PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)
berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan
oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak (unprovoked).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi
secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis
bangkitan, factor pencetus, dan kronisitas.
2.2 Etiologi
Penyebab penyakit epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatik, kriptogenik
dan simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah idiopatik yang tidak
diketahui penyebabnya, umumnya mempunyai predisposisi genetik. Sedangkan penyebab
epilepsi kriptogenik dianggap suatu simtomatik yang penyebabnya belum diketahui, termasuk
di sini adalah sindrom west, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran
klinis sesuai dengan ensefalopati difus. Etiologi epilepsi yang terakhir yaitu simtomatik
disebabkan oleh kelainan/lesi susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala, infeksi susunan
saraf pusat (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol, obat), metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.
Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak-anak maka saat dewasa mencari etiologi
tak begitu penting, dengan pengertian proses penyebab tak aktif lagi. Bila epilepsi baru
terjadi saat dewasa, terutama diatas usia 30 tahun maka mencari etiologi menjadi penting,
karena mungkin petanda suatu proses patologis yang masih progresif dan mungkin
memerlukan tindakan bedah saraf. Anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan penunjang
akan mengarahkan kepada etiologi dari epilepsi.
2.3 Epidemiologi
Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ada batasan ras dan sosioekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang dibanding
dengan negara industri. Hal ini belum diketahui penyebanya, diduga terdapat beberapa faktor
ikut berperan, misalnya perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir,
kekurangan gizi dan penyakit infeksi.
Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi cukup tinggi,
diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi sekitar 8,2
per 1.000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara berkembang mencapai 5070 kasus per 100.000 penduduk. Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta maka
diperkirakan jumlah pasien epilepsi berkisar antara 1,1-8,8 juta. Berdasarkan grafik, usia
pasien epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak
cukup tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi
pada usia lanjut.Sedangkan menurut jenis kelamin, epilepsi mengenai laki-laki 1,1-1,5 kali
lebih banyak dari perempuan.
masalah lain yang telah diidentifikasi sebagai penghambat tatalaksana penyakit epilepsi
adalah keterbatasan tenaga medis, sarana layanan kesehatan, dana dan kemampuan
masyarakat. Keterbatasan tersebut akan menurunkan optimalisasi penatalaksanaan penyakit
epilepsi.
Tidak jarang penyakit epilepsi ini menimbulkan kematian. Angka kematian pertahun
adalah 2 per 100.000. Hal ini dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika
terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan di antara serangan pasien tidak sadar,
atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian mendadak yang
terjadi pada penderita epilepsi (Sudden Unexplained Death In Epilepsy) diasumsikan
berhubungan
dengan
aktivitas
kejang
dan
kemungkinan
besar
karena
disfungsi
kardiorespirasi.
(ILAE) tahun 1981 yang terdiri dari dua jenis, yaitu klasifikasi untuk jenis
bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.
1
Kejang Parsial
Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum.
Gejala kejang ini bergatung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila
fokus terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan
otot,sementara, apabila fokus terletak di korteks sensorik, maka pasien mengalami
gejala gejala sensorik termasuk baal, sensasi seperti ada yang merayap, atau
seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik,
karena dikorteks sensorik terdapat beberapa reprsentasi motorik. Gejala autonom
adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, tiba-tiba nyeri perut, rasa tidak enak di
perut, dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia, dan dejavu adalah contoh
gejala psikis pada kejang parsial. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan
ke hemisfer kontralateral disertai hilangnya kesadaran.
Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks ( dahulu dikenal
sebagai kejangpsikomtor atau lobus temporalis ) sering berasal dari lobus
temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi
serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik
yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau
rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang
terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic behavior).
Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda, bertepuk
tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien mungkin
mengalami perasaan khayali berkabut seperti mimpi. Pasien tetap sadar selama
serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi. kejang parsial
kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata.
Agar dapat di mengerti kejang fokal di bagi menjadi fokal sederhana, fokal
kompleks, fokal menjadi umum. Dapat juga di bagi berdasarkan manifestasi klinik
seperti : motorik, sensorik, otonom, emosi, dan memori.
a. Kejang fokal sederhana
Selama serangan anak tetap sadar dan tahu apa yang terjadi/ bisa menceritakan
apa yang dialaminya. Kejang dapat berupa kejang tonik atau tonik-tonik.
6
kejang.
Berdasarkan Gejala:
a) Motorik
Kejang dapat berupa gerakan-gerakan kaku/kelojotan yang mengenai
anggota tubuh atau tubuh satu sisi. Gerakan dapat berawal dari jari
kaki/ tangan, menyebar kelengan/ tungkai kemudian tubuh di satu sisi.
b) Sensorik (Rasa, bau, mengecap, mendengar, raba)
Serangan dapat juga berupa merasakan sensasi tertentu seperti melihat/
mencium/ merasakan/ membau sesuatu atau merasa diri berbeda.
c) Otonom
Tiba-tiba nyeri perut, mual, muntah, rasa tidak enak di perut, berdebardebar, berkeringat, dll
d) Emosi
Tiba-tiba marah atau takut terhadap sesuatu.
e) Memori
Tiba-tiba seperti pernah berada di suatu tempat/ mengalami kejadian
Kejang Generalisata
Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon
serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang
terjadi dikedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang
fokal. Pasientidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami
kejang. Kejang ini muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu.
