Ayu Kartika Dewi (editor)
PT Evolitera
Jakarta, 2010
“Aku Bangga Aku Anak Indonesia”
Oleh: Ayu Kartika Dewi (editor)
Editor : Ayu Kartika Dewi
Cover & Layout : Tim Evolitera
PT Evolitera
EvoHackSpace – Ruko Kayu Putih
Jalan Kayu Putih IV Blok D, no. 1, 3rd floor
East Jakarta 13260, INDONESIA
Diterbitkan di
www.evolitera.co.id
Jakarta, 2010
ISBN: 978‐602‐8861‐13‐7
© Ayu Kartika Dewi, 2010
UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta Hak Cipta atau
pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan
tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang‐undangan
yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 73:
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49
Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing‐masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,‐
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,‐ (lima miliar rupiah).
AKU, ANAK INDONESIA: Sebuah Pengantar
AKU ANAK INDONESIA: Sebuah Pengantar
Ayu Kartika Dewi
Penyelam, editor ‘Aku Bangga Aku Anak Indonesia’
Aku bingung, dan aku resah.
Aku ‐sebagai anak Indonesia‐ bingung mengapa aku selalu merasa sesak setiap
membuka berita tentang negeri.
Dan aku resah, karena aku ‐sebagai orang muda‐ merasa belum melakukan
sesuatu yang berarti untuk negeri yang sudah menaungi hidupku dan hidup
orang‐orang yang aku cintai.
Tapi aku percaya bahwa kebingungan adalah awal dari pencerahan, dan
bahwa keresahan adalah awal dari perubahan. Maka aku bersyukur karena
aku masih bisa bingung dan masih bisa resah.
Walaupun begitu, bingung saja, ataupun resah saja, takkan berarti apa‐apa.
Karena sikap adalah cerminan nurani, maka, baiklah, aku bersikap. Maka,
baiklah, aku menulis dan mengajak teman‐teman untuk ikut menulis, karena
aku tahu bahwa masih banyak yang peduli pada republik ini. Dan karena
tulisan adalah perjuangan, perjalanan, dan perenungan. Dan – seperti kata
Pram dalam Bumi Manusia‐nya: menulislah, maka suaramu takkan padam
ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.
Rumput keapatian dan kebencian sangatlah mudah tumbuh meliar, tapi
pohon‐pohon kebanggaan harus ditanam, dipupuk, dan dipelihara. Maka di
‘Aku Bangga Aku Anak Indonesia’ ini telah ditanam 65 bibit kebanggaan.
Semoga berbuah, dan tak lama lagi akan ada 65,000, atau bahkan 65,000,000
pohon kebanggaan.
Untuk bangsa, untuk negeri, untuk Indonesia.
Singapore, awal Juni 2010
Sumber Foto: 30 Years of Indonesia’s Independence
INDONESIA RAYA
MEREKA, YANG BANGGA MENJADI ANAK INDONESIA
Kekuatan Kognitif Anak Indonesia .......................................... 1
Ahmad Bukhori, Melbourne, Australia
Indonesia Satu ......................................................................... 5
Amanda Rossa, Jakarta
Oleh‐oleh? ............................................................................... 7
Betty Hernawatty, Jakarta
Bhinneka Tunggal Ika Itu Keren! .......................................... 11
Early Rahmawati, Osnabrueck, Germany
Indonesia: The Next Techno Giant ........................................ 14
Eduardus Christmas, Jakarta
Dear Diary ............................................................................. 18
Farichah, Gianyar, Bali
Saya dan Nama Saya ............................................................ 22
Frederick Eliezer Gaghauna, Bandung
Bendera Di U‐Bahn No. 6 ..................................................... 25
Hafiz Rahman, Huddersfield, United Kingdom
Berguru pada Gadis Kecil dan Kalengnya ............................. 28
Lakshmi Sawitri
Aku Bangga (titik) ................................................................. 31
Made Harimbawa, anak Indonesia di Australia
Catatan dari Balai Pemuda ................................................... 37
Nana R’yani, anak Indonesia di Surabaya
Garuda Berkumandang ......................................................... 39
Rivelson Saragih, Lebanon Selatan
Makanan Negeri Ini .............................................................. 43
Sotyaparasto Winajimursyid, Surabaya
I’m from Indonesia ................................................................ 47
Susy Tekunan, Washington DC, USA
Alunan Kebanggaanku .......................................................... 50
Willyam Noveri, Pariaman
Semoga Indonesia Bangga .................................................... 53
Wina Miranda, anak Indonesia di Angola, Africa
Mi Instan di Afghanistan ....................................................... 56
Windu Prasetio, anak Indonesia di Afghanistan
Nenekku Buruh Pabrik Gula, Ibuku Guru ............................... 58
Wiwit Prasetyono, anak Indonesia di Yogyakarta
Surat untuk Andrea ............................................................... 61
Yogi Harsudiono, anak Indonesia di Jakarta
MEREKA, YANG CINTA INDONESIA
Indonesia, Negeri Impian ...................................................... 65
Christophe D Thomson, anak Perancis yang cinta Indonesia
Catatan Penutup .................................................... 70
KEKUATAN KOGNITIF ANAK INDONESIA
Ahmad Bukhori ‐ Guru dan Pemerhati Pendidikan di Melbourne, Australia
DALAM sebuah acara makan siang, seorang pembelajar Bahasa Indonesia
untuk Penutur Asing (BIPA) yang saya ajar di Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung, sebut saja Michael, berkomentar tentang rahasia suksesnya dalam
mempelajari bahasa Indonesia. Michael adalah seorang tentara Angkatan
Darat Australia yang sedang melakukan in‐country training di UPI Bandung
setelah belajar bahasa Indonesia beberapa bulan di pusat bahasa Australian
Defense Force Melbourne. Menurutnya, salah satu alasan mengapa dia
memiliki kemampuan berbahasa Indonesia lebih baik dari teman sejawatnya
karena dia memiliki Indonesian walking dictionary yaitu istrinya sendiri yang
berasal dari sebuah kota kecil di Jawa Barat. Sang istri yang beretnis Sunda
bisa ditanya kapan saja jika ia menemukan kosa‐kata baru atau hal lain yang
berkenaan dengan bahasa Indonesia.
Karena sang istri juga berbicara bahasa Sunda, saya tanya Michael jika
dia juga berminat mempelajari bahasa Sunda untuk menambah kemampuan
penguasaan bahasa asingnya. Dalam bahasa Indonesia yang masih beraksen
bule, dia dengan tegas menjawab. “Oh tidak Pak. Cukup satu saja.” Dengan
nada penasaran saya bertanya, “Mengapa?”. Jawabnya sambil tersenyum,
‘Kalau saya belajar bahasa Sunda lagi, selain bahasa Indonesia, untuk setiap
satu kosa‐kata baru bahasa Sunda yang masuk ke memori otak saya, maka
akan keluar satu kosa‐kata lama bahasa Indonesia dari kepala saya. Untuk
saya, bisa bahasa Indonesia saja sudah cukup”.
Sambil menikmati hidangan masakan Sunda, saya sejenak termenung.
Bagi Michael dan kebanyakan orang bule lainnya yang berlatar belakang
monolinguistik Inggris, mempelajari dan menguasai satu bahasa asing saja
merupakan suatu kebanggaan. Mereka merasa bangga dengan satu bahasa
non‐Inggris yang mereka kuasai dan merasa kesulitan untuk mempelajari
bahasa asing lebih dari satu. Saya jadi teringat sebuah anekdot berikut. Jika
seseorang berbicara empat bahasa atau lebih, dia biasanya disebut
1
multilingual. Jika seseorang berbicara tiga bahasa, dia akan disebut trilingual.
Seseorang yang berbicara dua bahasa saja akan disebut bilingual. Sementara
itu, jika seseorang hanya berbicara satu bahasa saja, maka dia akan disebut
American, English atau Australian.
Beberapa teman dari negara lain, termasuk pembimbing studi saya di
Melbourne juga merasa terkejut ketika mereka tahu bahwa bahasa Indonesia
bukanlah bahasa ibu atau pertama bagi hampir semua orang Indonesia. Bagi
hampir seluruh anak Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan
menguasai dua bahasa atau lebih merupakan hal biasa bagi mereka. Dengan
demikian, dari sisi kognitif, otak setiap anak Indonesia memiliki kapasitas
kognitif dan linguistik yang memadai dan terlatih untuk berkembang secara
maksimal.
Kemampuan menguasai bahasa lebih dari satu memiliki banyak
kelebihan daripada kelemahan. Berbagai studi menunjukkan bahwa
penguasaan satu bahasa selain bahasa ibu atau lebih berdampak positif
terhadap perkembangan kognitif anak. Bialystok dan Hakuta (1994) dalam
bukunya In Other Words mengakui bahwa anak yang berbicara dengan dua
bahasa atau lebih akan cenderung memiliki beberapa keuntungan.
Diantaranya, mereka akan mampu melihat atau memberi nama suatu benda
dari dua sudut yang berbeda sehingga memiliki kemampuan kognitif yang
fleksibel. Fleksibilitas ini akan memicu kreativitas tinggi karena meyakini
bahwa segala sesuatu selalu memiliki paling tidak dua sisi yang berbeda.
Kreativitas berarti keinginan untuk mencari tahu dan mempelajari alternatif
atau solusi baru dalam setiap hal supaya bisa bernilai ekonomi lebih tinggi.
Kreativitas seperti ini merupakan life skill penting yang bisa dijadikan anak‐
anak Indonesia untuk bisa bersaing dalam kehidupan global seperti sekarang
ini.
Selain itu, karena terbiasa melihat sesuatu dari sudut berbeda, anak
bilingual atau multilingual seperti anak‐anak Indonesia juga akan memiliki
rasa empati lebih tinggi karena bisa merasakan penderitaan yang dialami
orang lain dari sudut pandang luar dirinya. Ketika melihat orang lain
2
3
Kemampuan berbahasa lebih dari satu juga berdampak positif terhadap
kemampuan literasi (membaca dan menulis). Sebuah studi lain yang dilakukan
oleh Bialystok, Luk, dan Kwan (2005) menunjukkan bahwa anak yang telah
belajar membaca dan menulis dalam satu bahasa akan memiliki kemudahan
untuk mempelajari literasi di bahasa kedua dan selanjutnya, terutama jika
kedua bahasa tersebut memiliki banyak persamaan.
Kelebihan di sisi kognitif ini tentunya merupakan modal penting untuk
mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional.
Kemampuan kita untuk menguasai lebih dari satu bahasa seyogyanya
mempermudah usaha kita untuk mempelajari bahasa tersebut sebagai alat
komunikasi internasional. Apalagi pembelajaran saat ini sudah mengadopsi
metode yang lebih efektif dan sarana modern. Bukankah para pendahulu kita
seperti KH Agus Salim bisa menguasai lebih dari lima bahasa asing ketika
metode dan fasilitas pembelajaran saat itu masih jauh dari yang bisa kita
jumpai sekarang?
Kemampuan kognitif tinggi yang dibarengi dengan kemampuan
berbahasa Inggris yang memadai serta rasa empati dan tenggang rasa yang
tinggi akan menjadi modal utama untuk mengembangkan generasi muda
Indonesia yang unggul dan mampu bersaing dalam persaingan global.
Semoga.
Ahmad Bukhori ‐ Melbourne, Australia
Guru dan Pemerhati Pendidikan
Mahasiswa doktoral Monash University Melbourne
Australia dan Staff Pengajar di Jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung. Memperoleh master dalam bidang language
and literacy dari Boston University USA.
Mengapa bangga menjadi anak Indonesia?
Indonesia adalah negara maha kaya akan ragam budaya dan bahasa.
4
INDONESIA SATU
Amanda Rossa ‐ Praktisi Pemasaran di Jakarta
SAYA memahami keanekaragaman dari hal yang paling mendasar: keluarga
saya sendiri. Tumbuh dalam sebuah keluarga besar yang merupakan
perpaduan dari dua nilai yang berbeda, sangatlah menarik. Keluarga Ayah
adalah keluarga yang begitu kental kejawen‐nya, sedangkan keluarga Ibu
adalah keturunan bangsawan. Sulit mengingat satu persatu anggota kedua
keluarga, karena saking banyaknya. Jika ada reuni keluarga besar, rasanya
seperti ada karnaval! Meskipun kami bersaudara, kami tidak mirip satu sama
lain. Ada yang berwajah timur tengah dengan hidung yang mancung dan alis
tebalnya, ada yang berbadan tinggi besar dan berkulit gelap, dan ada pula
yang berkulit kuning langsat seperti perempuan keraton. Walaupun berbeda,
kami tetap satu, keluarga Subroto Soedibjo.
