7/10/2008 6:26:29
SIKAP FPI
3 Juli 2008
Sejak kapan si goen mengenal kemanusiaan dan keadilan? Saat ”geng” si goen
Bila sikap keras dan tegas
”dikemplang bambu” oleh Komando Laskar Islam (KLI) pimpinan Sang Pahlawan harus dilakukan oleh FPI,
Munarman, teriakan si goen dan ”gerombolannya” keras sekali. Namun dimana maka kemunkaran yang
suara mereka untuk ribuan Umat Islam yang ”dibantai dengan sadis” di Sampit, bagaimanakan yang harus
Sambas, Ambon, dan Poso? Mana pula suaranya untuk Kasus Banyuwangi? ditindak dengan tegas dan
keras? Dan apa pula syarat
pelaku amar ma'ruf nahi
Selain itu, si goen ini getol betul membela pki, bahkan nekat memutar-balikan mungkar dalam perjuangan
fakta sejarah dengan mengatakan bahwa pki sebagai ”korban pembantaian”. Lalu FPI?
bagaimana dengan kebiadaban pki yang telah membakar pesantren, membantai BACA SELENGKAPNYA
santri, membunuh kyai, menculik jenderal, mengkhianati negara, mengangkangi
Pancasila? Kemanusiaan dan keadilan itukah yang ingin ditunjukkan si goen KLIK DISINI UNTUK
kepada saya dan Ustadz Ba’asyir?! MELIHAT TANYA
JAWAB LAINNYA
Soal Pancasila, lagi-lagi si goen sok menggurui. Saya ingin bertanya: Pancasilais
kah orang maca berikut ini: yang membela pki sang pengkhianat Pancasila? yang
ingin memperkosa kawan gadis ”lsm”nya sendiri? yang membayar orang miskin
untuk demo tentang apa yang tidak mereka paham? yang menipu orang kampung
dengan janji wisata ke Dunia Fantasi-Ancol, ternyata diajak demo di Monas? Yang
membohongi publik dengan publikasi foto Panglima KLI yang sedang mencekik
anak buahnya sendiri, lalu dipelintir menjadi berita Panglima KLI mencekik
anggota gerombolan akkbb? Yang menerima dana asing untuk memecah belah
bangsa? Yang menjadi antek asing? Yang membentuk atau mendukung lsm-lsm
komprador yang menjadi antek asing? Yang menjual harkat dan martabat bangsa
dengan dolar?
Pantaskah orang macam itu bicara Pancasila? Orang model itukah yang ingin
menggurui saya dan Amir MMI?! Memalukan sekali. Orang yang tidak bermoral
bicara tentang moral. Orang yang rasis dan fasis berbicara tentang kekeluargaan
dan persamaan.
Saya ingatkan anda goen: Indonesia memang bukan Arab dan Turki, tapi jangan
lupa Indonesia bukan amerika! Indonesia memang bukan negara Agama, tapi
Indonesia juga bukan negara syetan yang kau bisa seenaknya menistakan agama
dan budaya.
Ingat, orang yang hidupnya hanya berpikir tentang apa yang masuk ke perutnya,
maka harga dirinya sama dengan apa yang keluar dari perutnya.
-------
2. Salinan CATATAN PINGGIR GOENAWAN MUHAMMAD di Majalah Tempo 16-22
Juni 2008
Di luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu sebuah statemen
dimaklumkan pada pertengahan Juni yang panas: “SBY Pengecut!”
Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan dengan gampang.
Suara itu tak membuat kedua orang itu ditangkap, dijebloskan ke dalam sel
pengap, atau dipancung.
Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan Ba’asyir! Ini bukan Turki
abad ke-17, bukan pula Jawa zaman Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2008.
Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahanan boleh dikunjungi
ramai-ramai, dipotret, didampingi pembela, tak dianggap bersalah sebelum hakim
tertinggi memutuskan, dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam
Kepala Negara.
Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba’asyir, sebab itu pelik. Ia
tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan mutlak kepada hakim, jaksa, polisi--
juga tak bisa digantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang
mana pun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan manusia.
Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya kepada
yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita
ingin dekati tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah
kerinduan yang mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk,
sebuah etika kedaifan.
Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17
ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolak dari kesadaran
bahwa kita daif. Kemampuan kita untuk membuat 220 juta orang tanpa konflik
sangat terbatas. Maka amat penting untuk punya cara terbaik mengelola sengketa.
Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita gagal. Saya baca sebuah
siaran pers yang beredar pada Jumat kemarin, yang disusun oleh orang-orang
Indonesia yang prihatin: ”… ternyata, sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik
dengan kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan Darul Islam sejak
Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an. Sejarah kita
menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik antargolongan di
Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua, sampai dengan
pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir.”
Ingatkah, Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, semua itu? Ingatkah Saudara
berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kita
menyelesaikan sengketa dengan benci, kekerasan, dan sikap memandang diri
paling benar? Saudara berdua orang Indonesia, seperti saya. Saya mengimbau agar
Saudara juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat yang disebut “bhineka-
tunggal-ika”. Saya mengimbau agar Saudara juga merawat rahmat itu.
Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarah dan
geografi tanah air ini--di mana perbedaan diakui, karena kebhinekaan itu takdir
kita, tapi di mana kerja bersama diperlukan.
Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisi lokal,
“gotong-royong”. Kata itu kini telah terlalu sering dipakai dan disalahgunakan,
tapi sebenarnya ada yang menarik yang dikatakan Bung Karno: “gotong-royong”
itu “paham yang dinamis,” lebih dinamis ketimbang “kekeluargaan”.
“Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab,
sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama
Tuhan--atau justru karena membawa nama Tuhan--siapa pun, juga Saudara
Ba’asyir dan Saudara Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung Karno
sebagai “egoisme-agama.”
Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah air
ini akan jadi tempat yang mengerikan jika “egoisme” itu dikobarkan. Pesan 1 Juni
1945 itu patut didengarkan kembali: “Hendaknya negara Indonesia ialah negara
yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa.”
Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara Shihab dan Ba’asyir.
Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apa-apa?
Goenawan Mohamad
artikel sebelumnya
Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam, Jalan Petamburan 3/17, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Telp:021-534-1250.
Salurkan dana anda untuk mendukung FPI dalam perjuangan penegakan Amar Ma'ruf Nahi Munkar melalui Bank Muamalat No. Rekening 301.00360.15 Atas Nama
DPP-FPI.
Copyright@2008, All Rights Reserved. Comment and Suggestion, send to admin@fpi.org.
Developed By OYiE Creative.