifik tertentu dari
pasien mungkin ada pada risiko yang lebih rendah untuk meningitis bakterial akut
atau penyakit neurologis berat yang lain.
Metode
Studi kohort retrospektif ini meninjau grafik dari pasien-pasien dengan
usia antara 6 bulan hingga 5 tahun yang masuk ke IGD antara tahun 2005 hingga
2010 untuk kejang demam kompleks yang pertama kali. Departemen informasi
kesehatan mengeluarkan daftar pasien berdasarkan admisi dan diagnosisnya, yang
kemudian disaring dalam hal pemenuhan syaratnya. Kriteria eksklusinya
mencakup riwayat kejang demam kompleks sebelumnya, riwayat kejang tanpa
demam, trauma, atau gangguan neurologis berat yang mendasari. Data yang
diambil mencakup usia, jenis kelamin, riwayat medis yang sesuai, deskripsi dari
kejang, terapi yang diterima, dan data tindak lanjut. Pasien-pasien yang datang
dengan dengan kejang demam singkat sebanyak dua kali dalam 24 jam akan
dianalisis secara terpisah untuk menilai akibat pada kesehatan pada populasi ini.
Hasil
Ada 193 pasien yang memenuhi syarat. Lumbal pungsi dilakukan pada
136 subjek; lumbal pungsi tersebut secara signifikan lebih cenderung dilakukan
pada pasien-pasien dengan kejang fokal, status epileptikus, atau yang perlu
intubasi. Empat belas pasien didapati menampakkan pleositosis setelah koreksi
hitung sel darah putih, dan 1 pasien didiagnosis dengan meningitis bakterial akut
(0.5% [Interval kepercayaan 95%: 0.0-1.5, n=193]). Empat puluh tiga pasien
menampakkan kejang demam 2 kali dalam 24 jam. Dari 43 itu, 17 di antaranya
menerima lumbal pungsi selama di IGD. Tidak ada dari pasien ini yang pada
akhirnya didapati menampakkan meningitis bakterial akut atau penyakit
neurologis berat yang lain.
Kesimpulan
Meningitis bakterial akut jarang ada pada pasien yang datang dengan
kejang demam kompleks yang pertama kali. Pasien yang datang hanya dengan 2
kali kejang demam singkat selama 24 jam mungkin lebih cenderung untuk tidak
menampakkan meningitis bakterial akut, dan mungkin tidak memerlukan lumbal
pungsi tanpa gejala penyakit neurologis yang lain.
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi sehubungan dengan adanya
demam tinggi. Kejang demam terjadi pada sekitar 5% anak, secara khas pada usia
6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam diklasifikasikan sebagai kejang demam
sederhana dan kompleks. Kejang demam sederhana merupakan kejang umum,
kurang dari 15 menit, dan tidak berulang dalam 24 jam. Selain itu, dianggap
sebagai kejang demam kompleks dan terdiri atas 35% dari kejang demam yang
pertama kali. Sebagian besar anak tidak mengalami dampak jangka panjang oleh
karena kejang demam sederhana. Meskipun demikian, kejang demam kompleks
telah ditunjukkan meningkatkan risiko dari epilepsi pada beberapa anak, lebih
khususnya pada mereka yang memiliki abnormalitas neurologis yang ada
sebelumnya.
Sebuah parameter praktis yang dikembangkan oleh Akademi Pediatri
Amerika untuk terapi anak-anak yang datang dengan kejang demam sederhana
menghasilkan sebuah pedoman terapi. Parameter praktis kejang demam sederhana
tersebut lebih berfokus kepada mengidentifikasi sumber dari kejang daripada
menampilkan sebuah pemeriksaan diagnostik kejang standar, dan memeriksa
tanda-tanda dari ensefalitis atau meningitis dengan tanda klinis dari penyakit
neurologis. Belum ada semacam pedoman yang tersedia untuk anak-anak yang
datang dengan sebuah kejang demam kompleks yang pertama kali, dan rencana
terapi saat ini untuk populasi ini mempunyai variasi yang bermacam-macam pada
seluruh penyedia layanan kegawatdaruratan pediatri. Penyedia layanan medis
sering memilih melakukan lumbal pungsi pada pasien-pasien ini untuk
menyingkiran meningitis bakterial akut, meskipun literatur sebelumnya telah
menunjukkan bahwa meningitis bakterial akut merupakan diagnosis yang jarang
pada ada tidaknya tanda dan gejala lain dari penyakit neurologis berat.
