PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini terjadi peningkatan jumlah kasus trauma meningkat
tajam. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya penggunaan kendaraan
bermotor yang juga diikuti oleh meningkatnya jumlah kecelakaan.
Meningkatnya jumlah kasus trauma menjadikan trauma sebagai penyebab
kematian utama pada kelompok usia muda dan produktif di seluruh dunia.
Angka kematian ini dapat diturunkan melalui upaya pencegahan trauma
dan penanggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin kepada
korbannya. Perlu diingat bahwa penanggulangan trauma bukan hanya
masalah di rumah sakit, tetapi mencakup penanggulangan menyeluruh
yang dimulai di tempat kejadian, dalam perjalanan ke rumah sakit dan di
rumah sakit.1
Foto toraks sebaiknya selalu dilakukan pada penderita dengan
trauma yang mengancam nyawa. Dengan foto toraks, dapat dilihat
pneumotoraks, hematotoraks, fraktur iga, cedera mediastinum dan juga
dapat dilihat cedera pada diafragma. Pada penderita yang syok tanpa tanda
adanya perdarahan diluar, biasanya terjadi perdarahan di daerah fraktur di
dalam toraks atau di abdomen. 1
Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
yang umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan
oleh tikaman dan tembakan. Cedera toraks sering disertai dengan cedera
perut, kepala dan ekstrimitas sehingga merupakan cedera majemuk.2
Cedera dada yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi
jalan nafas, hemotoraks besar, tamponade jantung, pneumotoraks desak,
flail chest, pneumotoraks terbuka, dan kebocoran udara trakeobronkial.
Semua kelainan ini menyebabkan gawat dada atau toraks akut analog
dengan gawat perut, dalam arti diagnosis harus ditegakkan secepat
mungkin dan penanganan dilakukan segera untuk mempertahankan
pernafasan, ventilasi paru dan pendarahan. Sering tindakan yang
diperlukan untuk menyelamatkan penderita bukan merupakan tindakan
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi
Dada berisi organ vital paru dan jantung. Rangka dinding toraks,
yang dinamakan compage thoracis yang dibentuk oleh columna vertebralis
di belakang, costae dan spatium intercostalis di samping dan sternum serta
rawan iga di depan. Di superior toraks, berhubungan dengan leher melalui
aperture thoracis superior dan di inferior dipisahkan dari abdomen oleh
diafragma. Compages thoracis melindungi paru-paru dan jantung dan
merupakan tempat perlekatan untuk otot-otot toraks, ekstrimitas atas,
abdomen dan punggung. Cavitas thoracis dapat dibagi dalam bagian
median yang dinamakan mediastinum, dan bagian lateral yang ditempati
oleh paru-paru dan pleura. Paru-paru diliputi oleh membran tipis yang
dinamakan pleura viseralis yang berjalan dari pangkal masing-masing paru
menuju ke permukaan dalam dinding thoraks yang dinamakan pleura
parietalis. Dengan cara ini terbentuk dua kantong membranosa yang
dinamakan cavitas pleuralis pada setiap pinggir toraks antara paru-paru
dan dinding toraks.3
diafragma
akan
naik
ketika
m.interkostalis
tidak
thoracostomy saja.4
USG
digunakan
untuk
melihat
adanya
efusi
pleura.
tomography
adalah
modalitas
pilihan
untuk
penilaian cepat gawat darurat dada, meskipun dada x-ray (CXR) tetap
merupakan modalitas skrining awal. Sebuah CT scan secara
signifikan lebih mungkin untuk menghasilkan informasi tambahan
daripada CXR saja. Pada pasien trauma akut, CT dada biasanya
dilakukan bersamaan dengan CT abdomen dan kombinasi ini
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas.8
CT Scan digunakan untuk melihat adanya pneumotoraks yang
tersembunyi, adanya benda asing, atau adanya dugaan cedera pada
pembuluh darah (aorta). Pada keadaan ini digunakan media kontras.6
CT scan dapat menunjukkan cedera pada paru-paru, pleura,
mediastinum, dan cedera dinding dada lebih baik daripada radiografi.
