Jika ada bank yang tingkat LDR-nya kurang dari 78 persen, maka dikenakan denda 0,1 persen dari
jumlah simpanan nasabah di bank tersebut untuk tiap satu persen kekurangan LDR yang dialami
bank. Sementara bank yang LDRnya di atas 100 persen maka akan diminta BI untuk menambah
setoran Giro Wajib Minimum primernya sebesar 0,2 persen dari jumlah simpanan nasabah di bank
tersebut untuk tiap satu persen nilai kelebihan LDR yang dialami bank.
Bagi bank yang rasio kecukupannya di atas 14 persen tidak dikenakan tambahan setoran GWM.
Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Wimboh Santoso di Jakarta, Kamis
(13/1) mengatakan, bank masih memiliki waktu untuk mencapai target yang ditetapkan, meskipun
penyaluran pembiayaan pada awal tahun relatif rendah. “Ada realisasi anggaran pemerintah
biasanya di akhir triwulan I, terutama ekspos anggaran pemerintah cukup besar, sehingga kredit
biasanya ikut meningkat,” kata Wimboh.
Dia mengatakan, rata-rata LDR perbankan pada Desember 2010 cenderung turun di posisi 75
persen, karena penghimpunan DPK yang meningkat signifi kan pada akhir tahun. DPK di pekan
terakhir Desember 2010 tumbuh 50 triliun rupiah, sehingga pembilangnya meningkat dan otomatis
persentasenya turun. Modal Wimboh dalam kesempatan itu juga mengungkapkan pentingnya terus
memperkuat modal bank di Indonesia.
Sebab, dibandingkan dengan bank di negara-negara tetangga Asean, bank-bank di Indonesia rata-
rata modalnya paling rendah. Modal minimum bank di Indonesia sebesar 11,1 juta dollar AS atau
110 miliar rupiah, sementara modal awal untuk mendirikan bank 332,8 juta dollar AS atau setara
dengan tiga triliun rupiah. Di negara-negara ASEAN lainnya, katanya, modal awal untuk membuka
bank disamakan dengan modal inti perbankan.
“Bank di Indonesia itu sudah jumlahnya paling banyak namun modalnya juga terendah di antara
negara-negara kawasan Asean,” katanya. Di Malaysia, papar Wimboh, menetapkan modal awal
sebuah bank 634,2 juta dollar AS dengan modal intinya harus sama. Kalau dibandingkan dengan
modal inti bank di Indonesia, sudah ketinggalan.
fi a/E-9
Jika tidak berada di level tersebut, bank diwajibkan menambah giro wajib minimum (GWM) yang
ditempatkan di bank sentral.
JAKARTA — Bank syariah tidak akan dikenakan aturan LDR yang dikaitkan dengan GWM dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang segera diterbitkan.
Tidak dimasukkannya bank syariah karena mereka sudah menerapkan aturan itu sebelumnya.
Direktur Direktorat Perbankan Syariah BI, Mulya E Siregar, di Jakarta, akhir pekan lalu,
mengatakan bank syariah sudah menerapkan variasi fi - nancing to deposit ratio (FDR) yang
dikaitkan dengan GWM sejak tahun 2004.
“Aturannya tidak persis sama, bedanya di perbankan syariah tidak ada batas atas sehingga bank
yang FDR-nya di bawah 80 persen diwajibkan menambah GWM-nya,” kata Mulya.
Dengan demikian, aturan batas atas untuk bank syariah tidak dipatok, tetapi minimal menyalurkan
pembiayaan 80 persen.
Peraturan itu juga dikaitkan dengan Sertifi kat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sehingga bank
syariah bisa menerbitkan SBIS kalau FDR-nya minimal 80 persen.
“Kalau di bank syariah dengan batasan 80 persen itu cukup efektif. Di bawah 80 persen tidak boleh
dan GWM-nya harus tambah satu persen dari total dana pihak ketiganya (DPK),” katanya. Selama
ini, penyaluran pembiayaan tersebut larinya ke konsumsi.
Namun, menurutnya, itu bukan suatu hal yang penting karena ekonomi Indonesia masih ditopang
oleh konsumsi. Masih besarnya pembiayaan syariah ke konsumsi karena kredit jangka panjang
seperti infrastruktur belum siap.
Demikian juga dengan pembiayaan investasi dan modal kerja yang lain. Deputi Gubernur BI Halim
Alamsyah menegaskan meskipun mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak, kebijakan yang
sudah digodok itu tetap akan diterbitkan dalam waktu dekat.
Komitmen mengeluarkan aturan tersebut dimaksudkan untuk mendorong fungsi intermediasi bank
yang sesuai dengan prinsip penyaluran kredit yang sehat.
“Sebentar lagi akan keluar. Tunggu saja, dalam hitungan hari,” kata Halim. Dia mengatakan
pihaknya sudah mempertimbangkan pergerakan bank ke depan setelah peraturan tersebut
diberlakukan. Dengan peraturan itu, ia yakin bisa mendorong memberikan insentif dan disinsentif.
Peraturan baru tersebut nantinya juga mengatur pemberian sanksi bagi bank yang rasio penyaluran
kredit dibanding dana pihak ketiga (DPK) atau LDR tidak mencapai batasan yang ditetapkan bank
sentral.
Sanksi yang akan dikenakan, yakni tambahan penempatan GWM. Mengenai berapa penaltinya,
Halim belum mau membeberkannya secara terbuka.
Kepala ekonom Bank Mandiri, Mirza Adityaswara, mengatakan aturan penerapan batas arahan
LDR di atas 90 persen dinilai terlalu riskan.
Selama ini, ada pandangan, pertumbuhan kredit masih rendah dibanding likuiditas di pasar
menjadikan regulator merasa perlu menetapkan batas LDR untuk mendorong kenaikan penyaluran
kredit.
Padahal, tingginya LDR justru berpotensi membahayakan likuiditas karena dana simpanan
masyarakat saat ini sebagian dalam bentuk dana jangka pendek.
Dengan profil DPK yang didominasi dana jangka pendek, terjadi mismatch maturity yakni sumber
pembiayaan berjangka pendek, sedangkan kredit rata-rata berjangka panjang.
“Ini berbahaya karena kalau mereka (investor) anggap kita tidak prudent mereka akan segera keluar
dari pasar. Kecuali jika pendanaan bank ditopang oleh obligasi jangka panjang,” katanya.
pnd/E-9
Keberhasilan Bank Muamalat dalam melanjutkan tradisi
pertumbuhan bisnis merupakan capaian yang patut
disyukuri. Pada tahun 2009, Aset Bank Muamalat
meningkat sebesar 27,09%. Hal ini didorong oleh
pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) Bank Muamalat
yang tumbuh 32,19% dari Rp 10.073,96 miliar menjadi
Rp 13.316,90 miliar. Peningkatan DPK tersebut dapat
meminimalisasi risiko likuiditas yang dirasa cukup berat
pada akhir 2008 sampai dengan awal 2009
http://www.muamalatbank.com/assets/pdf/annual_report/annual_report_bmi2009-rev.pdfLIKUIDITAS