0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
45 tayangan3 halaman
Pertahanan Keluarga Ambrol, Anak Terancam Terlantar Indonesia tersentak tatkala Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri, menyatakan pada 2010 jumlah anak terlantar di bawah usia 18 tahun di negeri ini mencapai 5,4 juta (14/3). 232 ribu di antaranya merupakan anak jalanan yang terbagi atas tiga kelompok yakni kelompok anak-anak yang seluruh hidupnya di jalan, kelompok anak yang 4-5 jam di jalanan, dan kelompok anak yang mendekati jalanan. Sebelumnya, survei Departemen Sosial (Depsos), 2006, mencatat
Pertahanan Keluarga Ambrol, Anak Terancam Terlantar Indonesia tersentak tatkala Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri, menyatakan pada 2010 jumlah anak terlantar di bawah usia 18 tahun di negeri ini mencapai 5,4 juta (14/3). 232 ribu di antaranya merupakan anak jalanan yang terbagi atas tiga kelompok yakni kelompok anak-anak yang seluruh hidupnya di jalan, kelompok anak yang 4-5 jam di jalanan, dan kelompok anak yang mendekati jalanan. Sebelumnya, survei Departemen Sosial (Depsos), 2006, mencatat
Hak Cipta:
Attribution (BY)
Format Tersedia
Unduh sebagai RTF, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Pertahanan Keluarga Ambrol, Anak Terancam Terlantar Indonesia tersentak tatkala Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri, menyatakan pada 2010 jumlah anak terlantar di bawah usia 18 tahun di negeri ini mencapai 5,4 juta (14/3). 232 ribu di antaranya merupakan anak jalanan yang terbagi atas tiga kelompok yakni kelompok anak-anak yang seluruh hidupnya di jalan, kelompok anak yang 4-5 jam di jalanan, dan kelompok anak yang mendekati jalanan. Sebelumnya, survei Departemen Sosial (Depsos), 2006, mencatat
Hak Cipta:
Attribution (BY)
Format Tersedia
Unduh sebagai RTF, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Pertahanan Keluarga Ambrol, Anak Terancam Terlantar
Indonesia tersentak tatkala Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri, menyatakan
pada 2010 jumlah anak terlantar di bawah usia 18 tahun di negeri ini mencapai 5,4 juta (14/3). 232 ribu di antaranya merupakan anak jalanan yang terbagi atas tiga kelompok yakni kelompok anak-anak yang seluruh hidupnya di jalan, kelompok anak yang 4-5 jam di jalanan, dan kelompok anak yang mendekati jalanan. Sebelumnya, survei Departemen Sosial (Depsos), 2006, mencatat angka yang lebih fantastis lagi. Anak terlantar dan hampir terlantar di Indonesia mencapai 17.694 juta jiwa atau 22,14 persen dari jumlah semua anak usia di bawah 18 tahun. Sedangkan Susenas tahun 2000 mencatat bahwa jumlah anak terlantar usia 6-18 tahun mencapai 3.156.365 anak. Sementara itu, tidak kurang dari 60 ribu jiwa anak-anak TKI juga terlantar di Malaysia, khususnya di wilayah perbatasan, seperti Sabah dan Sarawak. Di negeri Jiran itu, anak-anak tidak bisa mendapatkan akses pendidikan, karena tidak memiliki akta kelahiran. Bahkan tidak sedikit anak seusia sekolah SMP yang buta huruf. Fenomena tingginya anak terlantar di Indonesia ini, menurut Program Support Manager Plan International di Indonesia, Nono Sumarsono, diakibatkan sistem pertahanan keluarga sudah ambrol. Keluarga yang pertahanannya mengalami kerapuhan ini penyebabnya beragam. Ada yang disebabkan disharmoni hubungan antar keluarga, ada yang beban ekonominya terlalu berat, single parent, ada juga keluarga yang anaknya banyak namun pendapatannya tidak rutin. Sebenarnya keluarga ini masuk dalam kategori penerima BLT. Sayangnya, paket BLT itu dipukul rata. Padahal ada keluarga yang anaknya satu, ada yang empat, dan seterusnya, tetapi jatahnya sama semua, sehingga kerentanannya berbeda. Jika keluarga ambrol, anak-anak akan mencari ke ring berikutnya, yaitu masyarakat. Jika masyarakatnya juga ambrol, dia akan lari ke jalan. Akibatnya, dia menjadi anak-anak terlantar itu. Sementara di jalan, mereka tidak tahu berbagai resiko yang akan dihadapi, seperti, kriminalitas, narkoba, dan sodomi. “Pengalaman saya dengan anak jalanan, anak yang semakin lama di jalanan, biasanya semakin susah dipulangkan ke rumahnya dan semakin sulit dikembalikan ke kehidupan yang biasa. Semakin lama anak tertempa di jalanan, dia semakin menyatu dengan kehidupan itu,” ungkap Nono Sumarsono di Kantor Plan International, Kuningan, Jakarta (5/7). LSM seperti Plan ini, hanya bisa mendeteksi kalau ada kategori keluarga yang beresiko seperti ini. Dengan adanya kategorisasi anak-anak telantar yang ditetapkan oleh Depsos tersebut diharapkan bisa memudahkan intervensinya. Biasanya, kategorisasi ini berdasarkan pada tingkat kerentanan dari yang ringan sampai yang paling kompleks, sehingga respon yang perlu diberikan akan berbeda- beda.
