Anda di halaman 1dari 70

REFRESHING

ANAMNESIS,PEMERIKSAAN FISIK DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


DIBIDANG VENEROLOGI DAN 10 PENYAKIT TERBANYAK DIBIDANG
VENEROLOGI

Pembimbing :
dr. Afaf Agil Almunawar Sp.KK

Disusun Oleh :
Suyetno 2008730123

KULIT DAN KELAMIN RS ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN & KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016

BAB I
ANAMNESA DAN PEMERIKSAAN FISIK
PENDAHULUAN
Dalam praktik sehari-hari menghadapi pasien dengan penyakit kulit sebelum
menentukan diagnosis dan terapi, sebaiknya dilakukan pendekatan komunikasi
efektif, kemudian dilakukan pengamatan penyakit kulit khususnya morfologi, guna
memperoleh gambaran khas yang dapat mendukung diagnosis.1
Setelah mendapat kesan mengenai kesehatan pasien membuat diagnosis
penyakit kulit dimulai dengan melihat aspek morfologi kelainan kulit. Dalam hal ini
penting menentukan ciri dasarnya.1
A. ANAMNESA
Anamnesis dapat dilakukan aleh tenaga medis ataupun paramedis,
bertujuan untuk :

Menentukan faktor risiko pasien


Membantu menegakkan diagnosis sebelum dilakukan pemeriksaan fisik

maupun pemeriksaan penunjang lainnya


Membantu mengidentifikasi psangan seksual pasien
Agar tujuan anamnesis tercapai, diperlukan keterampilan melakukan

komunikasi verbal (cara kita berbicara dan mengajukan pertanyaan kepada


pasien) maupun keterampilan komunikasi non verbal (keterampilan bahasa
tubuh saat menghadapi pasien).2
Sikap saat melakukan anamnesis pada pasien IMS perlu diperhatikan,
yaitu :

Sikap sopan dan menghargai pasien yang tengah dihadapi


Menciptakan suasana yang menjamin privasi dan kerahasian,
sehingga sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup dan tidak
terganggu oleh keluar masuk petugas

Dengan penuh perhatian mendengarkan dan menyimak perkataan


pasien, jangan sambil menulis saat pasien berbicara dan jangan

memutuskan pembicaraan
Gunakan keterampilan verbal anda dengan memulai rangkaian
anamnesis menggunakan pertanyaan terbuka, dan mengakhiri
dengan pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka memungkinkan
pasien untuk memberikan gambaran lebih jelas, sedangkan
pertanyaan tertutup adaalah salah satu bentuk pertanyaan yang
mengharapkan jawaban singkat, sering dengan perkataan ya atau
tidak, yang biasanya digunakan untuk lebih memastikan hal yang

dianggap belum jelas.


Gunakan keterampilan verbal secara lebih mendalam, misalnya
dengan

memfasilitasi,

mengarahkan,

memeriksa,

dan

menyimpulkan, sambil menunjukkan empati, meyakinkan dan

kemitraan.
Rangkaian pertanyaan yang perlu ditanyakan kepada pasien IMS
dapat dilihat pada tabel 1.2

Untuk menggali faktor risiko perlu ditanyakan beberapa hal tersebut


dibawah ini. Berdasarkan penelitian faktor risiko oleh WHO (World Health
Organization) di beberapa negara (di Indonesia masih belum diteliti), pasien
akan dianggap berperilaku berisiko tingi bila terdapat jawaban ya untuk satu
atau lebih pertanyaan di bawah ini :2
Tabel.1. informasi yang perlu ditanyakan kepada pasien

1.
2.
3.
4.

Informasi yang perlu di tanyakan kepada pasien


Keluhan utama
10. Hubungan keluhan dengan
Keluhan tambahan
keadaan
lainnyaRiwayat perjalanan penyakit
Siapa menjadi pasangan
menjelang/sesudah
haid;
seksual
(wanita/pria

tersangka
penjaja

seks,

teman, pacar, suami/isteri)


5. Kapan
kontak
seksual
tersangka dilakukan
6. Jenis kelamin pasangan
seksual

kelelahan

fisik/psikis;

penyakit : diabetes, tumor,


keganasan,

lain-lain;

penggunaan obat : antibiotika,


kortikosteroid,

kontrasepsi;

pemakaian

kontrasepsi

alat

7. Cara melakukan hubungan


seksual

(genito-genital,

dalam

rahim

rangsangan

(AKDR);
seksual;

orogenital, anogenital)
8. Penggunaan kondom (tidak

kehamilan; kontak seksual.


11. Riwayat IMS sebelumnya dan

pernah, jarang, sering, selalu)


9. Riwayat
dan
pemberi

pengobatannya
12. Hari terakhir haid
13. Nyeri perut bagian bawah
14. Cara
kontrasepsi
yang

pengobatan

sebelumnya

(dokter/bukan dokter/sendiri)

digunakan dan mulai kapan

B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik terutama dilakukan pada daerah genitalia dan
sekitarnya, yang dilakukan di ruang periksa dengan lampu yang cukup terang.
Lampu sorot tambahan diperlukan untuk pemeriksaan pasien perempuan dengan
spekulum. Dalam pelaksanaan sebaiknya pemeriksa didampingi oleh seorang
tenaga kesehatan lain. Pada pemeriksaan terhadap pasien perempuan, pemeriksa
didampingi oleh paramedis perempuan, sedangkan pada pemeriksaan pasien lakilaki, dapat didampingi oleh tenaga paramedis laki-laki atau perempuan. Beri
penjelasan lebih dulu kepada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan :2

Pada saat melakukan pemeriksaan fisik genitalia dan sekitarnya, pemeriksa


harus selalu menggunakan sarung tangan, jangan lupa mencuci tangan

sebelum dan sesudah memeriksa.


Pasien harus membuka pakaian dalamnya agar dapat dilakukan pemeriksaan
genitalia (pada keadaan tertentu, kadang-kadang pasien harus membuka
seluruh pakainnya secara bertahap).
o Pasien perempuan, diperiksa dengan berbaring pada meja
ginekologik dalam posisi litotomi.
Pemeriksa duduk dengan nyaman sambil melakukan
inspeksi dan palpasi mons pubis, labia, dan perineum.
Periksa daerah genitalia luar dengan memisahkan ke
dua

labia,

perhatikan

adakah

kemerahan,

pembengkakan, luka/lecet, massa, atau duh tubuh.


o Pemeriksaan pasien laki-laki dapat dilakukan sambil
duduk/berdiri,
4

Perhatikan daerah penis, dari pangkal sampai ujung,


serta dan daerah skrotum
Perhatikan adakah duh tubuh, pembengkakan, luka/lecet

atau daerah lain


Lakukan inspeksi dan palpasi pada daerah genitalia, perineum, anus dan

sekitarnya.
Jangan lupa memeriksa daerah inguinal untuk mengetahui pembesaran

kelenjar getah bening setempat (regional)


Bilamana tersedia fasilitas laboratorium,

pengambilan bahan pemeriksaan.


Pada pasien pria dengan gejala duh tubuh genitalia disarankan untuk

sekaligus

dilakukan

tidak berkemih selama 1 jam (3 jam lebih baik), sebelum pemeriksaan.


Pasien dengan gejala ulkus genitalis (laki-laki dan perempuan)
1. Untuk semua pasien dengan gejala ulkus genital, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan serologi untuk sifilis dari bahan darah vena (RPR=rapid plasma
reagin, syphilis rapid test).
2. Untuk pemeriksaan Treponema pallidum pada ulkus yang dicurigai karena
sifilis :
a. Ulkus dibersihkan terlebih dahulu dengan kain kasa yang telah dibasahi
larutan salin fisiologis (NaCl 0,9%).
b. Ulkus ditekan di antara ibu jari dan telunjuk sampai keluar cairan serum
c. Serum dioleskan ke atas kaca obyek untuk pemeriksaan Burry atau
mikroskop lapangan gelap bila ada.2
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan bimanual
1. Gunakan sarung tangan dan dapat digunakan pelumas
2. Masukkan jari tengah dan telunjuk tangan kanan ke dalam vagina,
ibu jari harus dalam posisi abduksi, sedangkan jari manis dan
kelingking ditekuk ke arah telapak tangan
3. Untuk palpasi uterus; letakkan tangan kiri di antara umbilikus dan
tulang simfisis pubis, tekan ke arah tangan yang berada di dalam
pelvik
4. Dengan telapak jari tangan, raba funduk unteri sambil mendorong
serviks ke anterior dengan jari-jari yang berada di pelvik.

Perhatikan ukuran, posisi, konsistensi, mobilitas uterus, dan


kemungkinan rasa nyeri saat menggoyangkan serviks
5. Dengan perlahan, geser jari-jari yang berada di vagina menuju
forniks lateral sambil tangan yang berada di atas perut menekan ke
arah inferior.
Pemeriksaan anoskopi
Indikasi
Bila terdapat keluhan atau gejala pada anus dan rektum, pasien
dianjurkan untuk diperiksa dengan anoskopi bila tersedia alat tersebut.
Pemeriksaan ini sekaligus dapat melihat keadaan mukosa rektum atau
pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium bila tersedia fasilitas.2
Kontra indikasi
`

Anus imperforata merupakan kontra indikasi absolut untuk tindakan

anoskopi, namun bila pasien mengeluh mengenai nyeri hebat pada rektum,
may preclude awake anoscopic examination in anxious patients in pain.
Posisi pasien pasien berbaring dalam posisi Sim atau miring dengan
lutut ditekuk serta pinggul ditekuk 45%. Posisi di sebelah kiri pemeriksa.2

BABII
DIAGNOSIS PENYAKIT KELAMIN

I.

Ulkus Genital
A. Sifilis
Definisi
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum; sangat
kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir
semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten,
dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. 1,2
Epidemiologi
Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996
berkisar antara 0,04-0,52 %. Insiden yang terendah di Cina, sedangkan yang
tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia insidennya 0,61%. Di bagian kami
penderita yang terbanyak ialah stadium laten, disusul sifilis stadium I yang
jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II.
Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan
Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales,
familia Spirochaeraceae dan genus Treponema. 4,5
Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um,
terdiri atas 8-24 lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju
seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada
stadium aktif terjadi setiap 30 jam.
Klasifikasi
Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis
kongenital dibagi menjadi : dini (sebelum 2 tahun), lanjut (sesudah 2 tahun),
dan stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara, secara klinis dan
epidemiologik. Menurut cara pertama sifilis dibagi menjadi 3 stadium:
stadium I (S I), stadium II (S II), stadium III (S III). Secara epidemiologik
menurut WHO dibagi menjadi :
1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I,
S II, stadium rekuren, dan stadium latn dini.
2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri
atas stadium laten lanjut dan S III.
Bentuk lain ialah sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis.
7

STADIUM DINI MENULAR

1 tahun

STADIUM LANJUT TIDAK

MENULAR
Stadium rekuren
S.t.

S I

S II
2-4 minggu

6-8

S III

minggu
Sifilis laten dini

3-10 tahun

(menular)

Sifilis laten lanjut


(tidak menular)

Keterangan :
S.t.

= sanggama tersangka

SI

= sifilis stadium I

S II

= sifilis stadium II

S III

= sifilis stadium III

Patogenesis
1. Stadium dini
Pada sifilis yang didapat T.pallidum masuk ke dalam kulit melalui
mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut
membiak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas
sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskuler, pembuluhpembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T.pallidum dan sel-sel
radang. Treponema tersebut terletak diantara endotelium kapiler dan
jaringan perivaskuler di sekitarnya. Kehilangan pendarahan akan
menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai SI.
Sebelum SI terlihat, kuman telah mencapi kelenjar getah bening
regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula
penjalaran hematogen dan menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi
manifestasinya akan tampak kemudian. Multifikasi ini diikuti oleh reaksi
jaringan sebagai SII, yang terjadi 6-8 minggu sesudah SI.
SI akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut
jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan
8

akhirnya sembuh berupa sikatriks, SII juga mangalami regresi perlahanlahan dan lalu menghilang.
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang
aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat
melahirkan bayi dengan sifillis kongenita.
Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga
T,pallidum membiak lagi pada tempat SI dan menimbulkan lesi rekuren
atau kuman tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi
serupa dengan lesi rekuren SII, yang terakhir ini lebih sering terjadi
daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat berulang-ulang,
tetapi pada umumnya tidak melebihi dua tahun. Sifilis tersebut terdapat
pada penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah.
2. Sifilis Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema
dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam
serum penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat
sekonyong-konyong berubah, sebabnya belum jelas, mungkin trauma
merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah SIII
berbentuk gumma. Meskipun pada gumma tersebut tidak dapat ditemukan
T.pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung
bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi gumma
tersebut timbul di tempat-tempat lain.
Treponema mencapai sistem kardiovaskulerdan sistem syaraf pada
waktu dini, tetapi kerusakan terjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan
waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan
gumma biasanya tidak mendapat gangguan syaraf dan kardiovaskuler,
demikian pula sebaiknya. Kira-kira 2/3 kasus dengan stadium laten tidak
memberi gejala.2,3
Gejala Klinis
Sifilis Akuisita (Didapat)
A. Sifilis Dini
I.
Sifilis Primer (SI)
Masa tunas biasanya dua sampai empat minggu (2-4
minggu). T.pallidum masuk ke dalam selaput lendir atau

kulit yang telah mengalami lesi/mikrolesi secara langsung,


biasanya melalui senggama. Treponema tersebut akan
berkembang biak kemudian terjadi penyebaran secara
limfogen dan hematogen.
Kelainan kulit di mulai sebagai papul lentikuler yang
permukaannya segera menjadi erosi, umumnya kemudian
menjadi ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat, soliter,
dasarnya ialah jaringan granulasi berwarna merah dan
bersih , diatasnya hanya tampak serum. Dindingnya tak
bergaung, kulit di sekitarnya tidak menunjukkan tandatanda radang akut. Yang khas ialah ulkus tersebut indolen
dan teraba indurasi karena itu disebut ulkus durum.
Kelainan tersebut dinamakan afek primer dan umumnya
berlokasi pada genitalia eksterna. Pada pria tempat yang
sering dikenai ialah sulkus koronius, sedangkan pada
wanita di labia minor dan mayor. Selain juga dapat di
ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus.
Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai
sepuluh minggu. Seminggu setelah afek primer, biasanya
terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional di
inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks
primer. Kelenjar tersebut soliter, indolen tidak lunak,
besarnya

biasanya

lentikuler,

tidak

supuratif.

Kulit

diatasnya tidak menandakan tanda-tanda radang akut.


Istilah sifilis demblee dipakai, jika tidak terdapat efek
primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam,
misalnya pada transffusi darah atau suntikan.

Gambar.1.Ulkus durum pada lidah


&

gambar.2. Ulkus durum sulcus


coronarius

10

II.

