Anda di halaman 1dari 50

Wednesday, March 28, 2007

BAHAN KULIAH 1

KULTUR JARINGAN

Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur
jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman
seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara
aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya
sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap.
Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan
bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.

Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya


untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur
jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan
induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan
tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat,
kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan
dengan perbanyakan konvensional.

Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
1) Pembuatan media
2) Inisiasi
3) Sterilisasi
4) Multiplikasi
5) Pengakaran
6) Aklimatisasi

Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media
yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan
biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan
tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan
juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan
yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.
Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.

Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman
yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas.

Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang
steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan
terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan
yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.

Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada
media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang
menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan
diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.

Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang
menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan
dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat
adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan
gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).

Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng.
Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup.
Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena
bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah
bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan
dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.

Keunggulan inilah yang menarik bagi produsen bibit untuk mulai mengembangkan usaha kultur
jaringan ini. Saat ini sudah terdapat beberapa tanaman kehutanan yang dikembangbiakkan
dengan teknik kultur jaringan, antara lain adalah: jati, sengon, akasia, dll.

Bibit hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa areal menunjukkan pertumbuhan yang baik,
bahkan jati hasil kultur jaringan yang sering disebut dengan jati emas dapat dipanen dalam
jangka waktu yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan tanaman jati yang berasal dari
benih generatif, terlepas dari kualitas kayunya yang belum teruji di Indonesia. Hal ini sangat
menguntungkan pengusaha karena akan memperoleh hasil yang lebih cepat. Selain itu, dengan
adanya pertumbuhan tanaman yang lebih cepat maka lahan-lahan yang kosong dapat c

KEUNTUNGAN PEMANFAATAN

KULTUR JARINGAN

♦ Pengadaan bibit tidak tergantung musim

♦ Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak

dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari

satu mata tunas yang sudah respon dalam 1

tahun dapat dihasilkan minimal 10.000

planlet/bibit)
♦ Bibit yang dihasilkan seragam

♦ Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (meng

gunakan organ tertentu)

♦ Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah

dan mudah

♦ Dalam proses pembibitan bebas dari gang

guan hama, penyakit, dan deraan lingkungan

lainnya

KULTUR jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk


membuat bagian tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh
menjadi tanaman utuh (sempurna) dikondisi invitro (didalam gelas).
Keuntungan dari kultur jaringan lebih hemat tempat, hemat waktu, dan
tanaman yang diperbanyak dengan kultur jaringan mempunyai sifat sama
atau seragam dengan induknya. Contoh tanaman yang sudah lazim
diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman anggrek.

Bagian 2

Persyaratan Lokasi
Laboratorium kultur jaringan hendaknya jauh dari sumber polusi, dekat dengan sumber tenaga
listrik dan air. Untuk menghemat tenaga listrik, ada baiknya bila laboratorium kultur jaringan
ditempatkan di daerah tinggi, agar suhu ruangan tetap rendah.

Kapasitas Labotarium
Ukuran laboratorium tergantung pada jumlah bibit yang akan diproduksi. Untuk ukuran
laboratorium sekitar 250 m2, bibit yang dapat diproduksi tiap tahun sekitar 400–500.000
planlet/bibit, yang dapat memenuhi pertanaman seluas 500–800 ha.
Dalam suatu laboratorium minimal terdapat 5 ruangan terpisah, yaitu gudang (ruang) untuk
penyimpanan bahan, ruang pembuatan media, ruang tanam, ruang inkubasi (untuk pertunasan
dan pembentukan planlet/bibit tanaman) dan rumah kaca.

Peralatan dan Bahan Kimia


Untuk memproduksi bibit melalui kultur jaringan peralatan minimal yang perlu disediakan
adalah: laminar air flow, pinset, pisau, rak kultur, AC, hot plate + stirrer, pH meter, oven, dan
kulkas serta bahan kimia (garam makro + mikro, vitamin, zat pengatur tumbuh, asam amino,
alkohol, clorox).