Keanekaragaman ini juga semakin nyata pada keluarga saya. Meskipun
Ayah dan Ibu sama‐sama berasal dari Jawa, tradisi yang dipegang ternyata
berbeda.
Ayah selalu menekankan “ora mungkin keluwen nek gelem ceker”. Ini
adalah sebuah analogi yang arti dalam bahasa Indonesianya adalah seekor
ayam yang tidak akan kelaparan jika dia masih mau menggaruk‐garuk tanah
untuk mencari makan. Maksud Ayah, jika saya mau berusaha bekerja, saya
5
tidak mungkin akan kesusahan. Beliau mendidik anaknya cukup keras, agar
saya juga harus bekerja keras untuk meraih hidup. “Opor bebek mentas awak
dhewek”, yang juga menganalogikan seekor bebek yang dapat keluar dari air
tanpa bantuan orang lain, adalah nasehat lain dari Ayah yang selalu
diingatkannya agar saya bisa berdikari –berdiri di atas kaki sendiri. Sedangkan
Ibu yang masih kental adat Raden Roro‐nya, selalu mengajarkan agar saya
menjadi wanita Jawa yang santun, lemah lembut dan terampil mengerjakan
pekerjaan rumah.
Ayah mendidik saya menjadi orang keras dan berani, sedangkan ibu
memastikan saya terdidik menjadi wanita yang bersahaja.
Hal itu yang mungkin terdengar sulit untuk dilakukan beriringan, tapi di
keluarga kami ternyata nilai‐nilai ini justru saling melengkapi. Walaupun kami
berbeda, tetapi kami satu. “Podho jowone” (sama‐sama orang Jawa), kata
orang.
Saya yang dibesarkan di keluarga yang hanya berasal dari satu suku
bangsa saja, bisa mendapat banyak nilai‐nilai berharga yang berbeda‐beda.
Apalagi Indonesia yang memiliki lebih dari 700 suku bangsa, yang masing‐
masing mempunyai keistimewaan dan prinsip‐prinsip yang beraneka ragam.
Saya bangga atas kekayaan nilai, tradisi, dan adat di Indonesia sudah tidak
dapat terhitung lagi banyaknya. Saya bangga karena walaupun
beranekaragam, kita tetap satu. Kita semua tetap manusia Indonesia.
Amanda Rossa Subrotodibjo – Jakarta, Indonesia
Praktisi Pemasaran
Perjuangan berarti mengamini bahwa kemunduran dan
keberhasilan hanya progress dalam sebuah proses
Mengapa bangga menjadi anak Indonesia?
Karena Indonesia adalah lagu indah yang terdiri dari bermacam nada yang
dinyanyikan bersama.
6
OLEH‐OLEH?
Betty Hernawatty ‐ Karyawan Swasta di Jakarta
“Mau jalan‐jalan ya? Oleh‐olehnya jangan lupa ya!”
“Eh, pergi ke mana? Wah asyik! Nitip oleh‐oleh dong!”
Mungkin itu adalah komentar yang kerap terdengar dari orang di
sekitar kita, setelah mereka mengetahui bahwa kita akan melakukan
perjalanan, bisnis ataupun wisata, dalam ataupun luar negeri.
Lihat saja, setiap kali seorang jemaah haji baru kembali dari Saudi
Arabia, kopernya pasti menggelembung dengan oleh‐oleh. Entah berapa
banyak waktu yang harus diluangkan dan uang yang harus dikeluarkan demi
membeli oleh‐oleh.
Oleh‐oleh ini bisa untuk siapa saja. Keluarga, teman dekat, saudara,
sepupu, teman kerja, calon pacar, atasan, atau pak satpam di ujung jalan.
Oleh‐oleh pun bisa apa saja. Makanan, gantungan kunci, kaos, mug, payung,
keripik, apapun yang khas dari tempat tersebut, atau apapun yang berasal dari
tempat tersebut.
***
Sampai suatu waktu, saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan
perjalanan bisnis ke negeri Paman Sam ‐tepatnya ke Cincinnati‐ yang
dilanjutkan dengan liburan ke New York. Seminggu sebelum saya berangkat,
7
seorang rekan kerja menghampiri meja kerja saya dan berkata dengan gaya
kenesnya, “Cong, lu mau jalan‐jalan ke Amrik, ya? Beruntung banget sih lu!
Gue mau dibeliin oleh‐oleh dong! Itung‐itung sebagai hadiah gue udah 5
tahun di kumpeni ini. Gue mah ga bakalan deh dapet trip ke Amrik. Apa aja
mau banget! Gantungan kunci juga boleh. Sumpah! Boleh ya Cong?”.
Dalam hati saya berkata, hmmm... Oleh‐oleh... Kalau ingat dan kalau ada
waktu sih tidak apa‐apa... Tapi saya menjawab, “Eh boleh, mudah‐mudahan
ada waktu mampir ke toko suvenir kantor ya, acara pelatihannya padat euy.
Sip?”
“Oke, makasih ya Cong, enjoy the trip!”
Hari pertama saya sekembalinya saya di kantor, saya mencari teman
yang minta oleh‐oleh tersebut, tapi saya tidak menemukan dia di mejanya.
Saya letakkan saja oleh‐oleh itu di dekat laptopnya: sebuah tas kulit untuk
menyimpan dokumen atau laptop.
Siangnya, ketika saya sedang bercakap‐cakap di telepon, tiba‐tiba dari
arah belakang ada sepasang tangan menggenggam kepala saya dan saya
merasa puncak kepala saya dikecup dengan lumayan keras. Saya membalikkan
badan sambil tetap menggenggam telepon. Ternyata teman saya yang tadi
pagi saya cari‐cari. “Makasih!”. Saya melihat gerak bibirnya mengucapkan itu
dengan mata berkaca‐kaca. Tercekat.
***
Kali lain saya diberi kesempatan untuk memaknai oleh‐oleh dari sudut
pandang berbeda, adalah minggu lalu saat saya kembali dari Semarang.
Mendarat di bandar udara Soekarno‐Hatta, saya bergegas dan berharap bisa
kembali ke rumah secepatnya karena mengejar janji dengan teman. Setelah
saya menunggu koper selama hampir 1 jam, saya baru tahu bahwa ternyata
penurunan bagasi dipindahkan ke jalur lain, karena saat itu beberapa
penerbangan domestik mendarat bersamaan. Ugh, rasanya emosi ini sudah
hampir meledak!
Saya berdiri di dekat conveyor belt, dan saya melihat satu kardus putih
besar sedang bergerak melewati saya. “Keripik Balado”, begitu tulisan di
8
kardus itu. Ada gambar seorang wanita cantik dalam pakaian adat dengan
latar belakang rumah Gadang. Dan setelah itu beberapa kardus dengan tulisan
keripik balado kembali lewat di depan saya. Ah, ini pasti bagasi dari Padang,
pikir saya.
Beberapa puluh menit berlalu, ada satu kantung plastik putih dengan
motif merah biru bergambar ikan bandeng lewat. “Bandeng Presto, Duri
Tulang Lunak.” Ah, ini pasti yang Semarang. Saya tersenyum. Emosi saya
mereda.
Saat kita berada di bandara penerbangan domestik, kita bisa menebak
asal seseorang hanya dengan memperhatikan kardus atau bungkusan oleh‐
olehnya. Keripik balado dari Padang, sirup markisa dari Medan, pempek dari
Palembang, bandeng presto dari Semarang, kepiting dari Balikpapan, kerupuk
udang dari Sidoarjo, dan bika ambon dari Amb.., eh Medan.
Satu lagi hal yang juga bisa ditebak adalah, orang yang menerima oleh‐
oleh itu pasti akan tersenyum gembira. Bukan karena unik atau khasnya oleh‐
oleh tersebut, tapi mungkin karena nilai perhatian dari si pemberi yang
meluangkan waktunya untuk mampir ke toko oleh‐oleh. Ada sedikit
kebahagiaan yang bisa diberikan kepada orang lain dari buah tangan yang
dibawa, apalagi dengan dibumbui cerita menyenangkan tentang tempat yang
dikunjungi. Untuk orang yang belum pernah berkesempatan mengunjungi
tempat tersebut, mungkin hatinya juga tersenyum lebih luas, membayangkan
indahnya tempat lain di belahan dunia lain dan mencicipi rasa tempat baru itu
melalui oleh‐oleh.
***
Saat ini, saya memaknai oleh‐oleh lebih dari sekedar buah tangan.
Oleh‐oleh adalah cerminan sifat orang Indonesia yang selalu ingin berbagi
dengan orang lain, sesederhana apapun bentuknya. Oleh‐oleh adalah salah
satu hal yang Indonesia banget.
membawakan oleh‐oleh. Saya bangga karena kebiasan beroleh‐oleh ini. Saya
bangga menjadi orang Indonesia yang selalu begitu peduli dan selalu ingat
pada orang‐orang di hidup kita, meskipun kita sedang bersenang‐senang di
tempat lain.
Nah, kalau kau mau jalan‐jalan, boleh belikan saya oleh‐oleh?
Betty Hernawatty – Jakarta, Indonesia
Pegawai Swasta
PegawaiPekerja di siang hari, pemimpi di malam hari; di
sela‐sela itu adalah membaca, berpetualang, menyelam,
dan wisata kuliner. Bercita‐cita menjadi guru dan
pemandu wisata, sambil membuka usaha hotel dan
warung makan.
Mengapa bangga menjadi anak Indonesia?
Karena percaya bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang LEBIH BESAR
dan LEBIH MULIA di masa depan, karena kita punya segalanya kecuali
tekad yang sangat bulat untuk memulai menapakinya. Mari kita mulai!
10
BHINNEKA TUNGGAL IKA ITU KEREN!
Early Rahmawati ‐ Pelajar di Osnabrueck Germany
INDONESIA itu begitu istimewa. Coba saja tanyakan pada mereka yang baru
saja pulang dari berlibur di Bali, atau menyelam di Bunaken atau Raja Ampat.
Wah, pasti kita akan menerima jawaban yang bertubi‐tubi tentang betapa
menakjubkannya alam Indonesia. Keramahan manusianya, keindahan
alamnya, keenakan makanannya. Semuanya sungguh membuatku merasa
sangat beruntung dilahirkan sebagai anak Indonesia.
Satu hal yang membuat saya begitu bangga dengan menjadi anak
Indonesia adalah karena bangsa kita memiliki founding fathers yang benar‐
benar telah berjuang untuk Indonesia. Kemerdekaan negeri kita bukanlah
hasil pemberian, tapi benar‐benar sebuah hasil perjuangan. Kita tidak
meminta kemerdekaan itu, tapi kita merebutnya.
Hal lain yang membuat saya bangga dengan manusia Indonesia adalah
etos kerjanya yang super ulet dan pantang menyerah. Saya pernah berkeliling
Indonesia sebelum berangkat bersekolah di Jerman, dan saya terenyuh
sekaligus bangga menyaksikan bagaimana anak‐anak bangsa menyambung
hidup dengan cara yang mungkin tidak akan pernah kita bayangkan
sebelumnya. Ada yang bekerja sebagai penyelam mutiara nun jauh di
Kepulauan Kai di Maluku. Ada lagi sebuah keluarga di Flores yang bahu‐
membahu mengumpulkan pecahan‐pecahan uang untuk membiayai salah
satu anggota keluarga yang paling cerdas untuk bersekolah di fakultas
kedokteran di Surabaya. Ada pula seorang anak bangsa yang berjualan
makanan kecil sembari bersekolah, dan sekarang dia sedang merintis
mimpinya untuk bisa kuliah di Jerman.
Satu hal lagi yang membuat saya sangat bangga sebagai anak Indonesia
adalah karena kita masih mampu mempertahankan tradisi dan budaya kita,
meskipun kita pernah dijajah negara lain selama beratus‐ratus tahun. Tentu
saja banyak unsur kebudayaan yang terakulturasi selama lebih dari 350 tahun
itu, tapi inti dari kebudayaan kita tetap utuh. Bahasa kita tetap bahasa
11
Indonesia.
Adat istiadat kita tetap beraneka ragam khas dari tiap‐tiap daerah di
Indonesia. Pakaian adatnya, makanan daerahnya, hingga bahasa daerahnya
pun, tetap terjaga. Oh ya, saya mengkoleksi kain‐kain tradisional Indonesia
dan sebagian saya bawa ke Jerman, sehingga teman‐teman saya di sini bisa
ikut menikmati keindahan dan keanekaragaman budaya Indonesia.