Sifilis sekunder (SII)


Biasanya SII timbul setelah 6-8 minggu sejak SI dan
sejumlah 1/3 kasus masih disertai SI. Lama SII dapat
sampai sembilan bulan. Berbeda dengan SI yang tanpa
disertai gejala konstitusi, pada SII dapat disertai gejala
tersebut yang terjadi sebelum atau selama SII. Gejalanya
umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat
badan, malese, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan
atralgia.
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit
sehingga disebut the great imitator. Selain pada kulit SII
juga dapat menyebabkan kelainan pada mukosa, kelenjar
getah bening, mata , hepar, tulang, dan syaraf.
Kelainan kulit yang membasah (eksudatif) pada SII
sangat menular, kelainan yang kering kurang menular.
Kondiloma lata dan plaque muqueuses ialah bentuk yang
sangat menular.
Gejala yang penting untuk membedakan dengan
penyakit kulit yang lain ialah
Kelainan kulit pada SII umumnya tidak gatal, sering
disertai limfadenitis generalisata, pada SII dini kelainan
kulit juga terjadi pada telapak tangan dan kaki.
Antara SII dini dan SII lanjut terdapat perbedaan. Pada
SII dini kelainan kulit generalisata, simetrik, dan lebih cepat
hilang (beberapa hari hinggga beberapa minggu ). Pada SII
lanjut tidak generalisata lagi, melainkan setempat-setempat,
tidak simetris dan lebih lama bertahan (beberapa minggu
hingga beberapa bulan).
S II pada mukosa
Biasanya timbul bersama-sama dengan eksantema pada
kulit, kelainan pada mukosa disebut enantem, terutama terdapat
pada mulut dan tenggorok. Umumnya berupa makula
eritematosa, yang cepat berkonfluensi sehingga membentuk
11

eritem yang difus, berbatas tegas dan disebut angina sifilitika


eritematosa.
Keluhannya nyeri pada tenggorok, terutama pada waktu
menelan. Sering faring juga diserang, sehingga memberi
keluhan suara parau. Pada eritema tersebut kadang-kadang
terbentuk bercak putih keabu-abuan, dapat erosif dan nyeri.
Kelainan lain ialah yang disebut plaque muqueuses
(mucous patch), berupa papul eritematosa, permukaannya datar,
biasanya miliar atau lentikuler, timbulnya bersama-sama
dengan SII bentuk papul pada kulit. Plaque muqueuses tersebut
dapat juga terletak di selaput lendir alat genital dan biasanya
erosif. Umumnya kelainan pada selaput lendir tidak nyeri,
lamanya beberapa minggu.

Gambar.3. Plaque muqueuses (mucous patch)


Kelainan selaput lendir
Mucous patch - banyak mengandung T pallidum,
Bentuk bulat, kemerahan ulkus
Kelainan mukosa bibir, pipi, laring, tonsil dan genital

12

Gambar.4. Interstitial glossitis


III.

Sifilis Laten dini


Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan,
termasuk alat-alat dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif.
Tes

serologik

darah

positif,

sedangkan

tes

likuor

cerebrospinalis negatif.
IV.

Sifilis stadium rekuren


Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan
kulit mirip SII, maupun serologikyang telah negatif menjadi
positif. Hal ini terjadi terutama pada sifilis yang tidak
diobati atau yang mendapat pengobatan tidak cukup.
Umumnya bentuk relaps ialah SII, kadang-kadang SI.
Relaps dapat memberi kelainan pada mata, tulang, alat

dalam, dan susunan saraf.


B. Sifilis Lanjut
I.
Sifilis laten lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun
II.

hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup.


Sifilis Tersier (S III)
Lesi pertama umumnya terlihat antara 3-10 tahun
setelah S I. Kelainan yang khas adalah gumma, yakni
infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak dan
destruktif.
Besar gumma bervariasi dari lentikuler sampai sebesar
telur ayam. Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan
tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan.setelah
beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah,
tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa
dan livid serta melekat terhadap gumma tersebut.
Kemudian

terjadi

perforasi

dan

keluarlah

cairan

seropurulen, kadang-kadang sanguinolen, pada beberapa


kasus disertai jaringan nekrotik.
Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya
lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut
terdorong ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga
13

membentuk pinggir yang polisiklik. Jika telah menjadi


ulkus, maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang
semula sebagai benjolan menjadi datar.
Tanpa pengobatan gumma tersebut akan bertahan
beberapa bulan hingga beberapa tahun. Biasanya gumma
soliter, tetapi dapat pula multiple, umumnya asimetrik.
Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika gumma
multiple dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam.
Selain gumma, kelainan yang lain pada S III ialah
nodus. Mula-muladi kutan kemudian ke epidermis,
pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan
umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi.
Nodus tersebut dalam perkembangannya mirip gumma.,
mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus. Dapat
pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya
dengan gumma, nodus lebih superficial dan lebih kecil
(miliar hingga lentikuler), lebih banyak, mempunyai
kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi,
selain itu tersebar. Warnanya merah kecoklatan.
Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terus.
Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti
llin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening
regional tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang
disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus
subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya
pada sendi besar.
S III pada mukosa
Gumma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau
menyebar. Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau
septum nasi. seperti biasanya akan melunak dan membentuk ulkus,
bersifat destruktif jadi dapt merusak tulang rawan septum nasi atau
palatum mole hingga terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah
gumma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur serta leukoplakia.

14

Gambar.5. Sifilis Stadium III, Large gumma

Gambar.6. Nasal perforation ec nasal gumma

gambar.7 Sifilis III, Gumma

on lower lip
S III pada tulang
Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, dan
humerus. Gejala nyeri biasanya pada malam hari. Terdapat dua bentuk,
yakni periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat
didiagnosa dengan sinar-x.
S III pada alat dalam
Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering
diserang. Gumma bersifat multiple, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga
hepar mengalami retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang
disebut hepar lobatum.
Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang.
Gumma dapat menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, gumma
soliter dapat terjadi di dalam atau di luar bronkus, jika sembuh terjadi
fibrosis dan menyebabkan bronkiektasis. Gumma dapat menyerang
ginjal, vesika urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III pada
ovarium jarang, pada testis kadang-kadang berupa gumma atau fibrosis
interstitial, tidak nyeri, permukaanya rata dan unilateral, kadangkadang memecah ke bagian anterior scrotum.
Sifilis Kongenital

15

Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama
sifilis dini sebab banyak T.palidum beredar dalam darah. Treponema masuk
secra hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat
masa kehamilan 10 minggu. Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya
ringan. Pada tahun I setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan
penularan sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi
sakit 80 % , bila sifilis lanjut 30%.
Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang
kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi
abortus pada bulan ke lima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan,
berikutnya janin dengan sifilis kongenital yang akan meninggal dalam
beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis
kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan
ini disebut hukum kossowitz.
Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks),
sifilis kongenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah
dua tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S II, sedangkan yang
lanjut berbentuk gumma dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut
atau deformitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.
1

Sifilis kongenital dini


Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula
bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada
tempat lain di badan. Cairan bula mngandung banyak T.pallidum. Bayi
tampak sakit, bentuk ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika.
Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa
minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau
papula-skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur,
misalnya anular. Pada tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi
seperti kondiloma lata. Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat
pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus, bentuknya memancar
(radiating).
Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan
sehingga kulit keriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan
16

belakang kepala. Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahny, disebut


onikia sifilitika. Jika tumbuh kuku yang baru akan kabur dan bentuknya
berubah.
Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques
muqueuses seperti pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada
daerah mukoperiosteum dalam kavum nasi yang menyebabkan rinitis dan
disebut syphilitic snuffles. Kelainan tersebut disertai sekret yang
mukopurulen atau seropurulen yang sangat menular dan menyebabkan
sumbatan. Pernafasan dengan hidung suka. Jika plaques muqueuses
terdapat pada laring suara menjadi parau. Kelenjar getah bening dapat
membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S II.

Gambar.8. Sifilis Kongenital Snuffle nose


Hepar dan lien membesar akibat invavasi T.pallidum sehingga terjadi
fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar
terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin,
hialin, dan granular cast. Pada umumnya kalainan ginjal ringan. Pada paru
kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut pneumonia putih.

Gambar.9. Sifilis Kongenital Hepato-splenomegali


Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa
minggu. Osteokondrosis pada tulang panjang umumnya terjadi sebelum
berumur enam bulan dan memberi gambaran khas pada waktu
pemeriksaan dengan sinar-x. Ujung tulang terasa nyeri dan bengkak

17

sehingga tidak dapat digerakan, seolah-olah terjadi paralisis dan disebut


psuedo paralisis parrot. Kadang-kadang terjadi komplikasi berupa
terlepasnya epifisis, fraktur patologik, dan arthritis supurativa. Pada
pemeriksaan dengan sinar-x terjadi gambaran yanng khas. Tanda
osteokondritis menghilang setelah 12 bulan, tetapi periostitis menetap.
Umunya tedapat anemia berat sehingga rentan terhadap infeksi.

Gamabar.10. Sifilis kongenital periostitis


Neurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%. Akibat invasi T.pallidum
pada otak waktu intrauterin menyebabkan perkembangan otak terhenti.
2

Menyebabkan pada bayi terjadi konvulsi dan defisiensi mental.


Sifilis Kongenital Lanjut
Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahu. Gumma
dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan alat dalam. Yang khas
ialah gumma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi
akan terjadi perforasi, bila meluas menjadi dekstruksi seluruhnya hingga
hidung mengalami kolaps dengan deformitas. Gumma pada palatum mole
dan durum juga sering terjadi sehingga menyebabkan perforasi pada
palatum.
Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai 1/3tengah tulang
dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperiotiitis
setempat pada tengkorak berupa tumor bulat yang disebut parrots nodus,
umumnya terjadi pada daerah frontal dan parietal.
Keratitis merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara
umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensinya 25% dari penderita
dengan sifiis kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat
diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya bilateral.

18

Stigmata
1 Stigmata pada lesi dini
Fasies
Akibat rinitis yang parah dan terus-menerus pada bayi, akan
menyababkan gangguan pertumbuhan septum nasi dan tulang lain pada
kavum nasi. Kemudian terjadi depresi pada jembatan hidung dan
disebut saddle nose. Maksilla tumbuh secara abnormal yakni lebih
kecil daripada mandibula yang tumbuh normal dan disebut buldogjaw.
Gigi
Gigi hutchinson merupakan kelainan yang khas, hanya terdapat
pada gigi insisiv permanen. Gigi tersebut lebih kecil daripada normal,
sisi gigi konveks, sedangkan daerah untuk menggigit konkaf.
Kelainan lain yang khas ialah pada gigi molar pertama, biasanya yang
di bawah. Pertama kali dilukiskan oleh moon dan disebut moon:s
molar.
Permukaannya berbintil-bintil (tuberkula) sehingga mirip
murbai, karena itu dinamai pula mulbery molar. Kelainan ini lebih
sering terdapat dari pada gigi hutchinson. Enamel di tempat itu tipis,
hingga mudah terjadi karies dan cepat tanggal.

Gambar.11. Hutchinsons teeth

Hutchinsons teeth

Ragades
Ragades terdapat terutama pada sudut mulut, jarang pada
lubang hidung dan anus. Terbentuknya dari papul-papul yang
berkonfluensi, akibat pergerakan mulut terjadi fisur yang kemudian
mengalami infeksi sekunder, jika sembuh meninggalkan jaringan parut
2

linear yang memancar dari sudut mulut.


Stigmata pada lesi lanjut
Kornea

19

Keratitis interstitsial dapat meninggalkan keruhan pada lapisan


dalam kornea.

Gambar 12.Keratitis interstisial


Sikatriks gumatosa
Gumma pada kulit meninggalkan sikatriks yang hipotrofi
seperti kertas perkamen. Pada palatum dan septum nasi meninggalkan
perforasi.
Tulang
Osteoporosis gumatosa meninggalkan deformitas sebagai sabre
tibia. Nodus periosteal yang menyembuh sering memberi prominen
yang abnormal dan pelebaran regio frontalis yang disebut frontal
bossing. Kalianan ini bersama dengan saddle nose dan bulldog jaw
disebut buldog facies.
Trias hutchinson
Trias hutchinson ialah sindrom yang terdiri dari keratitis
intertisisal, gigi hutchinson, dan ketulian nervus VIII.
Pemeriksaan untuk Diagnosa
1. Pemeriksaan Treponema pallidum

Pemeriksaan - mikroskop lapangan gelap melihat

pergerakkan Treponema
Pewarnaan Burri (tinta hitam) tidak adanya pergerakan
Treponema, - T. pallidum telah mati kuman berwarna

jernih dikelilingi oleh lapangan yang berwarna hitam.


2. Serologi Tes sifilis (STS)
STS penting u diagnosis dan pengamatan hasil pengobatan.
Prinsip pemeriksaan STS - mendeteksi bermacam antibodi
yang berlainan akibat infeksi T. pallidum
Klasifikasi STS
Tes Non Treponema
: kardiolipin, lesitin dan

kolesterol
Tes Treponema : Treponema pallidum hidup / mati /

fraksi Treponema pallidum


Ketepatan hasil STS dinilai berdasarkan :
20

Sensitivitas : % individu yang terinfeksi

yang memberi hasil positif


Spesifivitas : % individu yang tidak infeksi
yang memberikan hasil negatif .

Tes Non Treponema

Hasil STS non Treponema menjadi negatif (-) dalam 3 8 bln

setelah pengobatan adekuat.


Penilaian -`kualitatif & kuantitatif
Hasilnya menjadi positif (+) dalam 2 minggu I setelah ulkus
durum positif (+)

Titer pada berbagai stadium :

SI

: Negatif / positif rendah sampai

tinggi
S II
S III
S kardiovaskular
Neurosifilis

: Positif tinggi
: Positif tinggi
: Dapat non reaktif
: Dapat non reaktif

Pengaruh pengobatan terhadap kuantitas STS antara lain :


SI

: Bila Therapi sudah mulai pd saat hasil STS non reaktif,


tetap non reaktif
: Bila Therapi mulai pd saat hasil STS reaktif non
reaktif setelah 1 tahun

S II

: Hasil STS akan (-) dalam waktu 2 tahun

Laten dini

: Hasil STS akan (-) dalam waktu 2 tahun

Laten lanjut

: 20 30 % kasus akan (-) dalam 5 tahun

Sifilis lanjut

: < 20 30 % kasus akan (-) dalam 5 tahun

False

: Bs (+) 1 2 % S II, disebut Prozone reaction

21

negative
False positive

: (+) akibat salah teknik, ps penyakit Treponema lain

Tes Treponema
Tes Treponema digolong 4 kelompok, yaitu :
1. Tes Imobilisasi
Treponema Pallidum Immobilization (TPI)
Tes Treponema yang paling spesifik
Hasil positif pada Treponematosis
Kekurangannya
Rx lambat, baru (+) pd akhir stadium I,
Tidak dapat digunakan untuk menilai

hasil

pengobatan,
Teknik sulit dan
Biayanya mahal
2. Tes imunofluoresensi
a. Fluorecent Treponemal Antibody Absorption Test (FTA-Abs)
Tes ini paling sensitif (90 %), bisa untuk mendeteksi Ig G
False (+) pada :
Keganasan
Anemia hemolitik
Lupus eritematosus
Sirosis hepatik
Rheumatoid arthritis
Kehamilan
Skleroderma
Infeksi virus, vaksinia
Drug induced LE
Orang normal

Pengobatan
Obat pilihan untuk Therapi sifilis adalah Penisilin

Tidak dianjurkan pemberian penisilin oral


Prinsip Therapi sifilis adalah kadar obat harus dapat bertahan
dalam serum selama 10 14 hari u sifilis dini & lanjut, 21 hari u
neurosifilis dan sifilis kardiovaskular.