Proses Produksi
Proses perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan terdiri atas seleksi pohon induk (sumber
eksplan), sterilisasi eksplan, inisiasi tunas, multiplikasi, perakaran, dan aklimatisasi seperti
terlihat pada diagram.
Sumber eksplan. Eksplan berupa mata tunas, diambil dari pohon induk yang fisiknya sehat.
Tunas tersebut selanjutnya disterilkan dengan alkohol 70%, HgCl2 0,2%, dan Clorox 30%.
Inisiasi tunas. Eksplan yang telah disterilkan di-kulturkan dalam media kultur (MS + BAP).
Setelah terbentuk tunas, tunas tersebut disubkultur dalam media multiplikasi (MS + BAP) dan
beberapa komponen organik lainnya.
Multiplikasi. Multiplikasi dilakukan secara berulang sampai diperoleh jumlah tanaman yang
dikehendaki, sesuai dengan kapasitas laborato-rium. Setiap siklus multiplikasi berlangsung
selama 2–3 bulan. Untuk biakan (tunas) yang telah responsif stater cultur, dalam periode tersebut
dari 1 tunas dapat dihasilkan 10-20 tunas baru. Setelah tunas mencapai jumlah yang diinginkan,
biakan dipindahkan (dikulturkan) pada media perakaran.
Perakaran. Untuk perakaran digunakan media MS + NAA. Proses perakaran pada umumnya
berlangsung selama 1 bulan. Planlet (tunas yang telah berakar) diaklimatisasikan sampai bibit
cukup kuat untuk ditanam di lapang.
Aklimatisasi. Dapat dilakukan di rumah kaca, rumah kasa atau pesemaian, yang kondisinya
(terutama kelembaban) dapat dikendalikan. Planlet dapat ditanam dalam dua cara. Pertama,
planlet ditanam dalam polibag diameter 10 cm yang berisi media (tanah + pupuk kandang) yang
telah disterilkan. Planlet (dalam polibag) dipelihara di rumah kaca atau rumah kasa. Kedua, bibit
ditaruh di atas bedengan yang dinaungi dengan plastik. Lebar pesemaian 1-1,2 m, panjangnya
tergantung keadaan tempat. Dua sampai tiga minggu sebelum tanam, bedengan dipupuk dengan
pupuk kandang (4 kg/m2) dan disterilkan dengan formalin 4%. Planlet ditanam dengan jarak 20
cm x 20 cm. Aklimatisasi berlangsung selama 2-3 bulan. Aklimatisasi cara pertama dapat
dilakukan bila lokasi pertanaman letaknya jauh dari pesemaian dan cara kedua dilakukan bila
pesemaian berada di sekitar areal pertanaman.

Keuntungan Pemanfaatan Kultur Jaringan


• Pengadaan bibit tidak tergantung musim
• Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari satu
mata tunas yang sudah respon dalam 1 tahun dapat dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit)
• Bibit yang dihasilkan seragam
• Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu)
• Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah
• Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya
Bagian 3

Perkembangan kultur jaringan di Indonesia terasa sangat lambat, bahkan hampir dikatakan jalan
di tempat jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, tidaklah heran jika impor bibit
anggrek dalam bentuk ‘flask’ sempat membanjiri nursery-nursery anggrek di negara kita. Selain
kesenjangan teknologi di lini akademisi, lembaga penelitian, publik dan pecinta anggrek, salah
satu penyebab teknologi ini menjadi sangat lambat perkembangannya adalah karena adanya
persepsi bahwa diperlukan investasi yang ’sangat mahal’ untuk membangun sebuah lab kultur
jaringan, dan hanya cocok atau ‘feasible’ untuk perusahaan.

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah anggrek,
diperkirakan sekitar 5000 jenis anggrek spesies tersebar di hutan wilayah Indonesia. Potensi ini
sangat berharga bagi pengembang dan pecinta anggrek di Indonesia, khususnya potensi genetis
untuk menghasilkan anggrek silangan yang memiliki nilai komersial tinggi. Potensi tersebut akan
menjadi tidak berarti manakala penebangan hutan dan eksploitasi besar-besaran terjadi hutan
kita, belum lagi pencurian terang-terangan ataupun “terselubung” dengan dalih kerjasama dan
sumbangan penelitian baik oleh masyarakat kita maupun orang asing.

Sementara itu hanya sebagian kecil pihak yang mampu melakukan pengembangan dan
pemanfaatan anggrek spesies, khususnya yang berkaitan dengan teknologi kultur jaringan. Tidak
dipungkiri bahwa metode terbaik hingga saat ini dalam pelestarian dan perbanyakan anggrek
adalah dengan kultur jaringan, karena melalui kuljar banyak hal yang bisa dilakukan
dibandingkan dengan metode konvensional.

Secara prinsip, lab kultur jaringan dapat disederhanakan dengan melakukan modifikasi peralatan
dan bahan yang digunakan, sehingga sangat dimungkinkan kultur jaringan seperti ‘home
industri’. Hal ini dapat dilihat pada kelompok petani ‘pengkultur biji anggrek’ di Malang yang
telah sedemikian banyak.

Beberapa gambaran dan potensi yang bisa dimunculkan dalam kultur jaringan diantaranya adalah
:

