Anda di halaman 1dari 18

Pengaruh Morfin dan Derivat Morfin terhadap Manusia berdasarkan Pengamatan pada Hewan

I. Tujuan :
Pada akhir percobaan/praktikum ini mahasiswa dapat :
- Menjelaskan efek morfin dan derivat morfin(nalokson) terhadap manusia berdasarkan
pengamatan pada hewan yakni kelinci

II. Dasar Teori

2.1. Opioid
Istilah opioid digunakan untuk semua senyawa yang berkaitan dengan opium.
Opiat adalah obat-obat yang berasal dari opium, meliputi bahan alam morfin, kodein,
tebain dan banyak senyawa sejenis semisintetik yang diturunkan dari obat-obat tersebut.
Peptida opioid endogen merupakan ligan alami untuk reseptor opioid. Istilah endomorfin
bersinonim dengan peptide opioid endogen,tetapi juga menunjuk pada opioid endogen
spesifik yaitu β -endorfin.
Tiga kelompok peptida opioid klasik yang berbeda telah diidentifikasi yaitu:
enkefalin, endorfin dan dinorfin. Masing-masing kelompok berasal dari suatu prekursor
polipeptida yang berbeda dan memiliki distribusi anatomis yang khas (Goodman &
Gilman. 2001)
Opioid merupakan senyawa alami atau sintetik yang menghasilkan efek seperti
morfin. Istilah opioid dicadangkan untuk obat-obatan seperti morfin dan kodein, yang
didapat dari sari buah popi opium. Semua obat dalam kategori ini bekerja dengan jalan
mengikat reseptor spesifik pada SSP. Untuk menghasilkan efek meniru neurotransmitter
peptide endogen, opiopeptin.
Opioid berinteraksi secara stereospesifik dengan reseptor protein pada membrane
sel sel tertentu pada ssp, pada ujung saraf perifer dan pada sel-sel saluran cerna. Efek
utama opioid diperantarai oleh 4 famili reseptor yang ditunjukkan dengan huruf yunani
kuno μ, δ, к dan σ. Pada umumnya kuatnya ikatan berkorelasi dengan analgesia. Sifat-
sifat anlgesik diperantarai oleh reseptor μ, tetapi reseptor к pada kornu dorsalis juga
menyokong.enkefalin berinteraksi lebih selektif dengan reseptor δ di perifer. Reseptor σ
kurang spesifik, reseptor ini juga mengikat obat-obat non opioid seperti halusinogen
fensiklidin.
Distribusi reseptor opioid densitas tinggi terdapat pada lima daerah umum ssp yang
diketahui terlibat dalam mengintegrasi pembentukan nyeri. Jalan ini menurun dari
periaquaduktus abu-abu(PAG) menuju kornu dorsalis medulla spinalis. reseptor ini juga
dapat diidentifikasikan di perifer (mycek, 2001).
1. Batang otak : reseptor opioid mempengaruhi pernapasan, batuk, mual, muntah,
memelihara tekanan darah, diameter pupil, dan mengontrol sekresi lambung.
2. Thalamus medialis: daerah ini mempengaruhi nyeri yang dalam yang tidak terlokalisasi
dan mempengaruhi nyeri.
3. Medula spinalis: reseptor reseptor di dalam substansi gelatinosa terlibat dengan
penerimaan dan integrasi hasil pembentukan sensorik mempengaruhi pengurangan rasa
nyeri stimulus efern
4. Hipotalamus : reseptor disini mempengaruhi sekresi neuro endokrin
5. System limbic: konsentarsi terbesar reseptor terdapat pada amigdala.
6. Perifer : opioid menghambat jangkitan eksitasi saraf yang timbulnya bergantung pada ion
Ca ++ . Hal ini dapat menyokong efek antiinflamasi opioid.
7. Sel imun : tempat pengikatan opioid juga terdapat dalam sel imun.

