Anda di halaman 1dari 36

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Pendahuluan
Morbus Hansen disebut juga kusta atau lepra. Istilah kusta berasal dari
bahasa Sanskerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara
umum. Penyakit kusta ini disebut juga Morbus Hansen karena sesuai dengan
nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Henrik Armauwer Hansen pada
tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta
dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit
tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit
dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian
anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun
infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang,
mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan
infeksi sewaktu masa kanak-kanak.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di
daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak
memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan
penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat
terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah bilamana
ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan
bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak
pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi pada satu tempat, hasil

pemeriksaan bakteriologis negatif (-), tipe kusta ini tidak menular. Sedangkan
kusta tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta basah adalah bilamana bercak
putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi
penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat,
kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe
seperti ini sangat mudah menular.
1.2 Epidemiologi
Masalah epidemiologi belum terpecahkan, masalah penularan belum
diketahui secara pasti, hanya anggapan klasik yaitu melalui kontak lamgsung
antar kulit yang lama dan erat. Angapan kedua, secara inhalasi sebab M.leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Masa tunas sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya
beberapa tahun, rata rata 3 sampai 5 tahun.
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar
di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau malenesia termasuk
Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit tiaptiap Negara maupun di dalam satu Negara sendiri ternyata berbeda-beda.
Demikian pula penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu
Negara sampai saat ini belum jelas benar.
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan
13%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan
penderita di bawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk mencari kemungkinan
ada tidaknya kusta congenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur
antara 25-35 tahun.
Kusta terdapat diseluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang social ekonominya rendah.
Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial
ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan.
Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi
kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan

menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di


Indonesia hal ini di kenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah
menurun tajam di sebagian besar Negara atau wilayah endemis. Kasus yang
terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari
121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007. Di
Indonesia jumlah kasus kusta tercatat permulaan tahun 2009 adalah 21.538 orang
dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 17.441 orang. Distribusi tidak merata,
yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,76.
1.3 Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk
pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran
0,3-0,5 x 1-8 mikron. Mycobacterium leprae berasal dari kingdom bacteria, filum
actinobacteria, ordo actinomycetales, Upaordo Corynebacterineae, family
Mycobacteriaceae, genus mycobacterium, spesies mycobacterium leprae. Basil
ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah diwarnai
namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol
sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan
tidak berspora, dan dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok,
termasuk masa irreguler besar yang disebut globi. Mycobakterium ini termasuk
kuman aerob.
Kuman Mycobacterium leprae menular kepada manusia melalui kontak
langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah
dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima
tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain,
kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Menurut Marwali Harahap (2000), Mycobacterium leprae mempunyai 5


sifat, yakni :
1.

Mycobacterium leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak


dapat dibiakkan pada media buatan.

2.

Sifat tahan asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin.

3.

Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya mikrobakterium yang


mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).

4.

Mycobacterium leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang


menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer.

5.

Ekstrak terlarut dan preparat Mycobacterium leprae mengandung komponen


antigenik yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji kulit
positif pada penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.

1.4 Klasifikasi
1)

Jenis klasifikasi yang umum

a. Klasifikasi Internasional (1953)


1.

Indeterminate (I)

2.

Tuberkuloid (T)

3.

Borderline-Dimorphous (B)

4.

Lepromatosa (L)

b. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).

1.

1.

Tuberkoloid (TT)

2.

Boderline tubercoloid (BT)

3.

Mid-berderline (BB)

4.

Borderline lepromatous (BL)

5.

Lepromatosa (LL)

Tipe tuberkoloid (TT)


Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau

beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat

bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran


psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya
teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan
tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang
adekuat terhadap kuman kusta.
2.

Tipe borderline tubercoloid (BT)


Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak

yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya
asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3.

Tipe mid borderline (BB)


Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum

penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang
dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap,
batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung
simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun
distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4.

Tipe borderline lepromatosa (BL)


Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah

sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan
lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas
dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya
melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir
dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa
plak tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya
sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat
predileksi.
5.