Studi kami terutama bertujuan untuk menggolongkan populasi pediatri
yang datang dengan kejang demam kompleks yang pertama kali dan menentukan
kemungkinan dari meningitis bakterial akut pada pasien ini. Lebih lanjut, literatur
baru-baru ini telah menunjukkan bahwa lumbal pungsi mungkit tidak bermanfaat
pada pasien yang datang dengan kejang demam singkat sebanyak 2 kali dalam 24
jam. Tujuan kami adalah untuk menentukan apakah subpopulasi spesifik dari
pasien ini ada pada risiko yang lebih rendah dari meningitis bakterial akut atau
penyakit neuorologis berat.
METODE
Desain Studi
Studi ini merupakan sebuah tinjauan kohort retrospektif dari pasien yang
datang ke IGD anak kurang lebih 71.000 pasien setiap tahunnya. Studi ini
diterima oleh Universitas California, Badan Tinjauan Institusi San Diego dan
kantor Administrasi Penelitian Rumah Sakit Anak Rady.
Data yang dibuat oleh dokter yang datang, perawat dan pegawai transpor
kegawatdaruratan, yang berlaku, ditinjau untuk masing-masing pasien oleh semua
penulis. Meskipun demikian, karena tujuan penelitian kami sederhana untuk
menggolongkan populasi pasien ini dan membandingkannya dengan literatur yang
tersedia mengenai topik ini, kami menegaskan tidak ada bias peneliti. Catatan
dokter yang ada diselidiki dalam hal data pemeriksaan fisik, lebih spesifiknya
adanya makrosefali, paralisis Todd, peteki, periode pasca-iktal berkepanjangan,
atau perlunya intubasi. Masing-masing catatan pasien disaring untuk catatan
rumah sakit dan tindak lanjut berikutnya di institusi kami dalam periode 7 hari
setelah pulang jika dirawat inap.
Definisi
Pleositosis cairan serebrospinal ditentukan sebagai hitung sel darah putih
pada cairan serebrospinal > 7/L. Pada kasus adanya sampel LCS dengan
kontaminasi darah, penulis menggunakan rumus koreksi : hitung sel darah putih
LCS yang terkoreksi = (hitung sel darah putih LCS [hitung sel darah merah
LCS/500]). Meningitis bakterial akut ditentukan sebagai adanya pertumbuhan
bakteri dari sampel LCS yang diambil dalam periode 1 minggu setelah kunjungan
ke IGD, atau pleositosis LCS dengan pertumbuhan bakteri dari kultur darah dalam
periode satu minggu setelah kunjungan ke IGD. Pada kasus dari diagnosis
meningitis bakterial akut yang tidak pasti, diagnosis yang dikeluarkan oleh dokter
yang memberi terapi dianggap sebagai diagnosis akhir. Status epileptikus
ditentukan sebagai aktivitas bangkitan yang tidak berhenti selama minimal 30
menit atau kejang berulang tanpa peningkatan kesadaran.
Analisis Data
Kami melakukan analisis data menggunakan MYSTAT 12 (Chicago
Illinois), dan menghitung presentase dan interval kepercayaan menggunakan
fungsi Statistik Deskriptif. Setelah penggolongan dari populasi umum, kami
kemudian menganalisis secara terpisah pasien yang datang dengan dua kali kejang
demam singkat dalam 24 jam, untuk menilai dampak pada kesehatan pada
populasi ini.
HASIL
Identifikasi Kasus
Daftar subjek yang dikeluarkan oleh departemen informasi kesehatan
mendaftar 506 pasien yang memenuhi syarat; dari sejumlah itu, 370 di antaranya
ada pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Setelah menyaring riwayat abnormalitas
neurologis, kejang tanpa demam, kejang demam kompleks, trauma, tersisa 193
pasien.