A. Sumber
Opium ditemukan dari tanaman opium dengan jalan melakukan sayatan pada kulit biji
setelah bunganya di buang. Lateks putih yg merembes keluar yang setelah dibiarkan berubah
menjadi coklat dan keras. Getah cokelat inilah yang dinamakan opium. Alkaloid utama
dalam opium adalah morfin, terdapat dalam kadar sekitar 10%.
B.Kimia
Struktur kimia opioid termasuk unik karena perubahan molekular yang relatif kecil
mengakibatkan perubahan-perubahan yang drastis dari efek senyawa-senyawa ini, dari suatu
efek agonis berubah menjadi antagonis atau menjadi senyawa campuran agonis-antagonis
(Katzung,2009).
C.Farmakokinetik
1. Absorpsi
Kebanyakan analgesik opioid diabsorpsi dengan baik pada pemberian subkutan dan
intramuskular yang sama baiknya dg absorpsi dari permukaan mukosa hidung atau mulut dan
saluran cerna. Meskipun absorpsi dari saluran cerna mungkin cepat, ketersediaan hayati dari
beberapa senyama yg dilakuakan dengan cara ini mungkin berkurang karena metabolisme
first pass yang jelas dg glukuronidasi dlm hati. Oleh karena itu diperlukan dosis oral yang
lebih tinggi untuk memperoleh efek terapi dari pada dosis yang diperlukan dengan cara
parenteral.
Karena jumlah enzim yang dapat memberikan respon pada reaksi ini sgt bervariasi antar
individu, maka dosis oral yg efektif dari suatu senyawa mungkin sulit ditentukan.
2. Distribusi
Ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah meripakan fgsi faktor fisiologik
dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein plasma dg berbagai tingkat afinitas,
senyawa-senyawa ini dg cepat meninggalkan darah dan terlokalisasi dh konsentrasi tertinggi
di jaringan 2 yang perfusinya tingi seperti diparu, hati, ginjal, dan limpa. Walaupun
konsentrasi obat di otot rangka dapat sangat rendah, jaringan ini merupakan tempat simpanan
utama utk obat karena masanya yg lebih besar. Walaupun demikian, akumulasi dalam
jaringan lemak juga penting, terutama pada pemakaian dosis tinggi opioid yang sangat
lipofilik, yang lambat dimetabolisme seperti fentanil.
Kadar opioid-opioid di otak biasanya relatif rendah dibanding dengan organ-organ
lainnya karena adanya sawar darah otak. Namun demikian sawar darah otak lebih mudah
dilewati oleh senyawa-senyawa hidroksil aromatik yg disubstitusi pada atom C3, sperti pada
heroin kodein. Tampaknya lebih bnyak kesulitan utk memperoleh kadar dengna senyawa-
senyawa amfoter seperti morfin. Sawar ini pada neonatus masih belum sempurna.
Penggunaan analgesik opioid utk analgesia obstetri dapat menimbulkan depri pernapasan
pada bayi baru lahir.
3. Metabolisme
Sebagian besar opioid-opioid dikonversi menjadi metabolit-metabolit polar, sehingga
mudah dieksresi oleh ginjal. Senyawa yang mempunyai gugus hidroksil bebas seperti morfin
dg mudah dikonjugasi dengan asam glukoronat. Eroin dihidrolisis mnjadi monoasetilmorfin
dan akhirnya menjadi morfin, yang kemudian di konjugasi dengan asam glukoronal.
Metabolit yang dikkonjugasi dg glukoronat ini bersifat polar dan diperkirakan tidak
aktif , tetapi penemuan terakhir menunjukkan bahwa morfin-6-glukoronid mempunyai sifat-
sifat analgesik yg mungkin lebih besar dari morfin sendiri. Akumulasi metabolit aktif ini
dapat dijumpai pada pasien gagal ginjal serta dapat memperpanjang dan memperkuat efek
analgesiknya meskipun yang masuk ke SSP terbatas. N-demetilasi oleh hati, tetapi ini hanya
sebagian kecil saja. Dalam konsentrasi tinggi metabolit dapat menimbulkan kejang terutama
pada anak-anak.
4. Ekskresi
Metabolit polar opioid diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian kecil opioid
diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Konjugasi glukuronid di ekskresi dalam empedu,
tetapi sirkulasi entero hepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses ekskresi
D. Farmakodinamik
1. Mekanisme kerja
Morfin berikatan secara selektif pada banyak tempat tempat di seluruh tubuh untuk
menghasilkan efek farmakologi. Lokus otak yg terlibat dalam transmisi nyeri dan dalam
perubahan reaktivitas rangsangan nosiseptif(sangat nyeri) terlihat sbg tempat kerja utama
tetapi bukan satu2nya tempat kerja opioid. Pada umumnya tempat yg memperlihatkan
afinitas tinggi utk ligan opiopid seperti morfin juga mengandung peptida endogen dalm
konstrasi tinggi yg mempunyai sifat seperti opioid. Nama generik yg dipakai utk zat2 ini
adalah endorfin(morfin endogen).
Prekursor dari peptida opioid endogen ini terdaapat pada tempat-tempat di otak yang
telah diimplikasi dalam modulasi neyeri, dan ternyata bahwa zat-zat ini dapat diaktifkan pada
waktu stres seperti yang dihasilkan oleh nyeri atau antisipasi nyeri. Penting dicatat bahwa
peptida prekursor didapatkan tidak saja dalam SSP tetapi juga di sebgian besar jaringan lain.
Dengan adanya senyawa-senyawa seperti ni memberi kemungkinan utk melakukan
percobaan-percobaan yg memperlihatkan opioid endogen dan eksogen analgesia yang
diperantarai oleh reseptor opioid pada tempat-tempat kerja di luar SSP. Efek antinosiseptif
ini dapat ditemukan karena reseptor-reseptor mu(μ), kapa(κ) dan delta(δ) berlokasi pada saraf
aferen primer yang telah diaktifkan.
a) Tipe-tipe reseptor
Telah dapat diidentifikasi beberapa tipe reseptor pada berbagai tempat dalam sistem saraf
dan jaringan lain. Anal gesia pada tingkat supraspinal maupun sifat-sifat euforia, depresi
pernapasan, dan ketergantungan fisik dari sifat morfin terutama sebagai hasil kombinasi
reseptor mu(μ) dan delta(δ). Reseptor ini juga memperantarai analgesi spinal dari opioid. Dan
Reseptor kapa juga memperantarai analgesia tingkat spinal.
Ketiga tipe reseptor ini telah dapat diisolasi dan dibuat klonnya. Reseptor ke 4 yaitu
reseptor sigma (σ) masih belum ada kesamaan pendapat, tetapi dapat dikaitkan dengan efek
opioid berupa disforik, halusinogenik, dan stimulasi jantung. Penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa setiap tipe reseptor mungkin mempunyai subtipe reseptor (μ1, μ2, dan
seterusnya). Karena obat opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berlainan sebagai suatu
agonis, agonis parsial, atau antagonis dengan setiap tipe reseptor ganda, tidak menyokong
bahwa zat-zat ini mempunyai kemampuan utk efek-efek yang berbeda-beda tersebut.
b) Distribusi reseptor
Ikatan opioid atau penemuan tempat kerja opioid telah diidentifikasi dengan teknik 2
ikatan radio ligan, otoradiografik, dan imunhistokimia. Tempat-tempat ikatan dengan
densitas tinggi terdapat dalam kornu dorsalis medula spinalis dan regio-regio subkortikal
tertentu dari otak (talamus, periaqueductal gray otak tengah dan rostral ventral medula)
Tempat2 ikatan opioid terdapat pada saraf transmisi nyeri medula spinalis dan pada
aferen2 primer yg merelai nyeri yg disampaikan pada tempat ini. Opoioid dan opiopeptin
telah diperlihatkan dapat menghambat pemebebasan transmitter eksitatori dari aferen primer
ini. Beberapa tempat pengikatan opioid otak yang berhubungan dengan modulasi neyri
melalui jalur turun termasuk nukleus rafe magnus dalam rostral ventral medullan dan lokus
sereleus batang otak, area periaqueductal gray otak dan beberapa nukleus hipothalamus dan
thalamus (Katzung, 2009).

