Anda di halaman 1dari 15

1.

MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ANATOMI GINJAL


1.1. MAKROSKOPIK
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi
columna vertebralis, di bawah liver dan limphe. Di bagian superior ginjal
terdapat adrenal gland (juga disebut kelenjar suprarenal). Ginjal bersifat
retroperitoneal, yang berarti terletak di belakang peritonium yang melapisi
rongga abdomen. Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal
kanan biasanya terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat untuk
hati. Sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan duabelas.
Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak
pararenal) yang membantu meredam goncangan.
Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri karena tertekan ke
bawah oleh hati. Kutub atas ginjal kanan terletak setinggi iga keduabelas, sedangkan
ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas. Pada orang dewasa, panjang ginjal sekitar
12-13 cm, lebarnya 6 cm, tebal 2,5 cm dan beratnya 140 gram ( pria=150 170
gram, wanita = 115-155 gram).
Ren mempunyai selubung sebagai berikut:
1. Capsula fibrosa, meliputi dan melekat de
2. ngan erat pada permukaan luar ren.
3. Capsula adiposa, meliputi capsula fibrosa
4. Fascia renalis, merupakan kondensasi jaringan ikat yang terletak di
luar capsula adiposa serta meliputi ren dan glandula suprarenalis. Di
lateral, fascia ini melanjutkan diri sebagai fascia transversalis.
5. Corpus adiposum pararenale, terletak di luar fascia renalis dan sering
didapatkan dalam jumlah besar. Corpus adiposum pararenale
membentuk sebagian lemak retroperitoneal.
Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda yaitu Korteks
dan medula.
1. Korteks : bagian luar dari ginjal
2. Medula : Bagian dalam dari ginjal
3. Piramid : Medula yang terbagi-bagi menjadi baji segitiga
4. Kolumna Bertini ; Bagian korteks yang mengelilingi piramid.
5. Papilaris berlini : Papila dari tiap piramid yang terbentuk dari
persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul.
6. Pelvis: Reservoar utama sistem pengumpulan ginjal.
7. Kaliks minor: bagian ujung pelvis berbentuk seperti cawan yang
mengalami penyempitan karena adanya duktus papilaris yang
masuk ke bagian pelvis ginjal.
8. Kaliks mayor: Kumpulan dari beberapa kaliks minor.
Sintopi Ginjal

Ren Dextra
Anterior
Flexura coli dextra
Colon ascendens
Duodenum (II)
Hepar (lob. dextra)
Mesocolon transversum

Posterior
M. psoas dextra
M. quadratus lumborum dextra
M. transversus abdominis dextra
N. subcostalis (VT XII) dextra
N. ileohypogastricus dextra
N. ileoinguinalis (VL I) dextra
Costae XII dextra

Ren Sinistra
Anterior
Flexura coli sinistra
Colon descendens
Pancreas
Pangkal mesocolon transversum
Lien
Gaster

Posterior
M. psoas sinistra
M. quadratus lumborum sinistra
M.
transversus
abdominis
sinistra
N. subcostalis (VT XII) sinistra
N. ileohypogastricus sinistra
N. ileoinguinalis (VL I) sinistra
Pertengahan costae XI & XII
sinistra

1.2. MIKROSKOPIK
Ginjal merupakan organ ekskresi utama tubuh manusia. Unit struktural dan
fungsional ginjal disebut nefron. Setiap ginjal memiliki 1 hingga 1,4 juta nefron
fungsional. Nefron tersusun atas bagian-bagian yang berfungsi langsung dalam
pembentukan urin. Adapun bagian-bagian nefron, yaitu: korpus renalis, tubulus
kontortus proksimal, ansa henle segmen tebal dan tipis, tubulus kontortus distal, dan
duktus koligens.
Ginjal dibungkus oleh kapsul jaringan lemak dan jaringan ikat padat kolagen
(kapsula fibrosa). Struktur tersebut disebut sebagai kapsula ginjal. Di sebelah dalam
kapsula ginjal, terdapat bagian korteks dan di sebelah dalam korteks terdapat
medulla. Korteks berisi korpus renalis atau korpus malphigi yang merupakan
kesatuan dari glomerulus dan kapsula Bowman. Selain itu juga terdapat tubulus
kontortus dan arteri atau vena yang mendarahinya. Di medulla, dapat ditemukan
struktur duktus namun tidak terdapat jaringan glomerulus. Dengan adanya
perbedaan khas tersebut, secara mikroskopis, ginjal dapat dibedakan dengan jelas
mana bagian korteks dan mana bagian medullanya.

Korteks ginjal mengandung korpus renalis yang merupakan permulaan dari setiap
nefron. Korpus renalis mengandung kapiler glomerulus yang diselubungi oleh dua
lapis epitel yang disebut kapsula Bowman. Lapisan dalam kapsul atau lapisan
visceral kapsula Bowman menyelimuti kapiler glomerulus. Pada lapisan ini terdapat
podosit, yaitu sel yang memiliki prosesus primer dan sekunder yang menyelimuti
kapiler glomerulus dengan saling bersilangan. Sementara itu, lapisan parietal di
sebelah luarnya, yang tersusun dari epitel selapis skuamosa, membulat dan
membentuk rongga di antara keduanya yang disebut rongga urin atau rongga
kapsular. Di sinilah hasil ultrafiltrat ditampung untuk selanjutnya diteruskan ke
tubulus kontortus proksimal.
Korpus renalis memiliki dua kutub yaitu kutub vaskular dan kutub tubular. Kutub
vaskular berarti kutub tempat masuknya arteriol aferen dan keluarnya arteriol eferen.
Daerah ini ditandai dengan adanya struktur makula densa, yaitu sel reseptor
berbentuk palisade di dinding tubulus kontortus distal yang dekat dengan
glomerulus. Di daerah ini juga dapat ditemukan sel jukstaglomerular atau sel
granular yang merupakan modifikasi dari otot polos dinding arteriol aferen. Makula
densa, sel jukstaglomerular, dan kumpulan sel mesangial ekstraglomerular
membentuk aparatus jukstaglomerular.1,2,3 Struktur ini berfungsi dalam pengaturan
volume dan tekanan darah.

