Daftar Isi....................................................................................................................1
Bab
Pendahuluan........................................................................................2
Bab
II
Pembahasan.........................................................................................3
Bab
III
Definisi....................................................................................3
Sinonim...................................................................................3
Epidemiologi...........................................................................3
Etiologi ...................................................................................5
Patogenesis..............................................................................6
Gejala klinis............................................................................8
Pemeriksaan Penunjang..........................................................15
Diagnosis banding...................................................................16
Penatalaksanaan......................................................................17
Deformitas...............................................................................22
Rehabilitasi..............................................................................23
Penutup...............................................................................................24
Daftar Pustaka............................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak
1400 tahun sebelum Masehi. Kata kusta disebut dalam Kitab Injil, terjemahan dari bahasa
Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Penyakit kusta
disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard
Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta
atau dikenal Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang manifestasi klinisnya terutama pada kulit dan saraf tepi.
Bakteri ini bersifat intraselular obligat. Kerusakan saraf yang paling sering muncul dapat
berupa hilangnya sensasi dan paralisis.1
Morbus Hansen dapat menyerang semua umur dan menyebar luas ke seluruh dunia,
terutama Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropics, serta masyarakat yang
sosial ekonominya lemah. Cara penularan masih belum diketahui pasti, sebagian besar ahli
berpendapat penularan melalui kontak kulit yang lama dan erat, serta melalui inhalasi karena
M. leprae dapat hidup dalam droplet selama beberapa hari.1
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan saja menderita karena penyakitnya
saja namun karena dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya. 1
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi:
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi
dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa
diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan
kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.1
Sinonim
Lepra, morbus Hansen1
Epidemiologi
Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan anggapan klasik
yaitu melalui kontak langsung antara kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah
melalui inhalasi sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.1
1) Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di
daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka
penyakit ini bisa menyerang di mana saja.
2) Epidemiologi Kusta di Indonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena
perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan
pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa
penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk
ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang3
jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan
1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.
Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per
100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan
naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per 100.000 penduduk. Di tingkat provinsi
pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat di Provinsi Papua
(49,65) dan terendah di Provinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun
2002 tertinggi di Provinsi Papua (39,55) dan terendah di Provinsi
Bengkulu (0,250). Cakupan penderita dengan MDT 100%, sedangkan
Puskesmas yang melaporkan penderita kusta sebanyak 4900 dengan angka
kesembuhan lebih dari 90%
Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita
baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002.
Provinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah Provinsi
Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002.
Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta.
Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jawa Timur menyandang beban
sebagai daerah rawan bersama Irian Jaya bagian Barat, Papua, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara,
Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Jakarta.2
Etiologi
Penyebab kusta adalah kuman Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.
Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob,
tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang
merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 3 8 micro, lebar 0,2
0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
5
bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai
akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil tahan asam. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga
golongan organisme patogen (misalnya Mycrobacterium tuberculosis, Mycrobakterium
leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma
infeksion. Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada laboratorium. Kuman
Mycobacterium Leprae menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan
penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari
dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tandatanda
seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak
putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana
mestinya.1,3
Patogenesis
Seseorang yang terinfeksi M.leprae belum tentu akan menderita penyakit kusta.
Bakteri harus memenuhi jumlah minimum agar dapat tumbuh dan menimbulkan
manifestasi klinis. Manifestasi klinis yang ditimbulkan pun tergantung dari sistem
imunitas seluler yang dimiliki host. Pada dasarnya, M. Leprae memiliki patogenitas dan
daya invasi yang rendah karena penderita yang terinfeksi lebih banyak kuman belum
tentu dapat menimbulkan klinis yang lebih parah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
derajat penyakit lebih dipengaruhi oleh reaksi imunitas host dibandingkan derajat
infeksinya. 1,3-5
Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya sesuai
derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam pathogenesis lepra, yaitu kutub tuberkuloid
(TT) dan kutub lepramatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi oleh imunitas yang
bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada individu yang sistem imun
selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel T-helper 1. Sel ini akan mengeluarkan
sitokin pro-inflamasi seperti IFN-, TNF, IL-2, IL-6, IL-12 serta molekul kemotaktil yang
berfungsi memanggil sel makrofag. Sesampainya di kulit, makrofag berubah nama
menjadi histiosit. Histiosit akan memfagosit M. leprae sehingga kuman dapat dieliminasi.