Tipe lepromatosa (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,


berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut
tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka
menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai
madarosis, iritis dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada
hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat
menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan
glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul
baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabutserabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang
menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
c. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan
modifikasi WHO (1988)
1.

Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif
menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi
Madrid.

2.

Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta
dengan BTA positif.
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan

sebagai berikut : Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai
MB apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini. Bila awalnya didiagnosis tipe
PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat
ini.
Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO (1995)

PB
1. Lesi kulit (makula yang datar, 1-5 lesi
papul

yang

MB
> 5 lesi

meninggi,infiltrat, Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih


Distribusi tidak simetris

plak eritem, nodus)

simetris

Hilangnya sensasi yangHilangnya

2.

jelas

sensasi

kurang

jelas
Kerusakan saraf (menyebabkan Hanya satu cabang saraf Banyak cabang
hilangnya sensasi/kelemahan otot

saraf

yang dipersarafi oleh saraf yang


terkena)
Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang akan
menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi
Mycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum
penyakit kusta.
1.5 Gambaran klinis
Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik Kusta tipe PB
Karakteristik

Tuberkuloid

Borderline tuberculoid Indeterminate

(TT)

(BT)

(I)

Lesi
-bentuk

Makula
makula

saja; Makula dibatasi infiltrat; Hanya makula


dibatasi infiltrat saja

infiltrat
-Jumlah
-Distribusi
-Permukaan

Satu /beberapa

Beberapa

atau

satu Satu

dengan lesi satelit

beberapa

asimetris

Asimetris

Bervariasi

Kering, skuama

Kering, skuama

Dapat

Terlokalisasi

atau

&
halus

agak berkilat

-batas

-anestesia

Jelas

Jelas

Jelas

Jelas

Dapat
atau

dapat

tidak

jelas

Tidak

ada

sampai
BTA
-Lesi kulit

jelas

tidak

jelas
Negatif

Negatif atau 1 +

Biasanya
negatif

-Tes lepromin

Positif kuat (3+)

Positif lemah (2 +)

Dapat

positif

lemah

atau

negatif
Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik Kusta tipe MB

Karakteristik

Lepromatosa

Borderline

Mid-borderline

(LL)

lepromatosa (BL)

(BB)

Makula

Makula

Plakat

Infiltrate difus

Plakat

Dome-shaped

Papul

papul

(kubah)

Lesi
-bentuk

Nodus
infiltrat

punched-out
papul,

nodus
-Jumlah

Banyak, distribusi Banyak, tapi kulit Beberapa,


luas, praktis tidak sehat masih ada

kulit

sehat jelas ada

ada kulit sehat


-Distribusi

simetris

Hampir simetris

asimetris

-Permukaan

Halus dan berkilap

Halus dan berkilap

agak kasar, agak


berkilat

-batas
-anestesia

Tidak jelas

Agak jelas

agak jelas

Sedikit berkurang

berkurang

Tidak ada sampai Tidak jelas

lebih jelas

tidak jelas
BTA
-lesi kulit

Banyak

(ada Banyak

agak banyak

globus)
-sekret hidung

Banyak (globi)

Biasanya negatif

negatif

Tes lepromin

Negative

Negatif

biasanya negatif

Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan


tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai

dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang
mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga
secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi
Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe
indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit
sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor
ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula
hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan,
bila dengan pemeriksaan histopatologik.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat
atau tipe dari penyakit tersebut yaitu: Adanya bercak tipis seperti panu pada
badan/tubuh manusia, Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi
lama-lama semakin melebar dan banyak, Adanya pelebaran syaraf terutama pada
syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneu, Kelenjar keringat
kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil
kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit, Alis rambut rontok, Muka
berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).