Ada lagi aspek lain yang membuat saya semakin bangga dengan
Indonesia, yaitu bagiku Indonesia itu seperti sebuah dunia dalam dunia,
karena begitu beranekaragamnya suku bangsa dan penampilan fisik anak
Indonesia. Anak Jawa biasanya berkulit coklat, anak Manado biasanya berkulit
putih, dan anak Papua berkulit gelap.
Ah, ada cerita lucu tentang perbedaan penampilan fisik ini, dan betapa
bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu yang mengagumkan. Seorang
teman, keturunan Cina dari Medan, yang juga tinggal di Jerman, pernah
bertemu dengan seorang anak Papua di Bremen. Dan tentu saja mereka
segera ngobrol dengan bahasa Indonesia. Dan kebetulan di dekat sana ada
seorang teman lain, orang Jerman, yang terheran‐heran, kok bisa ada orang
Cina dan orang Afrika berbicara dengan bahasa yang sama.
Betapa bangganya saya menjadi anak Indonesia!
12
Early Rahmawati – Osnabrueck, Germany
Student
Seorang pelajar, DJ Radio PPI Dunia, anak rantau Indonesia
di Jerman yang alhamdulillah sudah menjelajah hampir
seluruh pelosok Indonesia, dan bercita‐cita untuk menjadi
‘PR’ Indonesia di dunia, juga ingin sekali membuat kota‐kota
di Indonesia menjadi kota kreatif yang inspiratif, sehat, dan
menyenangkan bagi warganya.
Mengapa bangga menjadi anak Indonesia?
Karena kita mempunyai beragam budaya dan Indonesia seperti “dunia
kecil” di dunia yang luas ini.
13
INDONESIA, THE NEXT TECHNO GIANT
Eduardus Christmas ‐
Founder, CEO & Chief Innovation Officer PT Evolitera, Jakarta
BEBERAPA waktu yang lalu, Indonesia mulai menjadi sorotan mata dunia
dalam hal web technology. Berita yang ditulis oleh TechCrunch, sebuah media
massa bergengsi di Silicon Valley menunjukkan hal tersebut
(http://tcrn.ch/aYUE0Q). Bukan bangga karena Evolitera masuk di
dalamnya, melainkan karena Indonesia yang dahulu hanya dipandang sebagai
“market” dari produk semacam Facebook atau Twitter, kini mulai dilirik
sebagai “maker” alias produser! Hal ini diperkuat dengan mulai masuknya
investor asing yang berminat mendanai beberapa start up lokal di bidang web
(http://bit.ly/af79nk).
Kreativitas dan kemampuan berpikir anak Indonesia dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi jelas tidak kalah mumpuni. Lihat saja murid‐murid
SMK yang sudah mampu membuat mobil (http://bit.ly/NXzSl), para juara
olimpiade matematika, fisika, juara robotik internasional, dan banyak lagi.
Ditambah, sekarang semakin banyak event kompetisi inovasi di bidang
teknologi yang digelar berbagai institusi, baik pemerintah, institusi
pendidikan, maupun perusahaan swasta.
14
dibantu oleh dunia akademik (kampus). Di sinilah peran para technopreneur
(entrepreneur di bidang teknologi) akan teruji, dalam memajukan bangsa ini.
Bangsa yang kreatif. Indonesia adalah bangsa dengan ragam seni budaya
tinggi. Industri kreatif di negara ini sangat hidup. Tidak hanya kreatifitas
kesenian, masyarakat pun dapat menyelesaikan problematika mereka dengan
kreatif. Tengok saja kampung‐kampung yang tidak dialiri listrik PLN namun
mampu menghasilkan listrik bagi kebutuhan mereka sendiri
(http://bit.ly/93mH4z).
Sumber daya yang tersedia. Wilayah Indonesia yang subur dan berlimpah
kekayaan alam, membuat orang bilang: “tongkat kayu dan batu jadi
tanaman”, dan kita juga tahu betapa melimpahnya kekayaan bahan baku
energi di tanah kita. Akan tetapi seringkali pertanyaan menusuk, mengapa
lebih banyak bangsa asing yang menguasai kekayaan kita.
Menurut saya, kekayaan energi tidak terbatas pada batubara, gas, minyak
bumi saja. Apakah garis pantai yang panjang bukan anugerah? Di garis pantai
itu dapat diletakkan turbin angin penghasil listrik. Suatu investasi yang
mungkin mahal, tetapi Indonesia tidak akan kekurangan energi selamanya.
Biarlah negara lain mengeruk kekayaan energi kita saat ini, tetapi di masa
depan Indonesia akan menjadi salah satu pusat renewable energy dunia.
Teknologinya? Saya yakin mahasiswa teknik sudah bisa membuatnya!
Beban usaha yang (relatif) murah. Bayangkan jika Anda memulai sebuah
perusahaan di negara‐negara seperti US atau Eropa. Berapakah beban gaji dan
sewa kantor yang harus ditanggung? Belum lagi Anda harus bertahan hidup
tanpa gaji (atau gaji minimal) dengan biaya hidup yang tinggi ketika baru
membangun usaha.
15
Di Indonesia, kita bisa memulai usaha dengan jauh lebih murah. OK‐lah
menurut peringkat IFC, negara kita kurang business friendly
(http://bit.ly/jtptq). Akan tetapi, hasil obrolan saya dengan beberapa
entrepreneur yang sudah sukses, mereka berkata: “Kalau you mau sukses jadi
kaum profesional, you musti pergi ke Amerika atau Singapura. Tapi kalau you
mau kaya, ya di Indonesia ini!” Saya sepakat dengan hal ini.
16
Saat ini sudah bukan masanya berbangga diri dengan natural resource
yang kaya. Indonesia di masa mendatang akan bangga karena tingkat
kompetensi human resource–nya yang tinggi. Kreatifitas dan kemampuan
(kapabilitas) anak muda Indonesia, jika digabungkan dengan semangat
technopreneurship, maka akan menjadi kekuatan‐kekuatan dahsyat bangsa
ini. Akan lahir General Electric‐General Electric baru, Ford‐Ford baru, Google‐
Google baru, Facebook‐Twitter baru, yang didirikan oleh anak bangsa
Indonesia, dengan teknologi yang setara dengan produksi negara maju di
masa mendatang!
Eduardus Christmas – Jakarta, Indonesia
Entrepreneur
17
DEAR DIARY
Farichah – Karyawan Swasta di Gianyar, Bali
Dear Diary,
Kemarin aku nonton acara kuis di TV yang berhadiah sampai 2 milyar
rupiah. Kira‐kira kalau aku dapat hadiah uang 2 milyar, mau aku apakan ya,
Dy? Beli rumah, beli mobil, menikah, pergi haji sekeluarga, sepertinya masih
akan tersisa banyak. Hmmm, atau aku pakai untuk mewujudkan impian masa
kecilku saja? Berkeliling Indonesia!
Dimulai dari yang paling barat, kota Sabang di pulau Weh. Di sana ada
Tugu Kilometer 0 RI, tempat terbarat Indonesia. Selain itu, hanya beberapa
kilometer dari sana ada pantai Iboih & pulau Rubiah. Lautnya berwarna hijau
dan konon keindahan taman lautnya melebihi perairan Bunaken ataupun
Nusa Penida. Wow! Aku jadi penasaran! Mungkin aku akan kursus diving
singkat di sana. Aku merasa harus melihat dengan mata kepala sendiri
keindahan bawah lautnya.
Perjalanan selanjutnya ke danau Toba di Sumatera Utara. Dengar‐
dengar pemandangan ketika matahari terbit dan tenggelam di danau Toba
sangat bagus. Aku mau berkemah setidak‐tidaknya sehari semalam disana.
Setelah itu aku akan ke Padang & Palembang. Aku penasaran ingin
merasakan makan pempek dan masakan Padang di kota asalnya. Aku juga
ingin menikmati pemandangan jembatan Ampera di malam hari. Aku pernah
melihat pemandangan itu dari beberapa foto teman kantorku. Di Padang juga
ada wisata jembatan akar. Unik ya? Konon jembatan ini sudah lebih dari 100
tahun umurnya. Bentuknya mirip dengan jembatan akar yang ada di India &
Jepang. Sebelum aku pergi ke tujuan berikutnya, tempat terakhir yang ingin
aku kunjungi adalah cagar alam lembah Anai, penghubung kota Padang dan
Bukittinggi. Di sini selain ada telaga, hutan hujan tropis, dan air terjun; kalau
sedang beruntung aku bisa melihat bunga bangkai yang sedang mekar.
Di pulau Jawa, sepertinya aku harus singgah di Ujung Kulon. Aku ingin
18
melihat badak Jawa yang hampir punah di habitat aslinya. Aku ingin tahu
apakah tabiat badak jawa sama dengan saudara mereka yang ada di Afrika
yang akan segera saja menginjak‐injak api yang menyala begitu melihatnya.
Ke Jakarta? Pasti! Kesempatan menguji nyali di Dufan dan bertemu
sanak saudara di kota ini tidak akan aku lewatkan. Dan satu lagi hal yang
belum sempat aku lakukan selama aku tinggal di Jakarta dulu, adalah
berwisata ke Kota Tua, menikmati banguanan‐bangunan kuno yang kini
dijadikan sebagai sebagai cagar budaya.
Dy…
Entah mengapa meskipun aku sudah beberapa kali pergi ke Bandung,
aku masih selalu ingin berkunjung lagi, lagi, dan lagi. Magnet kota kembang itu
selalu menarikku. Kawasan Kawah Putih di Ciwidey dan Tangkuban Perahu
sangatlah indah. Sekedar menikmati pemandangan sambil makan jadah bakar
(jajanan dari beras ketan) dan minum bandrek hangat (minuman yang terbuat
dari rempah‐rempah) pun sudah sangat menyegarkan. Atau mengunjungi
kebun strawberry di mana kita bisa memetik sendiri strawberry‐nya, berputar‐
putar kota untuk wisata kuliner, atau berbelanja ke factory outlet yang
menjual hasil kreasi mojang‐mojang Bandung.
19
Selanjutnya kita akan bergerak ke kepulauan di sebelah utara Pulau
Jawa. Aku rindu, ingin kembali mengunjungi Karimunjawa. Ingin snorkeling
dan bermain‐main lagi dengan ‘nemo’ si ikan badut dan ‘patrick’ si bintang
laut, atau berenang dan bermain‐main di penangkaran hiu & kura‐kura. Aku
juga ingin menginjakkan kaki lagi ke pulau Cemara Kecil & Cemara Besar,
kepulauan berpasir putih yang lebarnya hanya beberapa are, sambil
merasakan sensasi punya pulau pribadi. Aku ingin mengulang kegirangan
memancing ikan hanya bermodal senar & umpan sayur sisa makan siang.
Ternyata ikan‐ikan di sana benar‐benar doyan makan! Aku juga kangen makan
tahu isi di lapak kaki lima di dekat dermaga, yang isinya bukan sayur
melainkan tepung & ikan yang dihaluskan.
Kembali lagi ke Jawa, ada beberapa tempat lagi yang aku impi‐impikan
untuk bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Aku ingin mengunjungi
Pantai Plengkung di sebelah selatan taman nasional Alas Purwo, pantai yang
bisa disejajarkan dengan lokasi surfing di Hawaii, Australia dan Afrika Selatan.
Satu lagi, pantai Sempu di Malang. Konon pesonanya bahkan mirip dengan
lokasi di film The Beach yang dibintangi Leonardo di Caprio.
Bergeser ke sebelah timur, aku akan melewatkan waktu di tempat
wisata idamanku: Pulau Komodo & Danau Tiga Warna di Gunung Kelimutu.
Obyek wisata yang paling aku ingini untuk aku kunjungi berada di ujung
timur Nusantara. Di Papua ada sebuah danau yang bernama Danau Pinai.
Danau dengan pagar tebing‐tebing tinggi ini adalah danau terbaik dan
terindah di seluruh dunia yang dinyatakan oleh 157 negara‐negara pemilik
danau di dunia pada Konferensi Danau se‐Dunia di India November 2007. Aku
juga ingin menengok keindahan bawah perairan Raja Ampat yang sungguh
menakjubkan. Perairan dengan 610 pulau‐pulau kecil itu sangat dikenal di
dunia sebagai pulau surga yang tak ada duanya. Setelah dari Papua, aku akan
20
kembali ke Bali lagi.
Dy…
Bangga rasanya aku menjadi anak Indonesia, negara yang alamnya merupakan
salah satu yang paling indah di bumi ini.