2.2. Morfin
Kimia morfin dan opioid terkait
Struktur morfin dapat dilihat pada gambar diatas, banyak turunan semisintetik dibuat
dengan modifikasi morfin atau tebain.kodein adalah metilmorfin, substitusi metil pada gugus
hidroksilfenol. Tebain berbeda dengan mordin hanya dalam hal kedua gugus hidroksilnya
termetilasi dan pada cincinnya terdapat dua ikatan rangkap. Diasetilmorfin atau heroin, dibuat
dari morfin asetilasi pada posisi 3 dan 6. Apomorfin yang juga dibuat dari morfin, merupakan
suatu agonis dopaminergik dan emetik yang kuat. Hidromorfon, oksimorfon, hifrokodon dan
oksikodon juga dibuat melalui meodifikasi molekul morfin.
A. Absorpsi
Secara umum opioid mudah diabsorpsi pada saluran cerna, absorpsi melalui mukosa
rektum memadai, dan beberapa obat (seperti morfin, hidromorfon) tersedia dalam bentuk
supositoria. Opioid yang lebih lipofilik juga mudah di absorpsi melalui mukosa nasal atau bukal.
Opioid mudah diabsorpsi setelah penyuntikan intamuskular atau subkutan dan dapat berpenetrasi
cukup baik ke korda spinalis setelah pemberian epidural atau intratekal. Morfin dalam jumlah
kecil yang diberkan secara epidural atau intratekal ke saluran spinal dapat memberikan analgesia
yang kuat yang dapat betrahan 1 sampai 24 jam. Akan tetapi, karena sifat hidrofilik morfin, ada
penyebaran rostral obat pada cairan spinal, dan efek samping, terutama depresi pernapasan. Jika
morfin diberikan secara intravena, maka kerjanya cepat. Akan tetapi senyawa yang lebih larut
dalam lemak bekerja lebih cepat dari morfin setelah pemberian subkutan karena perbedaan laju
absorpsi dan masuknya ke SSP.

B. Distribusi dan nasib


Bila morfin dalam kondisi terapeutik terdapat dalam plasma, sekitar sepertiganya terikat
protein. Morfin sendiri tidak menetap dalam jaringan, dan 24 jam setelah dosis terakhir
konsentrasi dalam jaringan rendah.
Jalur metabolisme morfin utama adalah konjugasi dengan asam glukoronat. Dua
metabolit utama yang terbentuk adalah morfin-6-glukuronid dan morfin-3-glukuronid. Sejumlah
kecil morfin-3,6-diglukuronid juga dapat terbentuk. Walau 3- dan 6- glukuronid sangat polar,
keduanya dapat melintasi sawar darah otak untuk memberikan efek klinis yang bermakna.
Dengan pemberian dosis oral kronis, kadar morfin-6-glukuronid dalam darah biasanya
melampaui kadar morfin. Pada dewasa muda, waktu paruh morfin sekitar 2 jam, waktu paruh
morfin-6-glukuronid agak lebih lama

C. Ekresi
Sangat sedikit morfin yang diekresikan dalam bentuk tidak berubah. Obat tersebut
dieliminasi melalui filtrasi glomerulus, terutama sebagai morfin-3-glukuronid; 90% ekresi total
terjadi pada hari pertama. Terjadi sirkulasi enterohepatik morfin dan glukuronidanya, yang
menyebabkan adanya sejumlah kecil morfin dalam feses dan dalam urin selama beberapa hari
(Goodman & Gilman. 2001).

D. Indikasi
- terhadap nyeri

Morfin sering digunakan untuk nyeri yang menyertai : 1) infark miokard; 2) neoplasma;
3) kolik renal atau kolik empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau
koroner; 5) perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks spontan; dan 6) nyeri akibat
trauma misalnya luka bakar.
- terhadap batuk

pada batuk tidak produktif dan hanya iritatif, tetapi dewasa ini sudah ditinggalkan
pemakainannya.
- edema paru akut

Morfin IV dapat dengan jelas mengurangi/ menghilangkan sesak napas akibat edema
pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.
- efek antidiare

berdasarkan efek langsung ke otot polos usus.