Sedangkan jika sistem imun seluler tidak bekerja secara efektif, makrofag gagal
memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara mengeluarkan
IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang biak di dalamnya. Sel
ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra yang dapat ditemukan di
subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta derivat-derivatnya membentuk
granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat ditemukan terutama pada area tubuh
yang suhunya lebih dingin, seperti: cuping telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis
mata, kaki, dan yang lainnya. 1, 3-5
Perlu diketahui bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit keturunan. Sampai saat ini,
penularannya belum diketahui secara pasti. Kontak langsung antar kulit yang erat dalam
jangka waktu lama serta transmisi airbone (secara inhilasi) diyakini menjadi jalur
penularan penyakit ini. Masa inkubasinya bervariasi antara 40 hari hingga 40 tahun,
namun pada umumnya terjadi dalam 3-5 tahun setelah pertama terinfeksi. 1, 3-5
7
Gejala Klinis
Gejala klinis timbul sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak
gambaran klinis kearah tuberkoloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepramatosa.1
Tuberkuloid polar (TT), yakni tuberkoloid 100% dan lepramatosa polar (LL), yakni
lepramatosa 100% adalah bentuk stabil, yang berarti tidak mungkin berubah tipe.
Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid borderline (BB), dan borderline
lepramatosus (BL) merupakan bentuk tidak stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai
derajat imunitas. Tipe Indeterminate (I) tidak dimasukkan ke dalam spektrum. Pada fase
ini kemungkinan untuk kembali sembuh sebesar 70%, sementara 30% sisanya
kemungkinan dapat berkembang menjadi tipe-tipe di dalam spectrum luas. Zona spectrum
kusta menurut berbagai klasifikasi adalah sebagai berikut:1
Pada tahun 1980, WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MH) dan
pausibasilar (PB).1,2
Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan
kerokan jaringan kulit. Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah, sehingga
diklasifikasikan ke dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL, dan LL memiliki jumlah
BTA yang tinggi sehingga di klasifikan ke dalam multibasilar.
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan
jaringan kulit, yaitu tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley Jopling. Bila pada
tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan dalam kusta tipe MB.
Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun
klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 1
SIFAT
Lesi
-
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anesthesia
LEPROMATOSA
(LL)
BORDERLINE
LEPROMATOSA (BL)
MID BORDERLINE
(BB)
Makula
Infiltrate difus
Papul
Nodus
Tidak
terhitung,
Makula
Plakat
Papul
Plakat
Dome-shapped (kubah)
Punched-out
kulit sehat
Asimetris
Agak kasar, agak berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
Banyak
Biasanya negative
Agak banyak
Negatif
Negatif
Biasanya negative
Sukar
dihitung,
tidak jelas
BTA
-
Lesi kulit
Sekret
hidung
Negatif
Tes lepromin
SIFAT
TUBERKULOID
(TT)
BORDERLINE
TUBERKULOID
(BT)
INDETERMINATE
(I)
Lesi
-
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anesthesia
BTA
-
Lesi kulit
dibatasi infiltrate;
Infiltrate saja
Satu atau beberapa
Beberapa atau satu
dengan satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas
Jelas
Tes lepromin
Variasi
Halus, agak berkilat
Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Tak ada sampai tidak jelas
Agak banyak
Biasanya negatif
Dapat positif lemah atau
negative
Gambar 4. Gambaran klinis Morbus Hansen Menurut Klasifiksi Ridley and Jopling
10
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, maka
pada tahun 1995 WHO menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit
dan kerusakan saraf yang terkena.1
Pausibasilar (PB)
Jumlah : 1-5 lesi
