Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

Daftar Isi....................................................................................................................1
Bab

Pendahuluan........................................................................................2

Bab

II

Pembahasan.........................................................................................3

Bab

III

Definisi....................................................................................3
Sinonim...................................................................................3
Epidemiologi...........................................................................3
Etiologi ...................................................................................5
Patogenesis..............................................................................6
Gejala klinis............................................................................8
Pemeriksaan Penunjang..........................................................15
Diagnosis banding...................................................................16
Penatalaksanaan......................................................................17
Deformitas...............................................................................22
Rehabilitasi..............................................................................23

Penutup...............................................................................................24

Daftar Pustaka............................................................................................................25

BAB I
PENDAHULUAN
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak
1400 tahun sebelum Masehi. Kata kusta disebut dalam Kitab Injil, terjemahan dari bahasa
Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Penyakit kusta
disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard
Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta
atau dikenal Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang manifestasi klinisnya terutama pada kulit dan saraf tepi.
Bakteri ini bersifat intraselular obligat. Kerusakan saraf yang paling sering muncul dapat
berupa hilangnya sensasi dan paralisis.1
Morbus Hansen dapat menyerang semua umur dan menyebar luas ke seluruh dunia,
terutama Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropics, serta masyarakat yang
sosial ekonominya lemah. Cara penularan masih belum diketahui pasti, sebagian besar ahli
berpendapat penularan melalui kontak kulit yang lama dan erat, serta melalui inhalasi karena
M. leprae dapat hidup dalam droplet selama beberapa hari.1
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan saja menderita karena penyakitnya
saja namun karena dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya. 1

BAB II
PEMBAHASAN
Definisi:
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi
dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa
diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan
kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.1
Sinonim
Lepra, morbus Hansen1
Epidemiologi
Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan anggapan klasik
yaitu melalui kontak langsung antara kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah
melalui inhalasi sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.1
1) Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di
daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka
penyakit ini bisa menyerang di mana saja.
2) Epidemiologi Kusta di Indonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena
perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan
pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa
penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk
ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang3

orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan


berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia
sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia
menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai
target yang ditetapkan oleh World Health Organisation yaitu tahun 2000.
a. Prevalensi Penderita Kusta
Pada akhir tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar 17.539 kasus
yang mendapat pengobatan MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137
kasus pada desember 2001, akan tetapi terjadi peningkatan pada tahun
2002 menjadi 19.100 kasus. Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk
menurun dari 0,99 menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi
menjadi 0,92.
Pada tahun 2001, Prevalensi Rate di tingkat propinsi mempunyai
variasi yang sangat lebar DI Yogyakarta (0,09) dan tertinggi di Propinsi
Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002 Prevalensi Rate terendah di
propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara (6,72). Dari
gambaran prevalensi di propinsi, terlihat bahwa kebanyakan propinsi yang
belum dapat mencapai eliminasi terletak di Kawasan Indonesia Timur dan
daerah yang sering terjadi konflik.
b. Angka Penemuan Penderita Baru
Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya
11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun
2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus
ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan

jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan
1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.
Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per
100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan
naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per 100.000 penduduk. Di tingkat provinsi
pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat di Provinsi Papua
(49,65) dan terendah di Provinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun
2002 tertinggi di Provinsi Papua (39,55) dan terendah di Provinsi
Bengkulu (0,250). Cakupan penderita dengan MDT 100%, sedangkan
Puskesmas yang melaporkan penderita kusta sebanyak 4900 dengan angka
kesembuhan lebih dari 90%
Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita
baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002.
Provinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah Provinsi
Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002.
Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta.
Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jawa Timur menyandang beban
sebagai daerah rawan bersama Irian Jaya bagian Barat, Papua, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara,
Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Jakarta.2