Farichah – Bali, Indonesia
Karyawan Swasta
21
SAYA DAN NAMA SAYA
Frederick Eliezer Gaghauna – Tukang Pos & Pekerja Kemanusiaan di Bandung
SAYA dilahirkan dari kedua orang tua yang berbeda latar belakang budaya,
agama dan adat istiadat. Ayah saya adalah seorang Talaud, Sulawesi Utara
yang merupakan kepulauan kecil di ujung paling utara Indonesia berbatasan
dengan negara Filipina, yang berkarakter keras, sementara Ibu berasal dari
Solo, Jawa Tengah yang dibesarkan dengan nilai‐nilai budaya Jawa yang sangat
kental . Alhasil saya adalah produk asli Indonesia. Orang tua saya selalu
memilih untuk membesarkan anak‐anaknya di wilayah dan lingkungan
pedesaan atau perkampungan. Saya pun selalu bersekolah di sekolah negeri
yang terdekat dengan rumah, jadi 95% hidup saya habiskan di pulau Jawa,
mulai dari lahir di sebuah desa kecil bernama Dolopo di Madiun, bersekolah di
kota Surabaya dan kota Sidoarjo, lalu kuliah dan kemudian memutuskan untuk
menetap di Kota Bandung.
Meskipun lahir dan besar di Pulau Jawa, tetapi orang tua saya
memberikan nama anak‐anaknya dengan nama‐nama khas Talaud, yang
terdengar sangat kebarat‐baratan tetapi sebenarnya adalah nama yang
sangat biasa dipakai di kampung Ayah saya dan juga oleh orang‐orang dari
wilayah Timur Indonesia, dapat dipastikan karena pengaruh budaya Eropa
(Belanda dan Portugis). Nama lengkap saya adalah Frederick Eliezer
Gaghauna, dengan nama kecil yang lebih sederhana: Freddy. Sayangnya
penampilan fisik saya tidak ditunjang dengan nama yang terdengar kebarat‐
baratan tersebut. Saya tampak sangat jawa dengan warna kulit sawo matang
dan rambut berombak, berbeda dengan kakak dan adik saya, yang lebih
mengikuti warna kulit Ayah yang kuning langsat khas orang Talaud dan
berambut lurus. Dialek sayapun sangat jawa (medok) dan saya sangat fasih
berbahasa Jawa dengan dialek jawatimuran dan jawatengahan.
22
bagi saya, tentu saja ini jauh lebih sulit bagi teman‐teman bahkan guru‐guru
saya, karena bagi lidah Jawa, nama tersebut sangat menggelikan, sehingga
tidak mengherankan nama saya jadi bahan lelucon dan plesetan oleh teman‐
teman, seperti Kampret (anak kelelawar dalam bahasa jawa), Pretpret (bunyi
kentut), Padi (karena cukup sulit bagi beberapa teman untuk menyebutkan
Freddy) atau yang paling lucu adalah Gakkatoan (yang artinya tidak pakai
celana dalam bahasa jawa), bahkan beberapa guru meminta ijin memanggil
saya Rudi atau Jefri, entah dengan alasan apa. Tak pernah saya marah atau
tersinggung, karena saya sadar, bahwa nama saya memang sangat tidak lazim
di lingkungan saya.
Selepas SMA saya melakukan perjalanan pribadi selama satu tahun ke
wilayah Indonesia Timur dengan menggunakan kapal laut, berangkat dari
Surabaya saya berkeliling menuju Kupang, Dilli (dahulu masih masuk wilayah
Indonesia), Ambon, Ternate, Manado, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura.
Perjalanan dimana nama saya tidak lagi dikategorikan sebagai nama “aneh”
dan sulit, karena dalam perjalanan itupun saya bertemu beberapa orang yang
bernama depan sama : Frederick! Betapa senangnya saat itu, karena setiap
kali berkenalan atau harus menuliskan nama, saya tidak harus menjelaskan
latar belakang nama dan keluarga saya. Tetapi ternyata masih ada
“keanehan” bagi teman‐teman baru saya dari Timur ini, yaitu aksen saya!
Seseorang bernama khas Indonesia Timur tetapi beraksen Jawa yang sangat
kental. Untuk keanehan ini pun saya mendapatkan panggilan baru, seperti
Bung Masmas (Bung adalah nama panggilan akrab buat laki‐laki di Indonesia
Timur, sementara Masmas adalah panggilan bagi laki‐laki Jawa yang merantau
ke wilayah timur, yang biasanya berjualan Bakso), atau Yong Jawa (Yong
adalah sebutan anak muda asal Sulawesi Utara). Kali inipun saya tidak pernah
marah dan tersinggung.
23
Frederick Eliezer Gaghauna – Bandung, Indonesia
Tukang Pos, Petualang Sejati, Pekerja Kemanusiaan
dan Sukarelawan
Tukang pos yang sukanya jalan‐jalan. Sempat menjadi
wakil pertukaran pemuda ASEAN‐Jepang dan baru
saja menyelesaikan tugasnya sebagai pekerja
kemanusian di Palang Merah Kanada selama 4,5 tahun
Mengapa bangga menjadi anak Indonesia?
Kebanggaan yang tidak bisa dihindari, kebanggaan yang harus disyukuri
24
BENDERA DI U‐BAHN NO.6
Hafiz Rahman – PhD Researcher di Huddersfield, The United Kingdom
PAGI ini seperti biasa dalam rangka sebuah workshop, saya melangkahkan
kaki menuju salah satu pojok Humboldt Universitaet di Berlin. Tak ada yang
luar biasa sampai suatu saat ketika tengah memasuki U‐Bahn (Underground)
No. 6 jurusan Alt‐Tegel saya mendengar lagu Bendera yang dibawakan oleh
group band Cokelat melalui headphone yang berasal dari player di HP saya.
Anda pasti sudah sangat tahu lagu ini bukan? Lagu lama, tapi entah kenapa
tadi pagi begitu membuat saya bersemangat dan membuat saya merinding.
Ya, lagu itu memang sederhana, tapi sudah cukup menggugah rasa ke‐
Indonesia‐an hari ini. Melalui Platz‐der‐Luftbruecke lalu Mehringdamm.
Kemudian Friedrichstr. Dan untuk selanjutnya sampai di halte Zinnowitzerstr.
Saya tak henti mendengarkan lagu itu. Berkali‐kali saya ulang tanpa bosan.
25
tahu kalau di Kumasi, di pedalaman Ghana nun di Afrika sana, masyarakat
setempat masih mengingat Bung Karno dan memuja‐muja beliau dengan
setinggi langit bak seorang dewa, sampai mereka mengatakan ‘if he was our
President, we will not be like this’? Apakah kita tahu kalau proses
pembangunan kita selalu jadi acuan dan benchmark bagi proses
pembangunan di negara berkembang lainnya? Apakah kita tahu kalau negara
kita adalah satu‐satunya negara di dunia yang mengakui 5 agama sebagai
agama penduduk kita? Apakah kita tahu kalau salah seorang doktor kita
adalah salah satu juara perancangan sistem persenjataan bagi militer Inggris?
Apakah kita semua tahu kalau tim sepakbola muda kita adalah juara ASEAN
baru‐baru ini?
Banyak sekali pertanyaan‐pertanyaan ‘apakah kita tahu...’ yang beredar
di benak saya sembari mendengar lagu itu tadi pagi di U‐Bahn No. 6 di Berlin
ini. Ya, benar. Apakah kita tahu bahwa kita sebagai bangsa Indonesia
sepatutnya bangga dengan pencapaian‐pencapaian kita, sehingga seharusnya
kita juga dengan kepala tegak dan dada membusung mengatakan dengan
lantang dan bangga: “SAYA ORANG INDONESIA’.
U‐Bahn No. 6 itu terus melaju dan saat di halte Zinnowitzerstrasse saya
bersiap untuk turun. Cokelat terus menyanyikan Bendera untuk kesekian
kalinya di player HP saya. Pagi ini, saya kembali menemukan kebangaan yang
begitu hebat menjadi orang Indonesia, sehingga langkah saya terasa begitu
ringan untuk menuju arena aktivitas saya dan rasanya ingin berteriak ke
semua orang bahwa saya anak Indonesia.
26
Anda tahu? Kebanggaan menjadi sebuah bangsa akan benar‐benar kita
rasakan begitu kita menginjak tanah bangsa lain dan bergaul dengan berbagai
jenis manusia. Dan pada saat itulah kita akan sangat butuh dan cinta untuk
menjadi sebuah bangsa.
Merah putih teruslah kau berkibar
Di ujung tiang tertinggi, di Indonesiaku ini
Merah putih teruslah kau berkibar
Ku kan selalu menjagamu
Ku pertahankan kau demi kehormatan bangsa
Ku pertahankan kau demi tumpah darah
Semua pahlawan‐pahlawanku
(Bendera, oleh Cokelat)
Hafiz Rahman – Huddersfield, United Kingdom
Peneliti
Lahir‐besar di Indonesia yang kemudian diberi nikmat‐
berkah luar biasa untuk dapat melihat dunia lain ciptaan
Tuhan dan mengambil kesimpulan bahwa Indonesia adalah
segalanya.
Mengapa bangga jadi anak Indonesia?
Ternyata..oh ternyata, negeri‐negeri lain itu tak ada apa‐apanya dibanding
INDONESIA
27
BERGURU DARI GADIS KECIL DAN KALENGNYA
Lakshmi Sawitri – Karyawan Swasta
Duh, pikirku, anak sekecil ini sudah punya kesadaran tinggi untuk
membantu orang lain. “Kamu tinggal sama orang tua di sini, Dik?”, tanyaku
lagi. “Nggak, kak”, jawab anak itu. Lalu dia bercerita bahwa dia bisa
bersekolah di sini karena mendapat beasiswa, dan saat ini dia tinggal di
asrama sekolahnya. “Wah, enak dong, dapat beasiswa di sini! Habis ini jadi
gampang nerusin sekolah dan nyari kerja di sini”. “Haaa... enggak, kak”,
jawabnya lagi, “Sekolah sih boleh di sini. Tapi begitu aku bisa balik, ya aku
balik aja ke Indonesia. Ngapain di sini – orang di sini kebanyakan cuma
mementingkan diri sendiri”.
Sambil mendengarkan ucapan terima kasih anak itu atas sumbangan yang aku
berikan, aku berpikir, Ibu Pertiwi pasti bangga punya putri seperti ini.
Sore itu, dengan tas penuh oleh‐oleh buat keponakanku, aku naik
pesawat ke Jakarta. Pesawat kali itu rupanya penuh sekali, sampai‐sampai tak
ada lagi ruang di rak atas untuk tasku. Tiba‐tiba, “Mbak, saya turunin tas saya,
deh, supaya mbak bisa taruh tasnya di atas. Saya bisa taruh tas saya di bawah
kursi”, seorang anak muda menyapa dari belakangku. Ternyata pemuda ini
duduk di sebelahku. Orangnya ramah juga. Lumayan, jadi punya teman
ngobrol di perjalanan. “Kerja di mana, mas? Ini lagi cuti, ya?” aku tanya,
berbasa‐basi. Pemuda itu dengan bangga menyebutkan nama maskapai kapal
pesiar internasional berbasis di Eropa. “Saya pelaut, mbak”, katanya. Wah,
heran juga aku, ada juga orang Indonesia kerja di perusahaan cukup besar di
Eropa yang namanya saja mungkin banyak orang Indonesia yang tidak tau.
“Wah, banyak, mbak, orang Indonesia yang kerja di maskapai ini. Manajemen
kapal pesiar ini seneng mempekerjakan orang Indonesia karena kita terkenal
sopan dan nggak suka berbuat yang aneh‐aneh. Malahan pegawai‐pegawai
Indonesia yang senior jadi semacam penyalur tenaga kerja, mbak, hehehehe.
Kita tarik teman‐teman dan kenalan untuk masuk kerja di sana. Tentu saja ya
dipilih yang orangnya baik‐baik. Sama‐sama seneng, mbak. Manajemen
seneng dapet orang yang bagus, kita juga seneng bisa ngebantu teman dan
saudara.”. “Jadi mafia tenaga kerja, dong?”. “Lho, ya enggak, mbak. Kita kan
cuma bantu, nggak minta komisi. Kan seneng kalau makin banyak orang
Indonesia yang bisa bawa pulang duit dari luar negeri – sekarang lagi jaman
29
susah duit gini”, jawabnya sambil tersenyum. Aku tatap matanya, dan aku
tahu pemuda ini berbicara dari hatinya.
Lakshmi Sawitri
Karyawan Swasta
Pencinta alam yang suka mengamati dunia sekitarnya
Mengapa bangga menjadi anak Indonesia?