Lesi Kulit
(makula datar,
Kerusakan Saraf
Warna : Hipopigmentasi /
Multibasilar (MB)
Jumlah : 1-5 lesi
eritema
-
Distribusi : asimetris
Anestesia : jelas
Distribusi
simetris
-
Anestesia : kurang
jelas
Banyak
cabang
saraf
Tabel 4. Kriteria Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)1,8
Disamping gejala klinis dari anamnesis, penting untuk melalukan pemeriksaan fisik
untuk menegakkan diagnosis lepra. Dari inspeksi, lesi kulit yang timbul pada lepra mirip
dengan lesi kulit pada penyakit-penyakit lainnya (misal : dermatofitosis, tinea versikolor,
pitiriasis alba/rosea, dermatitis, skleroderma, dll) sehingga lepra dijuluki sebagai the
greatest imitator. Ada tidaknya baal yang dapat diketahui melalui tes sensitivitas cukup
membantu penyingkiran diagnosis banding. Tes sensitivitas dilakukan menggunakan
kapas (untuk rangsang raba), jarum (untuk rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air
panas dan hinggin (untuk rangsang suhu).1
Tidak hanya komponen sensorik, komponen motorik dan otonom saraf perifer harus
diperiksa pada pasien dengan memiliki lesi kulit yang dicurigai kusta. Fungsi otonom
dapat dinilai dengan memperhatikan ada atau tidaknya dehidrasi pada lesi atau diperiksa
dengan bantuan tinta gunawan. Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan
cara palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang bersangkutan.
Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle test. Saraf perifer yang diperiksa
antara lain : n. fasialis, n. aurikularis magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n.
poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior.1
Gejala-gejala kerusakan saraf:
N. ulnaris :
atrofi hipotenar dan otot intraoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
N. medianus :
anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
N. radialis :
N. poplitea lateralis :
N. tibialis posterior :
claw toes
N. fasialis :
cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir
N. trigeminus :
Primer dapat menyebabkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga mendesak
jaringan mata lainnya
Infiltrasi granuloma kedalam adneksa kulit, terdiri kelenjar keringat, kelenjar palit, dan
folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Tipe lepromatosa dapat
timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma
pada tubulus seminiferus testis.1,3
Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatosa yang pertama dikemukakan
oleh WADE pada tahun 1963. Secara klinis berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat
juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relaps
sensitive atau relaps resisten. 1
Kusta tipe neural murni
Kusta tipe neural murni mempuyai tanda sebagai berikut:
Ada anastesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang dipersarafinya
Bakterioskopik negatif
untuk menentukkan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau nonspesifik, harus
dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf. 1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Sediaan diperoleh dari kerokan kulit yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHLNEELSEN. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.
Untuk pemeriksaan rutin, diambil sediaan minimal dari 4-6 tempat yang lesinya
paling aktif. Dua tempat wajib untuk pengambilan sediaan adalah bagian bawah kedua
cuping telinga, sementara 2-4 sediaan lainnya diperoleh dari lesi yang paling aktif.
Cara pengambiln bahan adalah dengan menggunakan scalpel steril. Lesi didesinfeksi
kemudian dijepit antara ibu jari dan telunjuk agar iskemik, kemudian dilakukan irisan
yang dibuat harus sampai di lapisan dermis, melampaui subepidermal clear zone yang
mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya banyak mengandung kuman M.
leprae.
Sediaan dari mukosa hidung jarang dilakukan karena:
-
Bila diobati, hasil pemeriksaan mukosa hidung negatif lebih dulu dibandingkan
dengan kerokan jaringan kulit.
