Sub prime mortgage adalah kredit perumahan (KPR) yang diberikan oleh
perusahaan mortgage broker, dengan bunga yang rendah di awalnya (2-5 tahun),
namun di tahun berikutnya, dapat naik sampai 1,5 kali lipat. Dan apabila kredit ini
macet, kredit ini dijual ke bank, dan bank yang akan membereskan kredit tersebut.
Salah satu cara mengukur kelayakan kredit konsumen dilakukan dengan cara
melihat credit score. Sistem pemberian KPR di Amerika sangat bergantung terhadap
credit score yang dikeluarkan oleh perusahaan credit scoring seperti yang
mengunakan metode FICO. Konsumen dapat memiliki FICO score mulai dari 300 s/d
850 tergantung dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa
credit score dengan melihat 5 kategori utama s:
1. Payment history (35%)
2. Amounts owed (30%)
3. Length of credit history (15%0
4. New credit (10%)
5. Types of credit used (10%).
Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di Amerika, kita harus kembali
ke tahun 2001. Pada saat itu, the Fed (Bank Sentral USA) menurunkan suku bunga
secara drastis, hingga ke 1%. Alasan utama dari the Fed untuk menurunkan suku
bunga ini adalah untuk menggenjot kondisi perekonomian Amerika yang waktu itu
dalam keadaaan resesi (pertumbuhan ekonominya minus).
Kenaikan harga properti yang terjadi pada masa ini lalu dimanfaatkan oleh
masyarakat Amerika sebagai tambahan income dengan re-financing. Meskipun
sebenarnya rumah itu belum dijual (karena masih berharap harganya masih akan
terus naik), tetapi kenaikan harga ini sudah mereka “nikmati”, dengan cara
mengambil pinjaman tambahan dengan jaminan rumah yg sama. Uang ini mereka
pakai, baik untuk konsumsi maupun untuk investasi kembali di properti yang lain
karena tergiur kenaikan harga properti yang drastis. Ujung-ujungnya ini membuat
harga properti semakin tinggi.
Pada masa itu juga, di dunia finansial terjadi beberapa perkembangan yang
akan ikut memberikan “sumbangan” terhadap krisis Subprime Mortgage.
Perkembangan yang pertama adalah berlomba-lombanya institusi keuangan dalam
menawarkan kredit KPR demi mengejar keuntungan. Perkembangan kedua yang
terjadi adalah semakin populernya sejenis KPR yg disebut ARM (Adjustable Rate
Mortgage). Dalam rangka menarik customer agar mengambil KPR, institusi keuangan
mengembangkan ARM, yg pada intinya adalah KPR dimana tingkat suku bunganya
dalam 2-3 tahun pertama sangat murah, tetapi pada tahun selanjutnya akan naik
lebih tinggi daripada KPR biasa.
Setelah menurunkan suku bunga pada awal decade, Bank Sentral Amerika yang
sering disebut The Fed itu kemudian menaikkan suku bunga berkali-kali, hingga
mencapai 5,25%, akhirnya kredit sektor perumahan dari sub prime mortgage ini
akhirnya banyak yang macet, dan Bank membutuhkan likuiditas yang cukup banyak
untuk menutupi kredit tersebut. Dan investor di sektor ini akhirnya banyak yang
menarik dana untuk mendapatkan likuiditas, dalam bentuk dollar Amerika di
berbagai portofolio-nya. Gagal bayar ini akhirnya menyebar hingga ke tipe KPR
lainnya dan menyebabkan semakin banyak rumah-rumah yang disita dan dilepas ke
pasar. Para pengambil KPR Subprime adalah yang pertama tumbang karena memang
sejak awal kondisi finansial mereka sangat buruk.
Krisis ini adalah salah satu contoh dimana kegagalan mengelola risiko kredit
dapat mengakibatkan mimpi buruk bagi dunia finansial. Hal ini disebabkan oleh
dampaknya yang meluas tidak hanya di AS saja. Bursa regional, bahkan hingga
Indonesia, secara tidak langsung juga terkena dampaknya. Oleh karena itu, kriteria
5C (character, condition of economy, capacity to repay, capital, dan collateral) masih
sangat penting menjadi pertimbangan dalam memberikan kredit. Kreditor tidak
boleh terlalu mudah dalam memberikan kredit. Dengan begitu, krisis serupa
diharapkan tidak akan berulang di masa depan.
Salah satu upaya untuk menghindari krisis kredit makan Bank Indonesia mulai
menerapkan Basel II. Penerapan program Basel II pada perbankan nasional yang
secara bertahap dimulai tahun 2008 diyakini akan mampu meningkatkan aliran
kredit perbankan ke sektor riil. Penerapan Basel II tidak akan menghambat
penyaluran kredit sebab, Basel II merupakan upaya peningkatan manajemen risiko
sehingga nantinya tecermin dalam efisiensi bisnis suatu bank. Manejemen risiko
yang digunakan adalah Risk Management Process Bank memenuhi arahan Basel II
Accord. Manajemen Risiko dikelola berdasarkan tahapan-tahapan yang sistematis
sebagai berikut :
1. Risk awareness
2. Risk identification
3. Risk monitoring
4. Risk mitigation