22

Kadar penisilin yg diperlukan cukup 0,03 unit/ml selama 10 14

hari
Cara & dosis pemberian penisilin dalam kepustakaan masih
berbeda.

Dosis total yang dianjurkan :

SI
S II
S III

: 4,8 juta unit


: 6 juta unit
: 9 juta unit

Dosis yang dianjurkan oleh WHO (1982 yaitu :


Stadium dini (menular)

: dosis total 30 gram/15 hari

Stadium lanjut (tidak menular)

: dosis total 60 gram/30 hari

Sebelum Therapi diberikan, harus pemeriksaan STS


Pemeriksaan STS ini diulang kembali setelah Therapi selesai
Pemeriksaan STS pasca Therapi dilakukan secara cermat 1, 3, 6, &
12 bulan sampai 2 tahun setelah Therapi selesai
Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai hasil
Therapi & kemungkinan adanya Therapi

tidak adekuat atau

adanya relaps penyakit.


B. Chancroid (Ulkus Mole)
Definisi
Ulkus mole adalah penyakit infeksi pada alat kelamin yang akut,
setempat,disebabkan oleh Streptobacillus ducrey (Haemophilus ducreyi)
dengan gejala klinis yang khas berupa ulkus nekrotik yang nyeri pada tempat
inokulasi, dan sering disertai pernanahan kelenjar getah bening regional.
Epidemiologi
Penyakit ini bersifat endemik dan tersebar di daerah topik dan
subtropik, terutama di kota dan pelabuhan. Selain penularan melalui hubungan
seksual, secara kebetulan juga dapat mengenai jari dokter atau perawat.
Frekuensi pada wanita dilaporkan lebih rendah, mungkin karena kesukaran
membuat diagnosis. Penyakit ini lebih banyak mengenai golongan kulit
berwarna. Beberapa faktor menunjukkan bahwa terdapat pembawa kuman
(carier) basil Ducreyi, tanpa gejala klinis, biasanya wanita tuna susila.
Etiologi
Basil H.ducreyi berbentuk batang pendek, ramping dengan ujung
membulat, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, Gram-negatif, anaerob
23

fakultatif yang membutuhkan hemin (faktor X) untuk pertumbuhan, mereduksi


nitrat menjadi nitrit, dan mempunyai DNA berisi guanosine plus-cytosine
fraksi 0,38 mole.
Basil sering kali berkelompok, berderet membentuk rantai, terutama dapat
dilihat pada biakan sehingga disebut juga Steptobacillus. Basil ini pada lesi
terbuka di daerah genital sukar ditemukan karena tertutup oleh infeksi
sekunder, lebih mudah dicari bila bahan pemeriksaan berupa nanah yang
diambil dengan cara aspirasi abses kelenjar inguinal. Kuman ini sukar dibiak.
Patogenesis dan Imunokimia
Belum diselidiki secara mendalam. Adanya trauma atau abrasi, penting
untuk organisme melakukan penetrasi epidermis. Jumlah inokulum untuk
menimbulkan infeksi tidak diketahui. Pada lesi, organisme terdapat dalam
makrofag dan neutrofil atau bebas berkelompok (mengumpul) dalam jaringan
interstitial.
Pada manusia, beberapa galur H.ducreyi diketahui virulen, sedangkan
yang lain kelihatannya avirulen. Beberapa penyelidik menyatakan bahwa
virulensi dapat hilang dengan kulvitasi serial sehingga kuman kehilangan
kemampuan untuk menimbulkan lesi pada kulit. Organisme yang avirulen
dilaporkan

lebih

rentan

terhadap

antimikroba

terutama

polimiksin.

Limfadenitis yang terjadi pada infeksi H.ducreyi diikuti dengan respons


inflamasi sehingga terjadi supurasi. Kemungkinan terdapat sifat-sifat
H.ducreyi yang tidak diketahui dan unik menimbulkan bubo supuratif. Respon
imun yang berhubungan dengan patogenesis dan kerentanan penyakit yang
tidak diketahui. Antibodi ditemukan dengan cara fiksasi komplemen,
aglutinasi, presipitasi, dan tes fluoresens antibodi indirek. Reaktivitas silang
antara antisera yang dihasilkan terhadap antigen H.ducreyi murni dan ekstrak
antigen dari spesies Haemophilus lain telah ditemukan.
Gejala klinis
Masa inkubasi berkisar antara 1-14 hari, pada umumnya kurang dari 7
hari. Lesi kebanyakan multipel, jarang soliter, biasanya pada daerah genital,
jarang pada daerah ekstragenital. Mula-mula kelainan kulit berupa papul,
kemudian menjadi vesiko-pustul pada tempat inokulasi, cepat pecah menjadi
ulkus.
Ulkus; kecil, lunak pada perabaan, tidak terdapat indurasi, berbentuk cawan,
pinggir tidak rata, sering bergaung(Gbr.2.3)1 dan di kelilingi halo yang
eritematosa dan mengalami ulserasi dalam 24 jam. Ulkus sering tertutup
24

jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa jaringan granulasi yang mudah


berdarah,1 ditutupi oleh eksudat abu-abu kuning berserat yang pirulen dan
limpodenopati,2(Gbr.2.4)3 dan pada perabaan terasa nyeri, biasanya lebih nyeri
pada laki-laki daripada perempuan.
Tempat predileksi pada laki-laki ialah permukaan mukosa preputium,
sulkus koronarius, frenulum penis, dan batang penis. Dapat juga timbul lesi di
dalam uretra, scrotum, perineum,atau anus. Pada wanita ialah labia(Gbr.2.5)4,
klitoris, Fourchette, vestivuli, anus, dan serviks.

Jenis-Jenis Bentuk Klinis


1. Ulkus Mole Folikularis
Timbul pada folikel rambut, pada permukaannya menyerupai
folikulitis yang disebabkan oleh kokus, tetapi cepat menjadi ulkus. Lesi
seperti ini dapat timbul pada vulva dan pada daerah berambut di sekitar
genitalia dan sangat superfisial.
2. Dwarf chancroid
Lesi sangat kecil dan menyerupai erosi pada herpes genitalis, tetapi
dasarnya tidak teratur dan tepi berdarah.
3. Transient chancroid (Chancre mou valant)
Lesi kecil, sembuh dalam beberapa hari, tetapi 2-3 minggu kemudian
diikuti timbulnya bubo yang meradang pada daerah inguinal.
Gambaran ini menyerupai limfogranuloma venerum.
4. Papular Chancroid (ulkus mole elevatum)
Dimulai dengan ulkus yang kemudian menimbul terutama pada
tepinya. Gambarannya menyerupai kondilomata lata pada sifilis
stadium II.
5. Giant Chancroid

25

Mula-mula timbul ulkus kecil, tetapi meluas dengan cepat dan


menutupi satu daerah, sering mengikuti abses inguinal yang pecah, dan
dapat meluas ke daerah suprapubis bahkan daerah paha dengan cara
autoinokulasi.
6. Phagedenic chancroid
Lesi kecil menjadi besar dan destruktif dengan jaringan nekrotik yang
luas. Genitalia eksterna dapat hancur, pada beberapa kasus disertai
infeksi organisme Vincent.
7. Tipe serpiginosa
Lesi membesar karena perluasan atau autoinokulasi dari lesi pertama
ke daerah lipat paha atau paha. Ulkus jarang menyembuh, dapat
menetap berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Bubo adalah Adenitas daerah inguinal timbul pada tengah kasus ulkus
mole.Sifatnya unilateral, eritematosa, membesar, dan nyeri.Timbul
beberapa hari sampai 2 minggu setelah lesi primer.lebih daripada
setengah kasus adenitis sembuh tanpa supurasi.
Komplikasi
1. Mixed chancre
Kalau disertai sfilis stadium 1.Mula-mula lesi khas ulkus mole, tetapi
setelah 15-20 hari menjadi manifes, terutama jika di obati dengan
sulfonamide.1Dapat terjadipada bagian ataspenis dan kelenjar inguinal
kanan.
2. Abses kelenjar inguinal
Bila tidak diobati dapat memecah menimbulkan sinus yang kemudian
menjadi ulkus. Ulkus kemudian membesar membentuk giant
chancroid.
3. Fimosis parafimosis
Kalau lesi mengenai preputium.
26

4. Fistula uretra
Timbulnya karena ulkus pada glans penis yang bersifat dekstruktif.
Dapat mengakibatkan nyeri pada waktu buang air kecil dan pada
keadaan lanjut dapat menjadi stiktura uretra.
5. Infeksi campuran
Dapat disertai infeksi organisme Vincent sehingga ulkus makin parah
dan bersifat destruktif. Di samping itu juga dapat disertai penyakit
limfogranuloma venereum atau granuloma inguinale.
Diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis dapat disingkirkan penyakit kelamin
yang lain. Harus dipikirkan juga kemungkinan infeksi campuran.Pemeriksaan
serelogik untuk menyingkirkan sifilis juga harus dikerjakan. Sebagai
penyokong diagnosis adalah:
1. Pemeriksaan sediaan hapus
Diambil bahan pemeriksaan (spesimen) dari tepi ulkus yang tergaung
dengan menggunakan apusan kapas, di buat hapusan pada gelas alas,
Pemeriksaan langsung ini dapat dilakukan dengan pewarnaan gram,
giemsa atau mikroskop elektron.Identifikasi yang cepat dapat dengan
pewarnaan methylgreenpyronine pappenheim dan Unna, juga dapat
dilaksanakan dengan pewarnaan blue dan wright. Namun pemeriksaan
langsung tersebut dapat menyesatkan oleh karena banyaknya flora
polimikrobial ulkus genital.Hanya pada 30-50% kasus ditemukan basil
berkelompok atau berderet seperti rantai.
2. Biakan kuman
Bahan diambil dari pus bubo atau lesi kemudian ditanam pada
perbenihan atau pelat agar khusus( Chocolate Agar) yang ditambahkan
darah kelinci yang sudah didefibrinasi. Akhir-akhir ini ditemukan bahwa
perbenihan yang mengandung serum darah penderita sendiri yang sudah
diinaktifkan memberikan hasil yang memuaskan.Inkubasi membutuhkan
waktu 48 jam. Medium yang mengandung gonococcal madium base,
ditambah dengan hemoglobin 1%, iso-witalex 1 %, dan vankomisin 3
27

mcg/ml akan mengurangi kontaminasi yang timbul. Pada biakan nampak


koloni kecil, non mukoid, abu-abu kuning, semi opak atau translusen
dapat digeser pada permukaan agar dalam keadaan utuh, nampak 2-4
hari, tetapi biasa 7 hari setelah inokulasi.
3. Teknik imunofluoresens untuk menemukan antibody.
4. Biopsi
Biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis. Pada
gambaran histopatologik ditemukan:
a. Daerah superfisial pada dasar ulkus : neutrophil, fibrin, eritrosit, dan
jaringan nekrotik.
b. Daerah tengah : pembuluh-pembuluh darah kapiler baru dengan
proliferasi sel-sel endotel sehingga lumen tersumbat

dan

menimbulkan thrombosis. Terjadi perubahan degeneratif pada


dinding pembuluh-pembuluh darah.
c. Daerah sebelah dalam : infiltrat padat terdiri atas sel-sel plasma dan
sel-sel limfoid.
5. Tes kulit ito-reenstierna
Sekarang tidak dipakai lagi karena tidak spesifik. Vaksin yang dipakai
(Dmelcos)terdiri atas 225 juta kuman mati/ml. Disuntikkan intradermal 0,1
ml pada lengan bawah bagian fleksor, sebagai control disuntikkan cairan
pelarut intradermal pada sisi lain. Tes dinilai positif kalau timbul infiltrate
berdiameter minimal 0,5 cm setelah 48 jam, sedangkan kontrol negatif. Tes
ini menjadi positif 6-11 setelah hari timbul ulkus mole, dan tetap positif
sampai beberapa tahun bahkan seumur hidup.
6. Autoinokulasi
Bahan diambil dari lesi yang tersangka, diinokulasi pada kulit sehat daerah
lengan bawah atau paha penderita yang digores lebih dahulu. Pada tempat
tersebut akan timbul ulkus mole. Sekarang cara ini tidak dipakai lagi.

Diagnosis Banding

28

1. Herpes Genitalis
Pada herpes genitalis kelainan kulitnya ialah vesikel yang berkelompok dan
jika memecah menjadi erosi, jadi bukan ulkus seperti pada ulkus
mole.Tanda-tanda radang akut lebih mencolok pada ulkus mole. Kecuali itu
pada ulkus mole, pada sediaan hapus berupa bahan yang diambil dari dasar
ulkus tidak ditemukan sel raksasa berinti banyak.
2. Sifilis stadium I
Pada sifilis stadium I (ulkus durum), ulkus bersih, indolen, terdapat
indurasi, dan tanda-tanda radang akut tidak terdapat. Jika terjadi
pembesaran kelenjar getah bening regional juga tidak disertai tanda-tanda
radang akut kecuali tumor, tanpa disertai periadenitis dan perlunakan.
Pada ulkus mole, hasil pemeriksaan sediaan hapus dengan mikroskop
lapangan gelap sebanyak tiga kali berturut-turut negatif. T.S.S. yang
diperiksa tiap minggu sampai satu bulan, kemudian tiap bulan sampai tiga
bulan , tetap negatif.
3. Limfogranuloma venerium (L.G.V)
Pada L.G.V. afek primer tidak spesifik dan cepat hilang.Terjadi pembesaran
kelenjar getah bening ingunal, perlunakannya tidak serentak. Titer tes
ikatan komplemen untuk L.G.V. kurang dari 1/16 dan tes ulangan untuk
meninggi.
4. Granuloma inguinale
Yang khas pada penyakit ini ialah ulkus dengan granuloma. Pada sediaan
jaringan tidak tampak badan Donovan.1
Pengobatan
1. Sistemik
a. Sulfonamida
Misalnya sulfatiazol, sulfadiazine, atau sulfadimidin, diberikan
dengan dosis pertama 2-4 gram dilanjutkan dengan 1 gram tiap 4 jam
sampai sembuh sempurna (kurang lebih 10-14 hari). Tablet
29

kotrimoksazol, ialah kombinasi sulfametoksazol 400 mg dengan


trimetroprim 80 mg, diberikan dengan dosis 2 x 2 tablet selama 10
hari.Bila pengobatan berhasil, perlu dilakukan drainase, dorsmsisi pada
preputium.Pada bubo yang mengalami supurasi dilakukan aspirasi
melalui kulit yang sehat. MEHEUS dkk.(1981) menyatakan bahwa
pemberian kontrikmosazol 2 x 4 tablet selama 2 hari, sangat efektif
untuk ulkus mole.
b. Penisilin
Sedikit efektif, terutama diberikan kalau terdapat organisme
Vincent.
c. Kanamisin
Disuntikkan 1.m. 2 x 500 mg selama 6-14 hari. Obat ini tidak
mempunyai efek terhadap T.pallidum.
d. Tetrasiklin dan oksitetrasiklin
Efektif kalau diberikan dengan dosis 4 x 500 mg/ hari selama
10-20 hari, antibiotik golongan ini menutupi gejala-gejala sifilis
stadium I. Di beberapa negara H. ducreyi sudah resisten terhadap
antibiotika golongan ini. STAMPS(1974) mengobati 32 penderita
ulkus mole dengan doksisiklin 300 mg dosis tunggal dan hanya
menemukan kegagalan pada 1 orang.
e. Kloramfenikol
Efektif terhadap H.ducreyi, tetapi karena mempunyai efek
toksis tidak digunakan lagi.
f. Eritromisin
Diberikan

500

mg

sehari,

selama

seminggu.

