Anda di halaman 1dari 3

AUDIT SISTEM INFORMASI BERBASIS KOMPUTER

SUBPRIME MORTGAGE LOAN


Nama : Agaphilaksmo A.P.
NPM : 09460004779
Kelas :8C
Nomor :4

Subprime Mortgage Loan

Sub prime mortgage adalah kredit perumahan (KPR) yang diberikan oleh
perusahaan mortgage broker, dengan bunga yang rendah di awalnya (2-5 tahun),
namun di tahun berikutnya, dapat naik sampai 1,5 kali lipat. Dan apabila kredit ini
macet, kredit ini dijual ke bank, dan bank yang akan membereskan kredit tersebut.

Salah satu cara mengukur kelayakan kredit konsumen dilakukan dengan cara
melihat credit score. Sistem pemberian KPR di Amerika sangat bergantung terhadap
credit score yang dikeluarkan oleh perusahaan credit scoring seperti yang
mengunakan metode FICO. Konsumen dapat memiliki FICO score mulai dari 300 s/d
850 tergantung dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa
credit score dengan melihat 5 kategori utama s:
1. Payment history (35%)
2. Amounts owed (30%)
3. Length of credit history (15%0
4. New credit (10%)
5. Types of credit used (10%).

Mengapa Terjadi Krisis Subprime Mortgage Loan

Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di Amerika, kita harus kembali
ke tahun 2001. Pada saat itu, the Fed (Bank Sentral USA) menurunkan suku bunga
secara drastis, hingga ke 1%. Alasan utama dari the Fed untuk menurunkan suku
bunga ini adalah untuk menggenjot kondisi perekonomian Amerika yang waktu itu
dalam keadaaan resesi (pertumbuhan ekonominya minus).

Turunnya suku bunga kredit / pinjaman membuat perusahaan maupun


individu lebih  banyak mengambil pinjaman / kredit dari bank. Perusahaan
perusahaan akan bisa mengambil pinjaman dari bank untuk ekspansi usaha mereka,
karena bunga pinjaman rendah sehingga tidak membebani operasi perusahaan.
Orang-orang juga akan lebih berani mengambil dan memakai kredit konsumsi,
seperti misalnya kredit kendaraan bermotor, KPR, dan bunga kartu kredit. Kenaikan
harga properti semakin meningkatkan minat masyarakat amerika untuk membeli
Audit Sistem Informasi Berbasis Komputer 1
properti, yang kemudian semakin meningkatkan harganya. Siklus ini pun berulang-
ulang sehingga mendongkrak harga properti secara drastis.

Kenaikan harga properti yang terjadi pada masa ini lalu dimanfaatkan oleh
masyarakat Amerika sebagai tambahan income dengan re-financing. Meskipun
sebenarnya rumah itu belum dijual (karena masih berharap harganya masih akan
terus naik), tetapi kenaikan harga ini sudah mereka “nikmati”, dengan cara
mengambil pinjaman tambahan dengan jaminan rumah yg sama. Uang ini mereka
pakai, baik untuk konsumsi maupun untuk investasi kembali di properti yang lain
karena tergiur kenaikan harga properti yang drastis. Ujung-ujungnya ini membuat
harga properti semakin tinggi.

Pada masa itu juga, di dunia finansial terjadi beberapa perkembangan yang
akan ikut memberikan “sumbangan” terhadap krisis Subprime Mortgage.
Perkembangan yang pertama adalah berlomba-lombanya institusi keuangan dalam
menawarkan kredit KPR demi mengejar keuntungan. Perkembangan kedua yang
terjadi adalah semakin populernya sejenis KPR yg disebut ARM (Adjustable Rate
Mortgage). Dalam rangka menarik customer agar mengambil KPR, institusi keuangan
mengembangkan ARM, yg pada intinya adalah KPR dimana tingkat suku bunganya
dalam 2-3 tahun pertama sangat murah, tetapi pada tahun selanjutnya akan naik
lebih tinggi daripada KPR biasa.

