TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Pendahuluan
Morbus Hansen disebut juga kusta atau lepra. Istilah kusta berasal dari
bahasa Sanskerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara
umum. Penyakit kusta ini disebut juga Morbus Hansen karena sesuai dengan
nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Henrik Armauwer Hansen pada
tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta
dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit
tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit
dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian
anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun
infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang,
mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan
infeksi sewaktu masa kanak-kanak.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di
daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak
memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan
penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat
terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah bilamana
ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan
bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak
pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi pada satu tempat, hasil
pemeriksaan bakteriologis negatif (-), tipe kusta ini tidak menular. Sedangkan
kusta tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta basah adalah bilamana bercak
putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi
penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat,
kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe
seperti ini sangat mudah menular.
1.2 Epidemiologi
Masalah epidemiologi belum terpecahkan, masalah penularan belum
diketahui secara pasti, hanya anggapan klasik yaitu melalui kontak lamgsung
antar kulit yang lama dan erat. Angapan kedua, secara inhalasi sebab M.leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Masa tunas sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya
beberapa tahun, rata rata 3 sampai 5 tahun.
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar
di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau malenesia termasuk
Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit tiaptiap Negara maupun di dalam satu Negara sendiri ternyata berbeda-beda.
Demikian pula penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu
Negara sampai saat ini belum jelas benar.
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan
13%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan
penderita di bawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk mencari kemungkinan
ada tidaknya kusta congenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur
antara 25-35 tahun.
Kusta terdapat diseluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang social ekonominya rendah.
Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial
ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan.
Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi
kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan
2.
3.
4.
5.
1.4 Klasifikasi
1)
Indeterminate (I)
2.
Tuberkuloid (T)
3.
Borderline-Dimorphous (B)
4.
Lepromatosa (L)
1.
1.
Tuberkoloid (TT)
2.
3.
Mid-berderline (BB)
4.
5.
Lepromatosa (LL)
beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat
yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya
asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3.
penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang
dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap,
batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung
simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun
distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4.
sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan
lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas
dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya
melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir
dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa
plak tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya
sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat
predileksi.
5.
Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif
menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi
Madrid.
2.
Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta
dengan BTA positif.
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan
sebagai berikut : Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai
MB apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini. Bila awalnya didiagnosis tipe
PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat
ini.
Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO (1995)
PB
1. Lesi kulit (makula yang datar, 1-5 lesi
papul
yang
MB
> 5 lesi
simetris
2.
jelas
sensasi
kurang
jelas
Kerusakan saraf (menyebabkan Hanya satu cabang saraf Banyak cabang
hilangnya sensasi/kelemahan otot
saraf
Tuberkuloid
(TT)
(BT)
(I)
Lesi
-bentuk
Makula
makula
infiltrat
-Jumlah
-Distribusi
-Permukaan
Satu /beberapa
Beberapa
atau
satu Satu
beberapa
asimetris
Asimetris
Bervariasi
Kering, skuama
Kering, skuama
Dapat
Terlokalisasi
atau
&
halus
agak berkilat
-batas
-anestesia
Jelas
Jelas
Jelas
Jelas
Dapat
atau
dapat
tidak
jelas
Tidak
ada
sampai
BTA
-Lesi kulit
jelas
tidak
jelas
Negatif
Negatif atau 1 +
Biasanya
negatif
-Tes lepromin
Positif lemah (2 +)
Dapat
positif
lemah
atau
negatif
Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik Kusta tipe MB
Karakteristik
Lepromatosa
Borderline
Mid-borderline
(LL)
lepromatosa (BL)
(BB)
Makula
Makula
Plakat
Infiltrate difus
Plakat
Dome-shaped
Papul
papul
(kubah)
Lesi
-bentuk
Nodus
infiltrat
punched-out
papul,
nodus
-Jumlah
kulit
simetris
Hampir simetris
asimetris
-Permukaan
-batas
-anestesia
Tidak jelas
Agak jelas
agak jelas
Sedikit berkurang
berkurang
lebih jelas
tidak jelas
BTA
-lesi kulit
Banyak
(ada Banyak
agak banyak
globus)
-sekret hidung
Banyak (globi)
Biasanya negatif
negatif
Tes lepromin
Negative
Negatif
biasanya negatif
dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang
mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga
secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi
Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe
indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit
sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor
ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula
hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan,
bila dengan pemeriksaan histopatologik.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat
atau tipe dari penyakit tersebut yaitu: Adanya bercak tipis seperti panu pada
badan/tubuh manusia, Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi
lama-lama semakin melebar dan banyak, Adanya pelebaran syaraf terutama pada
syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneu, Kelenjar keringat
kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil
kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit, Alis rambut rontok, Muka
berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).
