Anda di halaman 1dari 4

LEGENDA BARIDIN

Alkisah di sebuah Desa bernama Jagapura, Kab. Cirebon, dahulu kala ada seorang
pemuda bernama Baridin, Baridin pemuda kampung yang miskin dan pengangguran,
kulitnya kasar agak budug, dirinya mencintai seorang gadis kembang desa dikampungnya
bernama Ratminah, Ratminah yang cantik itu memiliki perangai yang kurang baik,
dirinya sombong dan angkuh, selalu menghina orang, Ratminah sendiri merupakan Putri
Tuan Tanah dikampungnya yang bernama Juragan Dam dan Nyai Wangsih, kedua orang
tua Ratminah itu sangat membenci Baridin.
Suatu hari Baridin pun menyatakan cintanya pada Ratminah, namun Baridin harus
menerima kenyataan dirinya dihina, dan dicaci maki oleh Ratminah, Ratminah pun
meludah ke tanah. Lalu berkata “Bagen edan, dari pada dadi rabi sira.” (biar gila,
daripada jadi istri kamu).
Mengetahui maksudnya bertepuk sebelah tangan dan bahkan menerima penghinaan
seperti itu, Baridin tidak tinggal diam, hatinya panas dipermalukan dan martabatnya
diinjak-injak oleh perlakuan Ratminah, rasa cintanya pada Ratminah kini berubah
menjadi dendam yang amat sangat, lalu pergilah Baridin menemui sebuah Pertapa, oleh
seorang pertapa itu Baridin, disarankan untuk mengamalkan sebuah mantera, mantera itu
harus dibacanya sambil bertapa selama 40 hari 40 malam, dan Baridin menyanggupi
persyaratan yang diberikan pertapa tersebut.
“baiklah Baridin jika tekadmu sudah bulat, ambillah posisi yang menurutmu nyaman,
ingat Baridin 3 hari pertama, orang yang kamu kerjai akan teringat kamu, lalu 7 hari
pertama orang yang kamu kerjai akan selalu menyebut namamu terus – menerus, dan
setelah dirimu selesai 40 hari 40 malam, jika tidak segera dinikahi maka orang yang
kamu tuju bias gila karena rasa cinta yang begitu besar padamu.” Pertapa itu
mengingatkan lagi Baridin supaya berpikir ulang akan keinginannya yang nekat dan
beresiko itu, hati Baridin yang sudah gelap tidak dapat lagi berpikir secara jernih, yang
ada difikirannya hanya satu, membalaskan sakit hatinya.
Baridin menyunggingkan senyum penuh dendam, membayangkan wajah Ratminah dan
mulai mengambil posisi, dirapalnya mantera dari pertapa itu, mulai konsentrasi
membayangkan wajah Ratminah dengan dendam dan nafsu kesumat.
Kini sudah 20 hari 20 malam, Baridin menyepi, menyendiri, merapalkan mantera dan
bertapa, sementara itu warga kampung geger mendengar kabar bahwa Ratminah yang
kembang desa itu menjadi gila, tidak pernah lepas dari bibir Ratminah menyebut nama
Baridin, hingga sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam keadaan gila itu
Ratminah masih menyebut nama Baridin. Baridin sendiri masih khusuk merapal
manteranya walaupun badannya sudah mulai goyah setelah 38 hari tanpa minum dan
makan, dan malam terkahir malam ke empat puluhnya tepat dengan bulan yang sedang
terang Baridin menyudahi tapanya, dengan tubuhnya yang sudah lemah itu Baridin
tersenyum puas, sambil berkata “Aku puas kini, kau bisa merasakan juga apa yang aku
rasakan Ratminah yang sombong.” Sesaat kemudian tubuh Baridin ambruk, Baridin pun
menghembuskan nafas terakhirnya ditempatnya bertapa, tubuhnya yang lemah setelah 40
hari 40 malam merapalkan mantera.