Gambar 1. Facies leonina

10

1.6 Penularan
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas
penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang
lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan
melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati,
dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering.
Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar
basil. Organisme kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga
melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun,
penularannya diduga melalui plasenta.2
Dua pintu keluar dari Mycobacterium leprae dari tubuh manusia
diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus
lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya
bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa
mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian
terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar
di lapisan keratin superfisialkulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini
membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui
kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer
pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa,
menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan
bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di
sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari
pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan
tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si
penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa
penularan penyakit kusta adalah : 1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal
dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27
x 24 jam. 2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah

11

umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis,
dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum
diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi
seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti, tergantung dari beberapa faktor
antara lain :
1) Faktor Kuman kusta
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh
(solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan dari pada
orang yang tidak utuh lagi Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, bermentuk
batang dengan panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1
sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang
utuh (solid) saja dapat menimbulkan penularan.
2) Faktor Imunitas
Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil
penelitian menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 0rang yang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal
ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh pengobatan.
3) Keadaan Lingkungan
Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan
kemiskinan, merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya
dengan meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor
utama mencegah munculnya kusta.
4)

Faktor Umur

12

Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini
meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan
kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan
puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.
5) Faktor Jenis Kelamin
Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita,
kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor fisiologis
seperti

pubertas, monopause,

Kehamilan,

infeksi dan malnutrisi

akan

mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta.


Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil
penelitian menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95
orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi
sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita kusta.
1.7 Masa Inkubasi
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa
peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum
dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi
muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan
berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-rata
adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta
lepromatosa.
Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3
tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah
usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah
disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.3
1.8 Reservoir

13

Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan


sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang Armadillo liar diketahui secara
alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan
yang dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi
penularan dari Armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara alamiah
ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan
Sierra Lione.
1.9 Patogenesis
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih
belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa
tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin
dan melalui mukosa nasal. Pengaruh Mycobacterium leprae terhadap kulit
bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium
leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat
kuman yang avirulen dan nontoksis.7.9
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang
terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada
dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman Mycobacterium leprae
masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag
(berasal

dari

sel

monosit

darah,

sel

mononuklear,

histiosit)

untuk

memfagositnya.2.3.4
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.11
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua
kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila
infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.5,7

14

Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium


lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya
sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh
dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas
regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.11
Mycobacterium

leprae merupakan

parasit obligat

intraseluler yang

terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada
dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila Mycobacterium leprae masuk ke
dalam tubuh, akan menimbulkan reaksi Hipersensitifitas tipe IV oleh sel T H1, sel
pembunuh dan makrofag. Antigen difagositosis oleh makrofag, diolah, dan
dipresentasikan pada sel TH. Sensitisasi ini berlangsung lebih dari 5 hari. Pada
kontak kedua, sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel TH1. Sel ini akan merangsang
pembentukan monosit di sumsum tulang melalui IL-3 dan faktor yang
merangsang koloni makrofag-granulosit (GM-CSF) sehingga menarik monosit
dan makrofag melalui kemokin, seperti MCPs (monocyte chemoattractant
proteins) dan MIPs (monocyte inflammatory proteins), dan mengaktifkannya
melalui interfeuron (IFN-). MCPs dan MIPs bersama dengan TNF-
meyebabkan reaksi peradangan yang hebat.6,7
Makrofag dalam jaringan berasal dari monosit dalam darah yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel aveolar dari paru,
sel glia dari otak, dan dari kulit disebut histiosit. Dengan adanya proses
imunologik, histiosit datang ke tempat kuman. Kalau datangnya berlebihan dan
tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel
epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia
Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi limfosit disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan Sistem Imun Seluler (SIS) rendah atau lumpuh, histiosit tidak
dapat menghancurkan M. Lepra yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan
tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

15

Gambar 2. Patogenesa morbus hansen


1.10 Manifestasi Klinis
Menurut Jimmy Wales (2008), tanda-tanda tersangka kusta (Suspek)
adalah sebagai berikut:
-

Tanda-tanda pada kulit: bercak/kelainan kulit yang merah/putih dibagian


tubuh, kulit mengkilat, bercak yang tidak gatal, adanya bagian-bagian
yang tidak berkeringat atau tidak berambut, lepuh tidak nyeri

Tanda-tanda pada syaraf: rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada


anggota badan, gangguan gerak anggota badan/bagian muka, Adanya
cacat (deformitas), Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.