Terdapat beberapa tipe kejang generalisata antara lain kejang absence, kejang
tonik-klonik, kejang mioklonik,kejang atonik, kejang tonik dan kejang klonik.
Pasien
kehilangan
posisi
berdirinya,
mengalami
gerakan
tonik kemudian klonik, dan inkontenesia urin atau alvi ( atau keduanya ), disertai
disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh
mungkin
berubah.
Fase
ini
berlangsung
beberapa
detik.
Fase
Kejang mioklonik
Gerakkan seperti hentakan pada tangan dan kaki. Orang tua sering melapor
bahwa anak tampak seperti kaget/ tiba-tiba terdapat gerakan-gerakan pada tangan /
kaki. Jika serangan berlangsung hebat, benda apapun yang sedang di pegang anak
terlempar/terjatuh
Kejang atonik
9
10
sindrom epilepsi ini tetap penting, dalam usaha tatalaksana pasien epilesi secara tepat dan
maksimal.
2. Restricted form
E. Acquired epileptic aphasia (Landau-Kleffner syndrome)
F. Temporal lobe epilepsy
G. Frontal lobe epilepsy
H. Post-traumatic epilepsy
I. Other symptomatic epilepsy, focal or generalized, not specified
abnormal yang ditimbulkan oleh letusan yang sinkron dari segolongan neuron
menjauhi badan sel. Depolarisasi yang cukup kuat ini disebut sebagai paroxysmal
depolarization shift (PDS). Keadaan ini sesuai dengan patofisiologi epilepsi kronik pada
manusia, dimana sering ditemukan gelombang-gelombang paku pada EEG pada periode
interiktal.1
Sesuai dengan mekanisme dasar epilepsi, PDS timbul akibat gangguan fungsi
membran sel pada segolongan neuron atau karena input eksitatorik yang meningkat tajam
atau sebaliknya, fungsi inhibitorik yang menurun tajam. Selama periode interiktal pada fokus
tertentu diamati pada studi epilepsi eksperimental pada neokorteks kucing, melalui aplikasi
penicillin secara fokal, terjadi proses depolarisasi yang berkepanjangan yang disertai letupanletupan potensial aksi pada fase tonik, diikuti osilasi membran potensial dan letupan-letupan
potensial aksi yang diselingi dengan silent periode yang khas untuk fase klonik. Silent
periode ini menandakan hyperpolarisasi temporer yang memblok PDS.1
Perubahan patofisiologi yang mendasari proses interiktal menjadi proses iktal dengan
manifestasi kejang epilepsi tidak diketahui dengan pasti. Gangguan stabilitas membran sel
neuron dan pengaruh dari neurotransmitter eksiatatorik atau inhibitorik. Perubahan ini tidak
terjadi hanya pada satu neuron saja tapi melibatkan neuron yang lebih jauh jaraknya melalui
mekanisme sinaps hingga timbullah aktivitas epilepsi pada segolongan neuron (neuronal
network) atau kemudian menyebar ke seluruh permukaan kortek melalui serabut
talamokortikal.1
Sebagaimana proses epilepsi dari saat interiktal menjadi proses iktal yang masih
belum jelas semikian juga pada proses berhentinya suatu aktivitas epilepsi. Kejang akan
berhenti sendiri sesuai dengan aktivitas yang meningkat dari proses inibisi serta bokade
depolarisasi yang ditandai dengan supresi aktivitas EEG postiktal.1
2.6 Patogenesis kejang umum
Pada epilepsi bangkitan kejang umum, kenaikan depalorisasi membran berasal dari
neuron neuron yang berada di daerah garis tengah otak. Secara bersamaan dan dalam waktu
yang singkat keadaan depolarisasi yang panjang ini akan menimbulkan beberapa potensial
aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel dan menyebar ke seluruh bagian
korteks lainnya.
13
kejang mioklonik pada mata dan otot muka, beberapa tonus otot yang hilang serta
automatisme. Jika fase awal dan akhir dari bangkitan ini tidak dapat dibedakan atau pada saat
fase kejang terdapat kejang tonik serta gejala otonom, maka digunakan terminology kejang
atipikal. Kejang atipikal ini biasanya terjadi pada anak dengan retradasi mental seperti
sindrom Lennox-Gastaut.
2. Bangkitan umum klonik
Bangkitan umum klonik ini ditandai dengan adanya gerakan berulang pada otot, dapat
bilateral ataupun unilateral. Gerakan otot ini juga dapat terjadi sinkron ataupun asinkron.