Tubulus kontortus proksimal : Epitel selapis kuboid dengan brush border sehingga
batas sel dengan lumen tampak tidak jelas, Batas antar sel juga tidak jelas karena
membran sel lateral berinterdigitasi dengan sel tetangga, Sitoplasma asidofilik dan
granular, Jarak antar inti sel jauh, Ditemukan di jaringan korteks.
Ansa henle segmen tebal pars desendens : Epitel selapis kuboid dengan brush border
sehingga batas sel dengan lumen tampak tidak jelas, Batas antar sel juga tidak jelas
karena membran sel lateral berinterdigitasi dengan sel tetangga, Sitoplasma
asidofilik dan granular, Jarak antar inti sel jauh, Ditemukan di jaringan medulla.
Ansa henle segmen tipis : Epitel selapis skuamosa, mirip dengan kapiler namun
tidak memiliki sel darah pada lumennya, Tidak dapat dibedakan antara asendens dan
desendens
Ansa henle segmen tebal pars asendens : Epitel selapis kuboid tanpa brush border
sehingga batas sel dengan lumen tampak cukup jelas dibanding tubulus kontortus
proksimal , Batas antar sel juga tidak jelas karena membran sel lateral
berinterdigitasi dengan sel tetangga, Sitoplasma terlihat lebih pucat, Jarak antar inti
sel lebih rapat dibanding tubulus kontortus proksimal, Ditemukan di jaringan
medulla.

Tubulus kontortus distal : Epitel selapis kuboid tanpa brush border sehingga batas
sel dengan lumen tampak cukup jelas dibanding tubulus kontortus proksimal, Batas
antar sel juga tidak jelas karena membran sel lateral berinterdigitasi dengan sel
tetangga, Sitoplasma terlihat lebih pucat, Jarak antar inti sel lebih rapat dibanding
tubulus kontortus proksimal, Ditemukan di jaringan korteks
Duktus koligen : Duktus ekskretorius/ koligen bukan merupakan bagian dari nefron.
Setiap tubulus kontortus distal berhubungan dengan duktus koligens melalui sebuah

cabang sampai duktus koligen yang pendek yang terdapat dalam berkas medular;
terdapat beberapa cabang seperti itu. Duktus koligen berjalan dalam berkas medula
menuju medula. Di bagian medula yang lebih ke tengah, beberapa duktus koligens
bersatu untuk membentuk duktus yang besar yang bermuara ke apeks papila.
Saluran ini disebut duktus papilaris (Bellini) dengan diameter 100-200 m atau
lebih. Muara ke permukaan papila sangat besar, sangat banyak dan sangat rapat,
sehingga papila tampak seperti sebuah tapisan (area cribrosa).
Sel-sel yang yang melapisi saluran ekskretorius ini bervariasi ukurannya, mulai dari
kuboid rendah di bagian proximal sampai silindris tinggi di duktus papilaris utama.
Batas sel teratur dengan sedikit interdigitasi dan umumnya sel tampak pucat dengan
beberapa organel. Duktus koligen menyalurkan kemih dari nefron ke pelvis ureter
dengan sedikit absorpsi air yang dipengaruhi oleh hormon anti-diuretik (ADH).
Setelah melalui serangkaian traktus pada nefron, urin akan bermuara pada duktus
papilaris Bellini di bagian apeks dari piramid medula. Adapun struktur dari duktus
papilaris Bellini ini adalah dindingnya merupakan epitel selapis silindris dengan
batas cukup jelas. Urin yang melewati traktus tersebut kemudian akan ditampung di
calyx minor untuk selanjutnya dialirkan ke calyx mayor, pelvis renalis, dan ureter.
Ketiga struktur ini disusun oleh sel epitel transisional yang khas dengan sel
payungnya.
2.

1.3. VASKULARISASI
Vaskularisasi Ginjal

(capsula bowman)

Filtrasi darah
Medulla : Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi
vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior
yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus,
arteri tersebut bercabang menjadi arteri lobaris kemudian arteri interlobaris yang
berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian
membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri
interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus
Cortex : Arteri efferent berhubungan dengan Vena interlobularis bermuara ke vena
arcuate kemudian vena interlobaris lalu vena lobaris dan bermuara ke vena renalis
lalu ke vena cava inferior.
2.1. PERSYARAFAN
Persarafan Ginjal : Dilakukan oleh plexus symphaticus renalis dan serabut afferent
melalui plexus renalis menuju medulla spinalis N. Thoracalis X,XI,XII.
Persarafan : dipersarafi oleh plexus renalis, Nervus Testicularis, Nervus
Hypogastricus.

Vaskularisasi ginjal terbagi 2 yaitu :


Medula

Cortex

Aorta abdominalis

A. renalis Dextra & sinistra

A. Segmentalis (A. Lobaris)

A. Interlobaris

A. Arquata

A. Interlobularis

A. afferen

Cortex renalis
ke dalam glomerulus

A. Efferen

V. Interlobularis

V. Arquata

V. Interlobaris

V. V. Segmentalis (V. Lobaris)

V. Renalis Dextra & sinistra

V. Cava Superior

Atrium Dextra

3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN FISIOLOGI GINJAL


FUNGSI GINJAL:
a.
b.

c.
d.
e.

Pengeluaran zat sisa organik. Ginjal mengekresi urea, asam urat, kreatinin, dan
produk penguraian hemoglobin dan hormon.
Pengaturan konsentrasi ion-ion penting. Ginjal mengekresi ion natrium, kalium,
kalsium, magnesium, sulfat, dan fosfat. Ekskresi ion-ion ini seimbang dengan
asupan dan ekskresinya melalui rute lain, seperti pada saluran gastrointestinal
atau kulit.
Pengaturan keseimbangan asam basa tubuh. Ginjal mengendalikan ekskresi ion
hidrogen (H+), bikarbonat (HCO3-), dan amonium (NH4+) serta memproduksi
urin asam atau basa, bergantung pada kebutuhan tubuh.
Pengaturan produksi sel darah merah. Ginjal melepas eritropoietin (EPO), yang
mengatur produksi sel darah merah dalam sumsum tulang.
Pengaturan tekanan darah. Ginjal mengatur volume cairan yang esensial bagi
pengaturan tekanan darah, dan juga memproduksi enzim renin. Renin adalah
komponen penting dalam mekanisme renin-angiotensi-aldosteron (RAA), yang
meningkatkan tekanan darah dan retensi air.

f.
g.

Pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa darah dan asam amino


darah. Ginjal, melalui ekskresi glukosa dan asam amino berlebih, bertanggung
jawab atas konsentrasi nutrien dalam darah.
Pengeluaran zat beracun. Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan,
obat-obatan, atau zat kimia asing lain dari tubuh.

Tahap Pembentukan Urine :


1.

2.

Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti
kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel
terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan
larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa
nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25%
dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma
atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini
dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate).
Gerakan masuk ke kapsula bowmans disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal
dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula
bowmans, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah
filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula
bowmans serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas
dinding
kapiler.
Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zatzat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi. Proses reabsorbsi ini
terjadi pada bagian tubulus renalis.

3.