Etiologi
Penyebab kusta adalah kuman Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.
Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob,
tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang
merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 3 8 micro, lebar 0,2
0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
5

bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai
akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil tahan asam. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga
golongan organisme patogen (misalnya Mycrobacterium tuberculosis, Mycrobakterium
leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma
infeksion. Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada laboratorium. Kuman
Mycobacterium Leprae menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan
penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari
dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tandatanda
seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak
putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana
mestinya.1,3

Gambar 1. Mycobacterium leprae

Patogenesis
Seseorang yang terinfeksi M.leprae belum tentu akan menderita penyakit kusta.
Bakteri harus memenuhi jumlah minimum agar dapat tumbuh dan menimbulkan
manifestasi klinis. Manifestasi klinis yang ditimbulkan pun tergantung dari sistem
imunitas seluler yang dimiliki host. Pada dasarnya, M. Leprae memiliki patogenitas dan
daya invasi yang rendah karena penderita yang terinfeksi lebih banyak kuman belum
tentu dapat menimbulkan klinis yang lebih parah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
derajat penyakit lebih dipengaruhi oleh reaksi imunitas host dibandingkan derajat
infeksinya. 1,3-5

Gambar 2. Patogenesis Lepra dan Respon Imun Selular5

Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya sesuai
derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam pathogenesis lepra, yaitu kutub tuberkuloid
(TT) dan kutub lepramatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi oleh imunitas yang
bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada individu yang sistem imun
selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel T-helper 1. Sel ini akan mengeluarkan
sitokin pro-inflamasi seperti IFN-, TNF, IL-2, IL-6, IL-12 serta molekul kemotaktil yang
berfungsi memanggil sel makrofag. Sesampainya di kulit, makrofag berubah nama
menjadi histiosit. Histiosit akan memfagosit M. leprae sehingga kuman dapat dieliminasi.
Sedangkan jika sistem imun seluler tidak bekerja secara efektif, makrofag gagal
memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara mengeluarkan
IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang biak di dalamnya. Sel
ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra yang dapat ditemukan di
subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta derivat-derivatnya membentuk
granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat ditemukan terutama pada area tubuh
yang suhunya lebih dingin, seperti: cuping telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis
mata, kaki, dan yang lainnya. 1, 3-5
Perlu diketahui bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit keturunan. Sampai saat ini,
penularannya belum diketahui secara pasti. Kontak langsung antar kulit yang erat dalam
jangka waktu lama serta transmisi airbone (secara inhilasi) diyakini menjadi jalur
penularan penyakit ini. Masa inkubasinya bervariasi antara 40 hari hingga 40 tahun,
namun pada umumnya terjadi dalam 3-5 tahun setelah pertama terinfeksi. 1, 3-5
7

Gejala Klinis
Gejala klinis timbul sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak
gambaran klinis kearah tuberkoloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepramatosa.1
Tuberkuloid polar (TT), yakni tuberkoloid 100% dan lepramatosa polar (LL), yakni
lepramatosa 100% adalah bentuk stabil, yang berarti tidak mungkin berubah tipe.
Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid borderline (BB), dan borderline
lepramatosus (BL) merupakan bentuk tidak stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai
derajat imunitas. Tipe Indeterminate (I) tidak dimasukkan ke dalam spektrum. Pada fase
ini kemungkinan untuk kembali sembuh sebesar 70%, sementara 30% sisanya
kemungkinan dapat berkembang menjadi tipe-tipe di dalam spectrum luas. Zona spectrum
kusta menurut berbagai klasifikasi adalah sebagai berikut:1

Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

Pada tahun 1980, WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MH) dan
pausibasilar (PB).1,2

Gambar 3. Perbandingan Klasifikasi Ridley-Jopling dengan Klasifikasi WHO

Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan
kerokan jaringan kulit. Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah, sehingga
diklasifikasikan ke dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL, dan LL memiliki jumlah
BTA yang tinggi sehingga di klasifikan ke dalam multibasilar.
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan
jaringan kulit, yaitu tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley Jopling. Bila pada
tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan dalam kusta tipe MB.
Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun
klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 1
SIFAT
Lesi
-