E. Efek samping
- idiosinkrasi dan alergi

morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama wanita berdasarkan idiosinkrasi.
Bentuk diosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang-jarang
delirium; lebih jarang lagi konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergik dapat
timbul gejalanseperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus, dan bersin.
- intoksikasi akut

Biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau takar lajak. Pasien akan tidur, sopor
atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekunsi napas lambat 2-4 kali/menit, dan
pernapasan mungkin berupa Cheyne Stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah tidak
merata dan agak kebiruan. Tekanan darah mula-mula baik akan menurun sampai terjadi
syok bila napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil
sangat kecil (pin point pupils),kemudian midriasis jika telah teradi anoksia. Pembentukan
urin sangat berkurang karena terjadi penglepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu
badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan
relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas.
F. Toleransi , Adiksi, dan Abuse
Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenma berikut: (1) habituasi, yaitu perubahan
psikik emosional sehingga pasien ketagihan akan morfin; (2) ketergantungan fisik, yaitu
kebutuhan akan morfin karena faal dan biokimia tubuh tidak berfungsi lagi tanpa morfin; dan
(3) adanya toleransi.
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul efek eksitasi, miosis, dan
efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara morfin, dihidromorfin, metopon, kodein,
dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu. Kemungkinan timbulnya toleransi lebih
besar bla digunakan dosis besar secara teratur.
Jika pecandu menghentikan pengggunaan morfin secara tiba-tiba timbullah gejala putus
obat atau gejala absstinensi. Menjelang saaat dibutuhkannya morfin, pecandu tersebut merasa
sakit, gelisah, irritable; kemudian tertidur nyenyak. Sewaktu bangun ia mengeluh seperti
akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase ini timbul gejala tremor, iritabilitas, lakrimasi,
berkeringat, menguap, bersin, mual, midriasis, demam, da napas cepat. Gejala ini makin
hebat disertai timbulnya muntah, kolik, dan diare. Frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah meningkat. Pasien merasa panas dingin disertai hiperhidrosis. Akibatnya timbul
dehidrasi, ketosis, asidosis, dan berat bada pasien menurun. Kadang-kadang timbul kolaps
kardiovaskular yang bias berakhir dengan kematian.
G. Interaksi Obat
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh fenotiazin,
penghambat monoamine oksidase dan antidepresi trisiklik. Beberapa fenotiazin mengurangi
jumlah opioid yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu. Tetapi efek
sedasi dan depresi napas akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin tertentu, dan selain itu
ada efek hipotensi fenotiazin.
Beberapa derivate fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat yang sama
bersifat antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang diperlukan untuk
menghilangkan nyeri.
H. Sediaan dan Posologi
Sediaan yang mengandung campuran alkaloid dalam bentuk kasar beraneka ragam dan
masih dipakai. Misalnya pulvus opii mengandung 10% morfin dan kurang 0,5% kodein.
Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk pemberian oral maupun
parenteral. Yang biasa digunakan adalah garam HCl, garam sulfat, atau fosfat alkaloid
morfin, dengan kadar 10 mg/mL. Pemberian 10mg/70kgBB morfin subkutan dapat
menimbulkan analgesia pada pasien dengan nyeri yang bersifat sedang hingga berat,
misalnya nyeri pascabedah. Efektivitas morfin per oral hanya 1/6-1/5 kali efektivitas morfin
subkutan.
I. Efek-efek System Organ dari Morfin
1. Analgesia
Morfin menyebabkan analgesia (menghilang nyeri tanpa hilangnya kesadaran).
Opioid menghilangkan nyeri dengan meningkatkan ambang rasa nyeri pada tingkat
medula spinalis, dan lebih penting lagi, mengubah persepsi otak terhadap
nyeri.penderita yang diobati dengan morfin tetap waspada terhadap adanya rasa nyeri,
tetapi sensasinya menyenangkan. Efek analgesik maksimum dan potensi ketagihan
dari obat-obat agonis.
2. Euforia
Morfin menghasilkan rasa puas dan rasa sehat yang kuat. Euforia mungkin
disebabkan oleh stimulasi tegmentum ventral.
3. Pernafasan
Morfin menyebabkan defresi pernafasan dengan pengurangan sensitivitas neuron
pusat pernafasan terhadap karbondioksida. Ini terjadi dengan dosis biasa morfin dan
diperkuat dengan jiak dosis ditingkatkan sampai akhirnya pernapasan berhenti.
Depresi pernafasan merupakan penyebab kematian yang paling sering pada keadaan
takar lajak opiod.
4. Penekanan refleks batuk
Morfin dan kodein mempunyai efek antitusif. Umumnya, penekanan batuk tidak
berhubungan erat analgesik dan defresi pernafasan obat-obat opiod. Reseptor yang
terlibat dalam kerja antitusif yang tampaknya berbeda dan yang terlibat pada
analgesia.
5. Miosis
“Pinpoint” ciri khas penggunaan morfin adalah akibat dari rangsangan reseptor µ
dan resptor k. Morfin mengeksitasi nukleus Edinger-Westphal nervus okulomotorius
yang menyebabkan peningkatan stimulasi paarasimpatetik pada mata. Ada sedikit
toleransi terhadap efek ini, dan semuanya menambah timbulnya”pinpoint” pupil.ini
penting untuk menegakkan diagnosis karena kebanyakan penyebab koma dan depresi
pernafasan mengahasilkan dilatasi pupil.
6. Emesis
Morfin merangsang secara langsung zona pencetus kemoreseptor pada daerah
postrema yang menimbulkan muntah.Walaupun begitu ,emesis tidak menimbulkan
sensasi yang tidak menyenangkan.
7. Saluran cerna
Morfin menghilangkan diare dan disentri. Morfin menurunkan motilitas otot dan
meningkatkan tonus. Juga meningkatkan tekanan pada sakuran bilier. Morfin juga
meningkatkan tonus spingter anus. Morfin juga menyebabkan konstipasi, dengan
sedikit perkembangan toleransi.
8. Kardiovaskuler
Morfin tidak mempunyai efek utama terhadap tekanan darah ataupun denyut
jantung kecuali pada dosis besar dapat terjadi hipotensi dan bradikardi. Karena defresi
pernafasan dan retensi karbondioksida, pembuluh darah serebral berdilatasi dan
meningkatkan tekanan cairan CSF. Karena itu morfin merupakan kontraindikasi pada
individu dengan jejas otak berat.
9. Pelepasan histamin
Morfin melepaskan histamin dari sel mast, menyebabkan urtikaria, berkeringat
dan vasodilatasi.karena dapat menyebabkan penderita asma sebaiknya jangan
diberikan obat ini.
10. Kerja hormonal
Morfin menghambat pelepasan hormon pelepasan gonadotropin dan hormon
pelepasan kortikotropin dan menurunkan konsentrasi hormon luteinisasi, hormon
yang menstimulasi folikel, hormon yang adrenokortikotropik dan B-endorfin.kadar
testosteron dan kortisol menurun. Morfin meningkatkan pelepasan prolaktin dan
hormon pertumbuhan dengan mengurangi penghambatan dopaminergik.morfin juga
meningkatkan retensi urin.
11. Kulit
Dalam dosis terapi morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit
sehingga kulit tampak merah terutama panas di muka, leher, dan dada bagian atas.
Proritus kadang-kadang dapat terjadi mungkin akibat penglepasan histamine atau
pengaruh langsung morfinpada saraf.
12. Metabolisme
Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun,
fasodilatasiferifer dan penghambatan mekanismen neural di SSP. Kecepatan
metabolisme dikurangi oleh morfin. Setelah pemberian morfin folume urin berkurang
disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus.