Sekitar 90% pasien tidak mengalami cedera aorta, tetapi banyak hal
serius lainnya, cedera yang tak terduga dapat diidentifikasi pada scan
dada CT, dan dengan frekuensi yang lebih besar. Banyak luka dada
serius mungkin diabaikan pada radiografi dada awal; ini termasuk
tracheobronchial tears, ruptur diafragma, esophageal tears, cedera
tulang belakang dada, cedera dinding dada dan sabuk pengaman,
kontusio paru, cedera jantung, pneumotoraks, hemothoraks, dan
komplikasi yang terkait dengan rongga dada.8
4. MRI
MRI biasanya disediakan untuk mengevaluasi pasien stabil dengan
CT scan yang hasilnya samar-samar atau nondiagnostic. MRI juga
dinding
aorta
yang
kecil
atau
parsial
dengan
formasi
pseudoaneurysm.9
Ruptur traumatik dari aorta sendiri terhitung sebanyak 16% dari
kecelakaan kendaraan bermotor yang berakibat fatal, dan 85-90% dari
pasien dengan ruptur aorta traumatik meninggal sebelum mendapatkan
pertolongan medis. Dalam seri klinisnya, 90% ruptur aorta traumatik
terjadi pada ismus aorta, tepat di sebelah distal pangkal arteri subklavia
kiri. Sebagian kecil trauma aorta (1-3%) melibatkan aorta desenden,
khususnya setingkat diafragma.4
Dipostulasikan mekanisme lain untuk cedera aorta adalah kompresi
antara sternum dan tulang belakang, dan peningkatan mendadak tekanan
intra-lumen aorta pada saat dampak.9
Trauma pembuluh darah besar (dengan atau tanpa robekan aorta
yang serentak) terjadi pada 1-2% pasien dengan trauma tumpul toraks.
Hematom mediastinum superior perivaskuler atau hematom servikal
inferior, khususnya pada keadaan fraktur kosta superior atau dislokasi
sternoklavikular posterior, harus segera mendapat perhatian untuk trauma
pembuluh darah besar atau trauma pada struktur lain di dalam toraks.4
10
1. Gambaran Klinis
Tanda-tanda klinis dari cedera aorta traumatis jarang ditemukan,
dan diagnosis didasarkan pada indeks kecurigaan yang tinggi
berdasarkan mekanisme cedera, dan hasil studi pencitraan.9
2. Pemeriksaan Radiologis
Tanda-tanda radiografi dada dari trauma aorta memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang kecil. Tanda-tanda radiografi yang paling sensitif
(tetapi tidak spesifik) adalah pelebaran mediastinum dan kehilangan
definisi dari arkus aorta. Radiografi dada yang normal memiliki nilai
prediksi negatif tinggi (98%) tetapi nilai prediksi positif yang rendah
untuk trauma aorta.4
11
Pada
banyak
institusi,
contrast-enhanced,
thin-section
CT
12
3. Tatalaksana
Atasi perdarahan tetap menjadi prioritas utama. Operasi perbaikan
aorta dilakukan atas indikasi sebagai berikut :9
Ketidakstabilan hemodinamik
13
yang signifikan pada paru-paru, dan 50-60% dari pasien dengan kontusio
paru yang signifikan akan berkembang menjadi Respiratory Distress
Syndrome bilateral akut (ARDS).9
1. Gambaran Klinis
Kontusio paru jarang didiagnosis pada pemeriksaan fisik.
Mekanisme cedera mungkin mengarahkan pada trauma tumpul dada,
dan mungkin ada tanda-tanda jelas trauma dinding dada seperti memar,
patah tulang rusuk atau flail chest. Hal ini dapat menunjukkan adanya
kontusio paru yang mendasari. Sekitar 50% pasien dengan kontusio
paru mengalami hemoptisis. Kontusio ini dapat terjadi dengan atau
tanpa fraktur iga.9,10
2. Pemeriksaan Radiologis
Pada pemeriksaan radiologi tampak bayangan bercak di paru.