Informasi latar belakang dari pasien-pasien yang memenuhi syarat
digambarkan pada Tabel 1. Mayoritas dari sampel (70.5%) menampakkan kejang
demam hanya dengan 1 ciri kompleks, 26.9% menampakkan 2 ciri kompleks, dan
2.6% menampakkan 3 ciri kompleks. Gambar 1 menunjukkan rincian lebih lanjut
dari ciri kejang kompleks. Lebih dari separuh (54.4%) dari populasi menerima
pengobatan untuk menghentikan kejang. Median dari temperatur yang tercatat
adalah 39.3 derajat C (rentang interquartil: 38.5-39.9).
Pada pemeriksaan fisik, 132 pasien (68.4%) tidak memiliki catatan
manifestasi dari penyakit neurologis berat; meskipun demikian, 40 pasien
memerlukan intubasi di IGD. Merupakan sebuah hal yang sulit untuk menentukan
apakah perlunya proteksi jalan nafas merupakan hasil dari bagian alamiah dari
kejang, atau sebuah dampak dari pemberian antikejang. Oleh karena itu kami
mencatat intubasi yang dilakukan sebelum (n=5) atau sesudah (n=35) pemberian
antikejang untuk memberi penjelasan mengenai ketidakpastian ini. Hal lain-lain
dari temuan yang tercatat digambarkan pada Tabel 2.
n=193
99
180
176
39
51.3
93.3
97.8
20.2
28
14.5
45
23.3
Tabel 2. Pasien dari populasi studi umum dengan temuan fisik abnormal
n=61
56
11
%
91.8
19.6
7
1
1
36
4
2
12.5
1.8
1.8
64.3
6.6
50.0
25.0
25.0
1
1
1.6
100.0
Diagnosis yang paling sering untuk pasien yang datang karena kejang
demam kompleks yang pertama kali adalah penyakit demam (n=33), sindrom
viral (n=26), dan otitis media (n=24). Dokter yang memberi terapi merawatinapkan 139 pasien; 131 masuk ke pelayanan rawat inap rumah sakit, dan 8 pasien
dirujuk ke institusi lain karena keperluan asuransi. Data tindak lanjut tersedia
untuk 170 pasien (86%), dan mencakup rangkuman keluar pasien rawat inap;
Nilai koreksi median hitung WBC LCS adalah 1/L (IQR: 03). Lima
belas subjek terdapat pleositosis pada LCS; 8 membutuhkan formula koreksi
WBC LCS untuk sampel LCS yang terkontaminasi darah. Terdapat pleositosis
pada 14 subjek (7,3%) setelah koreksi hitung WBC (95% CI: 4.110.1), 7 dari
pasien adalah mereka yang didiagnosis saat pulang dengan gangguan neurologik
serius. Gambar 2 menunjukkan hasil kesehatan dari subjek; hanya satu yang
ditemukan meningitis bakterial akut.
pleositosis pada LCS (WBC = 12). Tidak ada pertumbuhan pada kultur darah
ataupun LCS, namun ditemukan antibodi untuk spesies bakteri mycoplasma pada
darah. Pemeriksa mendiagnosis pasien dengan meningitis bakterial, kemudian
rawat inap selama satu bulan. Berdasarkan tinjauan kami, kami menyimpulkan
bahwa tingkat meningitis bakterial akut pada keseluruhan populasi pasien (n=193)
adalah 0.5% [95% CI: 0.0%1.5%]).
Dari 7 pasien dengan pleositosis LCS dan gangguan neurologis serius,
semuanya dimasukkan ke rumah sakit untuk perawatan dan observasi; 1 ditransfer
ke fasilitas lain dengan alasan asuransi. Satu pasien kembali ke IGD setelah
pulang dari rumah sakit untuk follow-up selama pemulihan dari meningitis viral;
kondisi pasien stabil dan dapat dipulangkan kembali ke rumah.
