Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

OPEN FRACTURE

Oleh:
Denny Emilius, S.Ked
10700229
Pembimbing
dr.Broto Suwadji, Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK SMF ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI


RSUD BANGIL, PASURUAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah memberikan
berbagai kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan REFERAT dengan
judul OPEN FRACTURE .
Penulis terdorong untuk meneliti topik ini oleh karena masalah open
fracture khususnya di daerah kota Bangil, Pasuruan masih banyak dijumpai,
Referat ini berhasil penulis selesaikan karena dukungan dari berbagai pihak. Oleh
sebab itu pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1. dr.Broto Suwadji, Sp.OT . Sebagai pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, arahan, serta dorongan dalam menyelesaikan referat ini.
2. Segenap teman-teman sejawat berserta seluruh staaf khususnya di bagian
SMF BEDAH RSUD BANGIL yang telah banyak membantu meberi
masukan dan dorongan sehingga lebih termotivasi dalam menyelesaikan
referat ini.
3. Semua pihak yang tidak mungkin disebut satu per satu yang telah
membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan segala masukan demi kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya besar harapan penulis agar referat ini dapat bermanfaat bagi semua
dan juga untuk penelitian referat di masa mendatang.
Surabaya, November 2014
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meningkatnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan sistem transportasi,
baik di darat, laut, maupun udara menyebabkan peningkatan jumlah trauma pada
saat ini. Hal ini didukung oleh kegiatan olahraga yang semakin berkembang, baik
yang bersifat rekreasi maupun kompetitif, serta kegiatan perindustrian yang
semakin kompleks sehingga menyebabkan mobilisasi semakin meningkat (Salter,
1999).
Salah satu trauma muskuloskeletal yang menyebabkan morbiditas yang
tinggi adalah patah tulang terbuka. Patah tulang terbuka adalah terputusnya
kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan
oleh trauma, baik trauma langsung ataupun tidak lansung, yang berhubungan
dengan dunia luar atau rongga tubuh yang tidak steril, sehingga mudah terjadi
kontaminasi bakteri dan dapat menyebabkan komplikasi infeksi (Bedah UGM,
2009).
Patah tulang terbuka dapat menyebabkan kerusakan jaringan lunak yang
luas, yang meliputi kerusakan otot, vaskuler, dan syaraf. Kerusakan otot dapat
mengakibatkan komplikasi gas gangren yang bisa berakibat fatal bila tidak
ditangani dengan baik. Kerusakan vaskuler dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan darah yang banyak sehingga terjadi syok. Delayed union dapat terjadi
jika aliran darah yang diperlukan untuk terjadinya menyatuan tulang tidak
memadai (Apley dan Solomon, 2001).
Patah tulang terbuka merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang
orthopaedi yang membutuhkan penanganan secara cepat dan tepat yang mana
bersifat life saving dan life threatening (Koval and Zuckerman, 2006).

1.2 Rumusan Masalah


Referat ini membahas tentang definisi, etiologi, fisiologi, epidemiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosa
fraktur terbuka.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan dan prognosis pada fraktur terbuka.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran
khususnya di bagian Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi.
3. Memenuhi salah satu persayaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Bedah di RSUD Bangil Fakultas Kedokteran Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Memberikan informasi dan menambah referensi mengenai gambaran
umum fraktur terbuka.
2. Mengetahui bagaimana kriteria klinis dan penatalaksanaan pada fraktur
terbuka.
3. Sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut, khususnya yang
berkaitan dengan fraktur terbuka.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Fraktur terbuka adalah putusnya kontinuitas jaringan tulang
dimana

terjadi

kerusakan

kulit

dan

jaringan

dibawahnya

yang

berhubungan langsung dengan dunia luar. Compound fracture merupakan


nama lain dari fraktur terbuka namun istilah tersebut sudah tidak
digunakan lagi (Koval & Zuckerman, 2006).
Berdasarkan gambaran di bidang orthopaedi, definisi fraktur
terbuka adalah suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan
luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri yang menyebabkan
timbulnya komplikasi berupa infeksi atau luka pada kulit, dapat berupa
tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh
karena tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung (Rasjad,
2008).
Cedera jaringan lunak dalam fraktur terbuka mungkin memiliki
tiga konsekuensi penting:
- Kontaminasi dari luka dan patah tulang oleh paparan lingkungan.
- Peremukan, pengelupasan, dan devaskularisasi menyebabkan jaringan
-

lunak rentan terhadap infeksi.