Sekresi
Sekresi tubular
melalui tubulus
secara alamiah
alamiah terjadi
hidrogen.

melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah


kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi
dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara
dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion

Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat
dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap
kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen
atau ion kalium kedalam cairan tubular perjalanannya kembali jadi, untuk

setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan
sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi
cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium).
Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu
kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya.
Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat
menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi
penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.
Ringkasan transportasi zat-zat yang menembus tubulus kontortus proximal dan
distal nefron
Tubulus Kontortus Proximal
Reabsorpsi
Sekresi

67% Na+ yang difiltrasi


Sekresi H+ bervariasi, bergantung pada status
secara
aktif
asam-basa tubuh
direabsorpsi;
Cl-
Sekresi ion organik
mengikuti secara pasif

Semua glukosa dan


asam
amino
yang
difiltrasi
direabsorpsi
oleh transportasi aktif
sekunder

PO4- dan elektrolit lain


yang
difiltrasi
direabsorpsi
dalam
jumlah yang bervariasi;

65% H2O yang difiltrasi


secara
osmosis
direabsorpsi

Semua K+ yang difiltrasi


direabsorpsi

Tubulus Kontortus Distal


Reabsorpsi
Sekresi

Rebasorpsi
Na+
Sekresi H+ bervariasi, bergantung pada status
bervariasi,
dikontrol
asam-basa tubuh
oleh aldosteron; Cl-
Sekresi K+ bervariasi, dikontrol oleh aldosteron
mengikuti secara pasif

Reabsorpsi
H2O

bervariasi,
dikontrol
oleh vasopresin
Duktus Koligen
Reabsorpsi
Sekresi

Reabsorpsi
H2O
Sekresi H+ bervariasi, bergantung pada status
bervariasi,
dikontrol
asam-basa tubuh
oleh vasopresin

BIOKIMIA GINJAL

KARAKTERISTIK URIN
a. Komposisi. Urin terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Zat buangan nitrogen meliputi urea dari deaminasi protein, asam urat dari
katabolisme asam nukleat, dan kreatinin dari proses penguraian kreatin
fosfat dalam jaringan otot.
Asam hipurat adalah produk sampingan pencernaan sayuran dan buah.
Badan keton yang dihasilkan dalam metabolisme lemak adalah konstituen
normal dalam jumlah kecil.
Elektrolit meliputi ion natrium, klor, kalium, amonium, sulfat, fosfat,
kalsium, dan magnesium.
Hormon atau metabolit hormon ada secara normal dalam urin.
Berbagai jenis toksin atau zat kimia asing, pigmen, vitamin, atau enzim
secara normal ditemukan dalam jumlah yang kecil.
Konstituen abnormal meliputi albumin, glukosa, sel darah merah,
sejumlah besar badan keton, zat kapur (terbentuk saat zat mengeras dalam
tubulus dan dikeluarkan), dan batu ginjal atau kalkuli.

b. Sifat fisik
1.
2.

3.

4.

Warna. Urin encer biasanya kuning pucat dan kuning pekat jika kental.
Urine segar biasanya jernih dan menjadi keruh jika didiamkan.
Bau. Urin memiliki bau yang khas dan cenderung berbau amonia jika
didiamkan. Bau ini dapat bervariasi sesuai dengan diet; misalnya, setelah
makan asparagus. Pada diabetes yang tidak terkontrol, aseton menghasilkan
bau manis pada urin.
Asiditas atau alkalinitas. pH urin bervariasi antara 4,8 sampai 7,5 dan
biasanya sekitar 6,0; tetapi juga bergantung pada diet. Ingesti makanan
yang berprotein tinggi akan meningkatkan asiditas, sementara diet sayuran
akan meningkatkan alkalinitas.
Berat jenis urin berkisar antar 1,001 sampai 1,035; bergantung pada
konsentrasi urin.

Faktor faktor yang mempengaruhi pembentukan urin,yaitu :


1.

Vasopresin (ADH)

Hormon ini memiliki peran dalam meningkatkan reabsorpsi air sehingga dapat
mengendalikankeseimbangan air dalam tubuh. Hormon ini dibentuk oleh
hipotalamus yang ada di hipofisis posterior yang mensekresi ADH dengan
meningkatkan osmolaritas dan menurunkan cairanekstrasel.
2.

Aldosteron

Hormon ini berfungsi pada absorbsi natrium yang disekresi oleh kelenjar adrenal di
tubulus ginjal. Proses pengeluaran aldosteron ini diatur oleh adanya perubahan
konsentrasi kalium,natrium, dan sistem angiotensin renin.
3.

Prostaglandin

Prostagladin merupakan asam lemak yang ada pada jaringan yang berfungsi
merespons radang, pengendalian tekanan darah, kontraksi uterus, dan pengaturan
pergerakan gastrointestinal. Pada ginjal, asam lemak ini berperan dalam mengatur
sirkulasi ginjal gukokortikoi. Hormon ini berfungsi mengatur peningkatan reabsorpsi
natrium dan air yang menyebabkan volume darah meningkat sehingga terjadi retensi
natrium.

4.

Renin

Selain itu ginjal menghasilkan Renin, yang dihasilkan oleh sel-sel apparatus
jukstaglomerularis pada:
a. Konstriksi arteria renalis (iskhemia ginjal)
b. Terdapat perdarahan (iskhemia ginjal)
c. Uncapsulated ren (ginjal dibungkus dengan karet atau sutra)
d. Innervasi ginjal dihilangkan
e. Transplantasi ginjal (iskhemia ginjal)

Peran ginjal dalam pengaturan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa


Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 (dua) parameter
penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal
mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam
dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan
cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam
dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan
abnormal dari air dan garam tersebut.
1. Pengaturan volume cairan ekstrasel
Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri
dengan
menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume
plasma.Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan
darah jangkapanjang.
Pengaturan volume cairan ekstrasel dapat dilakukan dengan cara sbb.:

Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake & output) air

Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka


harus ada
keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh.
Memperhatikan keseimbangan garam
Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu
dipertahankan
sehingga asupan garam sama dengan keluarannya.

Ginjal mengontrol jumlah garam yang diekskresi dengan cara:


1. Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan
Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate(GFR).
2. Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal
Jumlah Na+ yang direabsorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan
mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur
reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+
meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan
peningkatan tekanan darah
arteri .
Selain sistem renin-angiotensin-aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide
(ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini
disekresi oleh sel atrium jantung jika mengalami distensi akibat peningkatan volume
plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi
urinsehingga mengembalikan volume darah kembali normal.
2. Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel
Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut)
dalam suatu larutan. Semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute
atau semakin rendah konsentrasi air dalam larutan tersebut. Air akan berpindah
dengan cara osmosis dari area yang konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi
air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih
rendah).
Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak
dapat menembus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium merupakan
solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan
penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. Sedangkan di dalam
cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik
cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini
menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menentukan
aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini.
Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan melalui:

a.

Perubahan osmolaritas di nefron


Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan
osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urin yang sesuai dengan keadaan
cairan tubuh secara keseluruhan di duktus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan
yang isosmotic di tubulus proksimal ( 300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle
pars desending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi
reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan
di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik.
Dinding tubulus ansa henle pars asenden tidak permeable terhadap air dan
secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsorbsi
garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus
koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus
koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urin
yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan
ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresin/ ADH.
b.

