Anda di halaman 1dari 2

MENYIKAPI TANTANGAN DAN PELUANG

AFTA-CINA 2010
Oleh Jhanghiz Syahrivar, SE, MM

Asian Free Trade Agreement atau AFTA yang telah dimotori sejak tahun 1992 dalam
Millenium Summit ke-4 ASEAN di Singapura kembali mendapat perhatian khusus, terutama
di Indonesia. Pasalnya, efektif 1 Januari 2010, AFTA yang telah melalui sejumlah
kontroversi dan perdebatan panjang sebelumnya, akan diimplementasikan penuh bagi seluruh
anggota ASEAN termasuk negara non-anggota, Cina. Artikel ini berfokus pada AFTA-CINA
2010 yang hendaknya mampu kita sikapi tantangan dan peluangnya di masa yang akan
datang bagi roda perekonomian Indonesia.

Bergabungnya negara non-anggota Cina lewat apa yang disebut dengan Asean Cina Free Trade
Agreement atau ACFTA, telah meresahkan berbagai kalangan ekonomi terutama kalangan pengusaha
menengah dan kebawah. Hal ini disebabkan produk Cina yang terkenal dengan image murah dan
berkualitas baik, akan bebas membanjiri pasar Indonesia efektif 1 Januari 2010.

Dampaknya perdagangan bebas ini sudah mulai dirasakan. Beberapa bulan terakhir, banyak
produsen tekstil dalam negeri, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah, mulai mengurangi
kegiatan produksinya, dan merumahkan ribuan buruhnya. Pertanyaannya adalah apakah human
power Indonesia telah siapa menanggapi tantangan tersebut atau akan tergilas dengan kompetisi yang
semakin keras dari negara-negara yang tergabung dalam AFTA seperti Cina? Namun sebelumnya
perlu kita lihat kembali tujuan dan manfaat yang diharapkan oleh baik negara anggota dan non-
anggota ASEAN (Cina) dengan implementasi dari kebijakan AFTA ini.

Keberadaan AFTA ini sebenarnya lebih didasari pada tujuan ekonomi ketimbang tujuan lain seperti
politik dan keamanan, di mana tujuan utamanya adalah guna menarik investasi langsung dalam
rangka menopang pertumbuhan ekonomi di kawasan, mempertahankan keunggulan komparatif, serta
untuk menjaga hubungan ekonomi dengan negara-negara partner utama ekonomi Asia seperti
Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Sebagai ilustrasi, ASEAN pada tahun 1995 (sebelum
bergabungnya Laos, Myanmar, dan Kamboja) memiliki pangsa pasar ekonomi sebesar 420 juta jiwa
namun perdagangan antar anggotanya tidak pernah lebih dari 20%. Sehingga AFTA ini diharapkan
dapat mengintensifkan hubungan ekonomi antar negara-negara yang tergabung di dalamnya.

AFTA yang memiliki rentang waktu 15 tahun dan sepakat dimulai sejak 1 Januari 1993 hingga
berujung pada pengurangan hambatan arus perdagangan dan investasi secara bertahap hingga tahun
2008 ini memiliki beberapa manfaat yang diharapkan antara lain meliputi: peluang pangsa pasar
ekonomi yang lebih luas (+ 500 juta jiwa), kepastian bagi produsen Indonesia dalam memperoleh
bahan baku sehingga harga pembuatan suatu produk bisa ditekan, pilihan produk yang kompetitif
kualitas dan harganya bagi konsumen Indonesia, peluang kerjasama dengan pengusaha asing yang
lebih besar, transfer teknologi dan sumber daya manusia, dan lain sebagainya.

Di samping berbagai manfaat yang telah diutarakan secara singkat di atas, terdapat pula sejumlah
tantangan yang harus segera di atasi oleh bangsa ini. Tangangan tersebut meliputi fakta bahwa paska
krisis ekonomi Asia di tahun 1997, economic recovery negara satu dan negara lainnya tidaklah sama.
Semisal Singapura dan Malaysia mungkin bisa dibilang telah pulih 100% sedangkan Indonesia
mungkin masih sekitar 90% dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6-7% setiap tahunnya. Asumsi dari
penyelenggaraan AFTA adalah semua negara tergabung berada dalam kondisi dan pertumbuhan
ekonomi yang relatif sama. Hal ini merujuk pada fakta ke dua bahwa umumnya produk-produk negara
ASEAN lebih bersifat ‘substitusi’ ketimbang ‘komplementer’ sehingga masing-masing negara harus
mencari keunggulan komperatif produknya masing-masing. Sehingga dalam AFTA ini bisa dibilang
negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik ditunjang dengan sumber daya manusia yang
baik serta keunggulan komperatif lah yang tampaknya akan maju.

Negara yang tidak mampu menjawab tantangan ini akan mengalami masalah ekonomi seperti angka
pengangguran yang meningkat karena, semisal produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan
produk impor dari Cina sehingga produsen harus melakukan PHK kepada sejumlah karyawannya.
Dan apabila pengangguran meningkat maka angka kemiskinan pun turut mengikuti sehingga manfaat
yang diharapkan dari pemberlakukan AFTA ini tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh negara
anggota.

Satu dari beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menyikapi AFTA
yang bak pedang bermata dua ini adalah dengan melandaskan pembangunan Indonesia pada Sumber
Daya Manusia (SDM) yang kompeten yang nantinya diharapkan dapat membantu pemanfaatan
Sumber Daya Alam (SDA) yang lebih optimal sehingga bisa mendapat keunggulan komperatif
tersebut. Pengembangan SDM yang berkualitas dapat dilakukan sedini mungkin melalui pembekalan
materi mengenai AFTA ini sendiri di perguruan-perguruan tinggi sehingga kedepannya, lulusannya
mampu bersaing secara sehat dengan para pekerja asing.

Menyikapi AFCTA, salah satu universitas internasional unggulan di Indonesia, President University,
telah membekali para mahasiswanya dengan pengetahuan dan skill yang mumpuni. Hal ini meliputi
kemampuan berbahasa Inggris dan Mandarin aktif, kurikulum internasional, program magang di
1,500 perusahaan afiliasi baik multinasional dan local leading, 30% pengajar native speaker,
komunitas internasional meliputi mahasiswa asing dari Cina dan negara ASEAN, serta program
kewirausahaan. Apakah universitas pilihan Anda telah siap?

Anda mungkin juga menyukai