Anda di halaman 1dari 15

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS
EKONOMI SYARIAH

Antamasata
Muhammad Ridha Jihad
Nanda Saputri
Sri Mulyani

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM SARJANA
DEPOK
2016

EKONOMI SYARIAH

A. Riba dan Pelarangannya


Pelarangan riba dalam islam ada 5 tahapan yaitu:
1. Menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahir-nya seolah-olah menolong
mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati taqarrub kepada Allah
SWT.
Al Quran Surat Ar Ruum ayat 39 :
dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta
manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
2. Digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam akan memberi balasan
yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Al Quran surat An Nisaa ayat 160 :
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
Al Quran surat An Nisaa ayat 161 :
dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
3. Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para
ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat cukup tinggi
merupakan fenomena yang banyak dipraktekan, Surat Ali Imran ayat 130. Ayat ini
harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari
terjadinya riba karena ini merupakan siafat umum dari pembungaan uang pada saat
ini
Al Quran surat Ali Imran ayat 130 :

EKONOMI SYARIAH

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa
Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam
nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang
meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti
penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam
ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman
jahiliyah.
4. Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari
pinjaman.
Al Quran Surat Al Baqarah ayat 275 :
orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Maksud Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran
lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang
menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan
padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda
yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Maksud penyakit gila adalah orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya
seperti orang kemasukan syaitan. Maksud dahulu adalah Riba yang sudah diambil (dipungut)
sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

EKONOMI SYARIAH

Al Quran Surat Al Baqarah ayat 276 :


Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai
Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa
Yang dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah memusnahkan harta itu atau
meniadakan berkahnya. dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah
memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan
berkahnya.
Yang dimaksud selalu berbuat dosa ialah orang-orang yang menghalalkan Riba dan
tetap melakukannya.
5. Allah mengancam dengan cara menyuruh para Rasul-Nya untuk memerangi apabila
tidak meninggalkan riba walaupun hanya sisanya saja tetapi Allah juga akan
memngampuninya apabila mereka mau bertobat, hal ini diterangkan dalam surat Al
Baqarah ayat 278-279 dan HR Muslim
Al Quran Surat Al Baqarah ayat 278 :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Al Quran Surat Al Baqarah ayat 279 :
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
B. Zakat Dalam Islam
Zakat adalah salah satu rukun islam dan merupakan kewajiban umat islam. Dengan
adanya penerapan zakat maka pendapatan masyarakat akan merata dikarenakan masyarakat
yang memiliki harta berlebih akan menyumbangkan hartanya ke masyarakat yang belum
berkecukupan. Pengeluaran zakat dilakukan dengan cara cara dan syarat syarat tertentu
baik mengenai jumlah maupun mengenai waktu dan kadarnya.
Dengan diterapkannya zakat maka akan terjadi keadaan sebagai berikut:
- Penerapan zakat atas aset yang kurang atau bahkan tidak produktif berpengaruh pada
peningkatan konsumsi maupun investasi

EKONOMI SYARIAH

- Dengan peningkatan konsumsi masing indivisu maka akan menimbulkan kenaikan


konsumsi secara nasional.
Zakat memiliki banyak manfaat terhadap banyak golongan di kalangan masyarakat.
Berikut adalah fungis zakat terhadap beberapa golongan di kalangan masyarakat:
Bagi golongan fakir, zakat merupakan pendapatannya dalam memenuhi kebutuhannya
Bagi golongan miskin, zakat merupakan pendapatannya dalam memenuhi kebutuhannya
Bagi golongan ibnussabil, zakat menjadi pendapatan utamanya dalam memenuhi
kebutuhannya
Bagi golongan fisabilillah, zakat menjadi pendapatan keluarganya dalam memenuhi
kebutuhan mereka
Bagi golongan muallaf, zakat menjadi pendapatan utama yang dapat meneguhkannya
Bagi golongan amil, zakat menjadi pendapatannya dalam memenuhi kebutuhannya
Bagi golongan gharimin, zakat menjadi pendapatan untuk membayar hutangnya
Bagi hamba sahaya, zakat menjadi pendapatan untuk harga tebusan dirinya
Zakat dapat mengubah fungsi konsumsi yang terjadi didalam masyarakat, menurut
Keynesian, fungsi konsumsi dirumuskan sebagai berikut:
C = a + bY
C adalah tingkat konsumsi
a adalah konsumsi rumah tangga ketika pendapatan nasional adalah 0
b adalah kecondongan konsumsi marginal
Y adalah tingkat pendapatan nasional
Namun setelah diterapkannya pajak maka menurut jurnal yang ditulis oleh Munawar
Iqbal dalam Zakah, Moderation and Aggregate Concumption in An Islamic Economy maka
fungsi konsumsi akan menjadi:
C = a + b[BY Y] + (1 )Y + Y
BY