Bentuk

Jumlah

Distribusi
Permukaan
Batas
Anesthesia

LEPROMATOSA
(LL)

BORDERLINE
LEPROMATOSA (BL)

MID BORDERLINE
(BB)

Makula
Infiltrate difus
Papul
Nodus
Tidak
terhitung,

Makula
Plakat
Papul

Plakat
Dome-shapped (kubah)
Punched-out

tidak ada kulit sehat


Simetris
Halus berkilat
Tidak jelas
Tidak ada sampai

ada kulit sehat


Hampir simetris
Halus berkilat
Agak jelas
Tak jelas

kulit sehat
Asimetris
Agak kasar, agak berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

Banyak
Biasanya negative

Agak banyak
Negatif

Negatif

Biasanya negative

Sukar

dihitung,

masih Dapat dihitung, jelas ada

tidak jelas
BTA
-

Lesi kulit
Sekret

Banyak (ada globus)


Banyak (ada globus)

hidung
Negatif
Tes lepromin

Tabel 2. Gejala klinis Multibasiler (MB)

SIFAT

TUBERKULOID
(TT)

BORDERLINE
TUBERKULOID
(BT)

INDETERMINATE
(I)

Lesi
-

Bentuk

Makula saja; makula Makula saja; makula Hanya makula


dibatasi infiltrat

Jumlah

Distribusi
Permukaan
Batas

Anesthesia

BTA
-

Lesi kulit

Satu, dapat beberapa


Asimetris
Kering bersisik
Jelas
Jelas

dibatasi infiltrate;
Infiltrate saja
Satu atau beberapa
Beberapa atau satu
dengan satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas
Jelas

Hampir selalu negatif


Positif kuat (3+)

Negatif atau hanya 1+


Positif lemah

Tes lepromin

Variasi
Halus, agak berkilat
Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Tak ada sampai tidak jelas
Agak banyak
Biasanya negatif
Dapat positif lemah atau
negative

Tabel 3. Gambaran klinis Pausibasiler (PB)

Gambar 4. Gambaran klinis Morbus Hansen Menurut Klasifiksi Ridley and Jopling

10

Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, maka
pada tahun 1995 WHO menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit
dan kerusakan saraf yang terkena.1
Pausibasilar (PB)
Jumlah : 1-5 lesi

Lesi Kulit

(makula datar,

papul yang meninggi,


nodus)

Kerusakan Saraf

Warna : Hipopigmentasi /

Multibasilar (MB)
Jumlah : 1-5 lesi

eritema
-

Distribusi : asimetris

Anestesia : jelas

Hanya satu cabang saraf

Distribusi

simetris
-

Anestesia : kurang
jelas
Banyak

cabang

saraf
Tabel 4. Kriteria Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)1,8
Disamping gejala klinis dari anamnesis, penting untuk melalukan pemeriksaan fisik
untuk menegakkan diagnosis lepra. Dari inspeksi, lesi kulit yang timbul pada lepra mirip
dengan lesi kulit pada penyakit-penyakit lainnya (misal : dermatofitosis, tinea versikolor,
pitiriasis alba/rosea, dermatitis, skleroderma, dll) sehingga lepra dijuluki sebagai the
greatest imitator. Ada tidaknya baal yang dapat diketahui melalui tes sensitivitas cukup
membantu penyingkiran diagnosis banding. Tes sensitivitas dilakukan menggunakan
kapas (untuk rangsang raba), jarum (untuk rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air
panas dan hinggin (untuk rangsang suhu).1
Tidak hanya komponen sensorik, komponen motorik dan otonom saraf perifer harus
diperiksa pada pasien dengan memiliki lesi kulit yang dicurigai kusta. Fungsi otonom
dapat dinilai dengan memperhatikan ada atau tidaknya dehidrasi pada lesi atau diperiksa
dengan bantuan tinta gunawan. Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan
cara palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang bersangkutan.
Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle test. Saraf perifer yang diperiksa
antara lain : n. fasialis, n. aurikularis magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n.
poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior.1
Gejala-gejala kerusakan saraf:
N. ulnaris :

anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis


11

clawing kelingking dan jari manis

atrofi hipotenar dan otot intraoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.