16

Gambar 3. Gejala kerusakan saraf


1.11 Diagnosa
Dalam menegakkan diagnosa morbus hansen, ditegakkan berdasarkan :
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dari pemeriksaan
bakterioskopik, histopatologik, dan serologik.
A. Anamnesis
Subyektif : Keluhan penderita, Kelainan kulit, Mati rasa, Gangguan fungsi pada
saraf.

17

Obyektif : Riwayat kontak dengan penderita, Latar belakang keluarga misalnya


Keadaan sosial ekonomi.
Evaluasi data : Untuk menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, Sebagai
sumber acuan pengobatan MDT dan klasifikasi penyakit kusta.
B. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : Ruangan membutuhkan cahaya yang adekuat (terang) diperlukan agar
petugas dapat membedakan warna dan bentuk tubuh.
Palpasi : Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n. auricularis
magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior.
Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan,
dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau
tidak saat saraf diraba.2

Gambar 4. saraf tepi yang dekat dengan kulit

18

Saraf ulnaris - untuk memeriksa saraf ulnaris kiri, pegang lengan bawah
kiri penderita dengan tangan kiri Anda; raba di bawah siku penderita dengan
tangan kanan Anda. Anda akan menemukan saraf ulnaris di cekungan pada sisi
median (dalam). Lakukan sebaliknya untuk memeriksa saraf ulnaris lengan
kanan.
Saraf medianus - untuk memeriksa saraf medianus, pegang pergelangan
penderita dengan telapak tangannya menghadap ke atas; raba hati-hati di tengahtengah pergelangan. Saraf medianus mungkin tidak teraba, tapi ada tidaknya
nyeri tekan tetap dapat terdeteksi.
Saraf peroneus - untuk meraba saraf peroneus kanan, minta penderita
duduk di kursi dan kemudian Anda duduk atau berlutut di depannya. Gunakan
tangan kiri Anda untuk meraba saraf di sisi luar betis sedikit di bawah lutut dan
lekukan sekitar tulang di bawah lutut. Gunakan tangan kanan Anda untuk
memeriksa saraf Peroneus kiri.
Fungsi sensorik : Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada
telapak tangan, daerah yang sisarafi oleh n.ulnaris dan medianus juga pada daerah
telapak kaki untuk daerah yang disarafi oleh n.tibialis posterior.
Fungsi motoric : N.fasialis dengan memeriksa kekuatan penutupan bola
mata. N.ulnaris dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis minimi.
N.medianus, dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis brevis. N.radialis,
dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan tangan. N.peroneous,
dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan kaki baik pada arah eversi
maupun inverse. N.tibialis posterior, dengan memeriksa kekuatan otot truceps
surae, tibialis posterior, flexor hallucis longus dan flexor digitorum longus.
Fungsi Otonom : Fungsi Otonom diperiksa dengan memegang tangan atau
kaki penderita untuk menilai kebasahan telapak tangan maupun kaki (fungsi
kelenjar keringat). Pemeiksaan bersama dengan gerak Olah raga.
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena
memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis
penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
a. Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat
tubuh yang lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus,

19

mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau
sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
b. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu: Gangguan fungsi sensoris: hipostesi
atau

anestesi,

Gangguan

fungsi

motoris:

paresis

atau

paralisis,

gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.
c. Ditemukan kuman tahan asam
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita
hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa
ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau
disingkirkan
C. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertamatama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling
padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena
pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2 + Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3 + Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4 + Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5 + Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6 + Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP

20

Indeks

morfologi

adalah

persentase

bentuk

solid

dibandingkan

dengan jumlah solid dan non solid. Indeks morfologi ini dilakukan untuk
menentukan persentasi BTA hidup atau mati.
Rumus :

Jumlah solid

x 100 % =

Jumlah solid + non solid


Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari
dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ harus dihitung IM nya sebab
dengan IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.
D. Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan
histopatologi,

gambaran

histopatologi

tipe

tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada
basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi
subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di
bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow
dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur-unsur
tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
E. Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik,
didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
M.leprae. Pemeriksaanserologik

adalah

MLPA

(Mycobacterium

Leprae

Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.


F. Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis
lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun
penderita terhadap M.leprae 0,1ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil
organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari
(reaksiFernandez) atau 34 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif
bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi

21

terhadap M.Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD)
pada tuberkolosis
Reaksi Mitsuda bernilai :
0
Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 6 mm
+ 2 Papul berdiameter 7 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi
1.12 Pengobatan
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT (Multi Drug Treatment) dan
dilaksanakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO, dengan obat
alternative sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. MDT digunakan sebagai
usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek masa
pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Obat anti kusta
yang banyak dipakai saat ini DDS, Klofazimin dan Rifampisin. Pada tahun 1998
WHO menambahkan 3 antibiotik lain untuk alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin
dan klaritromisin.
1. DDS (Diaminodifenil Sulfon ) atau Dapson
DDS

bersifat

bakteriostatik

yaitu

menghalangi

dan

mengambat

pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari PABA


(para aminobenzoic) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis
folat oleh bakteri. Dosisnya 1- 2 mg/kgbb/hari. Efek samping DDS adalah
nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, NET, anoreksia, hepatitis dan
vertigo.
2. Rifampicin
Rifampicin bersifat bekteriosid yang membunuh kuman, bekerja dengan
cara menghambat DNA dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta.Dosisnya 10 mg/kgbb. Efek samping
hepatotoksik dan nefrotoksik. Obat ini tidak boleh diberikan monoterapi.
3. Klofazimin atau lampren
Merupakan bekteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta bekerja dengan
menghambat siklus sel dan transpor NA/K ATP ase, juga bersifat anti

22

inflamasi sehingga dapat menanggulangi ENL .Efek sampingnya warna


merah kecoklatan pada kulit.
Obat Alternatif
1. Ofloksasin
Merupakan

turunan

fluorokuinolon

yang

paling

aktif

terhadap

M.leprae.Dosis optimal harian 400 mg. Efek samping mual ,diare, sakit
kepala. Penggunaan pada anak, wanita hamil dan wanita menyusui harus
hati hati karna dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
dari klaritromisin dan lebih rendah dari rifampicin. Dosis harian 100 mg.
Efek samping pewarnaan gigi pada bayi dan anak, gangguan saluran cerna
dan dizziness.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik macrolid dan punya efektifitas bakterisidal terhadap
M. Leprae pada tikus an manusia. Efek samping diare dan mual.
Cara Pemberian MDT
1. Multibasiler ( MB )
-

Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervisi.

DDS 100 mg/hari

Klofazimin 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg

sehari atau 100 mg selama sehari atau 3x100 mg setiap minggu


Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 24 dosis selama 24-36
bulan denagn syarat bakterioskopis harus negative. Apabila masih positif,
pengobatan

harus

dilanjutkan

sampai

bakterioskopis

negative.

Selama

pengobatan dilakukan pemeriksaan klinis setip bulan dan secara bakterioskopis


minimal setiap 3 bulan. Jadi kira-kia selama 2-3 tahun kemungkinan pengobatan
kusta multibasiler. Setelah 2436 bulan klinis (-) dan bakterioskopis (-) maka
pasien dinyatakan release from treatment. Setelah RFT dilakukan tindak lanjut

23

(tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis selama 5 tahun. Kalau


negative, maka pasien dinyatakan release from control.
2.Pausibasiler ( PB )
-

Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)

DSS 100 mg/hari


Pengobatan diberikan dalam 6dosis selama 6 bulan- 9 bulan. Setelah

selesai minum 6-9 bulan, dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment).
Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis tiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap 2
tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan baru secara
klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan Release from control.

Gambar 6. Regimen MDT


Berdasarkan Klasifikasi WHO untuk kepentingan pengobatan , penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup :
1. PB dengan lesi tungal
2. PB dengan lesi 2 5 buah

24

3. MB dengan lesi > 5 buah


Sebagai standar pengobatan WHO expert Comitte memperpendek masa
pengobatan untuk kasus :
1. MB menjadi 12 dosis dalam 12 18 bulan
2. PB dengan lesi 2 5 tetap 6 dosis dalam 6 9 bulan
3.