(KK).Eritromisin diekskresi terutama melalui hati.Hanya 2-5% obat ini


dieksresi dalam bentuk aktif melalui urin.Efek samping yang berat
akibat pemakaian eritromisin jarang terjadi.Reaksi alergi mungkin

30

timbul dalam bentk demam, eosinofilia, dan eksantem yang cepat


hilang bila terapi dihentikan.
g. Kuinolon
Ofloksasin : cukup dosis tunggal 400 mg.
2. Lokal
Jangan diberikan antiseptik karena akan mengganggu pemeriksaan
mikroskop lapangan gelap untuk kemungkinan diagnosis sifilis stadium I .
Lesi dini yang kecil dapat sembuh setelah diberi NaCl fisiologik.
C. Limfogranuloma venereum
Definisi
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit venerik yang
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang,
bentuk yang tersering ialah sindrom inguinal. Sindrom tersebut berupa
limfadenitis dan periandenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal medial
dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan
mengalami perlunakan yang tak serentak.
Epidemiologi
LGV merupakan penyakit menular seksual yang jarang. Penyakt ini
merupakan endemik di Negara Afrika timur dan barat, india, asia tenggara,
Amerika tengah dan selatan; insidensi tertinggi terjadi pada usia 15 40
tahun, di daerah perkotaan dan pada individu dengan sosioekonomi rendah.
Laki laki 6 kali lebih sering menimbulkan manifestasi klinis dibanding
perempuan.
Etiologi
LGV disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Penyakit yang
segolongan ialah psitakosis, trakoma, dan inclusion conjuctivitis.
Patogenesis dan Gejala Klinis

31

Masa tunas penyakit ini ialah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul
sebelum penyakitnya mulai dan biasanya menetap selama sindrom inguinal.
Gejala tersebut berupa malese, nyeri kepala, artralgia, anoreksia, nausea, dan
demam.
Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi :
1

1.1.

Bentuk dini :
a Afek primer
b Sindrom inguinal
2 Bentuk lanjut :
a Sindrom genital
b Sindrom anorektal
c Sindrom uretral
Afek primer
Afek primer berbentuk tak khas dan tak nyeri, dapat berupa

erosi, papul miliar, vesikel, pustul, dan ulkus. Umumnya soliter dan
cepat hilang karena itu penderita biasanya tidak datang berobat pada
waktu terjadi sindrom inguinal.
Pada pria umumnya afek primer berlokasi di genitalia eksterna,
terutama di sulkus koronarius, dapat pula di uretra meskipun sangat
jarang. Pada wanita biasanya afek primer tidak terdapat pada genitalia
eksterna, tetapi pada vagina bagian dalam dan serviks.
1.2.

Sindrom Inguinal
Biasanya terjadi beberapa hari sampai minggu setelah lesi

primer menghilang. Pada 2/3 kasus timbul limfadenitis inguinal


unilateral. Kelainan ini lebih sering pada pria daripada wanita, karena
pada wanitaletak lokasi primer terletak dibagian dalam dan dreinase ke
kelenjar limfe daerah pelvis.

Gambar Sindrom Inguina

32

Gejala sistemik, seperti demam, menggigil, nausea, anoreksia, sakit


kepala, sering menyertai sindrom ini. Pada wanita gejala nyeri pinggang bawh
lebih sering terjadi karena terkenanya kelenjar limfe perirectal Gerotha yang
diikuti gejala proktitis dan periproktitis seperti nyeri abdomen, nyeri saat
defikasi dan diare.
Pada pemeriksaan klinis sindrom inguinal ditemukan:

Kelenjar inguinal membesar, nyeri dan teraba padat, kemudia


berkembang

menjadi

peradangan

sekitar

kelenjar

atau

perilimfatik
Terjadi perlekatan antar kelenjar, juga perlekatan kelenjar
dengan kulit diatasnya, kulit tampak merah kebiruan, panas dan

nyeri.
Perlunakan kelenjar yang tidak serentak ditandai dengan

fluktuasi. Pada 75% kasus, dan terbentuk abses multiple.


Abses pecah menjadi sinus atau fistel multiple pada 1/3 kasus.
Membentuk masa padat kenyal didaerah inguinal.

Beberapa bentuk spesifik dapat terjadi seperti: pembesaran kelenjar di


atas dan di bawah ligamentum inguinal pouparti sehingga terbentuk celah
disebut sign of groove (Greenblatts sign). Pembesaran kelenjar femoralis,
inguinalis superfisial dan profundus menyebabkan bentuk seperti tangga
sehingga disebut ettage bubo. Pada penyembuhan fistel akan timbul jaringan
parut yang khas pada daerah inguinal.
2.1.

Sindrom genital (Eschiomene)


Jika sindrom inguinal tidak diobati, maka terjadi fibrosis pada kelenjar

inguinal medial, sehingga aliran getah bening terbendung serta terjadi edema
dan elefantiasis. Elefantiasis tersebut dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk
fistel-fistel dan ulkus-ulkus.
Pada pria dapat terjadi proses yang sama tetapi jarang ditemukan.
Klinisnya berupa elephantiasis skrotum. Bila derajat kerusakan kelenjar dan
pembuluh limfe berat atau luas, dapat terjadi elephantiasis satu atau kedua
tungkai. Bila meluas terbentuk elefantiasis genito-anorektalis disebut sindrom
Jersild.

Gambar a. Eschiomene pada perempuan,b. elefanitis pada labia dan


klitoris
2.2.

Sindrom anorektal
Sindrom anorektal merupakan manifestasi lanjut LGV terutama pada

wanita, karena penyebaran langsung dari lesi primer di vagina ke kelenjar


limfe perirectal. Gejala awal berupa perdarahan anus yang diikuti duh anal
yang purulent disertai febris, nyeri saat defekasi, sakit perut bawah, konstipasi
dan diare. Bila tidak diobati akan terjadi proktokolitis berat yang gejalanya
menyerupai colitis ulserosa, dengan tanda tanda fistel anal, abses perirectal
dan fistel rektovaginal atau rektovesikal. Gejala striktura rekti yang progresif
sering ditandai dengan secret dan perdarahan rectum, kolik dan obstipasi oleh
karena obstruksi total (pada pria gejala proktitis menunjukan kebiasaan
melakukan hubungan seksual anogenital).
2.3.

Sindrom uretral
Sindrom tersebut terjadi, jika terbentuk infiltrat di uretra posterior,

yang kemudian menjadi abses, lalu memecah dan menjadi fistel. Akibatnya
ialah terjadi striktur hingga orifisium uretra eksternum berubah bentuk seperti
mulut ikan dan disebut fish mouth urethra dan penis melengkung seperti
pedang Turki.
Diagnosis
Pada gambaran darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan LED
meninggi. Peninggian ini menunjukkan keaktivan penyakit, jadi tidak khas untuk
L.G.V., lebih berarti untuk menilai penyembuhan, jika menyembuh LED akan
menurun.
Untuk menegakan diagnosis LGV, dapat berdasarkan :

1. Tes Frei
Frei memperkenalkan tes ini pertama kali pada tahun 1925. Bahan diambil
ari aspirasi bubo yang belum pecah.
Caranya :
Disuntikan 0.1 ml antigen intrakutan pada anterior lengan bawah
dan dibaca setelah 48 jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter 0,5 cm
atau lebih berarti positif. Tes tersebut tidak khas karena penyakit yang
segolongan juga memberikan hasil positif.
Kekurangan yang lain ialah tes tersebut baru memberi hasil positif
setelah 5-8 minggu dan jika positif hanya berarti sedang atau pernah
menderita L.G.V.
2. Tes ikatan komplemen /Complement fixation test (CFT)
Pada CFT digunakan antigen spesifik, sensitivitas lebih tinggi dan lebih
dapat dipercaya dibanding

tes Frei. Terdapat reaksi silang antara

Chlamydia yang lain dan antibody dapat tetap positif dengan titer tinggi
atau rendah sampai beberapa tahun. Penggunaan titer rendah dapat
digunakan untuk menunjukan keberhasilan terapi. Titer rendah biasa
didapatkan pada kasus-kasus inaktif atau infeksi Chlamydia lain.

Diagnosa Banding
1

Skrofuloderma
Antara L.G.V. dan skrofuloderma yang mengenai daerah inguinal

terdapat persamaan, yakni pada kedua-keduanya terdapat limfadenitis pada


beberapa kelenjar, periandenitis, perlunakan tidak serentak dengan akibatnya
konsistensi kelenjar bermacam-macam, serta pembentukan abses dan fistel
yang multipel. Kecuali itu L.E.D. meninggi pada kedua-duanya, sedangkan
leukosit biasanya normal.
Perbedaannya, pada L.G.V. terdapat kelima tanda radang akut,
sedangkan pada skrofuloderma tidak terdapat kecuali tumor. Lokasinya juga
berlainan, pada L.G.V. di inguinal medial, sedangkan pada skrofuloderma
pada inguinal lateral dan femoral.
2

Limfadenitis piogenik

Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya dermatitis atau
skabies pada genetalia eksterna yang mengalami infeksi oleh piokokus,
sedangkan pada L.G.V. lesi primer umumnya telah tiada, karena cepat hilang.
Kelima tanda radang akut juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak
sehingga tidak membentuk abses dan fistel yang multipel seperti pada L.G.V.
pada pemeriksaan laboratorium terdapat leukositosis.
Tatalaksana
Penderita LGV akut dianjurkan untuk istirahat total dan diberi pengobatan
untuk gejala sistemik yang timbul. Terapi pilihan yang direkomendasikan WHO dan
CDC adalah doksisiklin 100 mg 2 kali sehari untuk 2-3 minggu. Apabila terdapat
kontraindikasi dapat diberikan eritromisin 500mg 4 kali sehari untuk 3 minggu.
Penggunaan azitromisin 1g dosis tunggal 1 kali seminggu untuk 3 minggu juga dapat
diberikan, tetapi data terhadap efikasi maupun keamanan untuk ibu hamil belum
terdapat data yang cukup. Pada pasien dengan HIV terapi diperpanjang dan pada
pasien imunokompeten terapi tidak boleh dihentikan bila gejala belum menghilang.
Tindakan pembedahan terkadang diperlukan selain pemberian antibiotic. Hal
yang penting dikemukakan ialah tentang insisi dan aspirasi. Menurut kepustakaan
tindakan tersebut tidak boleh dilakukan, karena bekas insisi sukar sembuh, sedangkan
aspirasi akan meninggalkan fistel artifisial yang juga sukar sembuh. Bahkan ada yang
mengatakan insisi akan menyebabkan penyebaran kuman secara hematogen. Dan
pada abses multiple lebih baik dilakukan aspirasi berulang daripada insisi karena
dapat memperlambat penyembuhan.
Pengobatan pada bentuk lanjut ialah tindakan pembedahan dan kortikosteroid.
Pada pengobatan L.G.V. jangan dilupakan adar mitra seksualnya diobati.
D. Herpes simplek
Definisi
Herpes Genitalis merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus Herpes
Simplex (virus herpes hominis) terutama tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel
yang berkelompok atau erosi atau ulkus diatas kulit yang eritematosa pada daerah
dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.

Gambar . Lokasi lesi herpes genital pada laki-laki dan perempuan


Epidemiologi
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita
dengan frekuensi yang tidak berbeda, infeksi primer oleh Herpes simplex virus (HSV)
tipe 1 biasanya dimulai pada usia anak-anak, akan tetapi infeksi HSV-1 genital
semakin meningkat dan HSV-1 genital didapatkan pada sebagian besar pasien dengan
herpes genitalis primer di beberapa negara. Sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya
terjadi pada dekade 2 dan 3 juga berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.
Etiologi
HSV I dan II merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus DNA.
Pembagian tipe I dan II berdasarkan karateristik pertumbuhan pada media kultur,
antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi).
Sebagian besar penyebab herpes genitalis adalah HSV-2 tetapi walaupun
demikian dapat juga disebabkan oleh HSV-1 (16,1%) akibat hubungan kelamin secara
orogenital atau penularan melalui tangan.
Patogenesis
Infeksi herpes genitaklus dimulai bila sel epitel saluran genital pejamu yang
rentan terpajan oleh virus yang terdapat dalam lesi atau sekret genital orang yang
terinfeksi. HSV segera menjadi inaktif pada keadaan suhu kamar dan suasana kering,s
ehingga tidak dapat ditularkan melali udara atau bahan-bahan lain. Virus juga dapat
menginfeksi kulit berkeratin namun harus melalui perlukaan mikro agar dapat

mencapai sel epitel di bawah lapisan keratin. Virus akan melekat pada sel epitel,
kemudian masuk dengan cara meleburkan diri dengan membran sel. Sekali di dalam
sel, terjadi replikasi yang menghasilkan lebih banyak virion yang menyebabkan
kematian sel. Pada waktu bersamaan, virus memasuki ujung saraf sensporik yang
mempersarafi saluran genital. Virion kemudian ditransportasikan ke inti sel neuron di
ganglia sensorik yaitu ganglia dorsalis sakralis.
Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode I infeksi
primer (inisial), episode I non infeksi primer, infeksi rekuren, herpes genitalis atipikal,
asimptomatik atau tidak terjadi infeksi sama sekali.

Gejala klinis
Infeksi VHS ini berlangsung dalam 3 tingkat.
1. Infeksi primer
2. Fase laten
3. Infeksi rekurens
1. Infeksi primer
Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama
di daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Virus
ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh VHS tipe
II mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama
daerah

genital,

juga

da

pat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus.


Daerah ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual
seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital
kadang-kadang disebabkan oleh VHS tipe I sedangkan di daerah mulut dan
rongga mulut dapat disebabkan oleh VHS tipe II.
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3
minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malese dan
anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakkan kelenjar getah bening
regional.

Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di


atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian
menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang sembuh
tanpa psikatriks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80%
infeksi VHS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.
2. Fase laten
Fase laten ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis,
tetapi VHS dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion
dorsalis.
3. Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan
tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit
sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa
trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan
sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat
pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang.
Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal
lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi
rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat
lain/tempat disekitarnya (non loco).
Pemeriksaan pembantu diagnosis
Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiak. Pada keadaan
tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi VHS. Pada percobaan Tzanck dengan
pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi
intranuklear.
Diagnosis Banding
Herpes simpleks disekitar mulut dan hidung harus dibedakan dengan impetigo
vesiko bulosa. Pada daerah genitalia dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole dan
ulkus mukstum, maupun ulkus yang mendahului penyakit limfogranuloma venereum.
Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan penyembuhan radikal,
artinya tidak ada pengobatan yang dapat mencegah episode rekurens secara tuntas.

Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang mengandung
preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara aplikasi, yang
sering dengan interval beberapa jam. Preparat asiklovir (zovirax) yang dipakai secara
topikal tampaknya memberikan masa depan yang lebih cerah. Asiklovir ini cara
kerjanya mengganggu replikasi DNA virus. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit
sedang aktif. Pengobatan oral berupa preparat asiklovir tampaknya memberikan hasil
yang lebih baik, penyakit berlangsung lebih singkat dan masa rekurensnya lebih
panjang. Dosisnya 5x200 mg sehari selama 5 hari. Pengobatan parenteral dengan
asiklovir terutama ditunjukkan kepada penyakit yang lebih berat atau jika timbul
komplikasi pada alat dalam. Begitu pula dengan preparat adenin arabinosid
(vitarabin). Interferon sebuah preparat glikoprotein yang dapat menghambat
reproduksi virus juga dapat dipakai secara parenteral.
Untuk mencegah rekurens macam-macam usaha yang dilakukan dengan
tujuan meningkatkan imunitas selular, misalnya pemberian preparat lupidon H (untuk
VHS tipe I) dan lupidon G (untuk VHS tipe II) dalam satu seri pengobatan.
Pemberian levamisol dan isoprinosin atau asiklovir secara berkala menurut beberapa
penyelidik memberikan hasil yang baik. Efek levamisol dan isoprinosin ialah sebagai
imunostimulator. Pemberian vaksinasi cacar sekarang tidak dianut lagi.
Herpes Genitalis pada Kehamilan
Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian serius,
karena plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan
kerusakan atau kematian pada janin. Risiko untuk tranmisi ke neonatus dari ibu yang
terinfeksi adalah tinggi (30% hingga 50%) sedang pada perempuan yang
mendapatkan herpes genital saat mendekati kelahiran lebih rendah transmisi infeksi
(<1%). Infeksi nanonatal mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup
menderita cacat neurologis atau kelainan pada mata. Kelainan yang timbul pada bayi
dapat berupa ensefalitis, mikrosefali, hidrosefali,koroidoretinitis, keratokonjungtivis
atau hepatitis. Disamping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Di Amerika Serikat,
frekuensi herpes nenonatal adalah 1 per 7500 kelahiran hidup. Bila transmisi terjadi
trimester i cenderung terjadi abortus, sedangkan bila pada trimester II terjadi
prematuritas. Selain itu, dapat terjadi tranmisi pada intrapartum atau pasca partum.
Prognosis
Selama pencegahan rekurens msih merupakan problem, hal tersebut secara
psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi

prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan
rekurens lebih jarang.
II.

Duh Tubuh Genital


1. Gonore
Definisi
Gonore dalam arti luas mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh
Neisseria gonorhoeae.
Etiologi
Penyebab gonore adalah gonokok yang ditemukan oleh NEISSER pada tahun
1879 baru diumumkan pada tahun 1882. Kuman tersebut termasuk dalam grup
Neisseria dan dikenal ada 4 spesies, yaitu N.gonorrhoeae dan N.meningitidis yang
bersifat patogen serta N.catarrhalis dan N.pharyngis ini sukar dibedakan kecuali
dengan tes fermentasi.
Gonokok termasuk golongan diplokok berbentuk biji kopi berukuran lebar 0,8
u dan panjang 1,6 u, bersifat tahan asam. Pada sediaan langsung dengan pewarnaan
Gram bersifat Gram-negatif, terlihat di luar dan di dalam leukosit, tidak tahan lama di
udara bebas, cepat mati dalam keadaan kering, tidak tahan suhu di atas 39 0C, dan
tidak tahan cat desinfektan.
Seacara morfologik gonokok ini terdiri atas 4 tipe, yaitu tipe 1 dan 2 yang
mempunyai pili yang bersifat virulen, serta tipe 3 dan 4 yang tidak mempunyai pili
dab bersifat nonvirulen. Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan
reaksi radang.
Daerah yang mudah terinfeksi adalah daerah dengan mukosa epitel kuboid
atau lapis gepeng yang belum berkembang (immatur), yakni pada vagina wanita
sebelum pubertas.
Gejala klinis
Masa tunas gonore sangat singkat. Pada pria umumnya sekitar2-5 hari. Pada
waktu masa tunas sulit untuk ditentukan karena pada umumnya asimptomatis. Infeksi
N. Gonorhoeae merupakan fase akut yang didahului rasa panas dibagian distal urethra
diikuti rasa nyeri pada penis, keluhan berkemih seperti disuria dan polakisuria.
Terdapat duh tubuh yang bersifat purulen atau seropurulen, kadang-kadang juga
terdapat ektropion. Pada beberapa keadaan, duh tubuh baru keluar bila dilakukan
pemijatan atau pengurutan korpus penis kearah distal, tetapi pada keadaan penyakit
yang lebih berat nanah tersebut menetes sendiri keluar.

Diagnosis
Diagnosa ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditemukan gejala subjektif berupa : Gatal, panas pada distal
uretra, disuria, polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen yang kadang disertai
darah, nyeri pada waktu ereksi.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan Gejala objektif :Orificium uretra
eksternum eritematosa, edematosa, dan ektropion.Tampak pula duh tubuh
yang seropurulen atau mukopurulen dan dapat disertai pembesaran kelenjar
getah bening inguinal unilateral atau bilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pewarnaan Gram ( Sediaan langsung )
Gram-negatif diplokokus intrasellular terhadap PMN pada pemeriksaan
eksudat. Pada sediaan langsung dengan pengecatan gram akan
ditemukan gonokokus negatif gram, intraseluler dan ekstra seluler,
berbentuk biji kopi. Selain itu dapat ditemukan juga lekosit PMN
5/lpb. Bahan duh tubuh pria diambil dari daerah fosa navikularis,
sedangkan pada wanita diambil dari uretra, muara kelenjar bartholin,
serviks, dan rectum.
Pemeriksaan gram dari duh uretra pada pria memiliki sensitivitas tinggi
(90-95%) dan spesifisitas 95-99%. Sedangkan dari endoserviks,
sensitivitasnya hanya 45-65%, dengan spesifisitas 90-99%.
b. Kultur
Isolasi pada media- selektif gonokokkus, contohnya agar darah coklat,
media Martin Lewis, media Thayer Martin. Test kerentanan mikrobial
penting karena adanya strain yang resistensi.
Media Transport
a) Media Stuart: hanya untuk transport saja, sehingga perlu ditanam
kembali pada media pertumbuhan.
b) Media Transgrow: selektif dan nutritive untuk N. gonorrhoeae dan
N. meningitidis, dalam perjalanannya dapat bertahan hingga 96 jam
dan merupakan gabungan dari media transport dan media
pertumbuhan. Media ini merupakan modifikasi media Thayer Martin
dengan menambahkan trimetoprim untuk mematikan Proteus.

Media Pertumbuhan
a) Media Thayer-martin: selektif untuk mengisolasi gonokok.
Mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan kuman
positif-gram, kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri
negatif-gram, dan nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur.
b) Modifikasi Thayer-martin: isinya ditambah dengan trimetoprim
untuk menekan pertumbuhan kuman Proteus spp.
c) Agar coklat McLeod: berisi agar coklat, agar serum, dan agar
hidrokel. Dapat ditumbuhi kuman selain gonokokus.
c. Tes Definitif
a) Tes Oksidasi
Reagen oksidasi yang mengandung larutan tetrametil-p-fenilamin
hidroklorida 1% ditambahkan pada koloni gonokok tersangka.
Semua Neisseria memberikan reaksi positif dengan perubahan
warna koloni yang semula bening berubah menjadi merah muda
sampai merah lembayung.
b) Tes Fermentasi
Tes Oksidasi Positif dilanjutkan dengan tes fermentasi memakai
glukosa, maltosa, dan sukrosa. Kuman gonokok hanya meragikan
glukosa.
d. Tes Beta laktamase
Tes ini menggunakan cefinase TM disc. BBL 96192 yang mengandung
cheomogenic cephalosporin. Apabila kuman mengandung enzim betalaktamase, akan menyebabkan perubahan warna dari kuning menjadi
merah.
e. Tes Thomson
Tes Thomson ini berguna untuk mengetahui sampai dimana infeksi
sudah berlangsung.Dahulu pemeriksaan ini perlu dilakukan karena
pengobatan pada waktu itu ialah pengobatan setempat.
Tabel 2. Hasil pembacaan :
Gelas I

Gelas II

Arti

Jernih

Jernih

Tidak ada infeksi

Keruh

Jernih

Infeksi
anterior

Keruh

Keruh

Panuretritis

uretritis

Jernih

Keruh

Tidak mungkin

Pengobatan
Pada pengobatan yang perlu diperhatikan adalah efektivitas, harga, dan sesedikit
mungkin efek toksiknya. Dulu ternyata pilihan utama ialah penisilin + probenesid,
kecuali di daerah yang tinggi insidens Neisseria gonorrhoeae. Penghasil Penisilinase
(N.G.P.P). secara epidemiologis pengobatan yang dianjurjan adalah obat yang dapat
dipakai antara lain :
1. Penisilin : yang efektif ialah penisilin G prokain akua. Dosis 4,8 juta unit + 1
gram probenesid.
2. Ampisilin dan amoksisilin : ampisilin dosisnya ialah 3,5 gram + 1 gram
probenesid, dan amoksisilin 3 gram + 1 gram probenesid.
3. Sefalosporin : seftriakson (generasi ke-3) cukup efektif dengan dosis 250 mg
i.m. sefoperazon dengan dosis 0,50 sampai 1,0 g secara intramuskular.
Sefiksim 400 mg per oral dosis tunggal memberi angka kesembuhan 95%.
4. Spektinomisin : dosisnya ialah 2 gram i.m baik, untuk penderita yang alergi
penisilin, yang mengalami kegagalan pengobatan penisilin, dan terhadap
penderita yang juga tersangka menderita sefilis karena obat ini tidak menutupi
gejala sifilis.
5. Kanamisin : dosisnya 2 gram i.m.
6. Tiamfenikol : dosisnya 3,5 gram, secara oral.
7. Kuinolon : dari golongan kuinolon, obat yang menjadi pilihan adalah
ofloksasin 400 mg, siprofloksasin 250-500 mg, dan norfloksasin 800 mg
secara oral. Mengingat pada beberapa tahun terakhir ini resisten terhadap
siprofloksasin masih tinggi, maka golongan kuinolon yang dianjurkan adalah
levofloksasin 250 mg per oral dosis tunggal.
2. Trikomoniasis
Definisi
Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi saluran urogenital bagian bawah
pada wanita maupun pria, dapat bersifat akut atau kronik, disebabkan Trichomonas
vaginalis, dan penularannya biasanya melalui hubungan seksual.
Etiologi
Penyebab trikomoniasis ialah Trichomonas vaginalis yang merupakan satusatunya spesies Trichomonas yang bersifat patogen pada manusia dan dapat dijumpai
pada traktus urogenital. Pertama kali ditemukan oleh Donne pada tahun 1836, dan

untuk waktu yang lama sejak ditemukannya dianggap sebagai komensal.


Trichomonas vaginalis merupakan flagelata berbentuk filiformis, berukuran 15-18
mikron, mempunyai 4 flagela, dan bergerak seperti gelombang.
Parasit ini berkembang biak secara belah pasang memanjang dan dapat hidup
dalam suasana pH 5-7,5. Pada suhu 50C akan mati dalam beberapa menit, tetapi pada
suhu 0C dapat bertahan sampai 5 hari. Cepat mati bila mengering, terkena sinar
matahari, dan terpapar air selama 35-40 menit.
Ada dua spesies lainnya yang dapat ditemukan pada manusia, yaitu
Trichomonas tenax yang hidup di rongga mulut dan Pentatrichomonas hominis yang
hidup dalam kolon, yang pada umumnya tidak menimbulkan penyakit.
Insiden
Penularan umumnya melalui hubungan kelamin, tetapi dapat juga melalui
pakaian, handuk, atau karena berenang. Oleh karena itu trikomoniasis ini terutama
ditemukan pada orang dengan aktivitas seksual yang tinggi, tetapi dapat juga
ditemukan pada bayi dan penderita setelah menopause. Penderita wanita lebih banyak
dibandingkan dengan pria.
Patogenesis
Trichomonas vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran
urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan subepitel. Masa
tunas rata-rata 4 hari sampai 3 minggu. Pada kasus yang lanjut terdapat bagian-bagian
dengan jarin
gan granulasi yang jelas. Nekrosis dapat ditemukan di lapisan subepitel yang menjalar
sampai di permukaan epitel. Di dalam vagina dan uretra parasit hidup dari sisa-sisa
sel, kuman-kuman, dan benda lain yang terdapat dalam sekret.
Gejala klinis
1. Trikomoniasis Pada Wanita
Gejala klinis trikomoniasis pada wanita tidak merupakan parameter diagnostik
yang dapat dipercaya. Masa tunas sulit untuk dipastikan, tetapi diperkirakan
berkisar antara 3-28 hari.
Pada wanita sering tidak menunjukkan keluhan maupun gejala sama sekali.
Bila ada keluhan biasanya berupa duh tubuh vaginal yang banyak dan berbau.
Biasanya penderita datang dengan keluhan gatal pada daerah kemaluan dan gejala
keputihan. Dari data-data yang dikumpulkan oleh Wolner-Hanssen (1989) dan
Rein (1989) yang terdapat pada tabel 1, ternyata hanya 50-70% penderita yang
mengeluh adanya duh tubuh vaginal, sehingga pernyataan bahwa trikomoniasis
pada wanita harus selalu disertai duh tubuh vaginal merupakan hal yang tidak
benar.

Tabel 3. Prevalensi keluhan dan gejala klinis penderita wanita dengan


trikomoniasis.