“Cinta dapat membutakan segalanya, cinta yang tulus bisa menjadi benci yang sangat
dalam jika sudah terluka, hati-hati dengan dikap dan kata-kata, lidahmu adalah
harimau.”
SI KABAYAN
(IKAN DAN KUCING)

Suatu hari kabayan pulang memancing sambil bersiul-siul kecil, membawa ikan hasil
memancing ditangannya, “hmm.. sedapnya dari pagi memancing dapat dua ekor ikan
yang besar besar, pasti kenyang perut ku.” Kabayan membayang kan sambil meraba-raba
perutnya.
Sesampainya dirumah kabayan pun memanggil Iteung istrinya, “Teung.. Iteung ini akang
dapat ikan besar-besar.” Iteung yang sedang memasak nasi didapur pun memnghampiri
Kabayan dengan seterngah berlari, “Aduh kang ikannya, besar-besar yah.” Berkata
kagum dengan hasil tangkapan Kabayan.
“Mau dimasak apa Kang?” Iteung bertanya pada Kabayan.
“Masak yang enak saja, aku lelah mau tidur dulu.” Kabayan pun meletakkan ikannya di
dalam ember di dapur, lalu menuju kamarnya lalu tertidur, Iteung tidak bisa mencegah,
padahal tadi Abahnya sudah mewanti-wanti jika kabayan datang disuruhnya untuk
langsung kesawah membantu Abah dan Ambu, tapi memang begitulah watak kabayan,
jika sudah berkehendak maka tidak bisa dicegah.
Iteung segera saja menggoreng ikan yang didapat kabayan, karena takut kalo nanti kena
marah kalau suaminya bangun dan tahu ikannya belum masak, setelah ikan masak
iteungpun pergi kesawah menyusul Abah dan Ambunya, dirinya lupa tidak menutup ikan
dengan tudung saji, sementara kabayan yang masih terlelap dalam tidurnya, seekor
kucing kurus masuk kedalam dapur.
Dihabiskannya dua ekor ikan yang tersedia diatas piring dimeja makan, setelah kenyang
kucing tersebut keluar dari rumah, dan saat itu hari sudah mulai siang Ietung, Abah dan
Ambu pun kembali ke rumah untuk beristirahat, Iteung belum menyadari kalau ikan yang
dimasaknya tadi telah habis dimakan kucing, Kabayan pun bangun, karena perutnya yang
lapar dirinya langsung menuju dapur, ternyata yang didapatinya bukan ikan goreng yang
kabayan dapati hanya tulang-tulang ikan yang berserakan diatas lantai, kabayan pun
memanggil Iteung dengan sedikit kesal, “Iteung… Iteung… kesini sebentar.”
Iteung yang sedang membersihkan kakinya di belakang rumah berlari-lari menghampiri
kabayan, “Iyah kang ada apa, sudah dimakan kang ikannya?” Iteung yang belum tahu
bahwa ikan yang digorengnya telah habis dimakan kucing bertanya pada kabayan.
“Ikan mana, tidak ada ikan diatas meja, Iteung kalau kamu makan ikan jangan dihabiskan
semuanya, aku lapar dan sekarang tidak ada yang bisa aku makan.” Mendengar jawab
kabayan iteung menjadi tidak mengerti.
“Iteung tidak memakannya kang, sumpah. Tadi setelah Iteung masak Iteung simpan
diatas meja, terus Iteung menyusul Ayah dan Ambu kesawah., mungkin tadi ada kucing
masuk kang.” Iteung mencoba membela diri.
“Iteung, ikan itu hampir 2 kilo beratnya, tidak mungkin kucing memakan habis semua
ikan ini, “meow.. meow.” Belum selesai kabayan berkata terdengar suara seekor kucing
dari balik pintu dapur, ditangkapnyalah kucing itu, kabayang lalu tertawa-tawa meledek
Iteung, “Iteung, katamu kucing ini yang sudah menghabiskan ikan yang beratnya hampir
2 kilo itu, lihat badannya saja kurus begini, setidaknya jika dia yang menghabiskan
beratnya sekarang ada dua kilo lebih, ini satu kilo pun tidak ada.”
Iteung kebingungan, tiba-tiba Abah dan Ambu masuk, bertanya ada apa rebut-ribut.
Iteung pun menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi, Abah manggut-manggut
sejenak, lalu menepuk bahu Kabayan, “Kabayan coba kamu makan itu nasi tiga boboko
(wadah nasi), nasi tiga boboko itu sama dengan 4 kilo beratnya, apakah setelah kamu
habiskan nasi itu, berat kamu akan serta merta bertambah?”
Mendengar ucapan Abah, kabayan cengar-cengir menahan malu, lalu pergi.

Anda mungkin juga menyukai