Opasifikasi abnormal parenkim paru pada pasien trauma dapat sebagai
hasil dari atelektasis, aspirasi, edema, pneumonia, trauma paru-paru
(kontusio dan laserasi) dan biasanya etiologinya multifaktorial.
Kontusio paru-paru (lung bruis) dapat berakibat pada kebocoran darah
dan edema cairan ke dalam interstisial dan ruang alveolar. Laserasi
paru-paru merupakan trauma yang lebih berat yang mengakibatkan
gangguan arsitektur paru-paru.4
Gambar 2.7: Laserasi Paru. A. Radiografi dada posisi AP supinasi seorang laki-laki usia
16 tahun yang mengalami trauma dada, terlihat bayangan opak pada paru kanan dan
beberapa iga yang patah. B. radiografi dada yang dibuat 4 hari kemudian, terlihat
beberapa bayangan lusen berbentuk bulat dengan bayangan opak pada paru kanan yang
menunjukkan laserasi paru dan perkembangan pneumatocele4
14
15
Transeksi aorta
Ruptur diafragma
Insiden fraktur sternum sebenarnya lebih tinggi pada pengguna
atau
keduanya,
yang
mana
mengarah
kepada
nonsegmental perifer, dan geografis dalam distribusi. Kontusio paruparu terisolasi pada dewasa muda, pasien yang sehat tidak
berhubungan dengan peningkatan angka kematian. Kontusio terbukti
pada temuan atau dalam 6 jam setelah trauma, dan hilang sendiri,
biasanya tanpa sekuele yang permanen, dalam 5 sampai 7 hari.
Laserasi paru-paru, dengan kata lain, mungkin pada awalnya tertutup
oleh kontusio koeksisten dan bentuk-bentuk lainnya dari trauma toraks
pada radiografi permulaan atau CT scan, dan ini secara umum
memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk hilang
sendiri, kadang-kadang dengan jaringan parut sisa. Laserasi paru-paru
akibat dari robeknya parenkim paru dan pembentukan kavitas yang
terisi dengan darah (hematom), udara (pneumatocele), atau keduanya.
Radiografi atau CT scan mendiagnosis laserasi paru-paru didasarkan
pada temuan penumpukan udara yang terlokalisasi dalam sebuah
daerah ruang udara opak pada daerah trauma toraks. Keduanya,
kontusio dan laserasi, mengarahkan kepada terjadinya gangguan
terhadap struktur-struktur padat , seperti kosta dan korpus vertebra.4
3. Tatalaksana
16
Kerusakan
trakea
dan
bronkus
akan
menyebabkan
terjadi, tapi kontinuitas jalan napas masih dapat dipelihara oleh jaringan
peritrakeobronkial. Trauma pada trakea mediastinum atau bronkus utama
dapat menghasilkan pneumomediastinum yang dengan cepat menyebar ke
dalam leher dan wajah, bahu, dan dinding dada.4
Pneumomediastinum merupakan suatu tanda yang lebih spesifik
ITT dari pada pneumotoraks, karena
bersama fraktur iga. Pneumotoraks terlihat dalam 60% sampai 100% kasus
ITT, akan tetapi hal ini mungkin tidak dijumpai jika outer adventitial
sleeve dari sisa bronkus intak dan tidak ada kebocoran udara. Pada banyak
kasus, pneumotoraks akan respon terhadap penempatan thorax tube,
sehingga reekspansi paru-paru tidak meniadakan trauma trakheobronkhial.