adalah pendapatan dari pihak yang melakukan zakat

(1 )Y

adalah pihak kedua

adalah jumlah zakat yang dibayarkan

EKONOMI SYARIAH

C. Hubungan Zakat, Riba, dan Konsumsi


Seperti yang kita pelajari sebelumnya, bahwa teori konsumsi lahir karena adanya
teori permintaan akan barang dan jasa. Sedangkan permintaan akan barang dan jasa timbul
karena adanya keinginan (want) dan kebutuhan (need) oleh konsumen riil maupun konsumen
potensial. Dalam ekonomi konvensial motor penggerak kegiatan konsumsi adalah adanya
keinginan.
Al Shatibi, yang mengutip pendapat Al Ghazali, menyebutkan 5 kebutuhan asar yang
sangat bermanfaat bai keidupan manusia, yaitu:
1.

Kebenaran (faith, ad dien)

2.

Kehidupan (life, an nas)

3.

Harta material (property, al mal)

4.

Ilmu pengetahuan (science, al aql, al ilmu)

5.

Kelangsungan keturunan (postery, an nasl)


Motif ekonomi adalah alasan ataupun tujuan seseorang sehingga seseorang itu

melakukan tindakan ekonomi.


tujuan manusia mengkonsumsi sesuatu yaitu :
a.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup

b.

Mempertahankan status sosial

c.

Mempertahankan status keturunan

d.

Mendapatkan kesimbangan hidup

e.

Memberikan bantuan kepada orang lain (tujuan sosial)

f.

Menjaga keamanan dan kesehatan

g.

Keindahan dan seni

h.

Memuaskan batin

i.

Demonstration effect (keinginan untuk meniru)

Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
EKONOMI SYARIAH

a. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini
mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk
akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada
konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption
(karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi
adalah present consumption.
b. Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama
Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi
moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran
dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan
kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi
kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
c. Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan
sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta
merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan
dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265)
Dampak yang dapat dianalisa dari penerapan zakat dan larangan riba pada konsumsi
dan tabungan antara lain:
a) Zakat dikenakan atas total pendapatan atau harta yang menganggur (idle capacity)
yang kurang atau tidak produktif bagi seorang muzakky. Hal ini berdampak pada
peningkatan nilai konsumsi dan penurunan nilai tabungan.
b) Pelarangan praktek riba dalam setiap transaksi ekonomi juga akan berdampak pada
berkurangnya jumlah konsumsi yang dibiayai oleh bunga tapi hanya bersifat
sementara karena dialihkan kebentuk konsumsi lain.
c) Penerapan zakat bagi mustahiq akan berdampak pada peningkatan pendapatan dari
perolehan zakat, sehingga peningkatan ini akan mempengruhi pula pada peningkatan
konsumsi mereka, dan bahkan dapat dikatakan meningkatkan tabungan mereka.
D. Pengertian Konsumsi dalam Ekonomi Islam
Konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan. Kebutuhan
konsumen yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumnya merupakan insentif pokok

EKONOMI SYARIAH

bagi kegiatan kegiatan ekoniminya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap
pendapatannya tetapi juga memberi insentif untuk meningkatkannya. Hal ini berarti
pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting dan hanya para ahli ekonomi yang
mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami dan menjelaskan prinsip produksi dan
konsumsi. Perbedaan antara ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi
terletak pada cara pendekatan dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui
kegemaran materialistis semata mata dan pola konsumsi modern. Islam berusaha
mengurangi kebutuhan material manusia yang luar biasa sekarang ini.