Mekanisme haus dan peranan vasopresin (anti diuretic hormone/ ADH)


Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (> 280 mOsm) akan merangsang
osmoreseptor di hypothalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron
hypothalamus yang menyintesis vasopressin. Vasopresin akan dilepaskan oleh
hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus
koligen. Ikatan vasopressin dengan resptornya di duktus koligen memicu
terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen.
Pembentukan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa
recta. Hal ini menyebabkan urin yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit
dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dapat
dipertahankan.
Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypothalamus akibat
peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di
hypothalamus sehingga terbentuk perilaku untuk mengatasi haus, dan cairan di
dalam tubuh kembali normal.
Keseimbangan Asam-Basa
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan pengaturan konsentrasi ion H
bebasdalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4, pH darah arteri 7,45 dan
darah vena 7,35. jika pH darah < 7,35 dikatakan asidosis, dan jika pH darah > 7,45
dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh.
Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber,
yaitu:
1. pembentukan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H
dan bikarbonat
2. katabolisme zat organic
3. disosiasi asam organic pada metabolisme intermedia, misalnya pada
metabolism lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam
ini akan berdisosiasi melepaskan ion H.

Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel,
antara lain:
1. perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi
susunan saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
2. mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh.
3. mempengaruhi konsentrasi ion K
Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan ion
H seperti
nilai semula dengan cara:
1. mengaktifkan sistem dapar kimia
2. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernapasan
3. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan
Ada 4 sistem dapar kimia, yaitu:
1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel teutama
untuk
perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat.
2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel.
3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk
perubahan asam
karbonat.
4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan
intrasel.
Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa
sementera. Jika dengandapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan,
maka pengontrolan pH akandilanjutkan oleh paru-paru yang berespons secara cepat
terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akibat rangsangan pada kemoreseptor
dan pusat pernapasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal
menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi
ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan mensekresikan ion H dan
menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan
ammonia.
4.

MEMAHAMI DAN MENJELASKAN SINDROM NEFROTIK


4.1. DEFINISI
sindrom nefrotik adalah sebuah kelainan ginjal bawaan (kongenital) yang
berkembang sebelum lahir atau dalam beberapa bulan pertama kehidupan seorang
anak.
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan
kehilangan protein urinaris yang massif yang disebabkan oleh injuri glomerular yang
terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hipoproteinuria,

hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema.


Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria
massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100
ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia.
4.2. ETIOLOGI
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan ikat, obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik.
Penyebab Primer
Glomerulonefritis Lesi Minimal
Merupakan penyebab SN utama pada anak. Pada dewasa dapat terjadi sebagai suatu
kondisi yang idiopatik, berhubungan dengan pemakaian obat antiinflamasi non
steroid (OAINS). Pemeriksaan dibawah mikroskop cahaya dari kelainan minimal
adalah normal atau ditemukan adanya proliferasi ringan dari sel mesangeal. Temuan
histologis yang has dari lesi minimal adalah adanya effacement difus dan foot
process sel epitel pada mikroskop electron.
Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS)
Merupakan lesi tersering yang ditemukan pada SN dewasa yang idiopatik. Pada
pemeriksaan mikroskop cahaya GSFS ditandai dengan adanya beberapa tapi tidak
semua glomeruli (sehinga disebut sebagai fokal) dari area segmental dari mesangial
yang mengalami koaps dan sclerosis.
Nefropati Membranosa
Merupakan penyebab SN primer tersering pada dewasa. Insiden tertinggi terjadi
pada umur 30 50 tahun serta rasio laki-laki : perempuan adalah 2:1. Lesi yang khas
adalah adanya penebalan membrane basal dengan sedikit atau tidak ditemukannya
proliferasi atau infiltrasu selular dan adanya deposit disepanjang membrane basal
glomerulus pada mikroskop electron.
Amiloidosis
Amiloidosis terjadi pada 4-17% kasus dengan SN idiopatik, dan kejadiannya
meningkat pada populasi usia lanjut.
Penyebab Sindrom Nefrotik
Glomerulonefritis Primer

GN lesi minimal

Glomeruloskelrosis fokal segmental

GN membranosa

GN membranoproliferatif

GN proliferative lain
Glomerulonefritis Sekunder akibat
1. Infeksi

HIV, hepatitis B dan C

Sifilis, malaria, skistosoma

TBC, lepra
Keganasan

Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma


Hodgkin, multiple myeloma, karsinoma ginjal.
3. Penyakit jaringan penghubung

Lupus eritomatosus sistemik, RA, MCTD (mixed


connective tissue disease)
4. Efek obat dan toksin

Obat anti inflamasi non steroid, preparat emas,


penisilamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin
5. Lain-lain

DM, amyloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf


kronik, refluks vesikoureter.
Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten
terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya.
2.

4.3. EPIDEMIOLOGI
insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada
usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan= 2:1, sedangkan pada masa remaja dan
dewasa rasio ini berkisar 1:1. Biasanya 1 dari 4 penderita sindrom nefrotik adalah
penderita dengan usia>60 tahun. Namun secara tepatnya insiden dan prevalensi
sindrom nefrotik pada lansi tidak diketahui karena sering terjadi salah diagnosa.
4.4. KLASIFIKASI
4.5. PATOFISIOLOGI
Proteinuria
Kehilangan protein pada SN termauk ke dalam proteinuria glomerular. Proteinuria
pada penyakit glomerular disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul
melewati dinding kapiler glomerulus. Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan pada
podosit glomerular.
Sistem filtrasi pada glomerulus terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan sel endotel,
membrane basal gromelurus dan lapisan sel epitel (podosit). Podosit merupakan
lapisan barrier paling luar dari system filtrasi glomerulus. Dalam kondisi patologis,
podosit mengalami berbagai perbuhan bentuk structural seperti FP effacement,
pesudocyst formation, hipertrofi, apoptosis. Sindroma nefrotik terutama disebabkan
oleh injur sel podosit dengan manifestasi proteinuria masif. Pada SN mekanisme
penghalang berdasarkan ukuran molekul dan berdasarkan muatan listrik pun
terganggu.
Hipoalbuminemia

Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat


penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma
maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin
hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia.
Hiperlipidemia
Kolesterol serum, VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density
lipoprotein), trigliserida meningkat sedangkan HDL (high density lipoprotein) dapat
meningkat, normal atau meningkat.Hal ini disebabkan sintesis hipotprotein lipid
disintesis oleh penurunan katabolisme di perifer.Peningkatan albumin serum dan
penurunan tekanan onkotik.2,4
Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C, dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya factor V, VII, VIII, X,
trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel
serta menurunnya factor zymogen
Edema
terdapat 2 teori, yang pertama yaitu teori underfill menjelaskan bahwa
hipoalbuminemia merupakan factor kunci terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan
bergeser dari intravascular ke jaringan interstitium mengikuti hokum Starling dan
terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan
plasma terjadi hypovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan merangsang
system renin-angiotensin sehingga terjadi retensi natrium dan air di tubulus distal.
Yang kedua yaitu teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek
utama renal. Terjadi defek primer pada kemampuan nefron distal untuk
mengekskresikan natrium, hal ini dapat disebabkan oleh aktivasi kanal natrium
epitel oleh enzim proteolitik yang memasuki lumen tubulus pada keadaan
proteinuria masif. Akibatnya terjadi peningkatan volume darah, penekanan reninangiotensn dan vasopressin dan kecenderungan untuk terjadinya hipertensi
dibandingkan hipotensi ginjal juga relative resisten teradap efek natriuretic peptide.
Meningkatnya volume darah, akibat tekanan onkotik yang rendah memicu
transudasi cairan ke ruang ekstraselular dan edema. Penurunan laju filtrasi
glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema.
4.6. PATOLOGI ANATOMI
4.7. IMUNOLOGIS
Terdapat
a)

beberapa teori
Soluble

mengenai terjadinya SN pada


Antogen
Antibody

anak

yaitu :
Complex

Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga terjadi reaksi


antigen antibodi yang larut (soluble) dalam darah. SAAC ini kemudian
menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C3
akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian terperangkap
dibawah epitel kapsula Bowman yang secara imunoflouresensi terlihat berupa
benjolan yang disebut HUMPS sepanjang membrana basalis glomerulus (mbg)
berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C3yang ada dalam HUMPS inilah
yang menyebabkan permeabilitas mbg terganggu sehingga eritrosit, protein dan lainlain
dapat
melewati
mg
sehingga
dapat
dijumpai
dalm
urin
Glomerulus merupakan bagian rentan sebagai target endapan komplek imun karena
25% curah jantung melewati sirkulasi ginjal.
Umumnya komplek imun ini terlalu besar untuk dapat menembus
membrane basalis glomerulus (MBG), namun pada keadaan tertentu, endapan yang
terdapat di subendotel dapat mengalami disosiasi menjadi molekul kecil sehingga
dapat menembus MBG dan mengendap di subepitel.
Endapan imun dapat pula terjadi in-situ dimana terjadi ikatan Ab dengan
struktur glomerulus (yang dikenali sebagai Ag) atau ikatan antara Ab dengan Ag
terlarut yang terjebak di glomerulus. Komplek imun in-situ ini mengendap di subepitel, sub endotel, dan atau mesangium. Kedua respon imun humoral dan selular
berperan terhadap glomerulonefritis dan respon individu terhadap stimulasi
ditentukan oleh faktor genetik. Respon imunitas humoral diregulasi Th2 dan ditandai
dengan terjadinya endapan immunoglobulin (Ig) bersama komplemen yang menjadi
dasar kerusakan glomerulus. Endapan imun diinduksi oleh ikatan Ab dan Ag yang
berasal dari glomerulus atau Ag nonrenal misalnya DNA nucleosome, glicosylated
IgA yang terjebak pasif. Dapat pula terjadi ikatan Ab dengan Ag eksogen atau
agregat imun yang mengendap karena afinitas muatan
listrik, terjebak pasif atau presipitasi lokal.
Respon imunitas selular diregulasi sel Th1 yang berkontribusi pada
infiltrasi sel mononuklear dan makrofag glomerulus dan pembentukan kresen.
Respon efektor Th1 pada glomerulus sering tanpa disertai endapan Ab yang secara
tidak langsung menunjukkan peran mediasi selular.
Endapan kompleks imun memicu komplemen, sitokin dan growth factor.
Karena proses ini berada dalam pembuluh darah maka akan ada keterlibatan
neutrofil, trombosit, limfosit, makrofag. Pada keadaan ini juga terjadi proliferasi sel
endotel dan mesangial. Kelompok non inflamasi merupakan GN yang disebabkan
kerusakan podosit akibat endapan kompleks imun di sel epitel glomerulus.
Kerusakan ini dimediasi oleh beberapa mediator imun dimana mediator ini berikatan
dengan zat zat vasoaktif, C5b-9 dan IL-13 da n cardiotropin-like cytokine-1 (CLC1) dapat menginduksi disfungsi podosit. Kerusakan glomerulus non-inflamasi
ditemukan pada GN lesi minimal (LM), glomerulosklerosis fokal (GSF) dan
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) dan nefropati membranosa (NM).
Faktor permeabilitas glomerulus zat non-immunoglobulin berperan sebagai mediator
imun yang dapat menimbulkan kerusakan podosit pada GN, LM atau GSFS.
-Perubahan glomerulus akibat endapan imun

Kerusakan glomerulus terjadi akibat adanya endapan komplek imun yang


terdiri dari imunoglobulin, komplemen dan protein lain. Lokasi, komposisi,
mekanisme dan jumlah endapan imun menentukan perubahan fungsi dan struktur
glomerulus.
Selain itu, pelepasan mediator inflamasi juga bertanggung jawab pada
perubahan glomerulus. Endapan kompleks imun yang terdapat pada glomerulus
dapat berasal dari sirkulasi maupun endapan in-situ. Namun kerusakan glomerulus
akibat endapan komplek imun yang berasal dari sirkulasi tidak seberat jika kompleks
tersebut terjadi secara in-situ, baik melalui ikatan Ab dengan Ag glomerulus antara
Ab dengan planted-Ag.
Endapan imun di mesangium menginduksi proliferasi dan perubahan
fenotif sel mesangial, melepaskan mediator dan akumulasi matrik mesangium,
sementara endapan imun sub-endotel mengaktifasi sel efektor neutrofil dan
makrofag melalui faktor kemotaktik dan molekul adesi. Endapan sub-epitel ini
menginduksi GN tanpa inflamasi karena terletak pada sisi yang tidak dicapai oleh
sel sirkulasi dan faktor kemotaktik komplemen bergerak menuju ruang urin.
Kerusakan podosit (disfungsi podosit) menyebabkan terjadinya perubahan
fungsi dan struktur gromelurus sehingga terjadi proteinuri dan glomerulosklerosis.
Kerusakan podosit tanpa perubahan jumlah sel glomerulus ditemukan pada GN dan
LM sedangkan kerusakan podosit dimana jumlah sel glomerulus berkurang
ditemukan pada GSFS karena pada keadaan ini podosit terangkat dari dasarnya dan
terjadi kematian sel. Proliferasi podosit ringan menyebabkan sklerosis mesangial
difus dan proliferasi berat menyebabkan kolaps kapiler glomerulus.
Membrane attack complex (MAC) atau komplek C5b-9 adalah mediator
imun yang menyebabkan lisis epitel pada NM. Pada NM idiopatik endapan imun
sub-epitel mengandung IgG, C3 dan C5b-9 yang menyebabkan gangguan
permeabilitas kapiler. Jalur aktifasi komplemen tergantung pada komponen
imuglobulin pada komplek imun. Komplek imun yang mengandung IgG akan
mengaktivasi komplemen jalur klasik sedangkan IgA mengaktivasi jalur alternatif.
Kerusakan glomerulus akibat endapan imun mengandung IgG lebih berat dibanding
dengan IgA atau IgM.
Kerusakan glomerulus dapat pula terjadi akibat endapan imun tanpa
keterlibatan mediator sekunder. Kerusakan glomerulus terjadi melalui sel T
tersensitisasi yang dapat melepaskan zat proteolitik, aktifasi makriofag dan
meningkatkan permeabilitas kapiler.
limfosit T pada SN