Akan
tetapi,
sebuah
pneumotoraks
yang
tidak
hilang
dengan
memfungsikan drainase tube merupakan sinus qua non trauma jalan napas
mediastinum.4
1. Pemeriksaan Radiologis
Sebuah indikasi dari robekan trakea adalah elevasi tulang hyoid ke
atas level C3, yang dapat terlihat pada radiografi lateral dari vertebra
sevikal. Hal ini terjadi sebagai akibat dari trauma otot-otot infrahyoid,
yang menyebabkan elevasi yang searah dari tulang hyoid oleh
perototan suprahyoid. Tanda lain dari transeksi trakea adalah
overdistensi akut dari cuff pipa endotrakea (ETT), secara langsung
dimana ini menambah diameter normal trakea. Pada ruptur trakea,
balon bisa mendekati ujung ETT sebagai hasil dari ekspansi distal dari
balon pada robekan, dengan herniasi parsial balon ke dalam robekan
seperti tube yang berpindah ke dalam jalan napas atau direposisi
kembali.4
Tanda fallen lung sign jarang terlihat namun sangat menyokong
tanda robekan bronkial yang bisa terlihat pada radiografi dada dan CT.
Tanda ini mengarah kepada paru-paru yang jatuh secara lateral dan
posterior pada posisi supinasi dan jatuh secaara inferior menjauh dari
hilus pada posisi atas kanan. Normalnya dengan sebuah pneumotoraks,
pergerakan paru ke dalam ke arah hilus.
18
19
2. Tatalaksana
Tatalaksananya berupa torakotomi dan penutupan kerusakan trakea
atau bronkus. Harus diperhatikan pemberian anesthesia yang baik
karena dapat menyebabkan pneumotoraks yang bertambah berat akibat
udara dari alat ventilator yang tidak masuk ke alveolus, atau dari pipa
endotrakea yang keluar dari jalan nafas melalui tempat yang rusak.2
G. Ruptur Diafragma
Ruptur akut diafragma terjadi pada 1-7 % pasien dengan trauma
tumpul yang hebat, dan kesalahan diagnosis pada pemeriksaan awal terjadi
lebih dari 66%.
bagian tendineus kiri karena di sebelah kanan dilindungi oleh hati. Visera
seperti lambung dapat masuk ke dalam rongga toraks segera setelah
trauma, atau berangsur0angsur dalam waktu berbulan-bulan atau bertahuntahun.11
1. Gambaran Klinis
Hernia karena trauma tumpul mungkin tidak menimbulkan gejala
atau tanda. Bergantung pada banyaknya visera yang masuk ke dalam
rongga toraks, dapat timbul gejala dan tanda obstruksi.11
2. Pemeriksaan Radiologis
Tujuh puluh lima hingga 95% pasien dengan
ruptur akut
21
Gambar 2.13 : Ruptur Diafragma. Foto toraks AP posisi supine pada kasus kecelakaan
kendaraan. Terlihat massa di hemitoraks bagian bawah kiri yang tak terlihat herniasi.
Perpindahan tempat dari NGT (panah), dan pergeseran mediastinum ke kanan. 4
Gambar 2.14 : Ruptur diafragma. A. Radiografi toraks AP posisi supine pada pasien
kecelakaan motor yang terlihat opaksikasi hemitoraks kiri dan pneumo torakskiri (panah).