Tabel 3. Pasien yang tidak mendapat lumbal pungsi di IGD
Pasien tanpa temuan pemeriksaan fisik abnormal
Pasien dengan temuan pemeriksaan fisik abnormal
Pasien dengan pemanjangan periode postiktal
Pasien dengan Todds paralisis
Pasien dengan petekiae
Pasien dengan makrocephali
Pasien yang membutuhkan intubasi
Pasien yang dirawat inap
Pasien yang didiagnosis dengan gangguan neurologis
Diagnosis pulang paling sering
Otitis media
Infeksi virus tidak spesifik
Gastroenteritis
n=57
51
6
3
2
1
0
0
25
0
%
89.5
10.5
50.0
33.3
16.7
0
0
43.9
0
9
8
4
15.8
14.0
7.0
n=43
22
40
40
20
9
51.2
93.0
100.0
46.5
20.9
IGD
Pasien dengan riwayat kejang demam sederhana
14
32.6
umum adalah penyakit virus yang tidak spesifik (n=7), otitis media (n=6), dan
gastroenteritis (n=4), tidak ada anak yang didiagnosis dengan gangguan
neurologis serius. Satu pasien kembali setelah pulang dengan keluhan herpangina.
Data follow-up semua pasien tersedia. Tidak ada pasien yang kembali dengan
laporan kejang tambahan atau sequel neurologis lainnya.
DISKUSI
Mendiagnosis meningitis bakterial akut pada pasien anak adalah hal
terpenting; proses penyakit berjalan dengan cepat dan dapat menyebabkan
kerusakan jangka panjang kurang dari sehari setelah gejala timbul. Perhatian
medis segera sangat vital untuk survival pasien. Lumbal pungsi efektif dalam
mendiagnosis meningitis bakterial akut dan karena itu adalah prosedur standar
dalam membuat diagnosis banding ketika pasien datang dengan kejang demam
kompleks pertama. Namun, lumbal pungsi adalah tindakan invasif dan dapat
menyebabkan trauma, dan populasi pasien memiliki kemungkinan lebih kecil
mengalami penyakit neurologis serius. Sales et al menunjukkan perbedaan yang
besar pada rencana terapi antara mengobati kedaruratan pediatri pada pasien
dengan kejang demam kompleks. Pasien sebaiknya dirawat pada IGD pediatri,
dan penting untuk menentukan pasien mana yang membutuhkan lumbal pungsi
lebih mendesak daripada pasien lainnya.
Pada sampel dengan 193 pasien, hanya 1 pasien yang didiagnosis dengan
meningitis bakterial akut. Tingkat insidensi dari meningitis bakterial akut pada
populasi kami dapat dibandingkan dengan studi serupa, dan mendukung
pernyataan bahwa meningitis bakterial akut jarang terjadi pada populasi ini. Oleh
karena itu, memungkinkan untuk mengidentifikasi sebagian pasien dengan kejang
demam kompleks pertama yang cenderung berisiko lebih rendah dari meningitis
bakterial akut atau penyakit neurologis serius lainnya untuk memberikan
pengobatan tepat lebih efisien.
terakhir
adalah
penggunaan
kode
ICD-9/10
untuk
grafik
pasien
kami
sekomprehensif
mungkin.
Kami
juga
mengasumsikan bahwa semua fitur kompleks saat kejang sudah diamati. Hal ini
mungkin bukan menjadi kasus untuk anak-anak yang mengalami kejang multipel
dirumah sebelum dibawa ke IGD, atau untuk pasien kejang fokal yang tidak
segera dikenali oleh orangtua. Keterbatasan ini tidak dapat dihindari. Penelitian
lebih lanjut pada topik ini dapat berfokus secara prospektif pada pasien yang
masuk untuk mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai kejang demam.
KESIMPULAN
Meningitis bakterial akut jarang terjadi pada pasien yang mengalmi kejang
demam kompleks pertama kali. Seperti yang diutarakan oleh Kimia et al, pasien
dengan hanya 2 kejang demam singkat dalam 24 jam memiliki kemungkinan
meningitis bakterial akut lebih kecil, dan tidak membutuhkan lumbal pungsi tanpa
gejala klinis gangguan neurologis lainnya. Selanjutnya, pada pasien dengan
kejang demam kompleks pertama kali, lumbal pungsi secara signifikan lebih
sering dilakukan pada pasien dengan kejang fokal, status epileptiukus, atau yang
membutuhkan intubasi.