Mencari Model Penanganan Anak Terlantar
Mestinya, harap Nono, di negeri ini ada sistem yang mengatur agar masyarakat bisa menampung anak-anak yang keluar dari keluarganya dalam rangka menciptakan lingkungan yang sehat. Tentu saja hal ini tidak lepas dari peran serta pemerintah untuk membantu, seperti penyediaan rumah singgah yang dibuat oleh Depsos. Menurut pria yang berpengalaman 25 tahun menangani anak ini, masih banyak rumah singgah tersebut tidak kelola secara profesional. Akibatnya, saat anak-anak yang baru keluar rumah singgah tersebut bertemu dengan anak-anak yang sudah profesional di jalanan, masa depannya menjadi tidak jelas. “Meskipun tidak di penjara, di rumah singgah pun berpotensi untuk tidak melindungi anak, karena hal ini adalah bagian dari interaksi. Tidak di mana pun, di rumah singgah, di jalan pun bisa menghasilkan kondisi anak yang kurang sehat,” lanjut mantan Project Officer Children Protection Unit Perwakilan UNICEF di Indonesia ini. Sebenarnya, lanjut Nono, bagi keluarga berantakan, yang tidak sanggup lagi mengurus anaknya, diperlukan keluarga pengganti. Beberapa negara sudah diterapkan hal ini. Sayangnya, di Indonesia sepertinya masih tahap wacana. Memang ada yang menolong dengan memasukkan anak-anak tersebut ke pesantren. Namun Nono menyangsikan, apakah hal ini juga menolong secara kejiwaan. Bagaimana pun, lanjutnya, lingkungan yang terbaik untuk anak adalah keluarga. Dalam sebuah keluarga anak bisa mencontoh ayahnya, atau ibunya, atau saudaranya. Meskipun yang dimaksud keluarga tidak harus keluarga kandung, tetapi keluarga asuh. “Kalau mengikuti sistem yang betul, keluarga yang menerima hak asuh anak harus di-assesment dahulu, apakah keluarga tersebut layak mengasuh anak tersebut atau tidak. Kalau sudah diterima, dititipkan, lalu disupervisi dan dimonitor secara reguler dari petugas dari Depsos. Kalau keluarga tersebut kesusahan dalam mengurus anak ini, Depsos memberikan bantuan semacam konseling,” jelasnya. Sebagaimana yang sudah terjadi, ada seorang aktris yang terkesan dengan anak-anak jalanan ini, setelah terlibat dalam film yang lakonkan. Lalu, aktris tersebut membuat penampungan anak jalanan. Setelah seminggu di penampungan, ternyata anak-anak itu lari, karena aktris tersebut tidak mempunyai perhatian khusus. Padahal anak-anak tersebut butuh perhatian, sebagaimana anak-anak pada umumnya. Semakin seorang anak bermasalah maka semakin diperlukan perhatian yang lebih besar terhadap anak tersebut. Sementara, aktris ini hanya memberikan tempat dan fasilitas, mungkin sedikit waku. Sedangkan kebutuhan waktu dan perhatian bagi anak-anak tersebut tinggi sekali. “Jika anak-anak itu tidak mendapatkan itu, pasti lari. Mereka itu butuh teman bicara dan didengarkan,” tegasnya. Di Indonesia ini rata-rata yang diukur dalam menangani anak terlantar adalah niat baiknya, seperti mau menampung atau mau mengurus. Padahal dalam mengurus anak tidak cukup hanya dengan niat baik. Sebab, dalam perjalanannya akan muncul dinamika, seperti, keluarga tersebut memiliki anak sebaya, punya saudara, dan sebagainya. Kalau tidak pandai-pandai mengelola hal ini anak tersebut bisa lari lagi. Untuk itu, keluarga-keluarga yang menerima anak-anak itu perlu diberi konseling juga.
Tanggung Jawab Negara
Berdasarkan kondisi ini, menurut Nono, kalau dikembalikan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada, sebenarnya negara ini masih menelantarkan anak. Hal ini disebabkan sistem yang ada ini memang tidak bisa menjangkau hal-hal seperti itu. Apalagi negara melihat dengan asumsi bahwa semua keluarga itu dalam kondisi dan situasi yang sama, normal, semua memiliki pekerjaan. Dengan demikian, apabila terdapat keluarga yang tidak memenuhi kategori seperti itu, sistemnya tidak ada. “Sebenarnya dengan adanya KPAI ini bisa menjadi bagian dari sistem kontrol. Jika komisi ini tidak berfungsi, perlu dilihat dan dicari akar masalahnya, apakah orangnya, atau sistem kerjanya, atau proses rekruitmennya? Menurut saya, rekruitmennya,” katanya. Begitu pula dengan keberadaan Kemneg PP dan PA. Menurutnya, sebuah kementerian bisa berjalan efektif tergantung pada beberapa hal. Pertama, kejelasan kewenangan yang diberikan. Kalau kewenangannya sebatas administratif, seperti meminta atau menghimbau saja, tentu tidak akan bisa menyelesaikan persoalan ini. Kedua, dengan kewenangan tersebut apa yang bisa dipengaruhi dan sampai sebatas apa, apakah sampai implementasi? Kalau tidak sampai di sana, ini hanya bagus di atas kertas dalam ketatanegaraan, namun dalam penyelesaiannya tidak akan banyak berubah. “Sedangkan kewenangan Kemneg PP dan PA dengan Depsos seringkali bertabrakan di lapangan, sehingga membingungkan. Jika Kemneg PP dan PA tidak punya infrastruktur ke bawah, tetapi mengeluarkan aturan, siapa yang diatur? Apakah bupati? Kalau mereka membangkang, siapa yang memberi sanksi?” tanya Nono Sumarsono. (SF)