Hemidiafragma kiri tidak terlihat. B. CT Scan menunjukkan diskontinuitas dari
hemidiafragma kiri.4
22
23
Gambar 2.16 : Ruptur Diafragma. Potongan koronal. Garis diafragma hilangdan lambung
mengalami herniasi ke hemitoraks kiri17
3. Tatalaksana
24
laserasi
pada
pleura
dan
paru,
yang
dapat
sternum,
terjadi
pada
8%
trauma
toraks,
dapat
akibat
26
Gambar 2.18 : radiografi dada posisi PA, yang diambil 10 hari setelah
trauma,menunjukkan fraktur communited skapula kanan(panah) 4
27
3. Tatalaksana
Fraktur iga tunggal atau multipel dengan gerak dada yang masih
memadai dan teratur ditangani dengan pemberian analgetik atau
anestetik. Nyeri harus dihilangkan untuk menjamin pernafasan yang
baik atau mencegah pneumonia akibat gerak nafas tidak memadai dan
terganggunya batuk karena nyeri. Jika pemberian analgetik tidak
menghilangkan nyeri, harus dilakukan anestesi blok interkostal yang
meliputi segmen kaudal dan kranial iga yang patah. Pemasangan bidai
rekat tidak ada manfaatnya walaupun memberi rasa aman kepada
penderita. Bidai rekat ini mengganggu pengembangan rongga dada,
mengganggu gerakan nafas dan dapat menyebabkan dermatitis,
sedangkan dalam mengurangi nyeri tidak lebih baik daripada
analgetik. Jarang ditemukan dislokasi karena iga terbungkus perios
yang kuat dan otot. Karena tulang iga pendarahannya baik,
penyembuhan dan penyatuan tulang biasanya berlangsung cepat dan
tanpa halangan atau penyulit.2
4. Penyulit
Penyulit patah tulang iga adalah pneumonia, pneumotoraks dan
hemotoraks. Pneumonia disebabkan oleh gangguan gerak nafas dan
gangguan batuk. Bila penderita tidak dapat batuk untuk membersihkan
parunya, mudah terjadi bronkopneumonia. Penanganannya terdiri dari
pemberian anestesi sempurna, antibiotik yang memadai, ekspektoran
dan fisioterapi. Pneumotoraks dan hemotoraks terjadi karena tusukan
patahan tulang iga pada pleura parietalis dan atau pleura viseralis.
Luka pleura parietalis dapat
pneumotoraks. Iga I atau II jarang patah karena iga ini letaknya agak
terlindung. Apalagi tulang tersebut metupakan tulang pendek, lebar
dan kuat. Patahnya kedua iga ini harus dipandang berbahaya karena
pasti penderita mengalami cedera yang hebat. Oleh karena itu, harus
28
dicari cedera lain yang lebih penting yang mungkin tidak nyata, seperti
cedera jantung atau aorta.2
I. Manifestasi Pleura Pada Trauma Toraks
Pneumotoraks terjadi karena ada hubungan terbuka antara rongga
dada dan dunia luar. Hubungan ini mungkin melalui luka di dinding dada
yang menembus pleura parietalis atau melalui luka di jalan nafas yang
sampai ke pleura viseralis. Jika luka penyebab tetap terbuka, paru akan
menguncup karena jaringan paru bersifat elastik dan karena tak ada
tekanan negatif yang menyedotnya.2
Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura dimana
masuknya udara didalam rongga pleura dapat dibedakan menjadi :12
a. Pneumotoraks spontan timbul sobekan subpleura dan bulla sehingga
udara saluran pernafasan masuk ke dalam rongga pleura melalui suatu
lobang robekan atau katup. Keadaan ini dapat terjadi berulang kali dan
menyebabkan suatu keadaan yang kronis. Penyebab lain adalah suatu
trauma tertutup pada dinding dan fistula bronkopleural akibat
neoplasma dan inflamasi.
b. Udara lingkungan luar masuk ke dalam rongga pleura melalui luka
tusuk atau pneumotoraks artifisial dengan tujuan terapi dalam hal
pengecilan kavitas proses spesifik yang sekarang tidak dilakukan lagi.
Tujuan pneumotoraks sengaja lainnya adalah untuk diagnostik
membedakan massa apakah berasal dari pleura atau jaringan paru.
Penyebab lain adalah akibat tindakan biopsi paru dan pengeluaran
cairan pleura.
c. Masuknya udara yang melalui mediastinum yang biasanya disebabkan
oleh trauma pada trakea dan esofagus akibat tindakan pemeriksaan
dengan alat-alat (endoskopi) atau benda asing tajam yang tertelan.
Keganasan dalam mediastinum dapat pula mengakibatkan udara dalam
rongga pleura melalui fistula antara saluran nafas proksimal dan
rongga pleura.