M. leprae tergolong basil tahan asam yang akan tampak berwarna merah saat
pemeriksaan mikroskopik. Perlu dihitung indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM)
dari pemeriksaan ini. Indeks bakteri merupakan jumlah keseluruhan basil tahan asam
yang ditemukan dari pemeriksaan mikroskopis, nilainya bergradasi dari 0 hingga 6+.
14
Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, biasanya diindikasikan untuk membantu
diagnosis kusta pada kasus yang meragukan atau kusta subklinis (lesi di kulit tidak ada).
Uji yang dapat dilakukan antara lain:
-
Uji MLPA
Uji ELISA
Diagnosis Banding
Penyakit kusta merupakan the greatest imitator dalam ilmu Penyakit Kulit, diagnosis
bandingnya antara lain dermatofitosis, tinea versicolor, ptriasis alba, ptriasis rosea,
dermatitis seboroika, psoriasis, neurofibromatosis, granula anulare, xantomatosis,
skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa, dan birth mark.1
Reaksi Kusta
Merupakan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, biasanya terjadi
setelah pengobatan dan berhubungan dengan reaksi imun. Terdapat 2 jenis reaksi kusta,
antara lain:
pengobatan 6 bulan pertama. Karakteristik reaksi reversal adalah lesi yang sudah
ada semakin aktif dan timbul lesi-lesi baru. Pada tipe ini, juga dapat muncul gejala
neuritis akut yang memerlukan tatalaksana sesegera mungkin. 1
Secara klinis, ENL mempunyai lesi eritema nodusum sehingga disebut reaksi lepra
nodular sedangkan reversal tanpa nodus disebut reaksi non-nodular.1
Fenomena Lucio
Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta
tipe lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko dan
Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai di negeri lain dengan prevelensi rendah.
Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk tak
teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh.
Lesi yang berat tampak lebih eritromatosa, disertai purpura, dan bula, kemudian dengan
cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.1
Gambaran histopatologik menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endotelial pembuluh darah lebih
dalam. Didapatkan banyak basil M.leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan
infiltrat polimorfonuklear seperti pada E.N.L, namun dengan imunofluoresensi tampak
16
Monoterapi DDS
Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leukopenia, insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik,
hepatitis, hipoalbuminemia, dan metheglobinemia.1
Rifampisin
Merupakan salah satu komponen kombinasi dari DDS dengan dosis 10 mg/kg BB.
Tidak boleh diberikan sebagai monoterapi karena dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya resistensi. Tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu
17
mengingat efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit, dan warna kemerahan
pada keringat, air mata, dan urin.1
Klofazimin (lamprene)
Dosis sebagai anti kusta adalah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x
100 mg selama seminggu. Karena memiliki sifat antiflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg 300 mg / hari namun awitan
kerja baru timbul setelah 2 3 minggu. Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan
pada kulit, warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan
klofazimin merupakan zat warna dan dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial,
mukosa dan kulit. Pigmentasi bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak
obat dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi adalah nyeri
abdomen, nausea, diare, anorexia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat
badan. 1
Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari. Di Indonesia, obat ini tidak atau
jarang dipakai. Distribusi dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal
sukar ditentukan.1
Obat alternatif:1
Ofloksasin
Merupakan turunuan fluorokuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae in vitro.
Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan
membunuh hingga 99,99%. Efek samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna,
gangguan saraf pusat (insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi).
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati karena pada
hewan muda kuinolon dapat menyebabkan artropati.
Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada
klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian adalah 100 mg.
18
keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan RFC.
Anjuran terbaru dari WHO mengatakan RFC tidak diperlukan, walau ada perdebatan
untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar
dengan lesi 2-5 buah, dan penderita multibasilar dengan lesi lebih 5 buah. Kasus PB
dengan lesi tunggal ditatalaksana dengan Rifampisin 600 mg + Ofloksasin 400 mg +
Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
3. Rejimen Situasi Khusus
-
Pasien yang tidak dapat atau menolak mengonsumsi klofazimin (efek samping)
Dapat di ganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau
moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti regimen
MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg ditambah ofloksasin 400 mg
dan minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.
