1
Lahan suboptimal merupakan lahan dengan tanah yang mempunyai sifat-sifat fisika,
kimia, dan biologi yang tidak optimal atau kesuburan yang rendah untuk pertumbuhan tanaman.
Lahan suboptimal meliputi lahan kering, lahan kering masam, lahan di bawah tegakan, lahan
rawa, lahan pasang surut, dan lahan salin. Optimalisasi lahan suboptimal merupakan tantangan
yang perlu diatasi, karena banyak kendala yang akan dihadapi. Kendala tersebut antara lain,
terkait dengan kepemilikan lahan, ketersediaan sarana dan prasarana untuk budidaya pertanian,
pertenakan, perikanan, cekaman lingkungan fisik (abiotik) dan biotik (OPT, organism
pengganggu tanaman), dan ketersediaan sumberdaya manusia yang belum memadai (Manuwoto,
2013).
Mnuwoto, S. 2013. Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional. Seminar Nasional Lahan Suboptimal. PUR-PLSO
Universitas Sriwijaya.
kemampuan partikel tanah menahan air dan kemampuan akar untuk menyerapnya (Jumin, 1992
dalam Tondais, dkk., 2010).
Persediaan air yang tidak memadai merupakan pembatas utama pertumbuhan tanaman
(Ludlow,1993 dalam Tondais, dkk., 2010). Tingkat kerugian yang dialami oleh tanaman akibat
kekeringan tergantung pada beberapa faktor, antara lain pada saat tanaman mengalami
kekurangan air, intensitas kekurangan air dan lamanya kekurangan air (Nio dan Kandou, 2000).
Respons yang pertama kali dapat diamati pada tanaman yang kekurangan air ialah penurunan
conductance yang disebabkan oleh berkurangnya tekanan turgor. Hal ini mengakibatkan laju
transpirasi berkurang, dehidrasi jaringan dan pertumbuhan organ menjadi lambat, sehingga luas
daun yang terbentuk saat kekeringan lebih kecil. Kekeringan pada tanaman dapat menyebabkan
menutupnya stomata, sehingga mengurangi pengambilan CO2 dan menurunkan berat kering
(Lawlor, 1993; Samaatmadja et al., 1985 dalam Tondais, dkk., 2010).
Lingkungan suboptimal lainnya dari contoh diatas ialah pada lingkungan yang kandungan
tanahnya atau media tumbuh tergolong salin. Menurut Yamasitha, dkk. (1997) dalam Yuniati
(2004), pada kondisi salin, pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat karena
akumulasi berlebihan Na dan Cl dalam sitoplasma, menyebabkan perubahan metabolisme di
dalam sel. Aktivitas enzim terhambat oleh garam. Kondisi tersebut juga mengakibatkan dehidrasi
parsial sel dan hilangnya turgor sel karena berkurangnya potensial air di dalam sel. Berlebihnya
Na dan Cl ekstraselular juga mempengaruhi asimilasi nitrogen karena tampaknya langsung
menghambat penyerapan nitrat (NO3) yang merupakan ion penting untuk pertumbuhan
tanaman .
Nio, S.A., F.E.F. Kandou. 2000. Respons Pertumbuhan Padi (Oryza sativa L.) Sawah dan
Gogo pada Fase Vegetatif Awal terhadap Cekaman Kekeringan. Eugenia 6:270-273.
Tondais, M., S. dkk. 2010. Evaluasi Indikator Toleransi Cekaman Kekeringan Pada Fase
Perkecambahan Padi (Oryza sativa L.). Jurnal Biologi 14(1); 50-54. Program Studi Biologi
FMIPA. Universitas Sam Ratulangi Manado.
Jawaban no. 2
Salinitas didefinisikan sebagai adanya garam terlarut dalam konsentrasi yang berlebihan
dalam larutan tanah. Satuan pengukuran salinitas adalah konduktivitas elektrik yang
dilambangkan dengan decisiemens/m pada suhu 25C. Pengaruh utama salinitas adalah
berkurangnya pertumbuhan daun yang langsung mengakibatkan berkurangnya fotosintesis
tanaman. Salinitas mengurangi pertumbuhan dan hasil tanaman pertanian penting dan pada
kondisi terburuk dapat menyebabkan terjadinya gagal panen (Yuniati, 2004). Studi mengenai
respon tanaman terhadap salinitas penting dalam usaha teknik penapisan (screening) tanaman
yang efektif. Salinitas mempengaruhi proses fisiologis yang berbeda-beda. Pada tanaman
pertanian seperti jagung, kacang merah, kacang polong, tomat dan bunga matahari, pertumbuhan
dan berat kering mengalami penurunan jika tanaman ditumbuhkan dalam media salin. Pada
kacang merah, pelebaran daun terhambat oleh cekaman salinitas karena berkurangnya tekanan
turgor sel. Berkurangnya pelebaran daun dapat berakibat berkurangnya fotosintesis maupun
produktivitas.
Tanaman yang diberi perlakuan salinitas dengan NaCl, memperlihatkan gejala yang amat
mencolok (bukan hanya terjadi pada akar) tetapi disertai dengan mengeringnya titik tumbuh
yaitu pucuk tunas pada hari kelima setelah perlakuan diberikan. Selain itu semua perlakuan di
atas konsentrasi 70 mM konstan mengurangi tinggi kecambah dibanding dengan kontrol.
Menurut Cheeseman (1988) dalam Yuniati (2004), konsentrasi NaCl yang tinggi sangat
mengurangi pertumbuhan, baik tunas maupun akar. Meskipun keracunan NaCl lebih terlihat pada
pucuk, tetap terjadi pengurangan panjang akar akibat perlakuan. Hal tersebut disebabkan karena
sel-sel meristem akar sensitif terhadap garam sementara aktivitas mitosis sel-sel tersebut sangat
tinggi untuk pertumbuhan akar. Mekanisme selular kerusakan akibat keracunan garam (salt
injury) pada akar belum banyak diketahui.
Menurut Katsuhara, dkk. (1996) dalam Yuniati (2004), ada dua alasan yang mungkin
mendasari terjadinya pengurangan pertumbuhan akar dalam kondisi cekaman garam. Pertama
adalah hilangnya tekanan turgor untuk pertumbuhan sel karena potensial osmotik media tumbuh
lebih rendah dibanding potensial osmotik di dalam sel, sedangkan alasan yang kedua adalah
kematian sel. Kematian sel disebabkan karena 4 jam setelah mengalami cekaman garam, inti sel
mengalami perubahan bentuk, dan 16 jam setelah cekaman, inti sel hancur. Analisis biokimia
menemukan bahwa DNA inti mengalami disintegrasi setelah cekaman garam, dan
terfragmentasinya DNA jelas terdeteksi 8 jam setelah cekaman.
Yuniati, R. 2004. Penapisan Galur Kedelai Glycine max (L.) Merril Toleran Terhadap NaCl
Untuk penanaman di lahan Salin. Jurnal Sains 8(1):21-24. Departemen Biologi FMIPA.
Universitas Indonesia. Depok.