Prinsip ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewahmewah, tidak berusaha pada kerja-kerja yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba,
merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan syariat Islam yang menjadi rujukan dalam
pengembangan sistem ekonomi Islam. Nilai-nilai moral tidak hanya bertumpu pada aktifitas
individu tapi juga pada interaksi secara kolektif, bahkan keterkaitan antara individu dan
kolektif tidak bisa didikotomikan. Individu dan kolektif menjadi keniscayaan nilai yang harus
selalu hadir dalam pengembangan sistem, terlebih lagi ada kecenderungan nilai moral dan
praktek yang mendahulukan kepentingan kolektif dibandingkan kepentingan individual.
Preferensi ekonomi baik individu dan kolektif dari ekonomi Islam akhirnya memiliki
karakternya sendiri dengan bentuk aktifitasnya yang khas. Dan prinsip-prinsip dasar ekonomi
Islam, ada tiga aspek adalah ketauhidan, khilafah dan Keadilan.
Tiga prinsip tersebut tidak bisa dipisahkan, dikarenakan saling berkaitan untuk
terciptanya perekonomian yang baik dan stabil. Dalam pendekatan ekonomi Islam, konsumsi
adalah permintaan sedangkan produksi adalah penawaran atau penyediaan. Perbedaan ilmu
ekonomi konvensional dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara
pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran
materialistis semata-mata dari pola konsumsi konvensional. Islam adalah agama yang
ajarannya mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat
melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan
hidupnya.

EKONOMI SYARIAH

Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Quran dan asSunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan alQuran dan as-Sunnah ini akan
membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya. Syariat Islam
menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam Shatibi
menggunakan istilah maslahah, yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan
dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan sifat atau kemampuan
barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan-tujuan dasar dari kehidupan
manusia di muka bumi ini. Menurut Imam Al-Ghazali mengatakan ada lima kebutuhan dasar
yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan kesejahteraan masyarakat tergantung
pada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan, yaitu: a. Kehidupan atau jiwa (al nafs), b.
Properti atau harta (al-mal), c. Keyakinan (al-din), d. Intelektual (al-aql), .
Keluarga atau keturunan (al-nasl). Untuk menjaga kontinuitas kehidupan, maka
manusia harus memelihara keturunannya (al-nasl/posterity). Meskipun seorang muslim
meyakini bahwa horizon waktu kehidupan tidak hanya menyangkut kehidupan dunia
melainkan hingga akhirat, tetapi kelangsungan kehidupan dunia amatlah penting. Kita harus
berorientasi jangka panjang dalam merencanakan kehidupan dunia, tentu saja dengan tetap
berfokus kepada kehidupan akhirat. Oleh karenanya, kelangsungan keturunan dan
keberlanjutan dari generasi ke generasi harus diperhatikan. Ini merupakan suatu kebutuhan
yang amat penting bagi eksistensi manusia.
Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima
elemen tersebut pada setiap individu, itulah yang disebut dengan maslahah. Aktivitas
ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut
harus dikerjakan sebagai religious duty atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di
dunia saja tetapi juga kesejahteraan diakhirat (falah). Semua aktivitas tersebut memiliki
maslahah bagi umat manusia disebut needs (kebutuhan), dan semua kebutuhan itu harus
terpenuhi. Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kebutuhan/keinginan adalah tujuan
dari aktivitas ekonomi Islam, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban
dalam beragama. Telah disebutkan sebelumnya bahwa tujuan konsumsi seorang muslim
bukanlah mencari utility, melainkan mencari maslahah. Antara konsep utility dan maslahah
sangat berbeda dan bertolak.
Hendri Anto ada empat hal yang membedakan antara utility dan maslahah.