N. medianus :

anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

ibu jari kontraktur

atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

N. radialis :

anastesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

tangan gantung (wrist drop)

tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

N. poplitea lateralis :

anastesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

kaki gantung (foot drop)

kelemahan otot peroneus

N. tibialis posterior :

anastesia telapak kaki

claw toes

paralisis otot intrinsik kaki dan olaps arkus pedis

N. fasialis :

cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus

cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir

N. trigeminus :

anastesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata


12

atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Kerusakan mata pada kusta :

Primer dapat menyebabkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga mendesak
jaringan mata lainnya

Sekunder disebabkan rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N.


orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya yang mengakibatkan lagoftalmus,
lalu kerusakan bagian mata yang lain, dan berakhir kebutaan.1,

Gambar 5. Lagopthalmus : Akibat kerusakan N. facialis cabang temporal dan zygomaticus

Infiltrasi granuloma kedalam adneksa kulit, terdiri kelenjar keringat, kelenjar palit, dan
folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Tipe lepromatosa dapat
timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma
pada tubulus seminiferus testis.1,3
Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatosa yang pertama dikemukakan
oleh WADE pada tahun 1963. Secara klinis berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat
juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relaps
sensitive atau relaps resisten. 1
Kusta tipe neural murni
Kusta tipe neural murni mempuyai tanda sebagai berikut:

Lesi kulit tidak ada / tidak pernah ada

Ada satu atau lebih pembesaran saraf


13

Ada anastesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang dipersarafinya

Bakterioskopik negatif

Tes Mitsuda umumnya positif

untuk menentukkan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau nonspesifik, harus
dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf. 1

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Sediaan diperoleh dari kerokan kulit yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHLNEELSEN. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.
Untuk pemeriksaan rutin, diambil sediaan minimal dari 4-6 tempat yang lesinya
paling aktif. Dua tempat wajib untuk pengambilan sediaan adalah bagian bawah kedua
cuping telinga, sementara 2-4 sediaan lainnya diperoleh dari lesi yang paling aktif.
Cara pengambiln bahan adalah dengan menggunakan scalpel steril. Lesi didesinfeksi
kemudian dijepit antara ibu jari dan telunjuk agar iskemik, kemudian dilakukan irisan
yang dibuat harus sampai di lapisan dermis, melampaui subepidermal clear zone yang
mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya banyak mengandung kuman M.
leprae.
Sediaan dari mukosa hidung jarang dilakukan karena:
-

Kemungkinan adanya M.atipik

M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif

Bila diobati, hasil pemeriksaan mukosa hidung negatif lebih dulu dibandingkan
dengan kerokan jaringan kulit.

Rasa nyeri pada saat pemeriksaan

M. leprae tergolong basil tahan asam yang akan tampak berwarna merah saat
pemeriksaan mikroskopik. Perlu dihitung indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM)
dari pemeriksaan ini. Indeks bakteri merupakan jumlah keseluruhan basil tahan asam
yang ditemukan dari pemeriksaan mikroskopis, nilainya bergradasi dari 0 hingga 6+.