10
1.6 Penularan
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas
penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang
lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan
melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati,
dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering.
Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar
basil. Organisme kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga
melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun,
penularannya diduga melalui plasenta.2
Dua pintu keluar dari Mycobacterium leprae dari tubuh manusia
diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus
lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya
bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa
mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian
terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar
di lapisan keratin superfisialkulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini
membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui
kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer
pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa,
menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan
bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di
sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari
pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan
tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si
penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa
penularan penyakit kusta adalah : 1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal
dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27
x 24 jam. 2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah
11
umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis,
dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum
diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi
seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti, tergantung dari beberapa faktor
antara lain :
1) Faktor Kuman kusta
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh
(solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan dari pada
orang yang tidak utuh lagi Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, bermentuk
batang dengan panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1
sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang
utuh (solid) saja dapat menimbulkan penularan.
2) Faktor Imunitas
Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil
penelitian menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 0rang yang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal
ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh pengobatan.
3) Keadaan Lingkungan
Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan
kemiskinan, merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya
dengan meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor
utama mencegah munculnya kusta.
4)
Faktor Umur
12
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini
meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan
kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan
puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.
5) Faktor Jenis Kelamin
Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita,
kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor fisiologis
seperti
pubertas, monopause,
Kehamilan,
akan
13
dari
sel
monosit
darah,
sel
mononuklear,
histiosit)
untuk
memfagositnya.2.3.4
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.11
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua
kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila
infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.5,7
14
leprae merupakan
parasit obligat
intraseluler yang
terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada
dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila Mycobacterium leprae masuk ke
dalam tubuh, akan menimbulkan reaksi Hipersensitifitas tipe IV oleh sel T H1, sel
pembunuh dan makrofag. Antigen difagositosis oleh makrofag, diolah, dan
dipresentasikan pada sel TH. Sensitisasi ini berlangsung lebih dari 5 hari. Pada
kontak kedua, sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel TH1. Sel ini akan merangsang
pembentukan monosit di sumsum tulang melalui IL-3 dan faktor yang
merangsang koloni makrofag-granulosit (GM-CSF) sehingga menarik monosit
dan makrofag melalui kemokin, seperti MCPs (monocyte chemoattractant
proteins) dan MIPs (monocyte inflammatory proteins), dan mengaktifkannya
melalui interfeuron (IFN-). MCPs dan MIPs bersama dengan TNF-
meyebabkan reaksi peradangan yang hebat.6,7
Makrofag dalam jaringan berasal dari monosit dalam darah yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel aveolar dari paru,
sel glia dari otak, dan dari kulit disebut histiosit. Dengan adanya proses
imunologik, histiosit datang ke tempat kuman. Kalau datangnya berlebihan dan
tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel
epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia
Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi limfosit disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan Sistem Imun Seluler (SIS) rendah atau lumpuh, histiosit tidak
dapat menghancurkan M. Lepra yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan
tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
15
16
17
18
Saraf ulnaris - untuk memeriksa saraf ulnaris kiri, pegang lengan bawah
kiri penderita dengan tangan kiri Anda; raba di bawah siku penderita dengan
tangan kanan Anda. Anda akan menemukan saraf ulnaris di cekungan pada sisi
median (dalam). Lakukan sebaliknya untuk memeriksa saraf ulnaris lengan
kanan.
Saraf medianus - untuk memeriksa saraf medianus, pegang pergelangan
penderita dengan telapak tangannya menghadap ke atas; raba hati-hati di tengahtengah pergelangan. Saraf medianus mungkin tidak teraba, tapi ada tidaknya
nyeri tekan tetap dapat terdeteksi.