Keluhan dan gejala

Prevalensi (%)

Keluhan :

9 56

Tidak ada

50 75

Duh tubuh (discharge)

10 67

Berbau

23 82

Menimbulkan iritasi/gatal

10 50

Dispareunia

30 50

Disuria

5 12

Perasaan tidak enak pada perut bawah

15

Gejala :

10 37

Tidak ada

5 42

Eritema vulva yang difus

8 50

Duh tubuh berlebihan, kuning, hijau

20 75

berbusa

12

Inflamasi dinding vagina

45

Strawberry cervix
Pengamatan langsung
Pengamatan dengan kolposkop

Yang diserang terutama dinding vagina, dapat bersifat akut maupun kronis.
Pada kasus akut terlihat sekret vagina seropurulen berwarna kekuning-kuningan,
kuning-hijau, berbau tidak enak (malodorous), dan berbusa. Duh tubuh yang banyak
sering menimbulkan keluhan gatal dan perih pada vulva serta kulit sekitarnya.
Dinding vagina dan labium tampak kemerahan dan sembab serta terasa nyeri.
Sedangkan pada vulva dan paha bagian atas kadang-kadang ditemukan abses-abses
kecil dan maserasi yang disebabkan oleh fermen proteolitik dalam duh tubuh. Kadangkadang juga terbentuk abses kecil pada dinding vagina dan serviks, yang tampak
granulasi berwarna merah dan dikenal sebagai strawberry appearance, yang menurut
Fouts et al, hal ini hanya ditemukan pada 2% kasus trikomoniasis. Keluhan lain yang
mungkin terjadi adalah dispareunia, perdarahan pascakoitus, dan perdarahan
intermenstrual. Bila sekret banyak yang keluar dapat timbul iritasi pada lipat paha atau
di sekitar genitalia eksterna. Selain vaginitis dapat pula terjadi uretritis, Bartholinitis,
skenitis, dan sistitis yang pada umumnya tanpa keluhan. Pada kasus yang kronik
gejalanya lebih ringan dan sekret vagina biasanya tidak berbusa.
Kadang-kadang reaksi radang sangat minimal sehingga duh tubuh sangat
minimal pula, bahkan dapat tidak tampak sama sekali. Polakisuria dan disuria
biasanya merupakan keluhan pertama pada infeksi traktus urinarius bagian bawah
yang simptomatik. Dua puluh lima persen penderita mengalami infeksi pada uretra.
2. Trikomoniasis Pada Pria
Seperti pada wanita spektrum klinik trikomoniasis pada pria sangat luas, mulai
dari tanpa gejala sampai pada uretritis yang hebat dengan komplikasi prostatitis.
Masa inkubasi biasanya tidak melebihi 10 hari.
Pada laki-laki yang diserang terutama uretra, kelenjar prostat, kadang-kadang
preputium, vesikula seminalis, dan epididimis. Pada umumnya gambaran klinis
lebih ringan dibandingkan dengan wanita. Bentuk akut gejalanya mirip uretritis
nongonore, misalnya disuria, poliuria, dan sekret uretra mukoid atau
mukopurulen. Urin biasanya jernih, tetapi kadang-kadang ada benang-benang
halus. Pada bentuk kronik gejalanya tidak khas; gatal pada uretra, disuria, dan urin
keruh pada pagi hari.
Diagnosis
Diagnosis kurang tepat bila hanya berdasarkan gambaran klinis, karena
Trichomonas vaginalis dalam saluran urogenital tidak selalu menimbulkan gejala atau

keluhan. Uretritis dan vaginitis dapat disebabkan bermacam-macam sebab, karena itu
perlu diagnosis etiologik untuk menentukan penyebabnya.
Diagnosis trikomoniasis ditegakkan setelah ditemukannya T. vaginalis pada
sediaan langsung (sediaan basah) atau pada biakan duh tubuh penderita.
Diagnosis pada pria menjadi lebih sulit lagi, karena infeksi ditandai oleh
jumlah kuman yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan wanita. Uretritis non
gonore (UNG) yang disebabkan oleh T. vaginalis tidak dapat dibedakan secara klinis
dari UNG oleh penyebab yang lain.
Respon terhadap pengobatan dapat menunjang diagnosis. UNG yang gagal
diobati dengan rejimen yang efektif terhadap C. trachomatis dan U. urealyticum,
namun respon terhadap pengobatan dengan metronidazol, menunjang diagnosis
trikomoniasis.
Untuk mendiagnosis trikomoniasis dapat dipakai beberapa cara, misalnya
pemeriksaan mikroskopik sediaan basah, sediaan hapus, dan pembiakan. Sediaan
basah dicampur dengan garam faal dan dapat dilihat pergerakan aktif parasit. Pada
pembiakan dapat digunakan bermacam-macam pembenihan yang mengandung serum.
Tatalaksana
Pengobatan dapat diberikan secara topikal atau sistemik. (1) Pengobatan
trikomoniasis harus diberikan kepada penderita yang menunjukkan gejala maupun
yang tidak.
1 Topikal
a. Bahan cairan berupa irigasi, misalnya hidrogen peroksida 1-2% dan

larutan asam laktat 4%.


b. Bahan berupa supositoria, bubuk yang bersifat trikomoniasidal.
c. Jel dan krim, yang berisi zat trikomoniasidal.
Sistemik (oral)
Obat yang sering digunakan tergolong derivat nitromidazol seperti:(1,2,4)
a. Metronidazol : dosis tunggal 2 gram atau 3 x 500 mg/hari, selama 7 hari.
b. Nimorazol : dosis tunggal 2 gram.
c. Tinidazol : dosis tunggal 2 gram.
d. Omidazol : dosis tunggal 1,5 gram.
Penderita dinyatakan sembuh bila keluhan dan gejala telah menghilang, serta
parasit tidak ditemukan lagi pada pemeriksaan sediaan langsung.(4)
Pada waktu pengobatan perlu beberapa anjuran pada penderita:(1,11)

a.

Pemeriksaan dan pengobatan terhadap pasangan seksual untuk mencegah


jangan terjadi infeksi pingpong.

b.
c.
3

Jangan melakukan hubungan seksual selama pengobatan dan sebelum


dinyatakan sembuh.
Hindari pemakaian barang-barang yang mudah menimbulkan transmisi.
Pengobatan Pada Kehamilan
Kehamilan pada trimester pertama merupakan kontra indikasi
pemberian metronidazol. Sehubungan telah banyak bukti-bukti yang
menunjukkan adanya kaitan antara infeksi T. vaginalis dengan pecahnya
ketuban sebelum waktunya, maka metronidazol dapat diberikan dengan dosis

efektif yang paling rendah pada trimester kedua dan ketiga.(4)


Infeksi Pada Neonatus
Bayi dengan trikomoniasis simtomatik atau dengan kolonisasi T. vaginalis
melewati umur 4 bulan, harus diobati dengan metronidazol 5 mg/kgBB/oral, 3

x sehari selama 5 hari.(4)


3. Bakterial vaginosis
Definisi
Bacterial vaginosis (BV) merupakan gangguan paling umum dijumpai pada
organ genitalia bawah pada wanita usia reproduktif (hamil dan tidak hamil) dan
merupakan prevalensi terbanyak penyebab dari timbulnya secret vagina dan bau tidak
sedap. Vaginosis bakterial adalah keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang
disebabkan oleh bertambahnya pertumbuhan flora vagina bakteri anaerob
menggantikan Lactobacillus yang mempunyai konsentrasi tinggi sebagai flora normal
vagina.
Etiologi
Penyebab bakterial vaginosis bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis
dari data flora vagina memperlihatkan bahwa ada beberapa kategori dari bakteri
vagina yang berhubungan dengan bakterial vaginosis, yaitu :
1 Gardnerella vaginalis
Berbagai kepustakaan selama 30 tahun terakhir membenarkan observasi
Gardner

dan

Dukes bahwa

Gardnerella

vaginalis

sangat

erat

hubungannya dengan bakterial vaginosis. Organisme ini mula-mula


dikenal sebagai H. vaginalis kemudian diubah menjadi genus Gardnerella
atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan asam dioksi-ribonukleat.
Tidak mempunyai kapsul, tidak bergerak dan berbentuk batang gram
negatif atau variabel gram. Tes katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole,
dan urease semuanya negatif.10 Kuman ini bersifat anaerob fakultatif,
dengan produksi akhir utama pada fermentasi berupa asam asetat, banyak

galur yang juga menghasilkan asam laktat dan asam format. Ditemukan
juga galur anaerob obligat. Untuk pertumbuhannya dibutuhkan tiamin,
2

riboflavin, niasin, asam folat, biotin, purin, dan pirimidin.


Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bacteriodes Spp
Bacteriodes Spp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus sebanyak
36% pada wanita dengan bakterial vaginosis. Pada wanita normal kedua
tipe anaerob ini lebih jarang ditemukan. Penemuan spesies anaerob
dihubungkan dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat
pada cairan vagina. Setelah terapi dengan metronidazole, Bacteriodes dan
Peptostreptococcus tidak ditemukan lagi dan laktat kembali menjadi asam
organik yang predominan dalam cairan vagina. Spiegel menyimpulkan
bahwa

bakteri

anaerob

berinteraksi

dengan

G.vaginalis

untuk

menimbulkan vaginosis. Peneliti lain memperkuat hubungan antara bakteri


anaerob dengan vaginosis bakterial. Mikroorganisme anaerob lain yaitu
Mobiluncus Spp, merupakan batang anaerob lengkung yang juga
ditemukan pada vagina bersama-sama dengan organisme lain yang
dihubungkan dengan bakterial vaginosis. Mobiluncus Spp hampir tidak
pernah ditemukan pada wanita normal, 85% wanita dengan bakterial
3

vaginosis mengandung organisme ini.


Mycoplasma hominis
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa Mycoplasma hominis juga harus
dipertimbangkan

sebagai agen etiologik untuk vaginosis bakterial,

bersama-sama dengan G.vaginalis dan bakteri anaerob lainnya. Prevalensi


tiap mikroorganisme ini meningkat pada wanita dengan bakterial
vaginosis. Organisme ini terdapat dengan konsentrasi 100-1000 kali lebih
besar pada wanita dibandingkan dengan bakterial vaginosis pada wanita
normal.
Pertumbuhan

Mycoplasma

hominis

mungkin

distimulasi

oleh

putrescine, satu dari amin yang konsentrasinya meningkat pada bakterial


vaginosis. Konsentrasi normal bakteri dalam vagina biasanya 105
organisme/ml cairan vagina dan meningkat menjadi 108-9 organisme/ml
pada bakterial vaginosis. Terjadi peningkatan konsentrasi Gardnerella
vaginalis dan bakteri anaerob termasuk Bacteroides, Leptostreptococcus,
dan Mobilincus Spp sebesar 100-1000 kali lipat.
Manifestasi Klinis

Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling
sering pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal (terutama
setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau
amis/bau ikan (fishy odor). Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap
bila cairan vagina menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan
terlepasnya amin dari perlekatannya pada protein dan amin yang menguap
menimbulkan bau yang khas. Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala yang
khas, namun pada sebagian besar wanita dapat asimptomatik. Iritasi daerah vagina
atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar), kalau ditemukan lebih ringan daripada yang
disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau C.albicans. Sepertiga penderita mengeluh
gatal dan rasa terbakar, dan seperlima timbul kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri
abdomen, dispareuria, atau nyeri waktu kencing jarang terjadi, dan kalau ada karena
penyakit lain.
Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering
berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang
berbusa. Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis
atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya sekret
vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang
memberikan gambaran bergerombol.

Patofisiologi
Bakterial vaginosis disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah lingkungan
asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong pertumbuhan
berlebihan bakteri-bakteri penghasil basa. Lactobacillus adalah bakteri predominan di
vagina dan membantu mempertahankan sekresi vagina yang bersifat asam. Faktorfaktor yang dapat mengubah pH melalui efek alkalinisasi antara lain adalah mukus
serviks, semen, darah haid, mencuci vagina (douching), pemakaian antibiotik, dan
perubahan hormon saat hamil dan menopause. Faktor-faktor ini memungkinkan
meningkatnya pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mucoplasma hominis, dan bakteri
anaerob. Metabolisme bakteri anaerob menyebabkan lingkungan menjadi basa yang
menghambat pertumbuhan bakteri lain.

Mencuci vagina (douching) sering dikaitkan dengan keluhan disuria,


keputihan, dan gatal pada vagina. Pada wanita yang beberapa kali melakukan
douching, dilaporkan terjadi perubahan pH vagina dan berkurangnya konsentrasi
mikroflora normal sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan bakteri patogen
yang oportunistik.
Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia produktif.
Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang
keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari
kelenjar Bartolini. Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang alami dari
tubuh untuk membersihkan diri, sebagai pelicin, dan pertahanan dari berbagai infeksi.
Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh, atau
berwarna kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0
terdiri dari sel-sel epitel yang matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur,
Trichomonas, tanpa clue cell.
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai
pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina
yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina
sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G. vaginalis. Beberapa amin diketahui
menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh
tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina. Basil-basil anaerob yang menyertai
bakterial vaginosis diantaranya Bacteroides bivins, B. Capilosus dan B. disiens yang
dapat diisolasikan dari infeksi genitalia.
G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian
menambahkan deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh
pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasif dan respon inflamasi lokal yang
terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina dan
dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya bakterial vaginosis ada hubungannya
dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi Trichomonas. Bakterial
vaginosis yang sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang
faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini. Walaupun alasan sering
rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4 kemungkinan yang dapat
menjelaskan, yaitu:

Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab


bakterial vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G.
vaginalis mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra
tetapi tidak menyebabkan uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga
wanita yang telah mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung untuk

kambuh lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.


Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang hanya
dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai
flora normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.
Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor hostnya

pada penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.


Diagnosis
BV merupakan suatu sindrom yang dapat didiagnosis dengan menggunakan baik
secara klinik maupun uji mikrobiologi. Kriteria diagnosis antara wanita hamil dan
tidak hamil adalah sama. Amsel et al (1983), telah mempublikasikan beberapa kriteria
diagnosis BV yang masih digunakan hingga sekarang ini. diagnosis klinis BV
ditegakkan apabila ditemukan tiga dari empat tanda berikut ini.
1 Secret vagina (berwarna keabu-abuan, homogen dan berbau)
2 pH vagina > 4,5
3 Ditemukannya clue cells pada sediaan basah
4 Tes amine (+)
Pewarnaan gram dari cairan vagina merupakan metode diagnostic mikrobiologi
yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis BV. Untuk dapat dilakukannya
pewarnaan gram, secret vagina diapus ke atas kaca objek, dikeringkan pada udara
terbuka, diwarnai di laboratorium, dan diperiksa dengan menggunakan minyak
emersi. Kebanyakan unit laboratorium menggunakan sebuah skema diagnostic
objektif yang menilai banyaknya jumlah morphotype Lactobacillus dan bakteri
pathogen lainnya, hasil diinterpretasikan melalui skor yang digunakan untuk
menentukan apakah terjadi infeksi atau tidak. Penskoran yang umum digunakan
adalah sistem Nugent. Kriteria untuk diagnosis BV adalah apabila skor yang didapat
adalah tujuh atau lebih. Skor 4-6 menandakan hasil intermedit, dan skor 0-3
menandakan suatu keadaan normal.
Tatalaksana

Penyakit baktrerial vaginosis merupakan penyakit yang cukup banyak


ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi. Sekitar 1 dari 4 wanita
akan sembuh dengan sendirinya, hal ini diakibatkan karena organisme Lactobacillus
vagina kembali meningkat ke level normal, dan bakteri lain mengalami penurunan
jumlah. Namun pada beberapa wanita, bila bakterial vaginosis tidak diberi
pengobatan, akan menimbulkan keadaan yang lebih parah. Oleh karena itu perlu
mendapatkan pengobatan, dimana jenis obat yang digunakan hendaknya tidak
membahayakan dan sedikit efek sampingnya.

Semua wanita dengan bakterial

vaginosis simtomatik memerlukan pengobatan, termasuk wanita hamil. Setelah


ditemukan hubungan antara bakterial vaginosis dengan wanita hamil dengan
prematuritas atau endometritis pasca partus, maka penting untuk mencari obat-obat
yang efektif yang bisa digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya
menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati
bakterialvaginosis.
a. Terapi sistemik
1
Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan
yang memberikan keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan
dosis 2 x 400 mg atau 500 mg setiap hari selama 7 hari. Jika
pengobatan ini gagal, maka diberikan ampisilin oral (atau amoksisilin)
yang merupakan pilihan kedua dari pengobatan keberhasilan
penyembuhan sekitar 66%).
- Kurang efektif bila dibandingkan regimen 7 hari
- Mempunyai aktivitas sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat
aktif terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan
inhibisi anaerob. Metronidazol dapat menyebabkan mual dan urin
2

menjadi gelap.
Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan
metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka
kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil
klindamisin dapat menembus ASI, oleh karena itu sebaiknya

menggunakan pengobatan intravagina untuk perempuan menyusui.


Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari
selama 7 hari. Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi

terhadap metronidazol.
Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.

5 Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.