Pada SNKM tampak perubahan jumlah populasi CD4+ dan CD8+ sel T
selama terjadinya penyakit.17 Dengan rangsangan antigen, CD4+ dan CD8+ akan
menghasilkan IL-2 yang berperan penting pada respons imun selular dan humoral.
Pada penderita SN sensitif steroid produksi IL-2 berkurang, hal ini terjadi karena
peningkatan supressor-inducer (CD45RA+CD4+) dan supressor
effector (CD45RA+CD8+), sedangkan aktivitas sel memori (CD45RO+CD4+)
menurun. Penurunan produksi IL-2 pada SN juga terjadi karena gangguan

diferensiasi dan ekspansi subset sel Th1.18 Selain produksi IL-2 yang menurun, juga
terjadi peningkatan CD4+CD25+ sel T natural (yang merupakan reseptor IL-2
rantai ) yang bersifat supresif. Sifat supresif ini berhubungan dengan penurunan
regulasi IL-2.
4.8. MANIFESTASI KLINIS
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat
akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang disertai
oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit
perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar
perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International study of kidney
diseases in children), pada SNKM ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik,
15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum
darah yang bersifat sementara.
4.9. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis

Anamnesis

Pemeriksaan
1. Pemeriksaan fisik

Pengukuran tanda vital : suhu, tekanan darah, frekuensi pernapasan,


denyut nadi.

Pemeriksaan fisik
1. Kulit ditemukan jaringan parut, striae, vena, pitting dan non
pitting kulit.
2. Mata konjungtiva, udem kelopak mata dan sekitar mata
3. Tenggorokan hiperemis atau tidak
4. Abdomen ditemukan hernia dan asites
5. Genitalia udem atau tidak
6. Hepatomegali
7. Splenomegali
8. Palpasi ginjal kanan dan kiri
9. Liver dan lien terdengar pekak
Diagnose SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium
berupa proteinuria massif >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemia <3 g/dl, edema, hiperlipideia, lipiduria, dan hiperkoagulabilitas.
Pemeriksaan tambahan seperti venerologi diperlukan untuk menegakkan diagnose
thrombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk
menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan
respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal. 2,5

Diagnosis Banding
4.10.
TATALAKSANA
Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk
mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,
memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid
dimulai, dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya 4 positif diberikan
profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberi obat anti
tuberkulosis (OAT). Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sclerosis
glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgBB/hari. Diit rendah protein akan
menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak.
Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan Loop
diuretic seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada
pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan
elektrolit darah (kalium dan natrium).
Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter),
biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar
albumin1g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis1g/kgBB
selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari segi
biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang-sehari untuk memberikan
kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Pemberian plasma
berpotensi menyebabkan penularan infeksi hepatitis, HIV, dan lain lain. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.
Antibiotik profilaksis
Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan asites diberikan antibiotic
profilaksis dengan penisilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema
berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi
perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera

diberikan antibiotik. Biasanya diberikan antibiotik jenis amoksisilin,eritromisin, atau


sefaleksin.
Imunisasi
Pasien SN yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu
setelah steroid dihentikan, hanya boleh mendapatkan vaksin mati. Setelah lebih
dari 6 minggu penghentian steroid, dapat diberikan vaksin hidup.Pemberian
imunisasi terhadap Streptococcus pneumoniaepada beberapanegara dianjurkan,
tetapi karena belum ada laporan efektivitasnya yang jelas, di Indonesia belum
dianjurkan. Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien
varisela. Bila terjadi kontak dengan penderita varisela,diberikan profilaksis dengan
imunoglobulinvaricella-zoster, dalam waktu kurangdari 72 jam. Bila tidak
memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena.
Bila sudah terjadi infeksi perlu diberikan obatasiklovir dan pengobatan steroid
sebaiknya dihentikan sementara.
Pengobatan dengan kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan pertama, kecuali bila ada
kontraindikasi. Dapat diberikan prednison atau prednisolon.
a. Pengobatan inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)
pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full dose)
60 mg/m. LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi 3 dosis,
untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama
4 minggu. Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada
80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila
terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m. LPB (2/3 dosis awal) secara alternating
(selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan
steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid
4.11.PENCEGAHAN
4.12.
PROGNOSIS
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab kematian tersering
pada SN.Pengobatan SN dan komplikasinya saat ini telah menurunkan morbiditas
dan mortalitas yang berhubungan dengan sindrom.Saat ini, prognosis pasien dengan
SN bergantung pada penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa
pemberian kortikosteroid.2
Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi
proteinuria, 10 % lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien yang
mengalami frequent relaps, menjadi dependen-steroid, atau resisten-steroid.
Penyakit ginjal kronik dapat muncul pada 25-30 % pasien dengan

glomerulosklerosis fokal segmental dalam 5 tahun dan 30-40 % muncul dalam 10


tahun.2
Orang dewasa dengan minimal-change nephropathymemiliki kemungkinan relaps
yang sama dengan anak-anak. Namun, prognosis jangka panjang pada fungsi ginjal
sangat baik, dengan resiko rendah untuk gagal ginjal. 2Pemberian kortikosteroid
memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap
atau parsialpada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada
glomerulosklerosis fokal segmental.Perlu diperhatikan efek samping pemakaian
kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis,
hipertensi, diabetes mellitus.2,4
Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran yang kurang baik.
Prognosis dapat bertambah buruk disebabkan (1) peningkatan insidens gagal ginjal
dan komplikasi sekunder dari SN, termasuk episode trombotik dan infeksi, atau (2)
kondisi terkait pengobatan, seperti komplikasi infeksi dari pemberian
imunosupressive.2Penderita SN non relaps dan relaps jarang mempunyai prognosis
yang baik, sedangkan penderita relaps sering dan dependen steroid merupakan kasus
sulit yang mempunyai risiko besar untuk memperoleh efek samping steroid. SN
resisten steroid mempunyai prognosis yang paling buruk. 2,8
Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer yang
menyertainya.Pada nefropati diabetik, besarnya proteinuria berhubungan langsung
tingkat mortalitas.Biasanya, ada respon yang baik terhadap blockade angiotensin,
dengan penurunan proteinuria, dan level subnefrotik.Jarang terjadi remisi nyata.
Resiko penyakit kardiovaskular meningkat seiring penurunan fungsi ginjal, beberapa
pasienakan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal. 2
Pada amiloidosis primer, prognosis tidak baik, bahkan dengan kemoterapi intensif.
Pada amiloidosis sekunder, remisi penyebab utama, seperti rheumatoid arthritis,
diikuti dengan remisi amiloidosis dan ini berhubungan dengan SN
4.13.

