Anda di halaman 1dari 3

Ketika Idealisme Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Berubah Bisnis

oleh: Jhanghiz Syahrivar Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66/2010, pemerintah (Kemendiknas) dengan tegas menentukan 60 persen kuota mahasiswa baru PTN dilakukan melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMTPN). Sisa 40 persen merupakan jalur masuk yang berbasis uang (menuntut calon mahasiswa untuk mengeluarkan dana lebih untuk masuk ke suatu PTN) dan diadakan setelah SNMPTN berakhir, khususnya di tahun 2011 ini. Jalur masuk berbasis uang ini memiliki banyak nama, mulai dari Ujian Mandiri (UM), Ujian Masuk Bersama (UMB), Seleksi Masuk (SIMAK), dan yang terakhir, mungkin bisa diperdebatkan dalam artikel ini, adalah Jalur Undangan Khusus Jalur Undangan ini merupakan program seleksi dua tahap (undangan dan tertulis) dengan jumlah peserta seleksi jalur undangan yang dinyatakan lolos dan diterima di PTN seluruh Indonesia sebanyak 46.706 peserta atau 20 persen dari semua pendaftar atau peserta seleksi yang mencapai 232.948 orang di tahun 2011. Anehnya, jalur undangan ini diadakan sebelum jalur SNMPTN. Tentu hal ini bertentangan dengan keputusan Kemendiknas yang melarang jalur masuk berbasis uang diadakan sebelum SNMPTN. Namun benarkah Jalur Undangan ini berbasis uang? Mari kita telaah lebih lanjut. Seperti yang telah diutarakan di atas, Jalur Undangan ini merupakan program seleksi dua tahap (undangan dan tertulis). Setelah calon mahasiswa yang berprestasi secara akademik (dilihat dari nilai rapor) diundang, mereka wajib mengikuti ujian tertulis. Terdapat kutipan menarik di KOMPAS.com yang menyatakan demikian perihal Jalur Undangan tersebut: Bagaimana tidak, seorang teman di Facebook, Coen Husain Pontoh, menuliskan keluh kesahnya di statusnya. "Keponakan saya keterima di salah satu universitas terkemuka di Pulau Jawa melalui jalur "undangan". Tapi, untuk bisa masuk kuliah, ia pertama kali harus bayar Rp 40 juta kontan," tulisnya. Dari kutipan di atas, pembaca dapat menyimpulkan dua hal: 1) Biaya pendidikan sebesar Rp 40 juta tersebut bagi si calon mahasiswa (dan orang tuanya) tampaknya relatif lebih mahal ketimbang biaya normal yang harus dibayarkan apabila, semisal, mengikuti jalur SNMPTN 2) Kata Rp 40 juta kontan tampaknya mengambarkan bahwa suatu dana pendidikan y ang relatif besar tersebut harus dibayarkan dalam waktu yang relatif singkat atau kontan atau tunai; dan hal tersebut tampak memberatkan si calon mahasiswa.

Kutipan dari Kompasiana.com berikut juga mengukuhkan biaya yang relatif mahal perihal Jalur Undangan tersebut: Bagaimana dengan biaya ? tidak bisa dinaifkan biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri memang mahal. Institut Teknologi Bandung memperkirakan pembiayaan sekitar Rp 27 juta/mahasiswa/tahun atau sebesar Rp 108 juta apabila mahasiswa mampu menyelesaikan pendidikan dalam 4 tahun. Jumlah tersebut sudah termasuk BPPM (Biaya Penyelenggaraan Pendidikan yang dibayar diMuka) sebesar Rp 55 juta dan Rp 80 juta khusus SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen). Berbeda dengan ITB yang menutup jalur mandiri, Universitas Indonesia sedari awal memang tidak membuka jalur mandiri. Tetapi menyelenggarakan SIMAK UI yang tahun ini akan dimulai 3- 24 Juni 2011 UI mengklaim biaya pendidikannya lebih berazaskan keadilan. Komponen biaya pendidikan S1 Reguler terdiri dari Biaya Operasional Pendidikan sebesar RP 100 ribu hingga maksimal Rp 5 juta (Prodi IPS) dan Rp 7,5 juta (Prodi IPA). Biaya lainnya yaitu Uang Pangkal yang besarannya nol rupiah, Rp 5 juta, Rp 10 juta hingga Rp 25 juta (tergantung fakultasnya, termasuk disini fakultas kedokteran). Bagi mahasiswa yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan cicilan atau pengurangan uang pangkal. Pembanding lain adalah UNPAD yang menyelenggarakan SMUP UNPAD dan mensyaratkan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan sebesar Rp 2 juta ditambah Dana Pengembangan yang jumlahnya bervariasi antara Rp 12 juta (sastra daerah, sastra Perancis), Rp 57 juta (Ekonomi Akutansi berbahasa Inggris) hingga Rp 177 juta (Kedokteran). Bagaimana dengan Universitas Gajah Mada (UGM)? UGM menyelenggarakan Penelusuran Bakat Swadana (PBS). UGM mematok Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) terendah Rp 10 juta (Filsafat), Rp 50 juta ( Ekonomi Akutansi /Ekonomi Manajemen) hingga Rp 100 juta (Kedokteran). Dari kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa, selain biaya iuran kuliah, ada semacam biaya sumbangan yang cukup besar yang harus dibayarkan calon mahasiswa dan biaya sumbangan terbesar, selain kedokteran, terdapat pada program Jurusan Manajemen