EKONOMI SYARIAH

1. Maslahah relatif objektif karena bertolak pada pemenuhan need, karena need
ditentukan berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan positif. Sedangkan dalam
utilitas orang mendasarkan pada kriteria yang bersifat subjektif karenanya dapat
berbeda diantara orang satu dengan orang lain.
2. 2. Maslahah individual akan relatif konsisten dengan maslahah sosial, sementara
utilitas individu sangat mungkin berbeda dengan utilitas sosial. Hal ini terjadai karena
dasar penentuannya yaang lebih objektif sehingga lebih mudah dibandingkan,
dianalisis dan disesuaikan antara satu orang dengan orang lain, antara individu dan
sosial.
3. Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi yaitu produsen,
konsumen dan distributor, maka arah pembangunan ekonomi akan menuju pada titik
yang sama yaitu peningkatan kesejahteraan hidup ini akan berbeda dengan utilitas,
dimana konsumen akan mengukurnya dari pemenuhan want-nya, sementara produsen
dan

distributor

yang

mengukur

dengan

mengedepankan

keuntungan

yang

diperolehnya.
4. Maslahah merupakan konsep yang lebih terukur (accountable) dan dapat
diperbandingkan (comparable) sehingga lebih mudah disusun prioritas dan
pentahapan dalam pemenuhannya. Hal ini akan mempermudah perencanaan alokasi
anggaran serta pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Sebaliknya, untuk
mengukur tingkat utilitas dan membandingkannya antara satu orang dengan orang lain
tidaklah mudah karena bersifat relatif.
Sementara itu, Hendrianto menyebutkan dalam bukunya al-Ghazali berpendapat
bahwa maslahah dari sesuatu itu harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu: a. Jelas dan faktual
(objektif, terukur dan nyata) b. Bersifat produktif c. Tidak menimbulkan konflik keuntungan
diantara swasta dan pemerintah d. Tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat
E. Model Keseimbangan Konsumsi Islam
Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islamdidasarkan pada prinsip keadilan
distribusi. Jika tuan A mengalokasikan pendapatannya setahun hanya untuk kebutuhan materi,
dia tidak berlaku adil karena ada pos yang nbelum dibelanjakan, yaitu konsumsi sosial. Jika
demikian, sesungguhnya dia hanya bertindak untuk jalannya diakhirat nanti.

EKONOMI SYARIAH

Secara sederhana Metwally (1995: 26-23) telah memberikan kontribusi yang sangat
berarti dalam perumusan keseimbangan konsumsi Islami.
Dimana :
S : Sedekah
H : Harga barang dan jasa
BR : Barang
JS : Jasa
Z : Zakat (25%)
P : Jumlah pendapatan
Batasan Konsumsi Dalam Syariah Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan
dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan
memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yang
dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap sikap terhadap sesama manusia,
sumberdaya, dan ekologi. Keimanan sangat mempengaruhi sifat kuantitas, dan kulitas
konsumsi baik dalam bentuk kepuasan materil maupun spiritual. Dalam konteks inilah kita
dapat berbicara tentang bentuk bentuk halal dan haram, pelarangan terhadapisraf,
pelarangan terhadap bermewah mewahan dan bermegah megahan, konsumsi sosial, dan
aspek aspek normatif lainnya. Kita melihat batasan konsumsi dalam Islam sebagaimana
diurai dalam Alquran surah Al-Baqarah [2]: 168 -169 :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang
nyata bagi kamu. Sesungguhnya setan hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan
mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. Sedangkan untuk batasan terhadap
minuman merujuk pada firman Allah dalam al quran surah Al-Maidah[5] : 90 :
Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya (minuman khamer, berjudi
(berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan perbuatan itu agar kamu beruntung.
F. Fungsi Konsumsi Secara Makroekonomi