5.

KOMPLIKASI
Keseimbangan nitrogen negative
Hiperkoagulasi
Hiperlipidemia dan lipiduria

MEMAHAMI DAN MENJELASKAN CARA PEMERIKSAAN


PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk
memastikan apakah anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau tidak, karena
hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria dan edema dapat terjadi
pada adanya hipoalbuminemia (seperti pada angioedema, insufisiensi venosa, gagal

jantung kongestif dan lainlain). Untuk memastikan diagnosis sindroma nefrotik pada
pemerksaan lab didapatkan proteinuria, hipoalbuminemia dan hyperlipidemia.

Pemeriksaan darah rutin : RBC, hemoglobin meningkat dan


hematocrit mengindikasi adanya hemokonsentrasi dan
deplesi volume intravascular.

Urinalisis : Hematuria mikroskopi ditemukan pada 20%


kasus.

Hematuria makroskopik jarang ditemukan.

Proein urin kuantitatif dengan menghitung protein/kreatinin


urin pagi atau dengan protein urin 24 jam.

Dikatakan proteinuria ika adanya protein di dalam urin


manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150
mg/24 jam atau pada anak anak lebih dari 140 mg/24 jam

Albumin serum : level albumin serium pada sindroma


nefrotik secara umum kurang dari <2,5 mg/Dl,
hipoalbuminemia,

Pemeriksaan lipid : terjadi peningkatan kolestrol total dan


kolestrol LDL kadar serium >400 mg/dL, terjadi
peningkatan trigliserid dengan hipoalbuminemia berat.
2. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan
pada usia 1-8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemerisaan fisik
maupun hasil dari pemeriksaan lab mengindikasikan adanya kemungkinan SN
sekunder atau SN primer selain tipe lesi minimal. Biopsi ginjal diindikasikan bagi
pasien usia <1 tahun, dimana SN kongenital lebih sering terjadi dan pada pasien usia
>8tahun diman apenyakit glomerular kronik memiliki insidensi yang lebih tinggi.
Biopsi ginjal hendaknya juga memiliki insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal
hendaknya juga dilakukan bila riwayat, pemeriksaan dan hasil uji lab
mengindikasikkan adanya SN sekunder.
3. Radiografi
Pemeriksaan ultrasonografi ginjal sekiranya dicurigai adanya
thrombosis vena.
Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan
penunjang berikut:

Urinalisis

Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria berkisar 3+ atau


4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam
sulfosalisilat.3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih,
yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.2

Pemeriksaan sedimen urin

Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang
mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak
hialin dan torak eritrosit.2

- globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml)

- rasio albumin/globulin <1 (N:3/2)

Pengukuran protein urin

Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot
collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari
jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total
protein urin 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis. 2, 8
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin >
2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak 3g. 2,8

Albumin serum

- kualitatif

: ++ sampai ++++

- kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)

Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis

USG renal

Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.2

Biopsi ginjal

Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8 tahun,
resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi
nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin
diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena
masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting
untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan
glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih
baik terhadap steroid.2

Darah:

Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai: 2


- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)
- 1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml)
- 2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml)

- globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml)

- komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)


- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.
6.

MEMAHAMI DAN MENJELASKAN PANDANGAN ISLAM


TERHADAP URIN DAN DARAH (NAJIS))
Dari hadits Anas bin Malik radhiyallohu'anhu, bahwasannya seorang arab
badui datang ke masjid kemudian kencing didalamnya, maka berdirilah
para sahabat hendak menghentikannya, namun Rosululloh sollallohu'alaihi
wasallam bersabda : "Biarkanlah dia dan jangan mengganggunya " ,
hingga setelah selesai sang badui menunaikan hajatnya maka Rosululloh
meminta air kemudian di siramkan ke bekas kencing tersebut. HR Bukhari
(6025) Muslim (284).
Menurut KH Abdurahman halim ketua umum M.U.I kota bandung dan juga
ketua bidang (hukum) yang dikutip dari hasil wawancara, mengemukakan bahwa:
Islam adalah agama rahmatin lil alamin yang merupakan obat dan petunjuk yang
jelas bagi seluruh umat manusia di dalam dunia ini. Berbicara masalah urine. Islam
telah memberikan arahan yang jelas dengan pemaparan yang rinci.Allah SWT
adalah pemilik dari segala yang ada di muka bumi ini, bagi Allah itu merupakan
bukan masalah yang sulit, karena Allah memiliki sifat Maha pemurah dan Maha
berkehendak. Jika kita menggunakan urine itu sebagai suatu metode terapi
pengobatan demi suatu kesembuhan dan juga dapat dirasakan manfaatnya kita di
bolehkan mengunakan urine sebagai obat, selama dalam pelaksanaanya itu kita
sadar betul kadar dan takaran yang sewajarnya dan tidak melampaui batas, selain itu
pula bahwa kondisi dimana saat mengkonsumsinya memang dalam keadaan
mendesak dan tak berdaya karena Allah tidak menyukai suatu hal yang melampaui
batas baik itu yang hukumnya halal apalagi yang hukumnya haram.
Menurut Syarif Hidayat. S.ag yang di kutip dari hasil wawancara
mengemukakan,bahwa :Bahwa Allah SWT menciptakan seluruh ciptaanya
termasuk urine tidaklah dengan karena hina
Menurut Hadist shohih yang di kutip oleh Ibnu Rusyid (1995:517)
mengemukakan,bahwa: Sesunguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk umatku
dari sesuatu yang diharamkan .
Seperti yang telah paparkan sebelumnya dan dengan melihat pertimbangan
dasar hukum serta berdasarkan hasil data wawancara. Secara garis lurus penulis
mendapatkan suatu kesimpulan , bahwa terapi urine dapat di gunakan sebagai

metode pengobatan selama dalam penggunaannya tidaklah secara berlebihan dan


dapat menjadi suatu kebaikan.
Penjelasan Mengenai Darah
Kita dapat membagi darah menjadi tiga macam: [1] Darah haidh, [2] Darah manusia,
dan [3] Darah hewan yang halal dimakan.
[1] Darah Haid
Untuk darah haidh sudah dijelaskan bahwa darah tersebut adalah darah yang najis.
Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma binti Abi Bakr, beliau berkata, Seorang
wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian
berkata, Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus
kami perbuat? Beliau shallallahu alaihi wa sallammenjawab, Gosok dan
keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah
dengannya.
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, Perintah untuk menggosok dan
mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan kenajisannya.Hal ini pun telah
disepakati oleh para ulama.
[2] Darah manusia
Untuk darah manusia, mengenai najisnya terdapat perbedaan pendapat di antara
para ulama. Mayoritas ulama madzhab menganggapnya najis. Dalil mereka adalah
firman Allah Taala,

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu,


sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena
sesungguhnya semua itu kotor. (QS. Al Anam: 145). Para ulama tersebut
menyatakan bahwa karena dalam ayat ini disebut darah itu haram, maka
konsekuensinya darah itu najis.