PB dengan lesi tunggal dengan pengobatan ROM (Rifampicin 600 mg,


Ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (dosis tunggal )
Regimen pengobatan kusta ( WHO/DEPKES RI) dengan lesi tunggal

diberikan ROM yaitu Rifampicin 600 mg, Ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100
mg ( ROM ) dosis tunggal. Pemberian obat sekali saja langsung diberikan RFT
( Relese from treatment ). Obat diminum didepan petugas. Bila ROM belum
tersedia dipuskemas dapat dengan regimen PB lesi 2 5.
1.13 Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik
penyakit kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang
kadang-kadang disertai dengan gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan
pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama
gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada
pasien kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat
pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering
terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari
Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1
terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi
dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini
terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta
dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya
M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan.

25

Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe
1 adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil.
Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler
terhadap antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga
menunjukkan adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-,
IL-1b, IL-6, IFN- dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF- dan
IL-10 selama terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1)
menyebabkan produksi IL-2 dan IFN- meningkat sehingga dapat terjadi
lymphocytic infiltration pada kulit dan syaraf. IFN dan TNF- bertanggung
jawab terhadap terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan
kerusakan jaringan yang cepat.
Tabel 4. Gambaran reaksi kusta tipe 1
Organ yang diserang
Kulit

Reaksi ringan

Reaksi berat

Lesi kulit yang telah ada Lesi


menjadi lebih eritematosa

yang

telah

menjadi eritematosa
Timbul lesi baru yang
kadang-kadang

Syaraf tepi

ada

panas dan malaise


Membesar, tidak ada nyeri Membesar, nyeri

disertai
tekan

tekan syaraf dan gangguan dan gangguan fungsi.


Berlangsung lebih dari 6
fungsi
Berlangsung kurang dari 6 minggu
Kulit dan syaraf

minggu
Lesi yang telah ada akan Lesi

kulit

menjadi lebih eritematosa, eritematosa

yang
disertai

nyeri pada syaraf


ulserasi atau edema pada
Berlangsung kurang dari 6
tangan/kaki
minggu
Syaraf membesar, nyeri
dan fungsinya terganggu
Berlangsung lebih dari 6
minggu
2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)

26

Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL).
Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL.
Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga
timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT). ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen
antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut
Coomb & Gel.
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga
banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan
komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi
darah dan akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga
mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang
menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi
komplemen.
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan
IL-10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN- danTNF-. IL-4, IL-5, IFN,TNF- bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan
selama terjadi reaksi ENL.
Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan
rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian
steroid jangka panjang.

Gambar 5. Spektrum reaksi kusta RR dan ENL

27

Keterangan gambar:
Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam
spektrum imunitas pasien kusta menurut Ridkey-Jopling
Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler
Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral
Tabel 5 Gambaran reaksi kusta tipe 2
Organ yang diserang
Kulit

Reaksi ringan
Nodus
sedikit,
ulserasi
Demam

Syaraf tepi

Organ tubuh

Reaksi berat
dapat Nodus banyak, nyeri,

ringan

berulserasi
dan Demam tinggi dan

malaise
malaise
Membesar
Sangat membesar
Tidak ada nyeri tekan Nyeri tekan
Gangguan fungsi
syaraf
Fungsi
tidak
ada
gangguan
Tidak
ada

gangguan Terjadi

organ-organ dari tubuh

peradangan

pada:
mata:

nyeri,

penurunan

visus,

merah sekitar limbus


Testis: lunak, nyeri
dan membesar

28

Gambar 6. Tipe kusta dan reaksi kusta

Gambar 7. Reaksi reversal

BAB II
LAPORAN KASUS

29

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama
: Tn. AZ
Umur
: 37 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Swasta (pekerja bangunan)
Alamat
: Sungayang
Status perkawinan : Kawin
Negeri asal
: Jawa
Agama
: Islam
2.2. ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Prof. Dr.
M.A. Hanafiah Batusangkar pada tanggal 22 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB
dengan :
Keluhan Utama
Mati rasa pada tungkai bawah kaki kanan sejak 4 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
-