6 Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
7 Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
b. Terapi Topikal
1 Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama
2
3
4

5 hari.
Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
Triple sulfonamide cream.(3,6) (Sulfactamid 2,86%,
Sulfabenzamid 3,7% dan Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama
10 hari, tapi akhir-akhir ini dilaporkan angka penyembuhannya

hanya 15 45 %.
c. Pengobatan
bakterial
vaginosis

pada

masa

kehamilan

Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat
muncul masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama
kehamilan karena mempunyai efek samping terhadap fetus. Dosis yang
lebih rendah dianjurkan selama kehamilan untuk mengurangi efek samping
(Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil).
Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi ampisilin dan
amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol pada wanita
tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan
yang rendah.
Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena
klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester
II dan III dapat digunakan metronidazol oral walaupun mungkin lebih
disukai gel metronidazol vaginal atau klindamisin krim.
d. Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual. Terapi juga
diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak berhubungan
selama masih dalam pengobatan.

4. Kandidiasis vulvovaginalis
Definisi
Kandidiasis (atau kandidosis, monoliasis, trush) merupakan berbagai macam
penyakit infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans dan anggota genus
kandida lainnya.
Epidemiologi

Informasi mengenai insiden KVV tidak lengkap, sejak KVV tidak dilaporkan.
Pengumpulan data pada KVV terhambat oleh ketidaktelitian diagnosis dan
menggunakan studi populasi yang bersifat tidak mewakili. Banyak studi
menyatakan 5-15% prevalensi KVV, tergantung pada studi populasi. Sekitar 3-4
dari semua wanita akan mengalami episode KVV seumur hidupnya. KVV
mempengaruhi banyak wanita paling sedikit satu kali selama hidupnya, paling
sering pada usia mampu melahirkan, diperkirakan 70-75%, 3-5 dari 40-50% akan
mengalami kekambuhan. Subpopulasi kecil yang mungkin kurang dari 5% semua
wanita dewasa mengalami episode KVV berulang diartikan sebagai 4 episode
per tahun. Setiap wanita dengan gejala vulvovaginitis, 29,8% telah diambil isolasi
ragi, yang memperkuat diagnosis KVV. Banyak studi mengindikasikan KVV
merupakan diagnosis paling banyak diantara wanita muda, mempengaruhi
sebanyak 15-30% wanita yang bersifat simptomatik yang mengunjungi dokter.
Pada Amerika serikat, KVV merupakan penyebab infeksi vagina tersering kedua
setelah vaginosis bakteri.
Sumber Infeksi
Tiga sumber infeksi yang menyebabkan terjadinya KVV, meliputi reservoir,
penularan seksual dan kekambuhan.
a Reservoir
Meskipun saluran gastrointestinal menjadi sumber kolonisasi awal
kandida pada vagina, kontroversi terus berlanjut mengenai peran usus sebagai
sumber reinfeksi pada wanita dengan KVV berulang. Beberapa penulis, telah
menemukan kesesuaian yang jauh lebih rendah diantara kultur dubur dan
vagina pada pasien dengan KVV berulang. Tingginya angka kultur anorektal
dalam beberapa studi mungkin menyatakan adanya kontaminasi perineum dan
perianal dari keputihan. Selain itu, KVV sering berulang pada wanita tanpa
b

adanya kultur dubur yang positif.


Penularan seksual
Kolonisasi kandida pada genital laki-laki yang bersifat asimptomatik
adalah empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dimana pasangan
seksualnya merupakan wanita yang terinfeksi. Sekitar 20% kandida pada penis
berasal dari wanita dengan KVV berulang. Kandida paling sering ditemukan
pada laki-laki yang disunat, biasanya asimptomatik. Patner yang terinfeksi
biasanya membawa keturunan yang identik, namun kontribusi penularan
seksual hingga patogenesis infeksi masih belum diketahui.

Kekambuhan
Sejumlah kecil dari mikroorganisme bertahan dalam lumen vagina,
umumnya dalam jumlah yang terlalu kecil yang dideteksi oleh kultur vagina
yang konvensional. Hal ini juga dibayangkan bahwa jumlah kecil kandida
mungkin tinggal sementara di dalam serviks superfisial atau sel epitel vagina

yang hanya muncul kembali beberapa minggu atau bulan kemudian.


Etiologi dan Patogenesis
Candida albicans merupakan penyebab 80-90% KVV, dan Candida glabrata
merupakan spesies yang paling sering terlibat selanjutnya. Pada biakan jaringan,
kandida tumbuh sebagai sel ragi bertunas dan oval yang berukuran 3-6 m. Kandida
membentuk pseudohifa ketika tunas-tunas terus tumbuh tetapi gagal melepaskan diri
sehingga menghasilkan rantai sel yang memanjang yang terjepit atau tertarik pada
septa di antara sel. Candida albicans bersifat dismorfik (ada juga yang menyebutnya
polimorfik); selain ragi dan pseudohifa, Candida albicans juga bisa menghasilkan
hifa sejati. Dalam media agar atau dalam 24 jam pada suhu 37C atau pada suhu
ruangan, spesies kandida menghasilkan koloni halus, berwarna krem dengan aroma
ragi. Pseudohifa jelas terlihat sebagai pertumbuhan yang terbenam di bawah
permukaan agar. Pembentukan pseudohifa terjadi karena pembelahan sel yang
terpolarisasi ketika sel jamur tumbuh dengan tunas yang memanjang tanpa
melepaskan diri dari sel yang berdekatan, sehingga sel-sel tersebut bergabung menjadi
satu. Klamidiospora dibentuk pada pseudomiselium dimana bentuknya bulat dan
terdapat spora refraktil dengan dinding sel yang tebal. Perubahan dari komensal ke
patogen dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan dan penyebaran pada tubuh
pejamu. Jika terdapat pertumbuhan yang invasif dari pseudohifa multiseluler
menyebabkan infeksi jamur kandidiasis.
Candida albicans merupakan organisme normal dari saluran cerna tetapi dapat
menimbulkan infeksi oportunistik. Terdapat dua faktor virulensi jamur kandida yaitu
dinding sel dan sifat dismorfik kandida. Dinding sel berperan penting dalam virulensi
karena merupakan bagian yang berinteraksi langsung dengan sel pejamu. Dinding sel
kandida mengandung 80-90% karbohidrat, yang terdiri dari b-glukan, khitin,
mannoprotein, 6-25% protein dan 1-7% lemak. Salah satu komponen dinding sel yaitu
mannoprotein mempunyai sifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan
jamur terhadap imunitas pejamu.
Kandida adalah sel jamur yang bersifat parasit dan menginvasi sel pejamu
dengan cara imunomodulasi dan adhesi. Imunomodulasi adalah kemampuan potensial

sel kandida dalam memodulasi sistem imunologi pejamu berupa rangsangan untuk
meningkatkan atau menurunkan reaksi imun pejamu. Zat seperti khitin, glukan, dan
mannoprotein adalah kandungan yang terdapat dalam dinding sel yang berperan
dalam proses imunomodulasi. Respon imunomodulasi menyebabkan diproduksinya
sejumlah protein yang disebut sebagai heat shock protein (hsp) yang berperan dalam
proses perangsangan respon imun dan proses pertumbuhan kandida. Adhesi
merupakan langkah awal untuk terjadinya kolonisasi. Dengan adhesi, kandida melekat
pada sel pejamu melalui interaksi hidrofobik. Hal ini menurunkan kadar pembersihan
jamur dari tubuh melalui regulasi imun normal. Ketika Candida albicans penetrasi ke
permukaan mukosa pejamu terjadi perubahan bentuk jamur dari spora ke pseudohifa
sehingga membantu jamur menginvasi jaringan perjamu melalui pelepasan beberapa
enzim degradatif seperti berbagai proteinase, proteinase aspartil dan fosfolipase.
Faktor Resiko
Faktor resiko KVV meliputi DM, penggunaan steroid, alat kontrasepsi,
memakai celana ketat dan baju sintetik, peningkatan estrogen, penggunaan antibiotik
dan imunosupresi.
Setiap faktor host yang mempengaruhi lingkungan vagina atau cairan vagina
memiliki peran dalam KVV. Kehamilan adalah salah satu faktor predisposisi yang
paling umum. Penelitian telah menunjukkan bahwa hingga sepertiga dari wanita
hamil di seluruh dunia pada hari apapun dapat terpengaruh. Tingginya hormon
reproduksi dan peningkatan kandungan glikogen dalam lingkungan vagina
menghasilkan lingkungan yang menguntungkan bagi spesies kandida. Pada
kombinasi, 2 perubahan ini menyediakan sumber karbon yang berlimpah untuk
pertumbuhan, germinasi, dan adheren kandida. Selain itu, keasaman flora vagina ibu
hamil dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme lain yang secara alami
menghambat kandida. Meskipun awalnya organisme lebih mudah terjadi pada pH
tinggi (6-7), pembentukan tuba kuman dan perkembangan miselia menyukai pH
vagina yang rendah (<5).
Kolonisasi kandida pada vagina lebih sering pada wanita yang mengalami
diabetes. Wanita dengan DM tipe 2 lebih cenderung akibat kolonisasi C. glabrata.
Pada pasien DM, terjadi peningkatan kerentanan terhadap infeksi termasuk infeksi
jamur kandida.

Hal ini kemungkinan berhubungan dengan adanya gangguan

imunitas. Selain itu, terjadi penurunan kemampuan leukosit dalam memfagositosit


kuman. Hiperglikemia menyebabkan terjadi hiperosmolaritas plasma sehingga
kemampuan migrasi berkurang dan respon leukosit menurun. Defek fagositosis juga
diakibatkan oleh berkurangnya difusi nutrien ke sel-sel inflamasi ekstravaskular, dan
defek pada interleukin dependen insulin akibat berkurangnya insulin. Selain itu,
kondisi metabolik berupa kadar gula darah yang meningkat dapat mempermudah
pertumbuhan jamur patogen. Semua faktor tersebut menyebabkan pasien DM lebih
rentan terhadap kandidiasis.
Beberapa studi menunjukkan bahwa meningkatnya kolonisasi spesies kandida
akibat penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen yang tinggi. Studi
pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen yang
rendah tidak ditemukan meningkat pada KVV. Namun, banyak investigasi lebih lanjut
melibatkan kontrasepsi oral sebagai predisposisi KVV berulang. Antibiotik bertindak
dengan cara mengeliminasi flora bakteri pada vagina yang bersifat protektif sehingga
membiarkan pertumbuhan kandida berlebihan di traktus gastrointestinal, vagina atau
keduanya. Vagina terutama Lactobacillus spp, flora yang menyebabkan resistensi
kolonisasi dan mencegah germinasi, mempertahankan jumlah ragi yang sedikit, dan
mencegah invasi mukosa superficial. Auger dan Joly menemukan jumlah
Lactobacillus spp pada kultur vagina diperoleh dari wanita dengan KVV simptomatik.
Insiden KVV meningkat secara dramatis pada dekade kedua, sesuai dengan
onset aktivitas seksual. Puncaknya pada dekade ketiga dan keempat, menurun pada
wanita yang lebih tua dari 40 tahun, sampai efek permisif dari terapi penggantian
hormon menjadi jelas. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa penularan kandida
terjadi

selama

bersetubuh,

meskipun

peran

praktik

non-seksual

dalam

memperkenalkan kandida ke saluran genital belum dinilai. Ada bukti yang


bertentangan seperti peran perilaku seksual dalam menyebabkan KVV bersifat
simptomatik. Beberapa penulis menyatakan bahwa frekuensi hubungan seksual barubaru ini dihubungkan dengan vaginitis akut, dan lain-lain telah teridentifikasi seksual
orogenital yang bersifat reseptif. Meskipun bukti yang bersifat anekdot, Foxman
menemukan tidak adanya bukti epidemiologi yang memberatkan kebiasaan
kebersihan wanita sebagai faktor risiko KVV. Penggunaan pakaian berventilasi dan
pakaian katun mungkin bernilai dalam mencegah infeksi. Di sisi lain, Foxman

menemukan tidak adanya peningkatan risiko KVV diantara pemakai pakaian ketat
atau pakaian bukan katun.
Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa kekurangan zat besi merupakan
predisposisi infeksi. Kontak bahan kimia, alergi lokal, atau reaksi hipersensitivitas
dapat

mengubah

lingkungan

vagina

dan

memungkinkan

transformasi

dari kolonisasi yang bersifat asimptomatik menjadi vaginitis yang bersifat


simptomatik.
Gambaran Klinis
Candida albicans merupakan penghuni yang lazim pada traktus vagina.
Pertumbuhan yang berlebihan dapat menyebabkan rasa gatal yang berat, rasa terbakar,
dan keputihan. Pruritus akut dan keputihan adalah keluhan yang biasanya ada, tetapi
bukan gejala khusus untuk KVV. Keputihan tidak selalu ada dan sering sedikit.
Meskipun digambarkan seperti keju lembut, keputihan dapat bervariasi dari berair
sampai tebal secara homogen. Nyeri pada vaginal, iritasi, rasa terbakar, dispareunia,
dan disuria eksternal biasanya ada. Bau, jika ada, sedikit dan tidak mengganggu. Pada
pemeriksaan menunjukkan plak keputih-putihan pada dinding vagina dengan dasar
eritema dan dikelilingi edema yang dapat menyebar ke labia dan perineum. Labia
menjadi eritematosa, basah dan maserasi, dan hiperemis, bengkak dan erosi pada
serviks, vesikel kecil pada permukaannya. Secara karakteristik, gejaladiperburuk pada
minggu sebelum onset menstruasi. Beberapa survei menunjukkan diagnosis pasien
yang

tidak

dapat

dipercaya.

Meskipun

adakalanya

kandida

menyebabkan

balanopostitis yang bersifat ekstensif pada laki-laki yang memiliki pasangan wanita
yang mengalami kandidiasis vagina, kejadian yang lebih sering terjadi adalah ruam
sementara, eritema, dan pruritus atau sensasi terbakar pada penis yang timbul
beberapa menit atau jam setelah hubungan seksual tanpa pelindung. Gejala tersebut
sembuh sendiri dan sering menghilang setelah mandi.