Karena aku cinta Indonesia
30
AKU BANGGA (TITIK)
Made Harimbawa – Mining Engineer di Blackwater, Queenstown, Australia
Saya bangga bahwa bangsa kita bukanlah bangsa yang ‘baru lahir
kemarin’. Kita (ternyata) adalah bagian dari sebuah cerita panjang berumur
ribuan tahun. Tak hanya itu, cerita kita juga adalah bagian dari cerita dunia.
Tak begitu banyak bukti tertulis dari masa lalu yang selamat sampai ke
tangan kita. Catatan tertulis tertua datang dari Pulau Kalimantan berupa baris‐
baris sajak pendek dalam bahasa sansekerta dengan huruf palawa, diukir di
atas batu‐batu yupa sekitar awal abad ke‐4.
Tapi di situkah asal mula sejarah kita? Ternyata tidak. Untuk melihat
lebih jauh ke belakang, kita perlu melihat naskah‐naskah yang ditulis para
pengelana masa lampau seperti Periplous (of the Erythrean Sea), Ptolemy, I
Tsing dan sebagainya. Dari mereka kita tahu bahwa nenek moyang kita tidak
hanya para pelaut ulung, tapi juga adalah para saudagar sukses yang berperan
langsung dalam perdagangan dunia.
Sudah sejak lama pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan terkenal sebagai
penghasil barang‐barang tambang, seperti emas, perak, tembaga, timah dan
sebagainya. Kepulauan kita pun dijuluki Svarnadvipa atau Svarnabhumi atau
kepulauan emas, negeri emas.
Tak hanya barang tambang, Barus, di timur Sumatra, telah dikenal jauh
sebelum tarikh masehi sebagai pengekspor camphor hingga jauh ke Mesir dan
Timur Tengah. Camphor dari Barus digunakan sebagai bahan makanan,
campuran minuman tonik, hingga menjadi salah satu bahan yang dipakai pada
31
proses pembuatan mumi di jaman Mesir kuno.
Setidak‐tidaknya mulai abad ke‐7, di kepulauan kita telah mulai banyak
bermunculan pusat‐pusat pendidikan yang terbuka bagi siapa saja, termasuk
murid‐murid yang datang dari luar negeri. Pada tahun 671 M, I Tsing—seorang
pendeta buddhis dari Cina—melabuh di Sriwijaya (ketika itu sudah menjadi
bandar dan kerajaan yang besar dan paling berpengaruh di Asia Tenggara) dan
tinggal di sana selama enam bulan.
32
Para pendeta Cina dalam perjalanannya dari atau menuju India juga
menyempatkan diri berkunjung ke Kalingga. Spiritualitas, di Jawa terus
dijunjung tinggi dan menjadi bagian penting masyarakatnya yang lebih agraris
sehingga di kemudian hari bisa mencapai puncak kebudayaan yang lebih tinggi
daripada Sriwijaya.
Singkat cerita, Dinasti Sanjaya berkuasa di Jawa selama hampir 200
tahun sebelum digantikan oleh Dinasti Isyana yang dipimpin Mpu Sindok.
Meskipun berhasil ditundukkan Sriwijaya pada 1006 M, kekayaan intelektual
Mataram terus dilanjutkan oleh kerajaan‐kerajaan setelahnya: Kahuripan,
Kediri, Singhasari dan kemudian berpuncak pada lahirnya emporium
Majapahit pada tahun 1293 M.
Tidak seperti di Sriwijaya, para penguasa Jawa tidak hanya membangun
candi dan tempat‐tempat suci, mereka juga menghasilkan karya‐karya tulis.
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa tingkat literasi (kemampuan baca‐
tulis) masyarakat Jawa telah menyebar luas pada abad ke‐9.
Keberadaan Borobudur (selesai di bangun pada tahun 825 M) dan
Prambanan (856 M) menunjukkan bahwa di bawah kekuasaan Dinasti Sanjaya
dan Sailendra, Jawa telah menjadi pusat pendidikan ternama di Asia Tenggara.
Keagungan kedua bangunan suci tersebut terdengar hingga ke Vietnam dan
Kambodia.
Dalam salah satu peninggalan tertulis dari Kerajaan Champa disebutkan
bahwa seorang pejabat tinggi di sana datang ke Jawa untuk mempelajari “ilmu
ajaib” yang membuat Jawa begitu disegani. Bahkan ketika saya berkunjung ke
Angkor Wat, seorang pemandu wisata di sana berkata bahwa sebelum orang‐
orang Khmer membangun Kuil Angkor, mereka datang belajar ke Jawa.
33
Selama 200 tahun kekuasaan Majapahit, begitu banyak pemberontakan
terjadi baik yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi, rasa kecewa, maupun
yang ‘disponsori’ oleh pihak asing untuk mengguncang stabilitas internal
Majapahit. Di bawah tangan Gajah Mada pula, pemberontakan‐
pemberontakan itu mampu diatasi dengan relatif mudah tapi tidak murah!
Sejak itu, kerajaan‐kerajaan kecil di wilayah bekas kekuasaan Majapahit
berdiri sendiri‐sendiri dan tidak pernah lagi bersatu sampai datangnya
Portugis, Spanyol dan akhirnya Belanda di kepulauan Indonesia untuk
menjajah. Masa 300‐an tahun lebih di bawah penjajahan asing perlahan tapi
pasti menghapus memori kolektif bangsa Indonesia akan kejayaan masa
34
lalunya.
Jayalah Indonesiaku! Merdeka!
Made Harimbawa – Queenstown, Australia
Mining Engineer
Lahir dan besar di Indonesia dari pasangan orang tua
berbeda agama – Islam dan Hindu. Penulis dihadapkan dengan
keanekaragaman budaya dan tradisi Indonesia sejak lahir.
Mengapa bangga jadi anak Indonesia?
Kenapa nggak? Indonesia menyimpan ribuan potensi yang bisa dibagi
untuk dunia! ☺
36
CATATAN KECIL DARI BALAI PEMUDA
Nana R’yani ‐ Surabaya
17 JUNI 2010, pukul 9 pagi. Seorang teman mengirim pesan singkat, “ayo, Dik,
berangkat. Aku tunggu di kampus”. Memang kemarin kami dan beberapa
teman lain telah berjanji untuk menghabiskan hari ini bersama. Kami akan
pergi ke Balai Pemuda, sebuah kompleks gedung tempat para seniman
Surabaya biasa menggelar aksi kesenian mereka. Wah, jangan salah menduga.
Kami bukan seniman, tapi kami adalah penikmat seni budaya masyarakat
Indonesia yang begitu kreatif. Dan kebetulan hari ini adalah hari kedua
diselenggarakannya FLS2N (Festival & Lomba Seni Siswa Nusantara). Akan ada
tarian, teater, pedalangan, dan beberapa kesenian lain digelar di sana, dari
hampir seluruh daerah di Nusantara.
Pukul 9 lebih beberapa menit kami tiba di sana. Dari atas panggung
kami disambut oleh para mojang geulis dari Jawa Barat dengan tarian mereka
yang lemah gemulai namun berenergi. Sangat indah. Baru beberapa menit
kami berdiri di depan panggung, berdiri di belakang para penonton lain yang
sudah datang lebih dahulu, kami benar‐benar terkejut dan terkagum‐kagum.
Pertunjukan di panggung dilanjutkan dengan gerakan yang sangat rancak dari
gadis‐gadis Sumatera Barat, membuat saya merinding. Indah sekali. Saya
melirik ke teman saya yang berdiri di samping saya, dan dia mendesis pelan
“apik, cak!” (bagus! ‐red.) katanya dengan logat Surabayanya. Hanya itu yang
keluar dari mulutnya karena tak ada lagi kata‐kata yang bisa mewakili.
Melihat anak‐anak belia yang sekreatif itu, melihat mereka yang sangat
bersemangat menyuguhkan ciri khas daerah mereka dengan karakternya
37
masing‐masing, membuat saya merasa malu. Sangat malu. Beberapa hari ini
saya sedang kebingungan mencari jawaban dari satu pertanyaan yang
mengiang‐ngiang di telinga saya. Pertanyaan itu sederhana saja: banggakah
saya menjadi anak Indonesia? Jawabannya pun seharusnya sederhana saja.
Hanya ‘ya’ atau ‘tidak’. Tapi saya betul‐betul kebingungan dan hampir‐hampir
putus asa. Hampir saja saya mengambil kata ‘tidak’ sebagai jawabannya.
Bagaimana tidak, lihat saja berita‐berita yang muncul akhir‐akhir ini. Korupsi,
video porno, tawuran mahasiswa, dan entah apa lagi. Tapi kejadian sehari itu
membuat saya seolah tersadarkan, betapa kayanya rumah saya ini. Saya
melihat begitu beragamnya manusia yang menghuni rumah raksasa saya. Saya
melihat begitu beragamnya budaya yang mewakili masing‐masing ruangan
dari rumah ini. Dan betapa malunya saya ketika saya hampir menjatuhkan
pilihan kata ‘tidak’ untuk jawaban yang mengiang di telinga saya itu. Karena
saya patut bangga dengan semua yang tersimpan dalam satu rumah bernama
Indonesia ini. Yang sangat bhinneka, yang sangat eksotis, yang sangat indah!
Jadi kenapa saya mesti bingung?
Nana R’yani – Surabaya, Indonesia
Mahasiswi
Pengagum seni Indonesia yang selalu ingin belajar dan
mewariskan seluruh budaya Indonesia kepada anak cucu dan seterusnya
Mengapa bangga jadi anak Indonesia?
Karena bagaimanapun, Indonesia adalah ibu bagi semua anak‐anaknya
38
GARUDA BERKUMANDANG
Rivelson Saragih –
Anggota Peacekeepers Misi Kemanusiaan di Lebanon Selatan
TAK pernah terbayangkan olehku bahwa suatu hari aku akan membawa nama
besar bangsa Indonesia ke kancah pergaulan Internasional. Semenjak pertama
kali menginjakkan kaki di negara konflik bernama Lebanon ini, udara
pergaulan terasa tidak begitu nyaman. Maklumlah, negara ini sedang dilanda
konflik yang berkepanjangan. Sehingga hal yang wajar bila ada yang datang ke
negara ini akan dipelototi dan dicurigai oleh penduduk setempat sebagai
orang‐orang yang kelak juga akan menjajah negaranya.
Faktor‐faktor inilah yang membuat hatiku sedikit kecut untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan penduduk lokal, padahil tugas yang
kuemban sebagai duta misi kemanusiaan di wilayah yang sedang berkecamuk
konflik mengharuskanku bergaul dengan mereka. Bagaimana mereka bisa
menerimaku? Sedangkan kedekatan bangsa‐bangsa Eropa saja mereka tolak
mentah‐mentah. Padahal negara seperti Itali dan Perancis sudah memberikan
bantuan yang cukup banyak bagi negeri ini, mulai membangun sekolah sampai
rumah sakit level IV.
39
Karena ini adalah pengalamanku pertama kalinya menjadi duta bangsa
di dunia internasional, ada sedikit rasa minder yang kualami. Namun aku
menguatkan hati dan berkata pada diri sendiri bahwa aku sebagai duta
Indonesia harus optimis dengan tugas yang sudah dipercayakan negara di
pundakku.
Sedikit demi sedikit dan secara perlahan namun pasti, setiap hari aku
sempatkan untuk bersosialisasi dengan penduduk lokal. Terkadang pula
kuberikan oleh‐oleh kecil khas Indonesia seperti mainan wayang golek, yang
dibalas dengan semangkuk buah zaitun yang sudah diasinkan. Setiap aku
mendapatkan undangan minum kopi di rumah penduduk, tak pernah aku
lewatkan, walau kadang perutku terasa mual ketika dimasuki jamuan
makanan khas Lebanon yang bernama Tabuli (sejenis sayuran hijau dan tomat
yang diiris‐iris, dicampur dengan garam serta dimakan bersama asinan buah
zaitun) serta diselingi dengan minum minyak zaitun yang sudah diolah.
Setelah menginjak bulan ke‐5 berada di negara ini, hal‐hal yang tadinya
aku takutkan ternyata berubah 180 derajat. Keingintahuan penduduk lokal
akan Indonesia ternyata begitu besar. Rasa simpati mulai terasa. Apalagi
setelah aku membawakan beberapa potong pakaian batik sebagai oleh‐oleh
dari Indonesia dan sebuah peta Indonesia yang dibuat dari bahan batik khas
Solo. Beberapa orang mulai peduli dengan kebenaran akan ribuan pulau yang
ada di Indonesia dan ratusan suku yang berdiam di dalamnya serta dengan
ratusan bahasa digunakan oleh setiap daerah dan suku tetapi tetap berdiri
dengan nama Indonesia.