Saraf peroneus - untuk meraba saraf peroneus kanan, minta penderita
duduk di kursi dan kemudian Anda duduk atau berlutut di depannya. Gunakan
tangan kiri Anda untuk meraba saraf di sisi luar betis sedikit di bawah lutut dan
lekukan sekitar tulang di bawah lutut. Gunakan tangan kanan Anda untuk
memeriksa saraf Peroneus kiri.
Fungsi sensorik : Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada
telapak tangan, daerah yang sisarafi oleh n.ulnaris dan medianus juga pada daerah
telapak kaki untuk daerah yang disarafi oleh n.tibialis posterior.
Fungsi motoric : N.fasialis dengan memeriksa kekuatan penutupan bola
mata. N.ulnaris dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis minimi.
N.medianus, dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis brevis. N.radialis,
dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan tangan. N.peroneous,
dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan kaki baik pada arah eversi
maupun inverse. N.tibialis posterior, dengan memeriksa kekuatan otot truceps
surae, tibialis posterior, flexor hallucis longus dan flexor digitorum longus.
Fungsi Otonom : Fungsi Otonom diperiksa dengan memegang tangan atau
kaki penderita untuk menilai kebasahan telapak tangan maupun kaki (fungsi
kelenjar keringat). Pemeiksaan bersama dengan gerak Olah raga.
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena
memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis
penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
a. Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat
tubuh yang lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus,
19
mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau
sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
b. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu: Gangguan fungsi sensoris: hipostesi
atau
anestesi,
Gangguan
fungsi
motoris:
paresis
atau
paralisis,
gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.
c. Ditemukan kuman tahan asam
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita
hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa
ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau
disingkirkan
C. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertamatama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling
padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena
pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2 + Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3 + Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4 + Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5 + Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6 + Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
20
Indeks
morfologi
adalah
persentase
bentuk
solid
dibandingkan
dengan jumlah solid dan non solid. Indeks morfologi ini dilakukan untuk
menentukan persentasi BTA hidup atau mati.
Rumus :
Jumlah solid
x 100 % =
gambaran
histopatologi
tipe
tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada
basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi
subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di
bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow
dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur-unsur
tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
E. Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik,
didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
M.leprae. Pemeriksaanserologik
adalah
MLPA
(Mycobacterium
Leprae
21
terhadap M.Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD)
pada tuberkolosis
Reaksi Mitsuda bernilai :
0
Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 6 mm
+ 2 Papul berdiameter 7 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi
1.12 Pengobatan
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT (Multi Drug Treatment) dan
dilaksanakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO, dengan obat
alternative sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. MDT digunakan sebagai
usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek masa
pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Obat anti kusta
yang banyak dipakai saat ini DDS, Klofazimin dan Rifampisin. Pada tahun 1998
WHO menambahkan 3 antibiotik lain untuk alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin
dan klaritromisin.
1. DDS (Diaminodifenil Sulfon ) atau Dapson
DDS
bersifat
bakteriostatik
yaitu
menghalangi
dan
mengambat
22
turunan
fluorokuinolon
yang
paling
aktif
terhadap
M.leprae.Dosis optimal harian 400 mg. Efek samping mual ,diare, sakit
kepala. Penggunaan pada anak, wanita hamil dan wanita menyusui harus
hati hati karna dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
dari klaritromisin dan lebih rendah dari rifampicin. Dosis harian 100 mg.
Efek samping pewarnaan gigi pada bayi dan anak, gangguan saluran cerna
dan dizziness.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik macrolid dan punya efektifitas bakterisidal terhadap
M. Leprae pada tikus an manusia. Efek samping diare dan mual.
Cara Pemberian MDT
1. Multibasiler ( MB )
-
harus
dilanjutkan
sampai
bakterioskopis
negative.
Selama
23
selesai minum 6-9 bulan, dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment).
Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis tiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap 2
tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan baru secara
klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan Release from control.
24
diberikan ROM yaitu Rifampicin 600 mg, Ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100
mg ( ROM ) dosis tunggal. Pemberian obat sekali saja langsung diberikan RFT
( Relese from treatment ). Obat diminum didepan petugas. Bila ROM belum
tersedia dipuskemas dapat dengan regimen PB lesi 2 5.
1.13 Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik
penyakit kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang
kadang-kadang disertai dengan gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan
pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama
gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada
pasien kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat
pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering
terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari
Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1
terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi
dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini
terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta
dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya
M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan.
25
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe
1 adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil.
Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler
terhadap antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga
menunjukkan adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-,
IL-1b, IL-6, IFN- dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF- dan
IL-10 selama terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1)
menyebabkan produksi IL-2 dan IFN- meningkat sehingga dapat terjadi
lymphocytic infiltration pada kulit dan syaraf. IFN dan TNF- bertanggung
jawab terhadap terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan
kerusakan jaringan yang cepat.
Tabel 4. Gambaran reaksi kusta tipe 1
Organ yang diserang
Kulit
Reaksi ringan
Reaksi berat
yang
telah
menjadi eritematosa
Timbul lesi baru yang
kadang-kadang
Syaraf tepi
ada
disertai
tekan
minggu
Lesi yang telah ada akan Lesi
kulit
yang
disertai
26
Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL).
Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL.
Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga
timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT). ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen
antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut
Coomb & Gel.
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga
banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan
komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi
darah dan akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga
mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang
menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi
komplemen.
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan
IL-10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN- danTNF-. IL-4, IL-5, IFN,TNF- bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan
selama terjadi reaksi ENL.
Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan
rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian
steroid jangka panjang.
27
Keterangan gambar:
Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam
spektrum imunitas pasien kusta menurut Ridkey-Jopling
Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler
Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral
Tabel 5 Gambaran reaksi kusta tipe 2
Organ yang diserang
Kulit
Reaksi ringan
Nodus
sedikit,
ulserasi
Demam
Syaraf tepi
Organ tubuh
Reaksi berat
dapat Nodus banyak, nyeri,
ringan
berulserasi
dan Demam tinggi dan
malaise
malaise
Membesar
Sangat membesar
Tidak ada nyeri tekan Nyeri tekan
Gangguan fungsi
syaraf
Fungsi
tidak
ada
gangguan
Tidak
ada
gangguan Terjadi
peradangan
pada:
mata:
nyeri,
penurunan
visus,
28
BAB II
LAPORAN KASUS
29
Mati rasa pada tungkai bawah kaki kanan sejak 4 bulan yang lalu, awalnya
mati rasa ini dirasakan pada telapak kaki, lalu menjalar ke tungkai kaki. Pada
tangan juga dirasakan mati rasa , tapi pasien lupa sejak kapan.
Pada tungkai bawah kaki kanan tampak kulit kering, agak bersisik, namun
kemerahan muncul 2 bulan yang lalu, tapi sekarang tidak nampak lagi
Pasien juga tidak mengeluhkan kerontokan rambut, alis mata dan bulu mata
Pasien belum pernah berobat untuk penyakit ini sebelumnya
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Composmentis cooperatif
Status gizi
: Baik
30
Thorak
Abdomen
Status Dermatologikus
-
Lokasi
Distribusi
Bentuk
Susunan
Batas
Ukuran
Efloresensi
31
32
Gangguan sensibilitas
-
Rasa tusuk
Rasa raba
Rasa suhu
N. Ulnaris
N. Radialis
N. Tibialis post
Kelainan lain-lain
-
Kontraktur
Mutilasi
Atrofi otot
Xerosis kutis
Absorbsi
Ulkus trofik
Madarosis
Lagophtalmus
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
33
Claw hand
Drop hand
Wrist drop
Dropped foot
Facies leonina
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
Status venereologikus
Kelainan kuku
Kelainan rambut
kelainan
Kelainan KGB
DIAGNOSA
Morbus Hansen tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
DIAGNOSIS BANDING: PEMERIKSAAN ANJURAN :
- Pemeriksaan bakterioskopik : pemeriksaan BTA
- Pemeriksaan histopatologi
- Pemeriksaan serologic
- Gunawan sign
PENATALAKSANAAN
Umum :
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit kusta, penularan, cara minum
-
keturunan
Menganjurkan pasien untuk berobat teratur sampai pasien dinyatakan sembuh
Kontrol keadaan klinis setiap bulan, dan kontrol bakterioskopis bila telah
Khusus
Paket MDT-PB warna hijau
-
34
selesai minum 6-9 bulan, dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment).
Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis tiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap 2
tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan baru secara
klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan Release from control.
PROGNOSIS
-
Quo ad sanatinam
: bonam
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad functionam
: bonam
Resep
Pro : Tn. AZ
Umur: 37 tahun
35
36