Kejang mioklonik ini dapat bervariasi mulai dari gerakan kecil pada otot muka, lengan atau
tungkai sampai gerakan masif bilateral pada kepala, extremitas dan dada.
3. Bangkitan umum atonik
Pada bangkitan atonik ini ditandai dengan hilangnya tonus otot yang terjadi secara
tiba-tiba Karena hilangnya seluruh tonus otot, para penderita akan jatuh sehingga sering
terjadi cedera.
2.7Patogenesis kejang parsial
Pada kejang parsial ini cetusan listrik yang abnormal berasal dari area tertentu pada korteks.
15
menyenangkan, nyeri ringan samapai rasa panas pada wajah dan extremitas kontralateral dari
lesi. Pada lesi epileptogenik yang terjadi pada lobus frontal dapat menimbulkan kejang pada
mata, kepala dan leher kontralateral serta gerakan fleksi dan ekstensi pada bahu. Lesi
epiletogenik yang terjadi di daerah temporal dapat menimbulkan gangguan pada fungsi lobus
temporal seperti memori, daya pembau dan mengecap.
16
2.8 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform
pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai
berikut:
1. Anamnesis (auto dan alo-anamnesis)
a. Pola/bentuk bangkitan
b. Lama bangkitan
c. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan
d. Frekuensi bangkitan
e. Faktor pencetus
f. Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
h. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran dan perkembangan
bayi/anak
i. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik
17
Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alcohol atau
obat terlarang, dan kanker.
3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti-bukti klinik dan/atau indikasi,
serta bila keadaan memungkinkan untuk pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi
fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi
reflex). Bila EEG pertama menunjukkan hasil normal sedangkan persangkaan
epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam
setelah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus.
Indikasi pemeriksaan EEG:
-
18
b.
sinkope
c.
Migren
d.
Bangkitan psikogenik/konversi
e.
Prolonged QT syndrome
f.
Night terror
g.
Tic
h.
Hypersianotic attack
3. Pada dewasa
a. Sinkope
b. Serangan iskemik sepintas
c. Vertigo
d. Transient global amnesia
e. Narkolepsi
19
2.10 Tatalaksana
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, sesuai
dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.
Prinsip terapi farmakologi:
1. OAE mulai diberikan bila:
a.
b.
c.
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE, interaksi
antarobat epilepsi.
Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan
Jenis Bangkitan
OAE
Lini OAE
yang
20
Pertama
Kedua
dapat
sebaiknya
dipertimbangka
dihindari
n
Bangkitan
umum
Sodium
tonik Valproate
klonik
Lamotrigine
Clobazam
Clonazepam
Levetiracetam
Phenobarbital
Oxcarbazepine
Phenytoin
Topiramate
Acetazolamide
Carbamazepin
e
Bangkitan lena
Sodium
Valproate
Clobazam
Carbamazepine
Topiramate
Gabapentin
Lamotrigine
Bangkitan
Sodium
mioklonik
Valproate
Topiramate
Oxcarbazepine
Clobazam
Carbamazepine
Topiramate
Gabapentin
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Lamotrigine
Piracetam
Bangkitan tonik
Sodium
Valproate
Lamotrigine
Bangkitan
Sodium
atonik
Valproate
Lamotrigine
Clobazam
Phenobarbital
Carbamazepine
Levetiracetam
Phenytoin
Oxcarbazepine
Clobazam
Phenobarbital
Carbamazepine
Levetiracetam
Acetazolamide
Oxcarbazepine
Topiramate
Topiramate
Phenytoin
Clobazam
Clonazepam
Gabapentin
Phenobarbital
21
Oxcarbazepine
Levetiracetam
Sodium
Phenytoin
Valproate
Acetazolamide
Tiagabine
Topiramate
Lamotrigine
Efek Samping
Terkait Dosis
Carbamazepine
Idiosinkrasi
mengantuk,
hiponatremia
Phenytoin
Nistagmus,
morbiliform,
Tremor,
dyspepsia,
berat
badan
mual,
hepatotoksik, teratogenik
kebotakan, teratogenik
Phenobarbital
ensefalopati,
udem perifer
hiperkinesia
Kelelahan,
dizziness,
sedasi,
agresi
hepatotoksik,
(anak), changes,
irritability (anak)
Clonazepam
contracture,
arthritic
Dupuytrens
contracture, teratogenik
mengantuk, Ruam, trombositopenia
(anak),
hiperkinesia (anak)
22
Obat
anti
epilepsy
untuk anak
23
Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah lama mengkonsumsi OAE
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
1. Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dosis semula, setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6 bulan.
d.
2. Kekambuhan setelah penghentian OAE lebih besar kemungkinannya pada keadaan sebagai
berikut:
a.
b.
Epilepsi simtomatik
c.
d.
e.
f.
g.
h.
3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan
selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan
dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.
25