14

Sedangkan indeks morfologi merupakan persentase bentuk basil yang solid


dibandingkan dengan jumlah keseluruhan basil (solid + nonsolid).1,3,4
Pemeriksaan Histopatologik
Pada tipe tuberkuloid, gambaran histopatologik yang dapat ditemukan adalah
tuberkel (massa epiteloud yang berlebihan dikelilingi oleh sel limfosit), kuman hanya
sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan pada tipe lepromatosa terdapat
sel-sel Virchow yang mengandung banyak kuman di subepidermal clear zone.1,4,

Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, biasanya diindikasikan untuk membantu
diagnosis kusta pada kasus yang meragukan atau kusta subklinis (lesi di kulit tidak ada).
Uji yang dapat dilakukan antara lain:
-

Uji MLPA

Uji ELISA

M. leprae dipstick test

M. leprae flow test 1

Diagnosis Banding
Penyakit kusta merupakan the greatest imitator dalam ilmu Penyakit Kulit, diagnosis
bandingnya antara lain dermatofitosis, tinea versicolor, ptriasis alba, ptriasis rosea,
dermatitis seboroika, psoriasis, neurofibromatosis, granula anulare, xantomatosis,
skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa, dan birth mark.1
Reaksi Kusta
Merupakan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, biasanya terjadi
setelah pengobatan dan berhubungan dengan reaksi imun. Terdapat 2 jenis reaksi kusta,
antara lain:

Reaksi ENL (eritema nodusum leprosum)


Reaksi ENL termasuk dalam reaksi imun humoral (antigen + antibodi +
komplemen). Biasanya terjadi pada tipe lepromatosa polar, namun dapat timbul juga
pada BL. Semakin tinggi tingkat multibasilarnya semakin besar kemungkinan
terjadinya ENL. Reaksi ENL terjadi akibat banyaknya kuman yang hancur dan mati
15

ketika mendapatkan pengobatan. Basil yang hancur ini mengeluarkan banyak


antigen sehingga berinteraksi dengan antibodi dan mengaktivasi sistem komplemen.
Komplek imun ini beredar di sirkulasi dan dapat menyerang berbagai organ.
Karakteristik reaksi ENL adalah ditemukannya nodus eritematosa yang nyeri
dengan predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis
dengan adanya protenuria.1,4

Reaksi Reversal (reaksi borderline / reaksi upgrading)


Berbeda dengan reaksi ENL, pada reaksi reversal hanya dapat terjadi pada tipe
borderline. Oleh karena itu, reaksi reversal disebut juga sebagai reaksi borderline.
Reaksi reversal merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pada reaksi ini,
terjadi peningkatan imunitas sehingga terjadi perpindahan tipe kearah tuberkoloid
yang terjadi secara cepat

dan mendadak. Biasanya reaksi ini terjadi pada

pengobatan 6 bulan pertama. Karakteristik reaksi reversal adalah lesi yang sudah
ada semakin aktif dan timbul lesi-lesi baru. Pada tipe ini, juga dapat muncul gejala
neuritis akut yang memerlukan tatalaksana sesegera mungkin. 1
Secara klinis, ENL mempunyai lesi eritema nodusum sehingga disebut reaksi lepra
nodular sedangkan reversal tanpa nodus disebut reaksi non-nodular.1
Fenomena Lucio
Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta
tipe lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko dan
Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai di negeri lain dengan prevelensi rendah.
Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk tak
teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh.
Lesi yang berat tampak lebih eritromatosa, disertai purpura, dan bula, kemudian dengan
cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.1
Gambaran histopatologik menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endotelial pembuluh darah lebih
dalam. Didapatkan banyak basil M.leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan
infiltrat polimorfonuklear seperti pada E.N.L, namun dengan imunofluoresensi tampak

16

deposit imunoglobulin dengan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer


komples imun yang beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.1
Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan adalah memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah
timbulnya penyakit dan untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan strategi pokok yang
didasarkan pada deteksi dini dan pengobatan penderita.
DDS
Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali dapat
menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi hanya terjadi
pada kusta multibasilar, tidak pada kusta pausibasilar oleh karena SIS penderita PB tinggi
dan pengobatannya relative singkat. Resistensi terhadap DDS ini yang memicu
dilakukannya MDT.
Resistensi terhadap DDS dapat primer ataupun sekunder. Resistensi primer dapat
terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten, dan manifestasinya dapat
dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL), bergantung pada SIS penderita. Derajat
resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi,
sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi. Resistensi
sekunder terjadi oleh karena:
-