Kerusakan atau kehilangan jaringan lunak dapat mempengaruhi
metode imobilisasi fraktur, membahayakan kontribusi dari jaringan
lunak di atasnya untuk penyembuhan (misalnya, kontribusi sel
osteoprogenitor), dan mengakibatkan hilangnya fungsi dari otot, saraf,
tendon, pembuluh darah , ligamen, atau kerusakan kulit.

B. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Penyebab dari fraktur terbuka adalah trauma langsung berupa
benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut,
5

serta

trauma tidak langsung bilamana titik tumpul benturan dengan

terjadinya fraktur berjauhan. Sedangkan hubungan dengan dunia luar


dapat terjadi karena:
1. Penyebab rudapaksa merusak kulit, jaringan lunak dan tulang.
2. Fragmen tulang merusak jaringan lunak dan menembus kulit.
Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian
korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak mengalami cidera yang dapat
menyebabkan keadaan yang menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan
yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah
cidera yang apabila di tekan atau di gerakan dapat timbul rasa nyeri yang
hebat yang mengakibatkan syok neurogenik. (Mansjoer Arief, 2002),
sementara

kerusakan pada sistem persarafan akan menimbulkan

kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralisis yang menetap pada


fraktur juga terjadi keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah
cidera.
Pada patah tulang, pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah, kedalam jaringan lemak tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan
sisa sisa sel mati di mulai. Di tempat patah terdapat fibrin hematoma
fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala untuk membentukan sel-sel baru.
Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru immatur yang
disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. (Mansjoer Arief,
2002).
Pada fraktur terbuka dapat menyebabkan terjadinya berbagai
macam komplikasi. Komplikasi yang terjadi pada patah tulang terbuka
bisa berupa komplikasi lokalis maupun generalis. Komplikasi langsung
dapat berupa kehilangan darah, shock, fat embolism, dan kegagalan
kardiovaskular. Komplikasi lokalis yang terjadi dapat dibagi menjadi
komplikasi dini yaitu yang terjadi bersamaan dengan terjadinya patah

tulang atau dalam minggu pertama dan komplikasi lambat (Apley dan
Solomon, 2001).
Komplikasi Dini :
1. Lesi Vaskuler
Trauma vaskular dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan
vena. Perdarahan yang tidak terdeteksi atau tidak terkontrol dengan
cepat akan mengarah kepada kematian pasien, atau bila terjadi
iskemia akan berakibat kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan
kegagalan organ multipel.
Keparahan trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya
trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.
Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar,
iskemia, hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai
tanda-tanda syok. Gejala klinis paling sering pada trauma arteri
ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia adalah nyeri
terus-menerus,

parestesia,

paralisis,

pucat,

dan poikilotermia.

Pemeriksaan fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan


auskultasi biasanya cukup untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda
akut iskemia.
Adanya tanda trauma vaskular pada fraktur terbuka merupakan
suatu indikasi harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya
trauma vaskular. Kesulitan untuk mendiagnosis adanya trauma
vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada patah tulang
tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah
adanya defisit neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa
baal dan penurunan kekuatan motoris pada ekstremitas. Aliran darah
yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia sehingga ekstremitas
akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler tidak
menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri
kolateral, namun penting untuk menentukan viabilitas jaringan
(Rasjad, 2008).
Komplikasi yang dapat terjadi karena trauma vaskuler antara
lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena, dan aneurisma
7

palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang


dapat terjadi segera pascaoperasi, sedangkan fistula arteri-vena dan
aneurisma

palsu

merupakan

komplikasi

lama.