2.3. NALOKSON
NALOKSON juga digunakan untuk membalikkan gejala koma dan depresi
pernapasan akibat kelebihan dosis opioid. Obat ini cepat menempati semua reseptor yang
terikat dengan molekul opioid dank arena itu mampu membalikkan efek kelebihan dosis
heroin. Dalam waktu 30 detik setelah pemberian suntikan intravena nalokson, depresi
pernapasan dan koma yang merupakan cirri khas dosis tinggi heroin dibalikkan yang
menyebabkan penderita kembali hidup dan waspada. Nalokson mempunyai waktu paruh
60 – 100 menit dan merupakan antagonis kompetitif pada reseptor m, k, d, dengan
afinitas reseptor m 10 kali lipat lebih tinggi daripada reseptor k. Hal ini menerangkan
mengapa nalokson mudah membalikkan depresi pernapasan dengan hanya pembalikkan
minimal analgesia sebagai akibat dari rangsangan agonis reseptor k pada medulla
spinalis. Nalokson tidak menimbulkan efek farmakologi pada individu normal, tetapi
menyebakan gejala putus obat penderita penyalahgunaan morfin atau heroin.
A. Farmakodinamik
- Efek tanpa pengaruh opioid

Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa nalokson (1) menurunkan ambang nyeri
pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi; (2) mengantagonis efek analgetik
placebo; (3) mengantaonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum
akupuntur.
- Efek dengan pengaruh opioid
Semua efek agonis opioid pada reseptor µ diantagonis oleh nalokson dosis kecil (0,4-0,8
mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah
pemberian nalokson pada pasien dengan depresi napas akibat agonis opioid; efek sedative
dan efek terhadap tekanan darah juga segera dihilangkan. Antagonisme nalokson
berlangsung selama 1-4 jam, tergantung dosisnya.
Antagonisme nalokson terhadap efek antagonis opioid sering disertai dengan terjadinya
fenomena overshoot misalnya berupa peningkatan frekuensi napas melebihi sebelum
dihambat oleh opioid. Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya
(unmasking) ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
B. Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat setelah
penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap tetapi hampir seluruhnya mengalami
metabolism lintas pertama. Obat ini dimetabolisme di hati, terutama dengan glukoronidasi.
Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja 1-4 jam.
C. Toleransi dan ketergantungan fisik
Kecil kemungkinan disalahgunakan karena (1) tidak menyebabkan ketergantungan fisik;
(2) tidak menyokong ketergantungan fisik morfin; dan (3) dari segi subyektif dianggap
sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi para pecandu.
D. Indikasi
Mengatasi depresi napas akibat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh
ibu yang mendapat opioid sewaktu persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu
opioid. Nalokson juga dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan
fisik terhadap opioid.
E. Sediaan dan Posologi
Pada intoksikasi opioid diberikan 2 mg nalokson dalam bolus IV yang mungkin perlu
diulang. Karena waktu paruh yang singkat, dosis ini diulang setiap 20-60 menit, terutama
pada keracunan opioid kerja lama misalnya metadon.