(Ekonomi/Akutansi). Program Jurusan Manajemen ini yang notabene banyak peminatnya, tampaknya merupakan pundi-pundi emas bagi PTN tersebut di atas. Ketika idealisme PTN telah berubah haluan menjadi bisnis semata, lalu apakah yang membedakan antara PTN dengan PTS? Patutkah kita menyimpulkan bahwa Jalur Undangan merupakan Jalur Mandiri yang berganti kulit hanya untuk menghindari ketetapan Kemendiknas yang melarang jalur berbasis uang tersebut diadakan sebelum SNMPTN? Apabila pemerintah kita mau jauh-jauh datang ke India untuk studi banding (atau mungkin sudah?), tentu mereka akan mengetahui bahwa PTN di India memang ditujukan ke masyarakat India dari kalangan ekonomi lemah yang ingin menimba ilmu. Sebaliknya, PTS, dengan segala fasilitas dan kemudahannya, ditujukan bagi masyarakat India dari kalangan ekonomi mampu. Fasilitas dan kemudahan tersebut tentu diiringi dengan biaya yang tidak sedikit pula. Hebatnya, mereka yang mampu merasa enggan untuk kuliah di PTN sehingga tidak berebut kursi dengan mereka yang tidak mampu secara ekonomi. Tapi apakah PTN di India lebih baik dari PTS? Tentu tidak! PTN disini merupakan perguruan tinggi yang bersubsidi. Titik. PTN di Indonesia pun tidak seharusnya menggarap pangsa pasar untuk program S1. StatedOwned Universities di Amerika umumnya tidak menggarap program-program undergraduate (S1) karena PTN tersebut telah terfokus ke arah penelitian (research-based university) sehingga hanya menggarap utnuk program paskasarjana (S2) dan doktorat (S3) saja. PTN Amerika tidak lagi memikirkan untuk berkompetisi dengan PTN dan PTS lokal, tetapi sudah berorientasi menuju world class university. Sedangkan, program S1 dan sederajat umumnya dikelola oleh PTS dan terkadang dikenal dengan nama college. Beberapa college bisa berada di bawah naungan satu PTN. Bagaimana dengan PTN di Indonesia? Tidak hanya menggarap program S1 tetapi juga program D3. Bahkan calon mahasiswa yang fanatik PTN tidak masalah diterima di D3 dan berharap untuk lanjut S1 (ekstensi) setelah lulus D3 di PTN tersebut. Toh mereka hanya perlu menambah 1 tahun saja. Lalu kapan PTN PTN Indonesia bisa segera fokus menjadi perguruan tinggi kelas dunia? Tentulah kondisi pendidikan tinggi yang carut marut di Indonesia ini akan menghancurkan mental mereka-mereka yang berharap dapat mengenyam pendidikan berkualitas di PTN PTN top dan orang tua-orang tua calon mahasiswa saat ini akan jauh lebih realistis (tidak PTNminded seperti tempo dulu) dan pada akhirnya akan memilih PTS PTS yang juga tidak kalah kualitasnya.

Anda mungkin juga menyukai