Rekomstruksi

pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti


sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau
penatalaksanaan pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat
fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas berupa amputasi, atau
terjadi emboli paru (Apley et al., 2001).
2. Sindroma Kompartemen
Patah tulang pada lengan kaki dapat menimbulkan hebat
sekalipun tidak ada kerusakan pembuluh besar. Perdarahan, edema,
radang, dan infeksi dapat meningkatkan tekanan pada salah satu
kompartemen osteofasia. Terjadi penurunan aliran kapiler yang
mengakibatkan iskemia otot, yang akan menyebabkan edema lebih
jauh, sehingga mengakibatkan tekanan yang lebih besar lagi dan
iskemia yang lebih hebat. Lingkaran setan ini terus berlanjut dan
berakhir dengan nekrosis saraf dan otot dalam kompartemen setelah
kurang lebih 12 jam (Apley dan Solomon, 2001).
Meningkatnya tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena
dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan terus meningkat
hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik
ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan dalam
kompartemen

semakin

meningkat.

Penekanan

saraf

perifer

disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat. Bila terjadi peningkatan


intra kompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah
melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran
oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale).
Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang
akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. Secara
klasik terdapat 5 P yang menggambarkan gejala klinis sindroma
kompartemen, yaitu:
8

a. Pain
b. Paresthesia
c. Pallor
d. Paralysis
e. Pulseness Osteomyelitis Akut
3. . Gas Gangren
Keadaan yang mengerikan ini ditimbulkan oleh infeksi
klostridium, terutama C. welchii. Organisme anaerob ini dapat hidup
dan berkembang biak hanya dalam jaringan dengan tekanan oksigen
yang rendah; karena itu, tempat utama infeksinya adalah luka yang
kotor dengan otot mati yang telah ditutup tanpa debridemen yang
memadai. Toksin yang dihasilkan oleh organisme ini menghancurkan
dinding sel dan dengan cepat mengakibatkan

nekrosis jaringan,

sehingga memudahkan penyebaran penyakit itu (Apley dan Solomon,


2001).
4. Septic Arthritis
Septic arthritis merupakan proses infeksi bakteri piogenik pada
sendi yang jika tidak segera ditangani dapat berlanjut menjadi
kerusakan pada sendi. Artritis septik karena infeksi bakterial
merupakan penyakit yang serius yang cepat merusak kartilago hyalin
artikular dan kehilangan fungsi sendi yang irreversibel.
Penyebab artritis septik merupakan multifaktorial

dan

tergantung pada interaksi patogen bakteri dan respon imun hospes.


Proses yang terjadi pada sendi alami dapat dibagi pada tiga tahap
yaitu kolonisasi bakteri, terjadinya infeksi, dan induksi respon
inflamasi hospes. Kolonisasi bakteri Sifat tropism jaringan dari
bakteri merupakan hal yang sangat penting untuk terjadinya infeksi
sendi. S.aureus memiliki

reseptor bervariasi

(adhesin) yang

memediasi perlengketan efektif pada jaringan sendi yang bervariasi.


Adhesin ini diatur secara ketat oleh faktor genetik, termasuh regulator
gen asesori (agr), regulator asesori stafilokokus (sar), dan sortase
Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak,
malaise, nyeri lokal pada sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi,
dan penurunan kemampuan ruang lingkup gerak sendi. Sejumlah
9

pasien hanya mengeluh demam ringan saja. Demam dilaporkan 6080% kasus, biasanya demam ringan, dan demam tinggi terjadi pada
30-40% kasus sampai lebih dari 399 C. Nyeri pada artritis septik
khasnya adalah nyeri berat dan terjadi saat istirahat maupun dengan
gerakan aktif maupun pasif.
Evaluasi awal meliputi anamnesis yang detail mencakup faktor
predisposisi, mencari sumber bakterimia yang transien atau menetap
(infeksi