III. Alat dan Bahan


Hewan coba : kelinci
3.1. Alat :
- Semprit tuberkulin 1 mL
- Penggaris
- Stetoskop
- Stopwatch/arloji
3.2. Bahan :
- Larutan morfin sulfat 4%
- Nalokson

IV. Cara Kerja :


1. Timbang hewan coba dan catat beratnya
2. Hitung dosis morfin yang diberikan pada hewan coba berdasarkan beratnya
3. Lakukan observasi dan catatlah sebelum disuntikkan morfin yang mencakup :
a. Frekuensi dan dalamnya napas dengan cara menghitung frekuensi napas selama 15
detik kemudian hasilnya dikalikan 4
b. Frekuensi denyut jantung dengan cara menghitung denyut jantung selama 15 detik
kemudian hasilnya dikalikan 4
c. Reaksi atas tonus pada rangsangan nyeri dengan cara mencubit beberapa bagian
tubuh hewan coba kemudian lihat dan catat reaksinya
d. Refleks dan tonus otot dengan cara menarik kaki hewan coba kemudian lihat apakah
hewan coba dapat menarik kakinya kembali atau tidak
e. Sikap hewan coba
f. Kelakuan umum hewan coba (tenang, gelisah, dsb)
g. Diameter pupil
4. Injeksikan secara subkutan 0,5 mL/kg BB larutan morfin sulfat 4% pada hewan coba
pada bagian permukaan atas leher
5. Ulangi semua observasi dan lakukan pencatatan di atas setiap 5 menit. Jika sesudah 45
menit efek depresi tidak tampak, suntikan lagi morfin sebanyak setengah dosis semula
6. Perhatikan bahwa reaksi terhadap stimuli tertentu, yang sebelumnya menyebabkan nyeri,
sesudah pemberian morfin menjadi tidak ada atau sangat rendah. Reaksi atas perubahan-
perubahan mendadak dari kekuatan rangsang tidak berubah.
7. Bila frekuensi napas sudah berkurang menjadi 30 kali per menit atau terjadi depresi
respirasi yang sangat hebat, suntiklah hewan coba dengan nalokson 0,01 mg/kg BB
intravena pada telinganya
8. Ulangi observasi-observasi di atas setiap 5 menit dan catat
V. Hasil Pengamatan

a. Sebelum dan sesudah perlakuan dengan morfin

Observasi Sebelum perlakuan Setelah perlakuan (morfin)

5 menit1 5 menit2 5 menit3

Frekuensi napas 40x/menit 32x/menit 24x/menit 20x/menit

Frekuansi denyut 120x/menit 136x/menit 128x/menit 116x/menit


jantung

Reaksi terhadap Berusaha Tidak ada reaksi Tidak ada reaksi Tidak ada reaksi
nyeri melepaskan diri

Refleks Ada refleks (baik) Masih berusaha Baik (ada Refleks buruk
menarik kaki refleks)

Tonus otot Baik (ada Baik (ada Menurun Menurun


perlawanan) perlawanan)

Sikap Telinga berdiri, Melipat keempat Susah berdiri Tidak bisa


gerak aktif anggota gerak berdiri

Kelakuan umum Gelisah Tenang Tenang Tenang

Diameter pupil 7 mm 5 mm 5 mm 5 mm

b. Sesudah perlauan dengan naloxon

Observasi Setelah pemberian Naloxon (0,3 ml)

5 menit 1 5 menit2 5 menit3 5 menit4

Frekuensi napas 44x/menit 40x/menit 40x/menit 44x/menit

Frekuansi denyut 140x/menit 176x/menit 180x/menit 160x/menit


jantung

Reaksi terhadap Tidak ada reaksi Tidak ada reaksi Tidak ada reaksi Tidak ada reaksi
nyeri

Refleks negatif Negatif negatif baik

Tonus otot lemah Lemah lemah Baik

Sikap Tidak bergerak Tidak bergerak Tidak bergerak Bergerak-gerak


Kelakuan umum mengantuk Tertidur tertidur terbangun

Diameter pupil 3 mm 4 mm 5mm 6 mm

VI. Pembahasan
Praktikum ini bertujuan untuk memahami efek morfin pada manusia berdasarkan
pengamatan terhadap hewan. kami memakai kelinci sebagai hewan uji dalam praktikum ini
karena efek morfin pada kelinci menyerupai efek morfin pada manusia.

Ada beberapa aspek yang kami amati dalam praktikum ini:

• Frekuensi dan dalamnya napas

• Frekuensi denyut jantung

• Reaksi atas tonus pada rangsangan nyeri

• Refleks dan tonus otot

• Sikap hewan coba

• Kelakuan umum hewan coba (tenang, gelisah, dsb)

• Diameter pupil

Yang pertama kali harus dilakukan yaitu mengobservasi ketujuh aspek di atas sebelum
pemberian morfin. Kemudian kami melakukan praktikum dengan menyuntikkan morfin secara
subkutan kepada kelinci. Kami menyuntikkan sebanyak 0,5 mL/kg BB larutan morfin sulfat 4%.
Sebelumnya kelinci yang kami pakai kami timbang dan didapat berat badan kelinci tersebut
seberat 322,60 gram.

Setelah itu, kami mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada kelinci setiap 5
menit. Ketika mulai timbul tanda-tanda depresi pernapasan pada kelinci, kami menyuntikkan
nalokson secara intravena melalui vena di telinga kelinci untuk melawan efek depresi dari
morfin. Syukurnya dalam praktikum kami tidak ada kelinci yang berakhir dengan kematian.

A. Pengaruh morfin terhadap respirasi

Morfin memiliki efek depresi terhadap sistem respirasi. Ketika morfin menduduki
reseptor µ pada pusat kontrol respirasi di medula oblongata akan terjadi penurunan
eksitasi neuron yang mengatur irama pernapasan. Akan terjadi penurunan frekuensi dan
kedalaman pernapasan. Selain itu refleks hiperventilasi akibat peningkatan CO2 juga
menurun. Kematian akibat keracunan morfin hampir selalu akibat depresi pernapasan.