Dalam perkembangan selanjutnya bank-bank yang mengejar customer mulai


tidak selektif, dan memberikan KPR kepada orang-orang yang sebenarnya secara
finansial tidak layak untuk mengambil KPR.  KPR yang dikucurkan kepada customer
semacam inilah yang dikenal sebagai Subprime Mortgage (KPR Subprime). Kualitas
dari kredit KPR yang diberikan kepada customer semacam ini  sangat meragukan
dan beresiko, karena kemampuan pengambil KPR itu untuk membayar cicilannya
sangat lemah. Meskipun demikian, bank-bank mau mengambil resiko dan
mengucurkan kredit kepada segmen market ini karena tingkat bunga yang bisa
mereka kenakan lebih tinggi (untungnya lebih besar).

Setelah menurunkan suku bunga pada awal decade, Bank Sentral Amerika yang
sering disebut The Fed itu kemudian menaikkan suku bunga berkali-kali, hingga
mencapai 5,25%, akhirnya kredit sektor perumahan dari sub prime mortgage ini
akhirnya banyak yang macet, dan Bank membutuhkan likuiditas yang cukup banyak
untuk menutupi kredit tersebut. Dan investor di sektor ini akhirnya banyak yang
menarik dana untuk mendapatkan likuiditas, dalam bentuk dollar Amerika di
berbagai portofolio-nya. Gagal bayar ini akhirnya menyebar hingga ke tipe KPR
lainnya dan menyebabkan semakin banyak rumah-rumah yang disita dan dilepas ke
pasar. Para pengambil KPR Subprime adalah yang pertama tumbang karena memang
sejak awal kondisi finansial mereka sangat buruk.

Pelajaran untuk Pasar KPR di Indonesia dengan menerapkan Basel II


Audit Sistem Informasi Berbasis Komputer 2
Krisis subprime mortgage yang menimpa AS adalah salah satu bentuk
kegagalan dalam mengelola risiko kredit. Banyak perusahaan di As yang berani
memberikan kredit perumahan padahal mereka sebenarnya tidak layak diberikan
subprime loan. Mereka yakin, jika ada nasabah yang default, maka mereka hanya
tinggal melakukan penyitaan rumah saja yang harganya memang sedang naik.

Krisis ini adalah salah satu contoh dimana kegagalan mengelola risiko kredit
dapat mengakibatkan mimpi buruk bagi dunia finansial. Hal ini disebabkan oleh
dampaknya yang meluas tidak hanya di AS saja. Bursa regional, bahkan hingga
Indonesia, secara tidak langsung juga terkena dampaknya. Oleh karena itu, kriteria
5C (character, condition of economy, capacity to repay, capital, dan collateral) masih
sangat penting menjadi pertimbangan dalam memberikan kredit. Kreditor tidak
boleh terlalu mudah dalam memberikan kredit. Dengan begitu, krisis serupa
diharapkan tidak akan berulang di masa depan.

Salah satu upaya untuk menghindari krisis kredit makan Bank Indonesia mulai
menerapkan Basel II. Penerapan program Basel II pada perbankan nasional yang
secara bertahap dimulai tahun 2008 diyakini akan mampu meningkatkan aliran
kredit perbankan ke sektor riil. Penerapan Basel II tidak akan menghambat
penyaluran kredit sebab, Basel II merupakan upaya peningkatan manajemen risiko
sehingga nantinya tecermin dalam efisiensi bisnis suatu bank. Manejemen risiko
yang digunakan adalah Risk Management Process Bank memenuhi arahan Basel II
Accord. Manajemen Risiko dikelola berdasarkan tahapan-tahapan yang sistematis
sebagai berikut :
1. Risk awareness
2. Risk identification
3. Risk monitoring
4. Risk mitigation

Penerapan Basel II tetap disesuaikan dengan problem dan kebutuhan di


Indonesia. Apabila bank sudah memiliki manajemen risiko yang baik, tidak akan ada
kekhawatiran untuk melakukan suatu pembiayaan usaha, baik yang secara langsung
melalui penyaluran kredit maupun pembiayaan secara tidak langsung dengan
berbagai inovasi produk perbankan lain. Selain itu peningkatan fungsi intermediasi
juga akan terjadi karena dalam implementasi Basel II, setiap otoritas pengawas
memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu yang sesuai dengan karakteristik
sistem perbankan di tiap-tiap yurisdiksi.

Audit Sistem Informasi Berbasis Komputer 3

Anda mungkin juga menyukai