Monoterapi DDS

Dosis terlalu rendah

Minum obat tidak teratur

Minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun lama pengobatannya

Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun

Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leukopenia, insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik,
hepatitis, hipoalbuminemia, dan metheglobinemia.1
Rifampisin
Merupakan salah satu komponen kombinasi dari DDS dengan dosis 10 mg/kg BB.
Tidak boleh diberikan sebagai monoterapi karena dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya resistensi. Tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu
17

mengingat efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit, dan warna kemerahan
pada keringat, air mata, dan urin.1
Klofazimin (lamprene)
Dosis sebagai anti kusta adalah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x
100 mg selama seminggu. Karena memiliki sifat antiflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg 300 mg / hari namun awitan
kerja baru timbul setelah 2 3 minggu. Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan
pada kulit, warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan
klofazimin merupakan zat warna dan dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial,
mukosa dan kulit. Pigmentasi bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak
obat dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi adalah nyeri
abdomen, nausea, diare, anorexia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat
badan. 1
Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari. Di Indonesia, obat ini tidak atau
jarang dipakai. Distribusi dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal
sukar ditentukan.1
Obat alternatif:1
Ofloksasin
Merupakan turunuan fluorokuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae in vitro.
Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan
membunuh hingga 99,99%. Efek samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna,
gangguan saraf pusat (insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi).
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati karena pada
hewan muda kuinolon dapat menyebabkan artropati.
Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada
klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian adalah 100 mg.
18

Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang


menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran
cerna dan SSP termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh karena itu tidak dianjurkan pada
anak-anak atau selama kehamilan.
Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M.
leprae. Dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih
dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare yang
terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.
Cara Pemberian MDT
1. MDT untuk Multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif):
-

Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan

DDS 100 mg setiap hari

Klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari


atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.
Mula-mula kombinasi diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan syarat

bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan


dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan
secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah
pengobatan selesai, maka disebut RFT (Release from treatment). Setelah RFT
dilakukan tindak lanjut secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama
5 tahun. Apabila negatif, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release
from control). Apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan secara klinis,
pemberian obat dapat diberikan dihentikan,tanpa memperhatikan bakterioskopik.
2. MDT untuk Pausibasilar (I, TT, BT, dengan BTA negatif) adalah:
Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan,
dengan pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari. 1,8,9 Keduanya diberikan
dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RTF setelah 6-9 bulan. Selama
pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan
minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada
19

keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan RFC.
Anjuran terbaru dari WHO mengatakan RFC tidak diperlukan, walau ada perdebatan
untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar
dengan lesi 2-5 buah, dan penderita multibasilar dengan lesi lebih 5 buah. Kasus PB
dengan lesi tunggal ditatalaksana dengan Rifampisin 600 mg + Ofloksasin 400 mg +
Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
3. Rejimen Situasi Khusus
-

Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau


resisten rifampisin).

6 bulan pertama : setiap hari mengkonsumsi klofazimin 50 mg, Ofloxacin 400


mg, dan Minosiklin 100 mg setiap hari

18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah


dengan 100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg.

Pasien yang tidak dapat atau menolak mengonsumsi klofazimin (efek samping)
Dapat di ganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau
moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti regimen
MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg ditambah ofloksasin 400 mg
dan minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.

Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS


Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen pengobatan PB,
klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS, dengan dosis yang sama
dengan dosis pada regimen pengobatan MB.