Gambar . Kandidiasis vulvovaginalis

Pemeriksaan Penunjang Kandidiasis Vulvovaginalis


Adapun pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang diagnosis KVV, adalah
seperti pemeriksaan miroskopik langsung, pewarnaan Gram, pemeriksaan sediaan
basah, pemeriksaan pH, biakan, pemeriksaan histopatologi, dan tes fermentasi.
Diagnosis laboratorium pada penderita mudah ditegakkan karena pemeriksaan
miroskopik langsung mempunyai sensitivitas yang tinggi. Dengan menggunakan
KOH 10-20%, tampak adanya sel ragi yang polimorfik, berbentuk lonjong, atau bulat
berukuran 2-6 x 4-9 m, blastospora (sel ragi yang sedang bertunas), sel budding
yang khas, hifa bersekat atau pseudohifa, kadang-kadang ditemukan klamidiospora.
Elemen jamur (budding yeast cell/ blastospora/ blastokonidia/ pseudohifa/ hifa)
tampak sebagai Gram positif dan sporanya lebih besar dari bakteri yang dapat diamati
dengan pewarnaan Gram. Pemeriksaan sediaan basah juga dapat melihat bentuk hifa
dan budding yeast dari kandida, dengan cara sediaan cairan vagina diletakkan pada
objek glas kemudian ditetesi 1-2 tetes larutan 0,9% isotonik sodium klorida dan
diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 400 x. pH kandidiasis vaginal kurang
dari 4,5 dapat dibuktikan dengan menggunakan kertas lakmus. Biakan memiliki nilai
sensitivitas yang tinggi sampai 90%. Medium biakan yang dipakai adalah agar
dekstrose Sabouraud dan modifikasi agar Sabouraud. Pada modifikasi agar
Sabouraud, komposisinya ditambahkan antibiotik kloramfenikol yang digunakan
untuk menekan pertumbuhan bakteri. Media ini merupakan media selektif untuk
mengisolasi kandida. Kandida umumnya mudah tumbuh pada suhu kamar 25-30C,
dan pertumbuhan dapat terjadi 2-5 hari setelah biakan. Koloni tampak berwarna krem

atau putih kekuningan, permukaan koloni halus, licin, lama kelamaan berkeriput dan
berbau ragi. Biakan dinyatakan negatif bila dalam waktu 4 minggu tidak tumbuh.
Untuk melakukan identifikasi spesies perlu dilakukan subkultur untuk mendapatkan
koloni yang murni, kemudian koloni baru dapat diidentifikasi.
Gambaran histopatologik dapat menyerupai reaksi radang akut, terdapat
mikroabses yang berisi sel mononuklear dengan infiltrasi limfosit pada dermis bagian
atas. Tes fermentasi dilakukan untuk menentukan spesies kandida, menggunakan tes
gula-gula yang mengandung indikator warna glukosa, maltosa, sukrosa, dan laktosa ,
dikatakan positif bila dapat disertai atau tanpa pembentukan gas.
Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, gambaran klinis, dan
pemeriksaan penunjang (pemeriksaan KOH, pemeriksaan sediaan basah, pemeriksaan
pH, biakan, histopatologi, dan tes fermentasi).
Diagnosis banding kandidiasis vulvovaginal adalah termasuk trikomoniasis
danvaginosis bakterial, yang dapat dibedakan dengan mudah melalui gejala klinis,
pemeriksaan pH dan secara mikroskopis.
1

Diagnosis banding.

pH
Keputihan

Normal

Kandidiasis

<4,5

Variase

Putih,

normal
Seperti keju

Vaginosis
Bakteri
; >4,5

sis
4,5

Homogen,

Berbusa,

jelas,

banyak, putih banyak,

jumlah

keabu-abuan

sedikit
Mikroskop Sel epitel Budding pada Clue
is

Trikomonia

kuning

kehijauan
cell, Sel
darah

dengan

pewarnaan

Gram negatif putih

batas

Gram

jelas,

kerokan KOH, pewarnaan

atau pada

banyak,
adanya

lactobasilu sel darah putih Gram, jumlah motile


s

KOH

Gram banyak,

sel bakteri

(+)

epitel dengan banyak

batas jelas
-

trikomonad

Variasi

Whiff
Gejala

Tidak ada

Rasa
pada

gatal Keputihan,
vagina, bau

Keputihan,

seperti pruritus pada

iritasi,

ikan,dispanur

keputihan

ia,

vulva

nyeri

abdomen
bagian bawah
Penatalaksanaan
Saat ini banyak antimikotik yang efektif terhadap kandida, baik untuk
pemakaian secara topikal dan sistemik. Kecenderungan saat ini adalah pemakaian
rejimen antimikotik oral maupun topikal jangka pendek dengan dosis tinggi.
Antimikotik untuk pemakaian lokal/topikal tersedia dalam berbagai bentuk
sediaan misalnya krim, lotion, tablet vagina dan supositoria. Tidak ada inidikasi
khusus dalam pemilihan bentuk obat topikal.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam pengobatan KVV/KVVR adalah eliminasi
faktor predisposisi sebagai penyebab KVV/KVVR, pemilihan regimen antijamur yang
tepat hingga keluhan menghilang dan pemeriksaan mikroskopik dan kultur negatif,
serta untuk KVVR sebaiknya selalu dilakukan kultur dan uji sensitivitas antijamur.
Penatalaksanaan KVV dilakukan berdasarkan klasifikasiya yaitu KVV tanpa
komplikasi dan KVV dengan komplikasi . Untuk KVV tanpa komplikasi dipilih
pengobatan topikal. Derivat azole dinyatakan lebih efektif daripada nistatin, namun
hargannya jauh lebih mahal. Pengobatan dengan golongan azole dapat menghilangkan
gejala dan kultur negatif pada 80-90% kasus.
Tabel. Macam obat antijamur yang digunakan untuk terapi KVV tanpa
komplikasi
Nama Obat
Formulasi
Ketokonazole 200 mg oral tablet
Itrakonazole
100 mg oral kapsul
Flukonazole
Klotrimazole

Mikonazole
Nistatin
Amphoterisin

150 mg oral tablet


50 mg oral tablet
1% krim intravagina
2% krim intravagina
100 mg tab vag
500 mg tab vag
2% krim
200 mg tab vag
100000 U tab vag
50 mg tab vag
100 mg cap

Dosis
2x1 tab, 5 hari
2x1 cap, 2 hari
2x2 cap, 1 hari selang 8 jam
Dosis tunggal
1x1 tab, 7 hari
5 g, 7-14 hari
5 g, 3 hari
2x1 tab vag, 3 hari
1 tab vag, 1 hari
5 g, 1-7 hari
1 tab vag, 1-7 hari
1x1 tab, 12-14 hari
1x1 tab, 7-12 hari
1x1 tab, 7-12 hari

B+
Tetrasiklin
KVV dengan komplikasi seperti infeksi rekuren, KVV berat, KVV dengan
penyebab Candida non-albicans, KVV pada penderita imunokompromis, KVV pada
wanita hamil, dan KVV pada penderita HIV. Untuk infeksi rekuren perlu dilakukan
biakan jamur untuk mencari spesies penyebab. Dapat diberikan flukonazole 150 mg
selama 3 hari atau topikal golongan azole selama 7-14 hari. Untuk pengobatan dosis
pemeliharaan diberikan tablet ketokonazole 100 mg/hari, kapsul flukonazole 100-150
mg/minggu atau itrakonazole 400 mg/bulan atau 100 mg/hari atau topikal tablet
vagina klotrimazole 500 mg. Pengobatan dosis pemeliharaan ini diberikan selama 6
bulan. KVV berat ditanda dengan vulva eritem, edema,ekskoriasi dan fisura. Terapi
dapat diberikan flukonazole 150 mg dengan 2 dosis selang waktu pemberian 72 jam
atau obat topikal golongan azole selama 7-14 hari.
Pada KVV dengan penyebab Candida non-albicans, dengan pemberian obat
golongan azole tetap dianjurkan selama 7-14 hari, kecuali flukonazole karena banyak
Candida non-albicans yang resisten. Jika terjadi kekambuhan dapat diberikan asam
borak 600 mg dalam kapsul gelatin sekali sehari selama 2 minggu. Jika masih terjadi
kekambuhan dianjurkan pemberian nistatin tablet vagina 100000 U per hari sebagai
pengobatan dosis pemeliharaan. KVV pada penderita imunokompromis diberikan
obat antijamur konvensional selama 7-14 hari. KVV pada wanita hamil, dianjurkan
pengobatan dengan preparat azole topikal, yakni mikonazole krim 2%, 5 g intravagina
selama 7 hari atau 100 mg tabet vagina tiap malam selama 7 hari atau mikonazol 200
mg tablet vagina selama 3 hari. Dan juga klotrimazole krim 1 % sebanyak 5 g tiap
malam selama 7-14 hari atau 200 mg tablet vagina tiap malam selama 3 hari atau 500
mg tablet vagina selama 1 hari. Pengobatan KVV simtomatis pada wanita dengan
HIV positif sama dengan pada wanita dengan HIV negatif. KVV tanpa komplikasi
dapat diterapi dengan flukonazole 150 mg dosis tunggal jangka pendek, atau topikal
azole jangka pendek. Terapi pada KVV komplikata, sebaiknya diberikan obat sistemik
oral atau topikal salam jangka lama dan dilanjutkan terapi dosis pemeliharaan dengan
flukonazole dosis mingguan untuk kasus KVVR atau ketokonazole dosis 100 mg/hari
selama 6 bulan. Pengobatan untuk penderita kandidiasis asimtomatik masih
kontroversi. Pada wanita dengan HIV negatif tidak dianjurkan pemberian terapi
antijamur.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pengobatan KVV yang


dianjurkan adalah klotrimazole 200 mg intravagina setiap hari selama 3 hari atau
klotrimazole 500 mg intravagina dalam dosis tunggal atau flukoazole 150 mg/oral
dalam dosis tunggal atau itrakonazole 200 mg/oral 2 kali sehari dosis tunggal atau
nistatin 100000 IU intravagina setiap hari selama 14 hari.2
Kondiloma Akuminata
DEFINISI
Kutil Genitalis (Kondiloma Akuminata) merupakan kutil di dalam atau di
sekeliling vagina,penis atau dubur, yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Kutil genitalis sering ditemukan dan menyebabkan kecemasan karena:
tidak enak dilihat,
bisa terinfeksi bakteri
bisa merupakan petunjuk adanya gangguan sistem kekebalan
Etiologi
- Virus papilloma.
-Pada wanita, virus papiloma tipe 16 dan 18, yang menyerang leher rahim tetapi
tidak menyebabkan kutil pada alat kelamin luar dan bisa menyebabkan kanker
leher rahim. Virus tipe ini dan virus papiloma lainnya bisa menyebabkan tumor
intra-epitel pada leher rahim (ditunjukkan dengan hasil Pap-smear yang abnormal)
atau kanker pada vagina, vulva, dubur, penis,mulut, tenggorokan atau
kerongkongan
Gejala
- Kutil genitalis paling sering tumbuh di permukaan tubuh yang hangat dan
lembab.
-Pada pria, area yang sering terkena adalah ujung dan batang penis dan dibawah
kulit depannya (jika tidak disunat). Pada wanita, kutil timbul di vulva, dinding
vagina, leher rahim (serviks) dan kulit di sekeliling vagina. Kutil genitalis juga bisa
terjadi di daerah sekeliling anus dan rektum, terutama pada pria homoseksual dan
wanita yang melakukan hubungan seksual melalui dubur.
-Kutil biasanya muncul dalam waktu 1-6 bulan setelah terinfeksi, dimulai sebagai
pembengkakan kecil yang lembut, lembab, berwarna merah atau pink. Mereka
tumbuh dengan cepat dan bisa memiliki tangkai.
-Pada suatu daerah seringkali tumbuh beberapa kutil dan permukaannya yang kasar
memberikan gambaran seperti bunga kol (blumkol).
-Pada wanita hamil, pada gangguan sistem kekebalan (penderita AIDS atau

pengobatan dengan obat yang menekan sistem kekebalan) dan pada orang yang
kulitnya meradang, pertumbuhan kutil ini sangat cepat
Pengobatan
-Kutil pada alat kelamin luar bisa diangkat melalui laser, krioterapi (pembekuan)
atau pembedahan dengan bius lokal.
-Pengobatan kimiawi, seperti podofilum resin atau racun yang dimurnikan atau
asam trikloroasetat, bisa dioleskan langsung pada kutil. Tetapi pengobatan ini
memerlukan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan, bisa melukai kulit di
sekelilingnya dan sering gagal.
-Kutil di uretra bisa diobati dengan obat anti kanker seperti tiotepa atau florourasil.
-Pilihan lainnya adalah pengangkatan kutil dari uretra melalui pembedahan
endoskopik.
-Kutil genitalis sering kambuh dan memerlukan pengobatan ulang. Pada pria yang
belum disunat, kekambuhan bisa dicegah dengan menjalani penyunatan.1,6

Lampiran 1.

Etiologi

Sifilis stadium 1

Herpes genitalis

Ulkus mole

LGV

Treponema

HSV 2

Hemofilus ducrey

Clamidhia

Pallidum
Bentuk

Durum:

ulkus

bersih,
tidak

Trachomatis
keras, Ulkus

dangkal Mole:

merah, berkelompok

di kotor,

bergaung, atas dasar eritem

tidak

lunak, Solitar,

hilang

bergaung, sendiri

(pada

nyeri, tidak teratur wanita jarang)

nyeri,

indurasi
Gejala
Klinis

SI: ulkus durum


SII: roseola, papul,
pustule, kondiloma
lata
SIII: guma
S kongenital

Dini: afek primer:


sda,

sindrom

inguinal

(bubo

bertingkat)
Lanjut:

sindrom

genital
(elefantiasis,
estiomen),
anorektal

(fistel-

ulkus)
(abses-fistel)
Lab

-Pemeriksaan
langsung
-STS
Test

(serologic
Sifilis)

ada

yang
nontreponemal
yaitu VDRL, RPR,
Wasserman

dan

treponemal:

TPI,

FTA-Abs, TPHA
Terapi

SI:

penicillin

G Asiklovir

benzatin 4,8 juta iu


SII: penicillin G
benzatin 7,2 juta iu
SII: penicillin G
benzatin 9,6 juta iu

5x200mg

Sulfonamid
2-4 gram/hari

uretral

Lampiran 2.
Candidosis

Trikomoniasis

Klinis

Candida albicans

Sangat

Trichomonas

Gardnerella

Neisseria

vaginalis

vaginalis

Gonorrhoe

Gatal ringan

7 hari

gatal, Strawberry

disuria,

Gonorrhoe

bacterial

vulvovagininalis
Etiologi

Vaginosis

appearance, sakit

Disuria,

dispareunia,

OUE

ektropion(mouth

hyperemia, erosif

fish),

nyeri

ereksi
Duh tubuh

Gumpalan

putih Lebih

seperti

susu Putih kehijauan homogen,

kental, bau asam


Lab

encer, Abu-abu,

Mukopurulen
bau

berbuih

amis

KOH: blastospora, Sediaan

Clue

pseudohifa

langsung:

(bakteri

negatif,

Trikomonas

mengelilingi

diplococcus

vaginalis, lekosit epitel


>15,

cell Gram: gram

vagina), dalam PMN

tes amin +, pH intra selular atau


4,5-5,5

ekstraselular
Kultur media
thayer martin:
memastikan N
Gonorrhoe
Tes Beta
laktamase:
PPNG
(Penicillinase

Producing
Neisseira
Gonorrhoea)
maksudnya
jangan-jangan
yang ini resisten
penisilin
Tes

thompson:

perjalanan
penyakit
Terapi

Tablet

nistatin Metronidazol 2x Metronidazol 2x Kanamisin i.m 2

supp, ketokonazol 500 mg 7 hari

500 mg 7 hari

tablet 2x200 mg

gram

single

dose

DAFTAR PUSTAKA
1

Sri Linuwih. Editor : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: FKUI.

2015.
Daili FS, Indriatmi W, dkk. Editor. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular
Seksual. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2011.

Daill SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual. Edisi keempat. Jakarta:

Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011.


Garcia AL, Madkan VK, Tyring SK. Gonorrheae and Other Venereal Disease. Dalam:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al, eds. Fitzpatricks Dermatology In General

Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill. 2008: 1993-2000.


Schwebke, JR. Vaginitis . In :Zenilman JM, Shahmanesh M, editors. Sexually
Transmitted Disease: Diagnosis, Management and Treatment. United State of

America:LLC;2012
WWW.Medicastore.com

Anda mungkin juga menyukai