kulit,

pneumonia,

infeksi

saluran

kemih,

adanya

tindakantindakan invasiv, pemakai obat suntik, dll), mengidentifikasi


adanya penyakit sistemik yang mengenai sendi atau adanya trauma
sendi.
5 Osteomielitis Akut
Osteomielitis akut adalah infeksi tulang yang terjadi secara
akut.yang bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui
darah) dari fokus infeksi di tempat lain (misalnya Tonsil yang
terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas atas).
Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi ditempat
di mana terdapat trauma dimana terdapat resistensi rendah
kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80%
infeksi tulang. Organisme patogenik lainnya sering dujumpai pada
osteomielitis meliputi Proteus, Pseudomonas dan Ecerichia coli.
Terdapat peningkatan insiden infeksi resisten penisilin, nosokomial,
gram negatif dan anaerobik. Awitan osteomielitis setelah pembedahan
ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut fulminan stadium
I) dan sering berhubungan dengan penumpukan hematoma atau
infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4
sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama
(stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2
tahun atau lebih setelah pembedahan.
Respons inisial terhadap infeksi

adalah

peningkatan

vaskularisasi dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombosis pada


pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia
10

dengan nekrosis tulang sehubungan dengan peningkatan dan dapat


menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya, kecuali bila
proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan terbentuk abses
tulang (Apley et al., 2001).
Komplikasi Lambat :
1. Penyembuhan Terlambat
Pada patah tulang panjang yang sangat tergeser dapat terjadi
robekan pada periosteum dan terjadi gangguan pada suplai darah
intramedular. Kekurangan suplai darah ini dapat menyebabkan pinggir dari
patah tulang menjadi nekrosis. Nekrosis yang luas akan menghambat
penyembuhan tulang. Kerusakan jaringan lunak dan pelepasan periosteum
juga dapat mengganggu penyembuhan tulang (Apley dan Solomon, 2001).
2. Non-Union
Bila keterlambatan penyembuhan tidak diketahui, meskipun patah
tulang telah diterapi dengan memadai, cenderung terjadi non-union.
Penyebab lain ialah adanya celah yang terlalu lebar dan interposisi
jaringan (Apley dan Solomon, 2001).
3. Malunion
Bila fragmen menyambung pada posisi yang tidak memuaskan,
seperti contoh angulasi, rotasi, atau pemendekan yang tidak dapat
diterima. Penyebabnya adalah tidak tereduksinya patah tulang secara
cukup, kegagalan mempertahankan reduksi ketika terjadi penyembuhan,
atau kolaps yang berangsur-angsur pada tulang yang osteoporotik atau
kominutif (Apley dan Solomon, 2001).
4. Gangguan pertumbuhan
Pada anak-anak, kerusakan pada fisis dapat mengakibatkan
pertumbuhan yang abnormal atau terhambat. Patah tulang melintang pada
lempeng pertumbuhan tidak membawa bencana; patahan menjalar di
sepanjang lapisan hipertrofik dan lapisan berkapur dan tidak pada daerah
germinal maka, asalkan patah tulang ini direduksi dengan tepat, jarang
terdapat gangguan pertumbuhan. Tetapi patah tulang yang memisahkan
bagian epifisi pasti akan melintasi bagian fisis yang sedang tumbuh,
sehingga pertumbuhan selanjutnya dapat asimetris dan ujung tulang
11

berangulasi secara khas; jika seluruh fisis rusak, mungkin terjadi


perlambatan atau penghentian pertumbuhan sama sekali (Apley dan
Solomon, 2001).
Golden periode penanganan fraktur terbuka adalah kurang dari 6-8
jam dikarenakan proses dan pola pertumbuhan bakteri yang terjadi pada
luka fraktur terbukanya. Umumnya jenis bakteri yang sering ditemui pada
luka adalah golongan bakteri Staphylococcus. Staphylococcus aureus yang
patogenik dan yang bersifat invasif menghasilkan koagulase dan
cenderung untuk menghasilkan pigmen kuning dan menjadi hemolitik.
Setelah berjalan 6 jam pasca kejadian fraktur terbuka, bakteri
Stapylococcus aureus dapat mengadakan ikatan secara kimiawi ke dinding
sel-sel yang seharusnya mengalami penyembuhan berupa hematom,
inflamasi dan rekonstruksi. Setelah mengalami ikatan, bakteri ini akan
mengeluarkan

enterotoksin

dan

eksotoksin

yang

akhirnya

dapat

menyebabkan osteomyelitis (Luchette, 2008).