29
1. Gambaran Klinis
Pasien akan merasa nyeri dan sesak nafas, pada pemeriksaan fisik
mungkin dada tampak asimetris, fremitus menurun sampai hilang,
perkusi timpani, dan suara nafas menurun atau hilang. Dapat timbul
sianosis, takipnea dan tanda hipoksia yang lainnya.2,13
2. Pemeriksaan Radiologis
30
31
udara
antara
perikardium
dan
32
tengah
di
midthoraks
mengakibatkan
left-sided
3. Tatalaksana
Terapinya adalah pemasangan penyalir sekat air. Jika terjadi
mekanisme katup pada luka di dinding toraks atau luka di pleura
viseralis, timbul pneumotoraks desak. Tekanan di dalam rongga pleura
akan semakin tinggi karena penderita memaksaan diri inspirasi kuat
untuk memperoleh zat asam, tetapi ketika ekspirasi udara tidak dapat
keluar (mekanisme katup). Inspirasi paksaan ini akan menambah
tekanan sehingga makin mendesak mediastinum ke sisi yang sehat dan
memperburuk keadaan umum karena paru yang sehat tertekan. Karena
pembuluh vena besar, terutama vena kava inferior dan vena kava
superior, terdorong dan terlipat, darah tidak dapat kembali ke jantung,
inilah yang menyebabkan kematian. Dengan pungsi darurat rongga
toraks berupa tusukan sederhana dengan jarum di ruang antar iga II,
penderita dapat diselamatkan. Pada pneumotoraks desak traumatik
dapat terjadi emfisema. Karena tekanan tinggi di rongga pleura, udara
ditekan masuk ke jaringan lunak melalui luka dan naik ke wajah. Leher
dan wajah membengkak seperti pada edema hebat. Pada perabaan
terdapat krepitasi yang mungkin meluas ke jaringan subkutis toraks.2
J. Trauma Jantung
Trauma jantung dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam
yang umumnya trauma tusuk. Keduanya dapat mengakibatkan memar otot
jantung, perdarahan ventrikel dan tamponade perikard. Trauma jantung
dapat pula menyebabkan infark miokard atau defek sekat serambi dan bilik
33
cairan
perikardial. CT juga
mendeteksi
cairan
perikardial
dan
sangat
mungkin
sensitif
untuk
mengindikasikan
kanan
atas
sebagai
akibat
dari
arah
34
Kontusio jantung dapat diakibatkan oleh trauma tumpul dada 8%76% dari pasien. Diagnosis biasanya dibuat dari elektrokardiografi,
pencitraan jantung nuklir, atau ekokardiografi. Ventrikel kanan adalah
yang paling sering mengalami cedera, karena terdiri hampir tiga kali
lebih banyak terkena permukaan anterior dari jantung daripada
ventrikel kiri. Radiografi dada dan CT dapat menunjukkan gejala sisa
dari kontusio jantung, seperti gagal jantung kongestif, aneurisma
ventrikel, atau pembesaran jantung besar.4
Gambar 2.26 : Hemopericardium. CT scan
pengumpulan darah yang menekan jantung kanan.4
menunjukkan
K. Trauma Esofagus
Esophageal tears lebih sering terjadi pada pasien dengan trauma
tembus dan terjadi pada kurang dari 1% dari kasus trauma tumpul.
Thoracic esophageal tears disebabkan hampir secara eksklusif oleh luka
tembak. Gangguan esofagus dapat terjadi mulai dari penghancuran
esofagus antara tulang belakang dan trakea, traksi dari hiperekstensi, dan
penetrasi langsung oleh fragmen fraktur tulang belakang leher.