Namun ulama lainnya semacam Asy Syaukani dan muridnya Shidiq Hasan Khon,
Syaikh Al Albanidan Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin rahimahumullah menyatakan bahwa darah itu suci. Alasan bahwa darah
itu suci sebagai berikut.
Pertama: Asal segala sesuatu adalah suci sampai ada dalil yang menyatakannya
najis. Dan tidak diketahui jika Nabishallallahu alaihi wa sallam memerintahkan
membersihkan darah selain pada darah haidh. Padahal manusia tatkala itu sering
mendapatkan luka yang berlumuran darah. Seandainya darah itu najis tentu
Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk membersihkannya.
Kedua: Sesuatu yang haram belum tentu najis sebagaimana dijelaskan oleh Asy
Syaukani rahimahullah.
Ketiga: Para sahabat dulu sering melakukan shalat dalam keadaan luka yang
berlumuran darah. Mereka pun shalat dalam keadaan luka tanpa ada perintah dari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk membersihkan darah-darah tersebut.
Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits yang menceritakan seorang Anshor.
Ketika itu ia sedang shalat malam, kemudian orang-orang musyrik memanahnya. Ia
pun mencabut panah tadi dan membuangnya. Kemudian ia dipanah sampai ketiga
kalinya. Namun ketika itu ia masih terus ruku dan sujud padahal ia dalam shalatnya
berlumuran darah.
Ketika membawakan riwayat ini, Syaikh Al Albani rahimahullah menjelaskan,
Riwayat ini dihukumi marfu (sampai pada Nabishallallahu alaihi wa sallam).
Karena sangat mustahil kalau hal ini tidak diperhatikan oleh beliau shallallahu
alaihi wa sallam. Seandainya darah yang amat banyak itu menjadi pembatal shalat,
tentu beliau shallallahu alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Karena
mengakhirkan penjelasan di saat dibutuhkan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal
ini telah kita ketahui bersama dalam ilmu ushul.
Juga ada beberapa riwayat lainnya yang mendukung hal ini. Al Hasan Al Bashri
mengatakan,


Kaum muslimin (yaitu para sahabat) biasa mengerjakan shalat dalam keadaan
luka.

Dalam Muwatho disebutkan mengenai sebuah riwayat dari Miswar bin Makhromah,
ia menceritakan bahwa ia pernah menemui Umar bin Al Khottob pada malam hari
saat Umar ditusuk. Ketika tiba waktu Shubuh, ia pun membangunkan Umar untuk
shalat Shubuh. Umar mengatakan,


Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat. Lalu Umar
shalat dalam keadaan darah yang masih mengalir.
Hal ini menunjukkan bahwa pendapat terkuat dalam masalah ini, darah manusia itu
suci baik sedikit maupun banyak. Namun kita tetap menghormati pendapat
mayoritas ulama yang menyatakan bahwa darah itu najis. Wallahu alam bish
showab.

dan darah tadi di antara pundaknya. Beliau tetap sujud, sedangkan Abu Jahl dan
sahabatnya dalam keadaan tertawa.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, Adapun darah selain darah haidh, maka
dalil yang menjelaskan mengenai hal ini beraneka ragam dan mengalami
keguncangan. Sikap yang benar adalah kembali ke hukum asal segala sesuatu itu
suci sampai ada dalil khusus yang lebih kuat atau sama kuatnya yang menyatakan
bahwa darah itu najis.

DAFTAR PUSTAKA

[3] Darah dari hewan yang halal dimakan

1.Anonim, Sindroma Nefrotik, Behrman, R.E. MD, dkk


dalam buku Nelson Ilmu Kesehatan Anak Vol 3 Edisi 15,
Penerbit Buku EGC, 2000. 1828-1831.

Pembahasan darah jenis ini sama dengan pembahasan darah manusia di atas, yaitu
tidak ada dalil yang menyatakan bahwa darah tersebut najis. Maka kita kembali ke
hukum asal bahwa segala sesuatu itu suci.

2.Anonim, Nefrologi dan hipertensi, Mansjoer. A. dkk


dalam buku Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Jilid 1.
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta 2001, 525-527.

Ada riwayat dari Ibnu Masud yang menguatkan bahwa darah dari hewan yang halal
dimakan itu suci. Riwayat tersebut,

3.Anonim, Nefrologi, Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak


dalam Buku Kuliah II, Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta
1985, 832-835.

Ibnu Masud pernah shalat dan di bawah perutnya terdapat kotoran (hewan ternak)
dan terdapat darah unta yang disembelih, namun beliau tidak mengulangi
wudhunya.
Ada pula riwayat dari Ibnu Masud, ia mengatakan, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam pernah shalat di sisi Kabah. Sedangkan Abu Jahl dan sahabat-sahabatnya
sedang duduk-duduk ketika itu. Sebagian mereka mengatakan pada yang lainnya,
Coba kalian pergi ke tempat penyembelihan si fulan. Lalu Abu Jahl mendapati
kotoran hewan, darah sembelihan dan sisa-sisa lainnya, kemudian ia perlahan-lahan
meletakkannya pada pundak Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau sujud.
Beliaushallallahu alaihi wa sallam merasa kesulitan dalam shalatnya. Ketika
beliau shallallahu alaihi wa sallam sujud, Abu Jahl kembali meletakkan kotoran

4.Ngastiyah, Sindrom Nefrotik, dalam buku Perawatan


Anak Sakit, Jakarta, 1997, 304-310.
5.Singadipoera B.S, Sindrom Nefrotik, dalam buku
Nefrologi Anak, Bandung, 1997,17-36.
6.Sukandar Enday, Sulaeman Rachmat., Sindrom
Nefrotik Dalam : Soeparman, Waspadji S (ED). Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta, 1990, 282 305.
7.Wirya I.W, Sindroma Nefrotik, Alatas dkk ed dalam
Buku Ajar Nefrologi Anak Jilid 2, Ikatan Dokter Anak
Indonesia Jakarta 1996, 340-394.

Anda mungkin juga menyukai