Relaps
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan BI sebelum pengobatan sebesar >3.
WHO menyarankan agar pasien dengan BI yang tinggi dapat diterapi lebih dari 12 bulan,
dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan bakteriologisnya. Beberapa studi
menyebutkan bahwa mengulang regimen secara total dapat menyembuhkan kasus relaps
tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan
dengan relaps resisten.1
20
Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga dapat
diberikan.
2. Reaksi tipe 2 (ENL)
Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama
pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1
mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif.
Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin
dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan
tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24
minggu. Perlu diperhatikan bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk
klofazimin mengontrol ENL.
Deformitas atau cacat 1
21
Deformitas atau cacat kusta disesuaikan patofisiologi, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung dari granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf
(sensorik, motorik, otonom). Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak
mendapat MDT mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan
reaksi kusta terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan
saraf berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot.
Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju, memergang pulpen,
atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini, mengenali
reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.
Tingkat 0
Tingkat 1
Tingkat 2
berkurang
Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea keruh)
Tingkat 0
Tingkat 1
Tingkat 2
Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti penggunaan sepatu,
karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan luka-luka yang dapat
menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung diri lain yang dapat digunakan
juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan kacamata untuk melindungi mata. Selain itu,
kebersihan dan kelembaban kulit telapak tangan dan kaki juga harus dijaga untuk mencegah
penyakit kulit yang dapat terjadi.
Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain dengan
jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi
fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
22
Cara lain adalah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai
dengan cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya
diri, selain dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).
BAB III
PENUTUP
Kusta atau dikenal Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik granulomatosa yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang manifestasi klinisnya terutama pada kulit dan
saraf tepi. Dapat menyerang semua umur dan menyebar luas ke seluruh dunia. Cara
penularan masih belum diketahui pasti, namun masih dipikirkan penularan melalui kontak
antarkulit yang erat dan lama, serta penularan secara inhalasi.
Morbus Hansen merupakan the greatest imitator dalam ilmu Penyakit Kulit, dimana
gejalanya dapat menyerupai penyakit lainnya. Manifestasi klinis pada kusta atau Morbus
Hansen ini sesuai dengan sistem imunitas selularnya (SIS). Bila SIS baik akan tampak
gambaran klinis kearah tuberkoloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepramatosa. WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MH) dan pausibasilar (PB).
Dimana pada tipe MB, ditemukan BTA (+) sedangkan pada tipe PB, BTA yang ditemukan
negatif. MH merupakan penyakit Selain itu bisa juga terjadi reaksi kusta yang merupakan
episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, biasanya terjadi setelah pengobatan dan
berhubungan dengan reaksi imun. Terdapat 2 jenis reaksi kusta, antara lain reaksi ENL
(eritema nodusum lepramatosa) dan reaksi reversal. Untuk pengobatan pada penyakit kusta,
dilakukan dengan pemberian MDT.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Daili EMSS, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. Edisi 6. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2010.hal 73-83
2. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, Buku Pedomanan Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. 17 th ed.
Jakarta; 2005.p.71-82
3. Elder DE, E lentisitas R, Johnson BL, etc all (editors). Lever's histophatology of the skin, 9 th
ed. New YORK: Lippincott Williams and Wilkins; 2005. chapter 21
4. Silva MR, Castro MCR. Mycobacterial Infection. In: Bolognia Jl_, Jorisso JL, Rapini RP,
editor. Dermatologi:Mosby; 2003.p 1145-52
5. Montoya D, Moddlin RL. Advance in Immunology (Vol. 105, 2010, 1-24). Learning from
Leprosy : Insight into the Hunam Innate Immune Response. Los Angeles: Elsevier; 2010.
Available from : http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0065277610050017
24