EKONOMI SYARIAH

Dalam ekonomi Islam semua aktivitas manusia yang bertujuan untuk kebaikan
merupakan ibadah, termasuk konsumsi. Karena itu menurut Yusuf Qardhawi (1997), dalam
melakukan konsumsi, maka konsumsi tersebut harus dilakukan pada barang yang halal dan
baik

dengan

cara

berhemat (saving), berinfak

(mashlahat)

serta

men-

jauhi judi, khamar,gharar dan spekulasi. Ini berarti bahwa prilaku konsumsi yang dilakukan
manusia (terutama Muslim) harus menjauhi kemegahan, kemewahan, kemubadziran dan
menghindari hutang. Konsumsi yang halal itu adalah konsumsi terhadap barang yang halal,
dengan proses yang halal dan cara yang halal, sehingga akan diperoleh man-faat dan berkah.
Parameter kepuasan seseorang (terutama Muslim) dalam hal konsumsi tentu saja
parameter dari definisi manusia terbaik yang mempunyai keimanan yang tinggi, yaitu
memberikan kemanfaatan bagi lingkungan. Manfaat lingkungan ini merupakan amal shaleh.
Artinya dengan mengkonsumsi barang dan jasa selain mendapat manfaat dan berkah untuk
pribadi juga lingkungan tetap terjaga dengan baik bukan sebaliknya. Lingkungan disini
menyangkut masyarakat dan alam. Menyangkut masya-rakat, maka setiap Muslim dalam
mengkonsumsi tidak hanya memperhatikan kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan
orang lain tetangga, anak yatim dan lain sebagainya.
Mengkonsumsi barang dan jasa merupakan asumsi yang given karena sekedar
ditujukan untuk dapat hidup dan beraktifitas. Maksudnya bahwa konsumsi dilakukan agar
manusia tetap hidup, bukan hidup untuk meng-konsumsi. Dalam memenuhi tuntutan
konsumsi, setiap orang diminta untuk tetap menjaga adab-adab Islam dan melihat
pengaruhnya terhadap kesejahteraan masa depan.
Islam melarang umatnya melakukan konsumsi secara berlebihan. Sebab konsumsi
diluar dari tingkat kebutuhan adalah pemborosan. Pemborosan adalah perbuatan yang sia-sia
dan menguras sumber daya alam secara tidak terkendali. Sebagai contoh, apabila prilaku
konsumsi seseorang bersifat boros, misalnya saja pada saat makan seseorang masih
menyisakan makanannya sekitar 15% dari yang dikonsumsinya. Sisa tersebut dianggap setara
dengan 5 gram beras dan jika dari 6,5 milyar penduduk dunia ternyata 5% saja melakukan hal
yang demikian, maka sisa makanan yang terbuang sia-sia per hari nya yaitu sekitar 5 gram x
2 kali makan sehari x (0,05 x 3,25 milyar) = 16.250 ton beras. Artinya makanan yang
terbuang sia-sia per hari adalah 16.250 ton dan dalam setahun sebanyak 5,850 juta ton setara
beras. Selain itu berapa banyak tenaga yang terbuang sia-sia, termasuk energi lain yang

EKONOMI SYARIAH

dibutuhkan untuk memproduksi makan yang terbuang tadi. Dengan demikian jelas bahwa
pemborosan akan mempercepat kehancuran bumi ini.
Seorang muslim sejati, meskipun memiliki sejumlah harta, ia tidak akan
memanfaatkannya sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat harta diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat yang membutuhkan
(miskin) sesuai dengan aturan syariah yaitu melalui Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf
(ZISWA). Masyarakat yang tidak berpunya atau miskin berhak untuk menerima ZISWA
tersebut sebagai bentuk distribusi kekayaan. Intinya bahwa tingkat konsumsi seseorang itu
(terutama Muslim) didasarkan pada tingkat pendaapatan dan keimanan. Semakin tinggi
pendapatan dan keimanan sesorang maka semakin tinggi pengeluarannya untuk hal-hal
yang bernilai ibadah sedangkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak akan
banyak pertambahannya bahkan cenderung turun.
Gambar 1. Kurva Konsumsi Islami

Karena itu, konsumsi dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut :


Konsumsi = Maslahah = Manfaat + Berkah
Dengan mengkonsumsi sesuatu, maka diharapkan akan didapat manfaat, yang dapat
dirinci sebagai berikut:
1.