40
Dan banyak dari anggota misi kemanusiaan ini akhirnya tahu bahwa
Indonesia yang begitu besar dan memiliki banyak perbedaan bahasa, budaya,
suku dan sebagainya, namun semua adalah GARUDA yang berada di bawah
naungan sang Merah Putih. Sebagian orang dari 33 anggota negara misi pun
semakin rajin berkunjung ke camp kami yang diberi nama Sudirman Camp.
Mereka datang hanya untuk membaca sepenggal amanat Panglima Besar
Sudirman yang tercetak jelas pada sebuah batu alami yang tertulis on 8th
Januari 1957, President Soekarno dispatched the first mission as UN
Peacekeepers. He was giving high spirit, saying that army was called
GARUDA.
41
Rivelson Saragih – Naqoura, Tyre, Lebanon Selatan
Peacekeepers Misi Kemanusiaan
Penyayang anak‐anak, sudah mengajar sejak umur 15
tahun di kalangan SLTP di kota kecil yang bernama
DELITUA
Mengapa bangga jadi anak Indonesia?
Karena anak Indonesia adalah penerus sejarah bangsa
42
MAKANAN NEGERI INI
Sotyaparasto W. ‐ penikmat kuliner di Surabaya
SEORANG teman dari Inggris pernah bertanya, kenapa saya bangga menjadi
bangsa Indonesia, dan apa yang membuat saya sangat mencintai negeri ini.
Saya sempat bingung sesaat, dan membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk kemudian memberi jawaban yang menimbulkan keheranan dan tawa.
Jawaban saya ketika itu (hingga saat ini) adalah bahwa saya mencintai
makanan Indonesia.
Ya, saya yakin anda mungkin juga heran dan tertawa mendengar
jawaban saya itu, sebagaimana teman asing saya tersebut. Saya menjawab
demikian bukan karena saya ingin terdengar berbeda dari yang lain, atau
karena saya tidak mengagumi keindahan negeri kita, atau karena nasionalisme
saya kurang. Dengan semua sumber daya yang melimpah, dengan segala
keindahan yang menginspirasi, dan berkat beragam budaya yang hidup di
negeri ini, bukankah layak jika bangsa ini disebut memiliki ‘keindahan’ kuliner
yang luar biasa? Begitu luar biasanya, sampai‐sampai penjajah datang hanya
untuk mencuri bumbu dari negeri ini, atau negara tetangga mengklaim
makanan kita sebagai bagian dari budaya mereka.
Betapa ajaibnya anugerah Tuhan pada negeri ini dengan melimpahkan
rempah‐rempah sebagai sumber daya alami negeri ini. Rempah‐rempah
memberikan rasa istimewa dalam tiap racikan masakan Indonesia. Siapa yang
memungkiri kehebatan masyarakat Jawa Timur dalam mengolah kluwak yang
beracun menjadi rawon yang nikmat? Jangan lupakan rasa pedas pala, merica,
dan cabai yang ada pada rendang, rica‐rica, serta ratusan masakan Indonesia
lainnya. Rempah‐rempah adalah inti dari keistimewaan tradisi kuliner
Indonesia. Hal itu membuat bangsa Indonesia berlayar hingga Afrika ratusan
tahun lampau, dan mendatangkan bangsa asing untuk menjarah.
Berabad lampau, makanan yang terlezat disajikan untuk dinikmati para
anggota kerajaan, kesultanan, dan para bangsawan. Rakyat biasa hanya
menggunakan bumbu sederhana dalam setiap masakan mereka. Misalnya,
gudeg komplit yang meliputi sayur nangka, dilengkapi telur, ayam, dan
sayuran lengkap disajikan bagi keluarga kesultanan. Sedangkan rakyat hanya
makan gudeg biasa saja. Ini karena menurut tradisi masa lalu, raja dan sultan
adalah titisan dewa.
Di masa kini, ketika nilai‐nilai feodal telah luntur, makanan adalah hal
yang biasa dinikmati oleh semua kalangan. Gudeg komplit sekarang dapat
dibeli dalam bentuk kemasan di supermarket terdekat dengan hanya lima
belas ribu rupiah. Tadinya tumpeng nasi kuning dan nasi kebuli hanya ada
pada acara pesta kelahiran atau pernikahan, ares pada acara kematian di
Lombok, babi guling dengan rempah pada saat pesta banjar di Bali. Kini, aneka
makanan tersebut dapat diperoleh kapan pun dan pada acara apapun di
berbagai rumah makan. Siapa saja dapat menikmatinya.
44
Beberapa waktu lalu ada pihak yang mengusulkan untuk mendaftarkan
makanan khas Indonesia dan kemudian mematenkannya. Usul itu tidak
terdengar lagi, kemungkinan karena daftar yang dibuat terlalu panjang dan
menjadi tidak realistis. Ada juga yang mengusulkan untuk menuntut setiap
negara asing yang mematenkan makanan khas Indonesia. Namun usul ini
dinilai terlalu mahal.
45
Sotyaparasto W. – Surabaya, Indonesia
Penikmat Kuliner
Masa kecil dilalui di Jambi dan Madiun menjadi remaja di
Mataram, Lombok. Beranjak dewasa di Surabaya. Kini berdomisili di
Sidoarjo, mengelola usaha minimarket, berpostur gemuk, dan pecandu
makanan enak.
Mengapa bangga jadi anak Indonesia?
Saya menikmati cita rasa kuliner Indonesia yang beraneka ragam
46
I’M FROM INDONESIA
Susy Tekunan – Reporter VOA di Washington DC
Sudah lebih dari 5 tahun aku tinggal di Washington DC. Lebih dari
setengah penduduk Washington DC berkulit hitam, hampir 40% berkulit putih
dan hanya sekitar 3% adalah orang dengan latar belakang etnis Asia.
Washington DC, sebagai ibukota dan pusat panggung politik Amerika, memiliki
tingkat pendidikan dan pengetahuan internasional yang tinggi. Walaupun
begitu, negeri Indonesia masih selalu mengundang rasa penasaran banyak
warga setempat.
pernah ke kepulauan Mentawai dan aku juga tidak yakin apakah di surga ada
ombak.
Biasanya orang asing cukup kesulitan melafalkan kata ‘Borobudur’. Nama yang
indah ini menyimpan kemegahan jejeran stupa batu, arsitektur kebanggaan
kita.
Tanah Indonesia rimbun dan hijau, kaya dengan hasil bumi. Aku sering
berusaha menceritakan tentang betapa segarnya buah‐buahan tropis yang
kita miliki seperti manggis, duku, dan salak. Tapi kebanyakan teman‐temanku
punya reaksi paling keras terhadap durian. Mereka menyebutnya “stinky
fruit”.
Aku juga bangga dengan kreatifitas dan keuletan orang Indonesia. Ibu‐
ibu tukang pedicure yang mungkin tidak bisa melafalkan kata itu tanpa logat
Jawa yang kental, berjalan di bawah terik matahari, menawarkan jasa mencuci
kaki dan mengecat kuku warga di kompleks perumahan bersatpam. Pencipta
odong‐odong yang membawa keceriaan anak‐anak dan mengumpulkan rejeki
dengan hanya meminta upah Rp 1.000,00 per putaran. Kreatifitas mereka
berasal dari hasil pemikiran keras mereka, tentang apa yang bisa mereka
lakukan untuk melanjutkan hidup. Aku salut dengan semangat perjuangan
mereka yang tidak begitu saja menyerah pada nasib. Barang kali ini juga yang
membuat orang Indonesia relatif lebih sehat secara mental. Meski hidup
sederhana dan makan seadanya, semangat hidup dari hari ke hari tidaklah
pupus.
48
Aku bangga menjadi warga negara Indonesia dan aku ingin mengabdi
kepada bangsa sesuai dengan porsi yang ada. Aku salut dengan segelintir
orang di pemerintahan yang berani berdiri tegak dan berjalan lurus demi
memperjuangkan kepentingan rakyat kecil: petani atau pengusaha kecil yang
tidak tahu‐menahu tentang apa‐apa saja hak mereka dan apa‐apa saja
kewajiban pemerintah.
Dengan pemikiran dan harapan tadi, aku menjawab dengan bangga; “I’m from
Indonesia”.
Susy Tekunan – Washington DC, Amerika Serikat
Reporter VOA
49
ALUNAN KEBANGGAANKU
Willyam Noveri – anak Indonesia di Pariaman
AKU bangga karena Indonesia mempunyai ribuan musisi, dan lebih bangga lagi
karena Indonesia mempunyai band‐band indie yang mampu membawa nama
Indonesia ke ruang musik Internasional.
Aku pertama kali mengenal istilah band Indie setelah menonton film
Janji Joni. Saat itulah aku pertama kali mendengar Senandung Maaf‐nya
WSTCC, Bedroom Avenue dari GE, dan Konservatif dari The Adams. Aku
mendengar Did I Ask Your Opinion? dari THE S.I.G.I.T yang menjadi soundtrack
film Catatan Akhir Sekolah. Aku juga mengkoleksi kaset dari Mocca.
Band‐band Indie yang aku tahu dan sukai saat ini adalah White Shoes &
The Couples Company (WSTCC), Mocca, Sore, Goodnight Electric (GE), The
SIGIT, The Adams, Monkey To Millionaire, dan Efek Rumah Kaca (ERK).
Beberapa dari mereka telah malang melintang di dunia Internasional
membawa nama Indonesia.
sama mereka mendapatkan penghargaan The 25 Best Band in My Space oleh
Rolling Stone.com, dan The Most Blogworthy Band on The Planet oleh Yahoo!
Music.
Mocca, band pop jazz yang berasal dari Bandung, sudah pernah tampil
di berbagai negara seperti Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan. Cukup
mengagumkan ketika Mocca tampil di sebuah acara yang disiarkan langsung di
Korea Selatan, orang‐orang di sana hapal lagu‐lagunya Mocca! Salah satu lagu
mereka juga menjadi jingle iklan di Jepang.
Sealiran dengan ERK, band indie Monkey To Millionaire juga sering
mengangkat tema‐tema sosial, seperti ‘Rules And Policy’ ataupun ‘Replika’.
51
Willyam Noveri ‐ Pariaman, Indonesia
Pekerja Harian
Aku adalah sarjana teknik yang mau menulis
walaupun tidak berbakat
Mengapa bangga jadi anak Indonesia?
Anak Indonesia punya perbedaan yang indah dan satu
52
SEMOGA INDONESIA BANGGA
Wina Miranda –
ibu rumah tangga, pengajar bahasa Inggris, di Luanda, Angola, Africa
BEBERAPA waktu lalu, iseng‐iseng saya mengedarkan kuesioner pendek di
antara teman‐teman saya yang berkebangsaan asing. Salah satu
pertanyaannya adalah, "Dalam 3 kata sifat, sebutkan gambaran Anda
mengenai Indonesia, berdasarkan apa yang Anda cermati dari saya?
Mungkin ada yang beranggapan saya narsis. Mungkin ada yang berkomentar
"Siapa loe?"
Saya adalah anak Indonesia dan seperti anak bangsa yang lain, saya
adalah duta buat bangsa saya. Bagi mereka yang belum cukup beruntung
untuk menginjakkan kakinya di tanah Indonesia, saya adalah satu‐satunya
bentuk perwakilan Indonesia di mata mereka. Walaupun akhir‐akhir ini, saya
mungkin harus sedikit bersaing dengan media elektronik yang senang menjual
berita sensasional (yang belum tentu membanggakan) tentang Indonesia.
Saya pertama kali menetap di Afrika sekitar 2 tahun yang lalu.
Kebetulan, daerah tempat kami tinggal dihuni oleh tenaga kerja asing lain
yang juga ditempatkan di Afrika. Awalnya mereka bingung melihat cara hidup
orang Indonesia. Mereka kadang bertanya, kenapa saya tidak beralas kaki
ketika di rumah, kenapa saya mengharuskan anak saya menambahkan sapaan
"paman" atau "bibi" untuk memanggil supir dan pembantu, dan mengapa
saya selalu membawa buah tangan ketika berkunjung.
53
Tapi yang hampir selalu menjadi pertanyaan adalah kenapa saya dan
keluarga kelihatannya bahagia tinggal di Afrika. Di daerah tempat saya tinggal,
kemacetan lalu lintas adalah makanan sehari‐hari, tetapi saya merasa
beruntung karena tidak harus menggunakan kendaraan umum seperti warga
lokal di sini. Tempat saya tinggal dialiri listrik dan air 24 jam sehari, suatu
fasilitas yang hampir tidak mungkin dimiliki oleh warga lokal. Banyak
‘kemewahan’ yang kami dapat sebagai tenaga kerja asing di sini, dan rasanya
sombong sekali apabila saya tidak bisa mensyukuri itu semua.