Relaps
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan BI sebelum pengobatan sebesar >3.
WHO menyarankan agar pasien dengan BI yang tinggi dapat diterapi lebih dari 12 bulan,
dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan bakteriologisnya. Beberapa studi
menyebutkan bahwa mengulang regimen secara total dapat menyembuhkan kasus relaps
tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan
dengan relaps resisten.1

20

Pengobatan Reaksi kusta1,2


1. Reaksi tipe 1 (reversal)
Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat
Minggu pemberian
1-2
3-4
5-6
7-8
9-10
11-12

Dosis prednisone harian yang dianjurkan


40 mg
30 mg
20 mg
15 mg
10 mg
5 mg

Tabel 5. Dosis prednisone harian menurut minggu pemberian1

Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga dapat
diberikan.
2. Reaksi tipe 2 (ENL)
Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama
pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1
mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif.
Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin
dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan
tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24
minggu. Perlu diperhatikan bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk
klofazimin mengontrol ENL.
Deformitas atau cacat 1
21

Deformitas atau cacat kusta disesuaikan patofisiologi, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung dari granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf
(sensorik, motorik, otonom). Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak
mendapat MDT mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan
reaksi kusta terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan
saraf berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot.
Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju, memergang pulpen,
atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini, mengenali
reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.

Tingkat 0
Tingkat 1

Cacat pada tangan dan kaki


Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas
Ada gangguan sensibilitas TANPA kerusakan atau deformitas
Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tidak ada kelainan/kerusakan
Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus sedikit

Tingkat 2

berkurang
Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea keruh)

Tingkat 0
Tingkat 1
Tingkat 2

dan/atau visus sangat terganggu


Tabel 6. Derajat kecacatan

Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti penggunaan sepatu,
karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan luka-luka yang dapat
menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung diri lain yang dapat digunakan
juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan kacamata untuk melindungi mata. Selain itu,
kebersihan dan kelembaban kulit telapak tangan dan kaki juga harus dijaga untuk mencegah
penyakit kulit yang dapat terjadi.
Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain dengan
jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi
fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
22

Cara lain adalah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai
dengan cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya
diri, selain dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).

BAB III
PENUTUP
Kusta atau dikenal Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik granulomatosa yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang manifestasi klinisnya terutama pada kulit dan
saraf tepi. Dapat menyerang semua umur dan menyebar luas ke seluruh dunia. Cara
penularan masih belum diketahui pasti, namun masih dipikirkan penularan melalui kontak
antarkulit yang erat dan lama, serta penularan secara inhalasi.
Morbus Hansen merupakan the greatest imitator dalam ilmu Penyakit Kulit, dimana
gejalanya dapat menyerupai penyakit lainnya. Manifestasi klinis pada kusta atau Morbus
Hansen ini sesuai dengan sistem imunitas selularnya (SIS). Bila SIS baik akan tampak
gambaran klinis kearah tuberkoloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepramatosa. WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MH) dan pausibasilar (PB).
Dimana pada tipe MB, ditemukan BTA (+) sedangkan pada tipe PB, BTA yang ditemukan
negatif. MH merupakan penyakit Selain itu bisa juga terjadi reaksi kusta yang merupakan
episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, biasanya terjadi setelah pengobatan dan
berhubungan dengan reaksi imun. Terdapat 2 jenis reaksi kusta, antara lain reaksi ENL
(eritema nodusum lepramatosa) dan reaksi reversal. Untuk pengobatan pada penyakit kusta,
dilakukan dengan pemberian MDT.

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Daili EMSS, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. Edisi 6. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2010.hal 73-83
2. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, Buku Pedomanan Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. 17 th ed.
Jakarta; 2005.p.71-82
3. Elder DE, E lentisitas R, Johnson BL, etc all (editors). Lever's histophatology of the skin, 9 th
ed. New YORK: Lippincott Williams and Wilkins; 2005. chapter 21
4. Silva MR, Castro MCR. Mycobacterial Infection. In: Bolognia Jl_, Jorisso JL, Rapini RP,
editor. Dermatologi:Mosby; 2003.p 1145-52
5. Montoya D, Moddlin RL. Advance in Immunology (Vol. 105, 2010, 1-24). Learning from
Leprosy : Insight into the Hunam Innate Immune Response. Los Angeles: Elsevier; 2010.
Available from : http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0065277610050017

24

Anda mungkin juga menyukai