Esophageal tears paling banyak terjadi di esofagus servikal dan torakal
atas, tetapi mereka juga mungkin terjadi tepat di atas persimpangan
gastroesofageal. Esofagus torakal terletak di kiri dari trakea di cekungan
dada tetapi bergerak ke kanan saat melewati posterior lengkung aorta pada
tingkat karina. Esofagus menyilang kembali ke kiri karena memasuki
perut. Dengan demikian, ruptur esofagus bagian tengah sampai ke distal
biasanya disertai dengan efusi pleura sisi kanan, dan efusi yang
disebabkan oleh ruptur di persimpangan gastroesofageal terjadi lebih
sering di sebelah kiri.4
1. Gambaran Klinis
36
37
arteri
atau
vena
interkostal,
otot
interkostal,
atau
mengakibatkan perdarahan dari permukaan tulang. Selain itu, cabangcabang dari arteri toraks lateral yang memasok otot-otot dada dan
beranastomosis dengan pembuluh dinding dada dapat terkoyak dan
berdarah. Sejumlah besar darah dapat menumpuk dalam subkutan atau
ruang ekstrapleural dada, terutama pada orang tua karena kelemahan kulit
dan jaringan subkutan. CT scan dapat dengan mudah membedakan dinding
dada dari cedera parenkim atau mediastinum, sedangkan diferensiasi ini
tidak mungkin dapat dilakukan dengan radiografi dada. Pada CT,
hematoma jaringan lunak dinding dada dapat dengan mudah dibedakan
dari cedera parenkim, dan udara subkutan dapat dibedakan dari
pneumotoraks. CT scan menunjukkan fistula bronko-pleura-kulit, yang
mungkin tidak dapat dilihat pada radiografi dada.4
38
lunak dinding dada kanan. B. CT scan yang menunjukkan hubungan antara jalan nafas
dan hematoma dinding dada.4
Gambar 2.30 : Breast Hematoma. CT scan dari seorang wanita yang mengalami
kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan penumpukkan darah pada payudara kanan
akibat penggunaan seat belt.4
39
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
yang umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan
oleh tikaman dan tembakan. Cedera toraks sering disertai dengan cedera
perut, kepala dan ekstrimitas sehingga merupakan cedera majemuk.
Adapun tujuan pemeriksaan radiologis antara lain adalah mencari
adanya fraktur tulang-tulang dinding dada, adanya benda asing (luka
tembak), kelainan pada mediastinum, hematotoraks, pneumotoraks.
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan pada kasus trauma toraks
diantaranya adalah radiografi konvensional, CT scan, USG dan MRI.
Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada seseorang yang
mengalami trauma toraks diantaranya adalah trauma aorta dan pembuluh
darah besar, trauma parenkim paru, trauma trakeobronkial, trauma tulang
dada, ruptur diafragma, trauma jantung, trauma esophagus dan trauma
jaringan lunak dinding dada.
B. Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat,R dan Wim De Jong. Trauma dan Bencana. Dalam Buku
Ajar Ilmu Bedah. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC.2003.h 90-9
2. Sjamsuhidajat,R dan Wim De Jong. Dinding Toraks dan Pleura. Dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta;Penerbit Buku Kedokteran EGC.2003.
h406-13
3. Snell, Richard S. Thorax. Dalam Anatomi Klinik. Jakarta;Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2002. h48-146
4. Collins, Jannette and Eric J. Stern. Chest Trauma. In Chest Radiology. 2nd
Edition. Washington; Lippincott Williams & Wilkins. 2008
5. Mancini,
Mary
et
all.
Blunt
Chest
Trauma.
Available
http://emedicine.medscape.com/article/428723-overview.Diakses
at
tanggal
12 Oktober 2011
6. Ghazali, Rusdi. Kasus Cito. Dalam Radiologi Diagnostik. Yogyakarta;
Pustaka Cendekia Press.2008. h130-31
7. Khan, Nawas Ali.Thoracic Trauma Imaging. www.imagingpathways.
health.wa.gov.au/includes/dipmenu/chest_trau/refs.html. Diakses tanggal
25 Desember 2015
41
Dalam
Radiologi
Diagnotik.Edisi
42