C. KLASIFIKASI
Tujuan dari sistem klasifikasi patah tulang terbuka manapun adalah
untuk mengira keadaan fraktur dan parameter penatalaksanaan (Cross and
Swiontkowski, 2008). Walau banyak sistem klasifikasi untuk patah tulang
terbuka, sistem

klasifikasi Gustillo-Anderson-lah yang paling sering

digunakan di seluruh dunia.

Sistem ini menilai patah tulang terbuka

berdasarkan ukuran luka, derajat kerusakan jaringan lunak dan


kontaminasi, dan derajat fraktur (Gustillo et al, 1990). Hal-hal lain yang
juga diperhatikan antara lain adalah ada atau tidaknya kerusakan pada
saraf, energy transfer (derajat comminution dan periosteal stripping ), dan
wound dimension . Terdapat tiga macam patah tulang terbuka pada sistem
klasifikasi Gustillo-Anderson, dengan derajat yang ke tiga
dalam

tiga

subtype

lagi

berdasarkan

kerusakan

dibagi

ke

periosteal, Ada

tidaknya kontaminasi dan derajat kerusakan pembuluh darah (Gustillo et


al, 1990). Pengklasifikasian patah tulang terbuka menurut GustilloAnderson adalah sebagai berikut:
12

1.

Derajat

I: Luka biasanya

berupa

tusukan

kecil dan

bersih berukuran kurang dari 1 cm. Terdapat tulang yang


muncul dari luka

tersebut.

Sedikit

lunak tanpa adanya crushing


kominutif.

Patah

melintang,

atau

dan

tulang biasanya
oblik

kerusakan

jaringan

patah tulang
berupa

tidak

sederhana,

pendek. Biasanya berupa patah

tulang energi rendah.

Gambar 1: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 1


(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)
2.

Derajat II: Luka lebih besar dari 1 cm, tanpa adanya skin flap
ataupun avulsion. Kerusakan pada jaringan lunak tidak begitu
banyak. Kominusi

dan crushing

injury terjadi

hanya

sedang. Juga terdapat kontaminasi sedang. Bisanya juga


berupa patah tulang energi rendah.

Gambar 2: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 2


(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)
13

3.

Derajat III: Terdapat kerusakan yang luas pada kulit, jaringan


lunak, struktur neurovaskuler, dengan adanya kontaminasi
pada luka. Dapat juga terjadi kehilangan jaringan lunak. Luka
yang berat

dengan

adanya high-energy

tulang dan jaringan


trauma
dan

lunak. Biasanya

kecepatan tinggi sehingga


banyak

tulang

disebabkan

oleh

fraktur tidak stabil

komunisi. Amputasi

segemental

transfer ke

traumatik,

patah

terbuka, luka tembak kecepatan tinggi,

patah tulang terbuka lebih dari 8 jam, patah tulang terbuka


yang memerlukan perbaikan vaskuler juga termasuk
derajat

ini.

derajat

III ini

dibagi

lagi

dalam

menjadi tiga

subtype:
a.

Derajat
ditutupi

IIIA

Tulang

yang

patah

dapat

oleh jaringan lunak, atau terdapat penutup

periosteal yang cukup pada tulang yang patah.

Gambar 3: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3a


(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)
b. Derajat IIIB :
Kerusakan
atau
kehilangan
jaringan

lunak yang

pengelupasan
berat

dari

luas

periosteum
patahan

tulang

disertai

dan komunisi
tersebut.

dengan
yang
Tulang

terekspos dengan kontaminasi yang massif.

14

Gambar 4: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3b


(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)
c.