Pada hewan coba, tampak terjadi penurunan frekuensi pernapasan sesaat setelah
penyuntikan morfin, dari 40 kali/menit menjadi 32 kali/menit, 24 kali/menit, akhirnya 20
kali/ menit. Hanya dalam 15 menit kelinci yang kami suntik mulai mengalami depresi
pernapasan. Kemudian kami menyuntikkan nalokson untuk melawan efek morfin.
Frekuensi pernapasan naik menjadi berkisar antara 40-44 kali/menit.

B. Pengaruh morfin terhadap denyut jantung

Morfin tidak memiliki efek langsung yang signifikan terhadap sistem


kardiovaskuler, selain bradikardia tidak ada efek lain terhadap ritme jantung. Morfin
mengakibatkan depresi sitem kontrol vasomotor sentral dan pelepasan histamin di perifer
yang kemudian mengakibatkan vasodilatasi arteri dan vena perifer. Efek yang dirasakan
sebagai akibat vasodilatasi perifer adalah hipotensi ortostatik.

Sebelum penyuntikan morfin denyut jantung kelinci adalah 120 kali/menit.


Setelah kelinci kami suntik dengan morfin kami mendapatkan penurunan denyut jantung
dari 136 kali/menit menjadi 128 kali/menit dan akhirnya 116 kali/menit. Tampak mulai
terjadi bradikardia, akan tetapi efek ini tidak terlalu signifikan. Kemudian setelah kami
menyuntikkan nalokson, terjadi peningkatan denyut jantung menjadi 140 kali/menit lalu
176 kali/ menit, 180 kali/menit dan akhirnya 160 kali/menit. Terjadi efek rebound akibat
penyuntikan nalokson sehingga denyut nadi meningkat lebih daripada denyut nadi awal.

C. Pengaruh morfin terhadap reaksi atas tonus pada rangsangan nyeri

Morfin menimbulkan efek analgesia dengan cara menduduki reseptor µ pada


regio otak dan medula spinalis yang terlibat dalam transmisi dan modulasi rasa nyeri.
Beberapa efek dimediasi oleh reseptor opioid pada ujung saraf perifer. Reseptor opioid
merupakan reseptor G protein-coupled . Reseptor morfin terdapat banyak pada radiks
dorsalis medula spinalis. Di sistem saraf pusat reseptor morfin yang menimbulkan efek
analgesia terdapat pada area abu-abu periaquaduktus, daerah rostral ventral medula
oblongata dan pada locus caeruleus.

Ketika morfin menduduki reseptornya ada 2 hal yang terjadi: (1) dengan
menduduki reseptor presinap, terjadi penutupan kanal Ca2+ pada ujung presinap dan
menurunkan pelepasan neurotransmitter glutamat dan neuropeptida; (2)dengan
menduduki reseptor postsinap, terjadi pembukaan kanal K+ pada ujung postsinap, terjadi
pengeluaran ion K+ sehingga terjadi hiperpolarisasi pada neuron. Kedua hal tersebut
menghambat transmisi impuls rasa nyeri.
Morfin memiliki keunikan dalam mengatasi rasa sakit, dimana morfin tidak hanya
menurunkan komponen sensori rasa nyeri tetapi juga aspek emosional (afektif) dari rasa
nyeri. Morfin tidak hanya meningkatkan ambang rasa nyeri, tetapi juga meningkatkan
kemampuan seseorang untuk menerima rasa nyeri secara emosional. Efek analgesia
morfin akan berlangsung selama 4-5 jam pada manusia.

Pada kelinci yang kami amati, sebelum diberi morfin tampak kelinci bereaksi
terhadap stimulus nyeri dengan berusaha melepaskan diri dari pegangan kami saat
dicubit. Setelah kami suntik dengan morfin, kelinci tidak memberikan respon terhadap
cubitan yang kami lakukan. Setelah kami suntik dengan nalokson pun kelinci tetap tidak
bereaksi terhadap cubitan yang kami lakukan. Hal ini terjadi karena efek analgesia dari
morfin masih berlangsung.

Penurunan refleks nyeri ini terjadi akibat hilangnya sensasi nyeri (analgesi) yang
dirasakan oleh kelinci akibat kerja morfin pada reseptor µ1 pada tingkat supraspinal dan
pada reseptor к dan δ pada tingkat spinal. Efek analgetik morfin timbul berdasarkan 3
mekanime, yaitu: (1) meninggikan ambang rangsang nyeri. (2) mempengaruhi emosi,
artinya morfin dapat mengubah reaksi yg timbul di korteks serebri pada waktu persepsi
nyeri diterima oleh korteks dari talamus. (3) memudahkan tidur dan pada waktu tidur
ambang rangsang nyeri meningkat.

D. Pengaruh morfin terhadap refleks dan tonus otot

Sebelum disuntik morfin, refleks kelinci masih sangat baik. Hal ini tampak
dengan kelinci segera menekuk kaki yang kita tarik untuk diekstensikan. Tonus otot juga
sangat baik pada palpasi. Setelah disuntik morfin, tampak refleks fleksi otot kaki kelinci
dan tonus ototnya melemah secara progresif. Akhirnya tidak ada refleks yang terjadi
ketika kaki kelinci kita ekstensikan. Tonus otot menjadi lemah, otot terasa lembek saat
kita palpasi. Morfin menyebabkan refleks dan tonus otot kelinci menurun.