Manfaat material, seperti murah, kaya, dan lainnya.

2.

Manfaat fisik/psikis meliputi rasa aman, sehat, nyaman dan lain sebagainya.

EKONOMI SYARIAH

3.

Manfaat intelektual, seperti informasi, pengetahuan dan lainnya.

4.

Manfaat lingkungan, eksternalitas positif.

5.

Manfaat secara inter-generational dan antar-generationnal, yaitu adanya kelestarian,


bermanfaat untuk keturunan dan generasi yang akan datang.
Sedangkan berkah yang diharapkan didapat dari aktivitas konsumsi tersebut yaitu:

1.

Kehalalan barang dan jasa yang dikonsumsi.

2.

Idak Israf artinya memberikan kegunaan bagi yang mengkonsumsinya maupun bagi
yang lainnya

3.

Mendapat Ridho Allah.


Dalam perekonomian Islam dimana zakat diterapkan, maka MPC dan APC akan lebih
tinggi, dibandingkan perekonomian konvensional.. Hal ini dikarenakan, kelompok
masyarakat wajib zakat (muzakki) akan mentransfer sejumlah pendapatan mereka ke
kelompok masyarakat penerima zakat (mustahiq). Dengan asumsi bahwa MPC mustahiq
lebih tinggi dibandingkan dengan MPC muzakki, maka APC akan meningkat dan konsumsi
agregat perekonomian Islam akan lebih tinggi dari perekonomian konvensional.
Dalam perekonomian Islam dimana terdapat larangan israf (berlebihlebihan) dan
tabzhir (pemborosan), maka MPC dan APC akan lebih rendah dibandingkan dengan
perekonomian konvensional. Lebih jauh lagi, Islam melarang konsumsi barang-barang
tertentu. Dengan demikian, dampak moderasi ini secara jelas berlawanan arah dengan
dampak zakat. Karena itu dampak akhirnya terhadap konsumsi akan ditentukan oleh kekuatan
relatif dari masingmasing determinan ini
Rumus Konsumsi Dalam Islam
C = a + b (Y Y) + [(1 )Y + Y] + t
C adalah fungsi konsumsi yang merupakan fungsi dari pendapatan muzakki (orang
yang membayar zakat) dan mustahik (orang yang menerima zakat). Pendapatan muzakki
ditunjukkan pada persamaan (Y Y), dimana pendapatan muzakki bersih adalah
pendapatan muzakki (Y) dikurangi dengan zakat (Y). Pendapatan mustahik ditunjukkan
pada persamaan [(1 )Y + Y], dimana pendapatan mustahik bersih adalah pendapatannya

EKONOMI SYARIAH

[(1 )Y] ditambah dengan zakat (Y) yang diterima. Zakat dalam persamaan ini
diperlakukan sebagai pengeluaran konsumsi Sehingga:
Y = a + b (Y Y) + [(1 )Y + Y] + Io + Go + t
Y = a + bY bY + (1 )Y Y + Io + Go + t
Y Y ( b ( + ) [(1 ) + ]) = a + Io + Go + t
Bila diasumsikan A = a + Io + Go + t
Maka : Y ( 1 [ b ( + ) [ (1 ) + ] = A
Efek Multiplier Konsumsi Dalam Islam
diasumsikan bahwa:
Z1 = b( + )
Z2 = [ (1 ) + ]
Maka, multiplier terhadap perekonomian adalah:
1/(1-Z1-Z2)
Yang mana Z1 adalah kecenderungan konsumsi kaum muzakki dan Z2 adalah kecenderungan
konsumsi kaum mustahik

EKONOMI SYARIAH

Anda mungkin juga menyukai