Derajat

IIIC

: Semua

dengan kerusakan vaskuler


tanpa

patah

tulang

terbuka

yang perlu diberbaiki,

meilhat kerusakan jaringan lunak yang terjadi

(Apley dan Solomon, 2001 dan Gustillo et al, 1990).

Gambar 5: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3c


(http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html)
Klasifikasi ini menjadi sangat penting untuk menentukan
terapi. Klasifikasi

ini

juga

menunjukkan
kontaminasi,

infeksi,

dilihat

dari derajat

jaringan

lunak,

dan tindakan operatif

infeksi

semakin

meningkat

resiko

terjadinya

derajat

kerusakan

pada patah tulang. Resiko

seiring dengan derajat yang terjadi.

Resiko terjadinya infeksi pada derajat I adalah 0-12%, pada derajat II 212%, dan pada derajat III 9-55%. Derajat patah tulang terbuka ini juga
sangat erat kaitannya dengan kejadian amputasi, delayed

union

dan

fungsi

non-union,

ekstermitas.

dan

Penentuan

definitive dilakukan

kecacatan

atau

penurunan

derajat patah tulang

setelah

debridement

yang

terbuka
adekuat

secara
telah

dilakukan (Gustillo et al, 1990).

15

D. DIAGNOSIS
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan
cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan
mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)

Bandingkan dengan bagian yang sehat

Perhatikan posisi anggota gerak

Keadaan umum penderita secara keseluruhan

Ekspresi wajah karena nyeri

Lidah kering atau basah

Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan

Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk

membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka


Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa

hari
Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan

kependekan
Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-

organlain

Perhatikan kondisi mental penderita

Keadaan vaskularisasi
1. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangatnyeri.

Temperatur setempat yang meningkat

Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya


disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang
16

Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan

secara hati-hati
Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai

dengan anggota gerak yang terkena


Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian

distal daerah trauma , temperatur kulit


Pengukuran tungkai terutama pada

tungkai

bawah

untuk

mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai


3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif
dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri
hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar,
disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak
seperti pembuluh darah dan saraf.
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris

serta

gradasi

kelelahan

neurologis,

yaitu

neuropraksia,

aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus


dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi
serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan
lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai yang
bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan
pemeriksaan radiologis.
E. Tahap-Tahap Penanganan Fraktur terbuka.
1. Pembersihan luka

17

Hal ini dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis secara
mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
2. Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridement)
Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah
tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada
kulit,jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmen-fragmen yang
lepas. Debridement adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati
sehingga luka menjadi bersih. Untuk melakukan debridement yang adekuat,
luka lama dapat diperluas, jika diperlukan dapat membentuk irisan yang
berbentuk elips, untuk mengangkat kulit, fasia serta tendon ataupun jaringan
yang sudah mati. Debridement yang adekuat merupakan tahapan

yang

penting untuk pengelolaan. Debridement harus dilakukan sistematis, komplit


serta berulang. Diperlukan cairan yang cukup untuk. fraktur terbuka. Grade I
diperlukan cairan yang bejumlah 1-2 lite , sedangkan grade II dan grade III
diperlukan cairan sebanyak 5-10 liter, menggunakan cairan normal saline.

3. Pengobatan fraktur itu sendiri


Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu traksi skeletal atau
reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. Fraktur grade II dan II
sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.

4. Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai
dari terjadinya kecelakaan),maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini tidak
dilakukan apabila penutupan membuat kulit sangat tegang. Dapat
dilakukan split thickness skin-graft serta pemasangan drainasi isap untuk
mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. Luka dapat
dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. Kulit
dapat ditutup kembali disebut delayed primary closure. Yang perlu
18

mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang


mengakibatkan kulit menjadi tegang.
5. Pemberian antibiotik
Hal ini bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan dalam
dosis yang adekuat sebelum,pada saat dan sesudah tindakan operasi.
Pemberian antibiotika adalah efektif mencegah terjadinya infeksi pada pada
fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan sebaiknya dengan dosis yang besar.
Untuk

fraktur

terbuka

antibiotika

yang

dianjurkan

adalah

golongan

cephalosporin, dan dikombinasi dengan golongan aminoglikosida.

6. Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan
tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan
pemberian toksoid tapi bagi yang belum,dapat diberikan 250 unit tetanus
imunoglobulin (manusia).

F. Perawatan Lanjut dan Rehabilitasi Fraktur


Ada lima tujuan pengobatan fraktur:
1. Menghilangkan nyeri
2. Mendapatkan dan mempertahankan posisi yang memadai dari fragmen
fraktur
3. Mengharapkan dan mengusahakan union
4. Mengembalikan fungsi secara optimal dengan cara mempertahankan
fungsi otot dan sendi,mencegah atrofi otot,adhesi dan kekakuan
sendi,mecegah terjadinya komplikasi seperti dekubitus,trombosis
vena,infeksi saluran kencing serta pembentukan batu ginjal.
5. Mengembalikan fungsi secara maksimal merupakan tujuan akhir
pengobatan fraktur. Sejak awal penderita harus dituntun secara
psikologis untuk membantu penyembuhan dan pemberian fisioterapi
untuk memperkuat otot-otot serta gerakan sendi baik secara isometrik
(latihan aktif statik) pada setiap otot yang berada pada lingkup fraktur
19

serta isotonik yaitu latihan aktif dinamik pada otot-otot tungkai dan
punggung. Diperlukan pula terapi okupasi.

G. PROGNOSIS
Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat. Dengan
terbukanya barier jaringan lunak, maka patah tulang tersebut terancam
untuk terjadinya infeksi. Seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak
patah tulang terbuka, luka yang terjadi masih dalam stadium kontaminasi
(golden periode) dan setelah waktu tersebut, luka berubah menjadi luka
infeksi. Oleh karena itu penanganan patah tulang terbuka harus dilakukan
sebelum golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah
tulang

terbuka

tercapai

walaupun

ditinjau

dari

segi

prioritas

penanganannya, tulang secara primer menempati urutan prioritas ke 6.

BAB III.
KESIMPULAN
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga
timbul komplikasi berupa infeksi. luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang
yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus misalnya
oleh peluru atau trauma langsung.
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan
penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko dan komplikasi dari fraktur
terbuka.. Hubungan dengan dunia luar dapat terjadi karena penyebab rudapaksa
20

merusak kulit, jaringan lunak dan tulang atau fragmen tulang merusak jaringan
lunak dan menembus kulit.
Semua patah

tulang terbuka adalah kasus gawat darurat. Karena itu

penanganan patah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden periode


terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka tercapai.

21

DAFTAR PUSTAKA

Apley A.G., Nagayam S., Solomon L., Warwick D. 2001. Apleys System
of Orthopaedics and Fractures: Arnold
Bedah UGM. (2009).
Fraktur
Terbuka.
Retrieved
http://www.bedahugm.net/tag/fraktur-terbuka/( 3 April 2012).

from

Cross & Swiontkowski. (2008). Treatment Principles in the Management


of Open Fractures. Indian Journal of Orthopaedics. 42(4). 377-386.
Gustillo, R. B., Merkow, R. L., Templeman, D.(1990).The Management of
Open Fractures. The Journal of Bone and Joints Surgery.72A(2).299-304 http://eorif.com/General/Open%20Fx%20Class.html
Koval K.J. and Zuckerman J.D. 2006. Handbook of Fractures, 3rd Ed.
Lippincott: Williams & Wilkins, pp: 20-29
Luchette F.A. 2008. East Practice Management Guidelines Work Group:
Update to Practice Management Guidelines for Prophylactic
Antibiotic Use in Open Fractures, Eastern Association For The
Surgery Of Trauma. Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). Standar
Terapi Rumah Sakit Perjan RSUP. DR. M. Djamil Padang.
Mansjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius, pp: 346-370
Rasjad C. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif
Watampone, pp: 332-334.
Sjamsuhidajat R. and Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
Jakarta: EGC, pp: 840-841

22

Anda mungkin juga menyukai