Jadi, apakah respon dari kuesioner saya?
"beautiful, interesting, fascinating, multicultural, contrasted, open, tolerant,
spiritual, inspiring"
54
bangsa. Karena saya adalah anak Indonesia dan seperti anak bangsa yang lain,
saya adalah duta buat bangsa saya.
Kebetulan saya lahir jauh setelah perang kemerdekaan usai, jadi saya
tidak ikut berperang melawan penjajah. (Selain membayar pajak) Rasanya
hampir tidak ada yang telah saya kontribusikan pada negara. Hanya pujian‐
pujian akan bangsa Indonesia inilah yang dapat saya berikan pada negara.
Saya harap bangsa ini bangga memiliki saya. Karena saya bangga jadi anak
Indonesia.
Wina Miranda – Luanda, Angola
Ibu Rumah Tangga, Pengajar Bahasa Inggris
55
MI INSTAN DI AFGANISTAN
Windu Prasetio – Pekerja Kemanusiaan di Kabul, Afganistan
SAYA pernah bekerja untuk organisasi internasional di Banda Aceh pasca
tsunami, ketika semua yang ada di permukaan buminya lenyap hanya dalam
waktu sekejap. Selama hampir 3 tahun saya berada di Aceh. Keindahan alam
di Banda Aceh dan sekitarnya sangatlah menarik dan perubahan cuacanya
sangat ekstrim. Jarang sekali saya melihat langit berwarna merah muda.
Setelah dari Aceh, saya mendapat kesempatan untuk bekerja di bidang
kemanusiaan di luar negeri, tepatnya di Kabul, Afghanistan. Alam di kota
Kabul yang dikelilingi gunung selalu mengigatkan saya kepada Banda Aceh.
Pada awal‐awal tinggal dan bekerja di Kabul, semua orang menanyakan
saya dari mana. Ketika saya bilang saya dari Indonesia, respon mereka
ternyata sempat membuat saya terkejut. Kebanyakan orang Afghanistan
mengatakan, “Wah, saya sering mendengar tentang Indonesia, sebuah negara
yang indah!” begitu katanya. Sebagai anak Indonesia tentunya sangat bangga
mendengar itu. Kawan‐kawan ekspatriat pun biasanya memberi reaksi yang
cukup mengejutkan. Ternyata mereka tidak cuma melulu mengenal Bali saja.
Banyak juga yang tahu tentang Yogyakarta, Bandung, Medan dan Jakarta.
Ada kawan saya yang berasal dari Jerman mendapat kesempatan untuk
mengunjungi Jakarta. Ketika dia kembali ke Kabul, dia mengatakan betapa
terkejutnya ketika dia melihat Jakarta untuk pertama kalinya, karena dia tidak
menyangka bahwa Jakarta adalah benar‐benar kota metropolitan.
Di Kabul, saya juga tidak pernah lupa untuk bercerita bahwa Indonesia
sangatlah patut untuk dikunjungi. Tak sia‐sia juga rupanya promosi ini. Salah
satu kawan saya yang berasal dari Kanada berkata suatu hari bahwa dia akan
berlibur ke Indonesia dan akan mengirim email ke saya untuk menyakan
tempat‐tempat yang menarik untuk dikunjungi.
Satu hal yang saya sering lakukan di Kabul adalah mengundang kawan‐
kawan ekspatriat dan Indonesia untuk makan bersama di mana saya (yang
kebetulan gemar memasak) sering membuat masakan Indonesia, seperti
56
rendang, dendeng balado, bihun goreng, pecel, gado‐gado dan bakwan.
Berada jauh dari tanah air yang paling membuat rindu, di samping
keluarga, adalah makanannya. Pernah satu kali setelah kembali ke Jakarta
untuk berlibur, saya kembali ke Kabul dengan membawa banyak bahan‐bahan
makanan dari Indonesia, seperti bumbu pecel, bumbu gado‐gado, emping
manis pedas, peyek kacang, bahkan saya juga membawa batang sereh dan
daun jeruk. Bahan‐bahan seperti itu tidak bisa saya dapatkan di Kabul.
Kalaupun ada pasti sudah dikeringkan atau dikemas dalam kaleng. Bahkan
tahu pun hanya saya dapat beli dalam kemasan kaleng. Rasanya tidak seenak
tahu segar yang biasa saya beli di pasar tradisional di Jakarta, tapi paling tidak
bisa menghilangkan rasa rindu saya akan rasa tahu. Tapi sayangnya tidak ada
yang menjual tempe di Kabul.
Kawan‐kawan Indonesia di Kabul sering membawa oleh‐oleh, dan satu
hal yang tidak boleh dilupakan adalah mi instan dari Indonesia. Mi instan
menjadi seperti harta karun selama saya hidup di Kabul. Padahal sewaktu saya
masih tinggal di Indonesia, saya sangat jarang mengkonsumsi mi instan.
Indonesia adalah negara tempat saya dilahirkan, tempat saya menimba
ilmu dari tingkat SD sampai ke bangku kuliah, dan tempat dimana orang tua,
kakak, keponakan, sepupu, om, tante dan semua kawan‐kawan saya berada.
Windu Prasetio ‐ Kabul, Afghanistan
Pekerja Kemanusiaan
Windu adalah orang yang tidak pernah menyesal
dengan apa yang Windu lakukan dan selalu mencari
pengalaman baru dalam hidupnya
Mengapa bangga jadi anak Indonesia?
Bangga menjadi duta kemanusiaan dari Indonesia di negara konflik
57
NENEKKU BURUH PABRIK GULA, IBUKU GURU
Wiwit Prasetyono ‐ Yogyakarta
MENYAKSIKAN program "Kick Andy" malam ini benar‐benar menyentuh
perasaan saya. Andy F. Noya membawa pemirsa bertemu langsung dengan
perempuan‐perempuan perkasa di muka bumi Jawa bagian selatan. Mereka
adalah perempuan‐perempuan lanjut usia yang masih merdeka! Masih bisa
mempertahankan itikadnya untuk tidak pernah meminta‐minta, meskipun
usia sudah tidak lagi muda. Semua tokohnya kali ini rata‐rata berusia di atas
70 tahun.
Nenek‐nenek hebat itu ada yang bekerja sebagai penjual mainan anak‐
anak, penjual nasi liwet, hingga pemecah batu kali. Penghasilannya tidak
banyak. Ada yang cuma mendapat Rp 10.000 rupiah sehari. Nilai yang sama
untuk saya belanjakan 1 porsi nasi ayam goreng dan teh manis hangat. Luar
biasa! Sepuluh ribu itu bisa menghidupi seorang nenek dengan seorang suami
dan seorang anak yang terbaring lumpuh karena sakit. Sangat, sangat luar
bisa.
Tanpa terasa, suguhan drama satu babak tersebut mengantarkan saya
pada cerita masa lalu yang meluncur dari mulut Ibu. Dulu, katanya, nenek saya
adalah seorang buruh di perkebunan tebu. Ya, sisa‐sisa kejayaan pabrik gula
warisan Belanda itu masih terlihat jelas keberadaannya di kota kelahiran saya.
Saya masih ingat betul bahwa dulu, tidak jauh dari halaman belakang
rumah adalah ‘bulak’ atau perkebunan tebu berhektar‐hektar luasnya. Ketika
musim tebang dimulai, maka deretan lori atau kereta pengangkut akan
bergerak hilir mudik membelah ladang. Dan saya akan bersuka cita bila
pakdhe atau tetangga sebelah rumah membawakan sebatang tanaman yang
sarinya manis itu. Akan lebih girang lagi saya bila saya diperbolehkan
numpang di atas kerata pengangkutnya!
Di balik semua keceriaan itu, terdapat ratusan buruh pabrik yang
menopang keberlangsungan industri pertanian legendaris tersebut. Mereka
menyiangi rerumputan di sekitar ladang tebu, menyemprotkan pembasmi
hama, hingga melepas pelepah tua untuk dijadikan pakan sapi atau atap
rumbia. Dan nenek saya dulu adalah salah satu buruh itu.
Tak berbeda jauh dari Nenek, bagi saya Ibu adalah pekerja keras. Dia
tidak bekerja di ladang. Ibu mengajar di sebuah sekolah dasar. Letaknya kira‐
kira 5 kilometer dari rumah. Sejak dulu sampai sekarang Ibu tetap setia
dengan sepeda jengki phoenix warna hijau model perempuan kebanggaan
kami sekeluarga. Sepeda ini legendaris karena dipakai Bapak dan Ibu ketika
pengantin baru. Sepeda ini pula yang menjadi sahabat yang setia menjemput
saya dari sekolah TK. Dan kini, dia menjadi sahabat Ibu sebagai seorang guru.
Memang belum banyak perempuan yang menjadi pilot, dan belum ada
perempuan Indonesia yang menjadi jenderal. Namun saya tidak bisa menutupi
kebanggaan saya yang luar biasa pada keterbukaan budaya masa kini yang
tidak lagi mengungkung perempuan Indonesia. Secara legal, perempuan
berhak memilih dan dipilih untuk duduk di pemerintahan dan legislatif.
Sebuah kondisi yang di sebagian Asia Selatan, Timur Tengah dan beberapa
bagian dunia lainnya tidak bisa kita temukan keberadaanya.
59
"As I travel around the world over the next years, I will be saying to
people: if you want to know whether Islam, democracy, modernity and
women's rights can co‐exist, go to Indonesia," said Hillary Clinton.
Wiwit Prasetyono – Yogyakarta, Indonesia
60
SURAT UNTUK ANDREA
Yogi Harsudiono – PNS, Jakarta
HALO, Nak. Setelah sekian lama, akhirnya kamu membaca surat ini. Pada saat
kamu membaca surat ini mungkin sudah bertahun‐tahun semenjak surat ini
selesai Ayah dan Ibu tulis. Lama ya? Tidak apa‐apa, Ayah memang
mengharapkan kamu bisa membaca surat ini pada saat kamu memang sudah
mampu untuk mencernanya dengan baik. Surat ini berisi cerita, harapan, serta
petunjuk dari Ayah dan Ibu untuk kamu menjalani dan menikmati hidup kamu.
Namamu adalah Andrea Padma Drupadi. Ayahmu bekerja untuk pemerintah
dan ibumu adalah pekerja kreatif di bidang jurnalistik. Kakekmu seorang guru
dan nenekmu seorang dokter. Kakek buyutmu adalah seorang tentara dan
nenek buyutmu adalah seorang guru. Itu sejarah singkat dirimu.
Walaupun kamu akan menghabiskan banyak waktu di rumah bersama
kami, tetapi kehidupan kamu yang sebenarnya akan dimulai di luar rumah.
Yang pertama adalah di sekolah. Nak, pada saat kamu memulai sekolah nanti
kamu akan diajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Kamu akan diajari
dan diceritakan tentang sejarah kerajaan‐kerajaan yang pernah ada di negeri
kita. Ya, kerajaan. Kerajaan itu nyata Nak, tidak hanya terdapat di buku
ceritamu saja. Negeri kita ini dahulu memiliki kerajaan‐kerajaan yang sangat
banyak dan sangat kuat. Para raja termahsyur yang pernah ada di negeri ini
terkenal pandai, kuat, berani lagi arif bijaksana. Mereka mewariskan nilai‐nilai
kebajikan ciri khas orang Timur kepada kita, yaitu kehormatan, kasih sayang
dan kerja keras. Kamu akan bertemu dengan banyak orang, cukup berpegang
pada tiga nilai tersbeut maka kamu akan memiliki banyak kawan.
Semasa bertugas untuk pemerintah, Ayah berkesempatan mengelilingi
penjuru negeri ini dan Ayah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
kekayaan dan keindahan alam negeri kita. Salah satunya adalah bumi
Kalimantan. Bumi Kalimantan menyembunyikan sumber energi yang yang
sangat besar jumlahnya. Saking besarnya energi tersebut sampai pada saat
Ayah berkunjung kesana tanah yang Ayah pijak terasa panas dan
61
Dalam bidang olahraga, negeri kita terkenal akan kepiawaiannya dalam
olahraga bulu tangkis. Ada satu cerita tentang satu orang yang sampai saat ini
dianggap sebagai pebulu‐tangkis terhebat yang pernah kita miliki. Pada satu
kejuaraan internasional, dia pernah tertinggal 13 poin dari lawannya. Skor
pada saat itu adalah 1‐14. Lawan hanya membutuhkan satu poin lagi untuk
menang tetapi dia tidak menyerah. Satu per satu poin dikumpulkan dengan
susah payah sehingga skor akhirnya imbang 14‐14, deuce. Kami tidak perlu
bercerita lagi, akhirya dia memenangkan pertandingan tersebut. Menakjubkan
bukan keuletan dan kegigihan yang dimiliki oleh atlet kita? Sampai saat ini,
kita semua memanggilnya dengan nama Rudy.