Mati rasa pada tungkai bawah kaki kanan sejak 4 bulan yang lalu, awalnya
mati rasa ini dirasakan pada telapak kaki, lalu menjalar ke tungkai kaki. Pada

tangan juga dirasakan mati rasa , tapi pasien lupa sejak kapan.
Pada tungkai bawah kaki kanan tampak kulit kering, agak bersisik, namun

tidak gatal dan sakit


Muncul bercak bercak kemerahan pada paha, punggung dan wajah, bercak

kemerahan muncul 2 bulan yang lalu, tapi sekarang tidak nampak lagi
Pasien juga tidak mengeluhkan kerontokan rambut, alis mata dan bulu mata
Pasien belum pernah berobat untuk penyakit ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah menderita penyakit ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit yang sama
Riwayat sosial ekonomi
-

Pasien tinggal di sungayang sejak menikah dengan istrinya


Rumah pasien dengan ventilasi udara cukup baik

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Composmentis cooperatif
Status gizi
: Baik

30

Thorak
Abdomen

: diharapkan dalam batas normal


: diharapkan dalam batas normal

Status Dermatologikus
-

Lokasi
Distribusi
Bentuk
Susunan
Batas
Ukuran
Efloresensi

: Tungkai bawah kaki kanan.


: Difus
: tidak khas
: tidak khas
: tidak tegas
: Plakat
: makula hipopigmentasi, likenifikasi

31

Gambar lesi 1 bulan yang lalu

32

Gangguan sensibilitas
-

Rasa tusuk
Rasa raba
Rasa suhu

: hipoestesi pada lesi


: hipoestesi pada lesi
:-

Pembesaran saraf perifer


-

N. Ulnaris
N. Radialis
N. Tibialis post

: tidak ada pembesaran


: tidak ada pembesaran
: tidak ada pembesaran

Kelainan lain-lain
-

Kontraktur
Mutilasi
Atrofi otot
Xerosis kutis
Absorbsi
Ulkus trofik
Madarosis
Lagophtalmus

: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

33

Claw hand
Drop hand
Wrist drop
Dropped foot
Facies leonina

: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

Status venereologikus
Kelainan kuku
Kelainan rambut

: tidak ada kelainan


: tidak ada kelainan
: rambut, alis mata, dan bulu mata tidak ditemukan

kelainan
Kelainan KGB

: tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening

DIAGNOSA
Morbus Hansen tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
DIAGNOSIS BANDING: PEMERIKSAAN ANJURAN :
- Pemeriksaan bakterioskopik : pemeriksaan BTA
- Pemeriksaan histopatologi
- Pemeriksaan serologic
- Gunawan sign
PENATALAKSANAAN
Umum :
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit kusta, penularan, cara minum
-

obat, komplikasi, pentingnya berobat secara teratur


Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit kusta bukan merupakan penyakit

keturunan
Menganjurkan pasien untuk berobat teratur sampai pasien dinyatakan sembuh
Kontrol keadaan klinis setiap bulan, dan kontrol bakterioskopis bila telah

selesai 6 bulan pengobatan


Menjelaskan kepada pasien bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat
resiko terjadinya luka sehingga berhati-hati, dan daerah luka merupakan port

d entre bakteri, sehingga hindari luka


Memberitahukan kepada pasien efek samping dari obat yang diminum seperti
penggunaan rifampicin menyebabkan warna buang air kecil berwarna merah
sehingga pasien tidak perlu khawatir

Khusus
Paket MDT-PB warna hijau
-

Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)

34

DSS 100 mg/hari


Pengobatan diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan- 9 bulan. Setelah

selesai minum 6-9 bulan, dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment).
Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis tiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap 2
tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan baru secara
klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan Release from control.

PROGNOSIS
-

Quo ad sanatinam

: bonam

Quo ad vitam

: bonam

Quo ad cosmetikum : bonam

Quo ad functionam

: bonam

Resep

RSUD DR. Achmad Mochtar


Poliklinik Kulit dan Kelamin
dr. AK
SIP : 19/07/2015
Telp. (0752) 53631
Bukittinggi, 24 Oktober 2015
R/ Rifampicin Caps 300 mg No. II
S1dd tab II
R/ Dapson tab 100 mg No. XXVIII
S1dd tab I

Pro : Tn. AZ
Umur: 37 tahun

35

36

Anda mungkin juga menyukai