E. Pengaruh morfin terhadap sikap hewan coba

Sebelum disuntik morfin, tampak kelinci aktif bergerak dengan telinganya tegak.
Sesaat setelah disuntik morfin, kelinci melipat keempat ekstremitasnya dan telinganya.
Beberapa saat kemudian kelinci tampak tidak berdaya dan keempat ekstremitasnya
diekstensikan. Kemudian kelinci kami suntik dengan nalokson, kami menunggu beberapa
saat dan akhirnya kelinci tersebut sadar kembali dan mulai bergerak-gerak lagi.

F. Pengaruh morfin terhadap kelakuan umum hewan coba

Morfin menyebabkan sedasi pada sistem saraf pusat sehingga membuat kelinci
menjadi tenang, lebih lanjutnya menjadi tertidur. Awalnya kelinci yang akan kami suntik
tampak gelisah, sesaat setelah disuntik menjadi tenang kemudian tertidur. Beberapa saat
setelah kami suntik dengan nalokson baru kelinci tersebut terbangun kembali. Turunnya
kesadaran merupakan salah satu trias keracunan akut morfin.

G. Pengaruh morfin terhadap diameter pupil

Morfin akan mengakibatkan eksitasi pada neuron cabang parasimpatik nervus III
(okulomotorius) sehingga terjadi miosis pada pupil. Pada praktikum kami mendapatkan
pengecilan diameter pupil dari awalnya 7 mm menjadi 3 mm. Setelah dilakukan
pemberian nalokson pupil berangsur-angsur membesar sampai 6 mm. Miosis pupil
merupakan efek morfin yang tidak mengalami toleransi sehingga pada orang-orang yang
sering memakai morfin reaksi ini tetap muncul. Miosis pupil merupakan salah satu trias
keracunan akut morfin.

VII. KESIMPULAN

Dalam praktikum kami mendapatkan bahwa morfin menurunkan frekuensi dan


kedalaman nafas. Tidak terdapat efek yang berarti pada frekuensi denyut jantung, sedikit
bradikardia. Reaksi atas tonus pada rangsangan nyeri menghilang. Refleks dan tonus otot
menurun. Kelinci tampak tak berdaya dan timbul ekstensi pada keempat ekstremitas. Kelinci
kemudian tak sadarkan diri dan pupilnya mengecil.

VIII. SARAN

Penyuntikan morfin harus dilakukan hati-hati, jangan sampai jarum suntik menusuk
orang yang menyuntik atau orang sekitarnya. Gejala depresi pernapasan pada kelinci harus
cepat dideteksi agar segera diberi nalokson. Jika terlambat, dapat terjadi kematian pada kelinci.

DAFTAR PUSTAKA

Brunton, L.L., et al. 2007. Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics,
11th Ed. New York: McGraw-Hill

Katzung, B.G., Masters, S.B., Trevor, A.J. 2009. Basic & Clinical Pharmacology, 11th Ed. New
York: McGraw-Hill
Mycek, M.J., et al. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta: Widya Medika

Rang, H.P., et al. 2007. Rang’s and Dale’s Pharmacology. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Inc

Tjay, T.H., Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi 6. Jakarta : Elex Media Komputindo

Jawaban soal farmakologi :

1. Idiosinkrasi adalah suatu efek obat yang terjadi pada individu tertentu tetapi berbeda
dengan efek yang terjadi pada umumnya, yang disebabkan oleh kelainan genetic, yang
terjadi pada manusia sedangkan species difference merupakan perbedaan efek obat yang
terjadi yang disebabkan oleh perbedaan jenis/ spesies dan terjadi pada hewan.

2. Gejala trias pada keracunan morfin berupa penurunan kesadaran, depresi pernapasan dan
miosis pupil (pinpoint), yang dapat terjadi pada pemberian dosis morfin secara
berlebihan.
3. Morfin hanya diindikasikan pada nyeri hebat misalnya pada kolik ginjal, kanker dan
pasca bedah karena morfin merupakan suatu analgesic yang memiliki efek toleransi dan
ketergantungan, sehingga morfin hanya diberikan sebagai analgesic apabila analgesic
lain tidak mampu mengatasi nyeri hebat tersebut.

4. Antagonis murni morfin merupakan turunan morfin dengan gugus pengganti pada posisi
N, yang memiliki afinitas yang relative tinggi untuk berikatan dengan reseptor tipe mu
sedangkan antagonis parsial morfin adalah memiliki afinitas yang relative lebih rendah
untuk berikatan dengan reseptor.

5. Morfin endogen adalah suatu peptide endogen yang dihasilkan oleh tubuh yang
mempunyai sifat yang sama seperti morfin. Contohnya beta endorphin yang berfungsi
untuk memodulasi nyeri yaitu dengan meningkatkan ambang nyeri.

6. Ada 4 reseptor opioid yaitu reseptor mu, delta, kappa dan sigma. Kombinasi dari
Reseptor mu dan delta menghasilkan analgesia pada tingkat supraspinal dan tingkat
spinal dan juga bertanggungjawab terhadap sifat-sifat euphoria, depresi pernapasan dan
ketergantungan fisik dari sifat morfin, reseptor kappa memperantai analgesia tingkat
spinal, sedangkan untuk reseptor sigma masih diperdebatkan fungsinya, tetapi dapat
dikaitkan dengan efek-efek opioid berupa disforik, halusinogenik dan stimulasi jantung.

Anda mungkin juga menyukai