Ayah ingin bercerita tentang kakek buyutmu. Kamu tahu Nak, kakek
buyutmu adalah contoh nyata dari seorang pejuang. Kakek buyut tergabung
dalam lulusan pertama dari Akademi Militer Nasional di kota Jogjakarta. Pada
saat itu kakek buyut berumur 22 tahun dan berpangkat Letnan Dua dalam
Pasukan Siliwangi. Pasukan yang dipimpin oleh kakek buyut sejumlah 10 orang
anak buah yang terdiri dari pejuang‐pejuang yang berumur 30 dan 40 tahun,
62
jauh lebih tua dibanding usia kakek buyut saat itu. Kakek buyut memimpin
pasukannya berjalan kaki ratusan kilometer bergerilya melawan penjajah.
Bukan perkerjaan mudah bagi seorang tentara muda karena sepanjang
peperangan, kontak senjata kerap terjadi. Kakek buyut bercerita kepada Ayah
bahwa hanya semangat kemerdekaan yang menggebu di dalam hatinya dan
kawan‐kawannya yang membuat mereka mampu melakukan perjuangan
tersebut. Di kesempatan lain, kakek buyut juga bercerita kepada Ayah bahwa
dia pernah terluka di medan perang akibat terkena peluru dari tentara
penjajah. Sampai sekarang, peluru tersebut meninggalkan luka tembak warna
hitam yang membekas di punggungnya. Kakek buyut berkata bahwa kalau
terkena tembakan maka jangan pernah minum sebelum luka tersebut diobati.
Jika minum sebelum luka tersebut diobati maka luka bakarnya akan sangat
perih dan hampir mustahil untuk menahannya tanpa kehilangan kesadaran.
Apabila kehilangan kesadaran di tengah perang yang berlangsung maka
hampir pasti akan kehilangan nyawa juga. Kakek buyutmu adalah pejuang
sejati, seperti banyak pahlawan lain yang akan kamu ketahui nanti.
Ah Nak, takkan habis Ayah dan Ibu bercerita kepadamu tentang negeri
kita ini beserta semua keelokkan dan sejarahnya. Kami hanya ingin
membekalimu dengan cukup ilmu pengetahuan sebelum kamu akan menjadi
bagian dari masyarakat negeri kita dan berkontribusi untuk mereka. Kami
memperkirakan usia kamu akan menginjak 22 tahun ketika kami menghadiri
wisuda sarjanamu. Kami tahu kami akan bangga pada saat itu karena kamu
telah tumbuh menjadi seorang dengan kepribadian yang baik dan kecerdasan
yang mengagumkan. Pada saat kamu mencari pekerjaan, jangan ragu untuk
mengambil tawaran bekerja di Alaska, Amerika Selatan atau bahkan Afrika
sekalipun!
Saatnya kamu untuk melihat dunia dan tidak ada saat yang lebih baik
lagi ketimbang saat itu. Sebarkan cerita indah tentang kebudayaan kita,
berikanlah contoh semangat dan keuletan pantang menyerah khas pejuang
kita. Langit bukanlah batasan untuk mengejar impianmu dan beserta dirimu,
doa Ayah dan Ibu selalu menyertai.
63
Jangan lupa, ketika kamu pertama kali bertemu dengan kawan maka
perkenalkanlah dirimu dengan tegas dan lantang, “Nama saya Andrea Padma
Drupadi, saya dari Indonesia.”.
Teriring doa,
Ayah dan Ibu.
Yogi Harsudiono – Jakarta, Indonesia
Pegawai Negeri
Seorang yang idealis tetapi adaptif dan terbuka untuk
sudut pandang yang berbeda. Pada tahun 2007
berkesempatan menjadi salah satu ASEAN University
Network Scholar. Menyenangi dunia ekonomi pembangunan dan investasi.
Bercita‐cita melakukan penelitian lapangan terhadap pola sosial ekonomi
masyarakat yang tinggal di 5 pulau. Saat ini bekerja sebagai staf perencana
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Mengapa mencintai Indonesia?
Indonesia is a giant in the making. Saat ini Indonesia memegang peranan
penting sebagai salah satu kunci pembangunan dunia dalam bidang
ekonomi, kebudayaan, dan diplomasi internasional.
64
INDONESIA, NEGERI IMPIAN
Christophe D Thomson – Paris, Perancis
Bagi anak muda Eropa, kesan pertama yang sering muncul akan Indonesia
adalah sebuah tempat yang jauh dan eksotis atau bahkan sebuah negri antah
berantah yang misterius. Walaupun kini Indonesia berkembang begitu
pesatnya, tetap saja banyak hal klise mengenai Indonesia yang kerap
menempel di benak orang asing. Mulai dari masalah terorisme, rawannya
Indonesia akan bencana gempa bumi, korupsi, dan seringnya terjadi
kecelakaan pesawat terbang. Lalu mengapa saya benar‐benar jatuh cinta pada
Indonesia di awal tahun 2000‐an? Mengapa pada waktu itu, ketika saya masih
berusian 20‐an, walaupun kondisi Indonesia sedang terpuruk, saya selalu
percaya akan Indonesia? Pastinya saya melihat hal yang luar biasa akan negeri
ini, dan kini pun dunia mulai terbuka matanya.
Kunjungan pertama saya membawa saya ke kota Yogyakarta, dimana saya di
sana dalam sebuah misi kesenian untuk anak yang disponsori oleh Sultan dan
Kementerian Pendidikan Indonesia. Kebetulan acara ini dikemas dalam
sebuah festival budaya. Di sana saya mengenal pertama kali akan kayanya
budaya Indonesia. Kebudayaan ini sangat kental terlihat, mulai dari anak‐anak
hingga mereka yang sudah lansia. Saya betul‐betul terkesima dan kekaguman
saya tidak akan pernah pudar. Saya juga menghargai keramahtamahan
penduduknya yang membuat saya merasa bagaikan tinggal di negeri saya
sendiri.
Perbedaan antara apa yang saya baca di media barat dan apa yang saya alami
pribadi juga cukup mencengangkan. Tidak seperti yang saya bayangkan
sebelumnya, ternyata Indonesia adalah negara yang modern dan banyak yang
dapat Indonesia kontribusikan untuk dunia. Krisis global telah membuktikan
bahwa negara‐negara seperti Indonesia dapat memberikan sumbangsih lebih
untuk komunitas dunia dan memberi cara pandang baru akan banyak hal.
Indonesia adalah salah satu negara terpenting di dunia, mulai dari sisi
geografis, kependudukan maupun dari pandangan strategis. Sebuah negara di
65
Asia, salah satu pusat keanekaragaman ekologi di bumi, dengan hutannya,
kepulauannya, hewannya, lautannya, ratusan bahasa daerahnya dan
kelompok etniknya. Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar
di dunia, merupakan negara oriental yang secara geografis cukup dekat
dengan dengan dunia ‘barat’ karena terletak tidak jauh dari Australia dan
Selandia Baru. Indonesia kini juga salah satu anggota G20. Semua aspek inilah
yang membuat Indonesia menjadi sebuah negara strategis dan dapat
membuatnya menjadi salah satu yang terdepan di panggung global.
Saya melihat Indonesia seperti sebuah jembatan yang menghubungkan dunia.
Sebuah negara yang membawa visi baru, gaya baru bagi komunitas global,
sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya. Indonesia membantu banyak hal
yang dulunya dikesampingkan, kini kembali menjadi prioritas dunia, seperti
seni dan budaya, perubahan iklim maupun masalah ketahanan pangan. Bukan
dalam bentuk individualisme tetapi lebih dalam bentuk visi bersama, sebuah
pola pandang yang lebih beragam dan pendekatan yang lebih kaya bagi
masalah‐masalah global. Indonesia juga memiliki bentuk penerapan
demokrasi yang unik yang dapat menjadi model bagi banyak bangsa di dunia.
Indonesia memiliki potensi untuk menjadi salah satu pemain dunia, untuk
dapat mempengaruhi kebijakan global, membantu menyelesaikan masalah
66
dan isu global seperi perubahan iklim, persediaan pangan dunia, ancaman
teroris dan tekanan‐tekanan lainnya. Indonesia membawa sesuatu yang baru,
sebuah cara pandang dan visi yang unik dan Indonesia harus dapat
memainkan perannya secara global. Itu juga merupakan hal yang saya suka
dengan Indonesia dan saya ingin melihat Indonesia bisa mengambil peran
tersebut.
Indonesia menghasilkan insan‐insan yang luar biasa. Hal ini bahkan terlihat
pada diri presiden Amerika Serikat, mulai dari perilaku rendah hati,
kemampuan untuk memberikan hasil yang dijanjikan, suatu hal yang mulai
langka. Saya melihat banyak kualitas khas Indonesia pada diri Presiden Barack
Obama dan menurut saya kualitas inilah yang membuat dia berada di
posisinya sekarang. Kualitas yang kaya akan sentuhan Indonesia yang akan
selalu mendampinginya.
Saya percaya akan Indonesia. Saya mencintai negeri ini dan orang‐orangnya
layaknya negri saya sendiri. Manusia Indonesia punya cara unik untuk bisa
hidup di dunia modern tapi tetap bisa menjaga tradisi dan budayanya. Mereka
dapat merangkul budaya global dan tidak kehilangan keajaiban budaya
lokalnya. Orang Indonesia juga selalu menjaga menjaga keluarga dan handai
taulannya, mereka terus memegang teguh nilai‐nilai budi luhur yang dapat
dicontoh dunia.
Saya cinta semua tentang Indonesia. I love you Indonesia!
Selamat hari raya kemerdekaan Indonesia yang ke‐65 dan selalu yang terbaik
untuk masa depan yang cerah dan sentosa bagi seluruh warga Indonesia.
Semoga Indonesia terus tumbuh sukses.
Seperti Chairil Anwar bilang, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Begitu juga
saya ingin hidup seribu tahun lagi dengan Indonesia.
67
Dirgahayu Indonesia!
Christophe DorignéThomson ‐ Paris dan beberapa kota di dunia
International Relationship
Warganegara global yang selalu berkeliling dunia untuk
membangun proyek‐nya, di persimpangan antara bisnis,
politik, seni dan budaya (www.indonesiaworld.org/blog)
Mengapa mencintai Indonesia?
Negara Masa Depan dan Masyarakat Cerdas
68
CATATAN PENUTUP
69
Tapi meskipun begitu hatiku terasa begitu hangat. Begitu hangat hingga air
mataku berkali‐kali menitik. Sekali lagi aku membaca artikel‐artikel yang
sudah masuk di ‘Aku Bangga’ ini, dan aku terharu. Dan bangga. Bangga karena
masih banyak yang bangga pada negeri. Bangga karena begitu banyak anak‐
anak muda Indonesia yang aku yakin Ibu Pertiwi akan bangga mempunyai
putra‐putri seperti mereka.
Beribu terima kasih aku haturkan untuk semua penulis, untuk semua teman‐
teman yang sudah mengajak teman‐teman lain untuk ikut menulis, untuk
semua yang sudah memberikan kata dukungan dan masukan, untuk Benny
Asrul dan Made Harimbawa yang telah memperbolehkan kami meminjam
foto‐foto hasil jepretannya untuk dimasukkan ke dalam video launching ‘Aku
Bangga’, untuk teman‐teman di Singapore yang telah memberikan
kesempatan me‐launch blog dan eBook ini, untuk Eduardus Christmas
(Evolitera) yang begitu visioner dan menerbitkan ‘Aku Bangga’ dalam bentuk
eBook, untuk Betty Hernawatty yang kecintaannya pada bangsa tak perlu
diragukan dan untuk datang jauh‐jauh ke Singapore dari Jakarta hanya untuk
mempresentasikan langsung peluncuran ‘Aku Bangga’, dan untuk Anggoro
Dewanto –desainer web dan video yang mengerjakan proyek ‘Aku Bangga’ ini
siang malam di tengah‐tengah kesibukan TA‐nya.
70
Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.
Melbourne, akhir Juli 2010
Ayu Kartika Dewi – Singapore
Penyelam, editor “Aku Bangga Aku Anak Indonesia”
71
72