Kultur meristem, dapat menghasilkan anggrek yang bebas virus,sehingga sangat tepat digunakan
pada tanaman anggrek spesies langka yang telah terinfeksi oleh hama penyakit, termasuk virus.
Kultur anther, bisa menghasilkan anggrek dengan genetik haploid (1n), sehingga bentuknya lebih
kecil jika dibandingkan dengan anggrek diploid (2n). Dengan demikian sangat dimungkinkan
untuk menghasilkan tanaman anggrek mini, selain itu dengan kultur anther berpeluang
memunculkan sifat resesif unggul yang pada kondisi normal tidak akan muncul karena tertutup
oleh yang dominan
Dengan tekhnik poliploid dimungkinkan untuk mendapatkan tanaman anggrek ‘giant’ atau besar.
Tekhnik ini salah satunya dengan memberikan induksi bahan kimia yang bersifat menghambat
(cholchicine)
Kloning, tekhnik ini memungkinkan untuk dihasilkan anggrek dengan jumlah banyak dan
seragam, khususnya untuk jenis anggrek bunga potong. Sebagian penganggrek telah mampu
melakukan tekhnik ini.
Mutasi, secara alami mutasi sangat sulit terjadi. Beberapa literatur peluangnya 1 : 100 000 000.
Dengan memberikan induksi tertentu melalui kultur jaringan hal tersebut lebih mudah untuk
diatur. Tanaman yang mengalami mutasi permanen biasanya memiliki nilai ekonomis yang
sangat tinggi
Bank plasma, dengan meminimalkan pertumbuhan secara ‘in-vitro’ kita bisa mengoleksi
tanaman anggrek langka tanpa harus memiliki lahan yang luas dan perawatan intensif. Baik
untuk spesies langka Indonesia maupun dari luar negeri untuk menjaga keaslian genetis yang
sangat penting dalam proses pemuliaan anggrek.

BAHAN KULIAH 2PUSTAKA IPTEK


Jurnal Saint dan Teknologi BPPT

V3.n5.08
JUDUL : Peranan Beberapa Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Tanaman Pada Kultur In Vitro
PENGARANG : Netty Widyastuti dan Donowati Tjokrokusumo

ABSTRAK
All synthetic plant hormones or synthetic compounds that have similar phisiological and
biochemical characters as plant hormones, are plant growth regulators. Phytohormones and plant
growth regulators usually stimulate growth and development plants. Auxin functions in in vitro
culture , especially in callus and cell suspension development, as well as root growing. Together
with cytokinin, they can regulate certain morphogenesis of interest. In in vitro culture, cytokinin
can influence cell fusion process, adventif shoot proliferation, plant root inhibition and induction
of potato microtube. In the in vitro plant morphogenesis, gibberellin inhibits root or shoot
formation. Retardant can be used in in vitro plant conservation, plant rooting or microtube
formation.
Keywords : Plant growth regulator, auxin, cytokinine, gibbereline, retardan,

Sumber :
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol.3, No.5, (Agustus 2001), hal. 55-63 Humas-
BPPT/ANY

PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian di Indonesia saat ini dan selanjutnya harus dilakukan dengan penerapan
teknologi baru seperti bioteknologi dan penggunaan zat pengatur tumbuh. Masalahnya sekarang ,
mampukah kita menyeleksi teknologi baru ini yang sesuai dengan keadaan Indonesia dalam
rangka menunjang pembangunan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan ? (1) .
Konsep zat pengatur tumbuh diawali dengan konsep hormon tanaman. Hormon tanaman adalah
senyawa-senyawa organik tanaman yang dalam konsentrasi yang ren-dah mempengaruhi proses-
proses fisiologis. Proses-proses fisiologis ini terutama tentang proses pertumbuhan, differensiasi
dan per-kembangan tanaman. Proses-proses lain seperti pengenalan tanaman, pembukaan
stotama, translokasi dan serapan hara dipengaruhi oleh hormon tanaman. Hormon tanaman
kadang-kadang juga disebut fitohormon, tetapi istilah ini lebih jarang digunakan.
Istilah hormon ini berasal dari bahasa Gerika yang berarti pembawa pesan kimiawi (Chemical
messenger) yang mula-mula dipergunakan pada fisiologi hewan.
Dengan berkembangnya pengetahuan biokimia dan dengan majunya industri kimia maka
ditemukan banyak senyawa-senya-wa yang mempunyai pengaruh fisiologis yang serupa dengan
hormon tanaman. Senyawa-senyawa sintetik ini pada umumnya dikenal dengan nama zat
pengatur tumbuh tanaman (ZPT = Plant Growth Regulator). Tentang senyawa hormon tanaman
dan zat pengatur tumbuh, Moore (2) mencirikannya sebagai berikut :

1. Fitohormon atau hormon tanaman ada-lah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam
jumlah kecil (< 1mM) yang disintesis pada bagian tertentu, pada umumnya ditranslokasikan
kebagian lain tanaman dimana senyawa tersebut, menghasilkan suatu tanggapan secara biokimia,
fisiologis dan morfologis.

2. Zat Pengatur Tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam kon-sentrasi rendah
(< 1 mM) mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkem-
bangan tanaman.

3. Inhibitor adalah senyawa organik yang menghambat pertumbuhan secara umum dan tidak ada
selang konsentrasi yang dapat mendorong pertumbuhan. Retardan. Cathey (1975) dalam (1)
mendefinisikan retardan sebagai suatu senyawa organik yang menghambat per-panjangan
batang, meningkatkan warna hijau daun, dan secara tidak langsung mem-pengaruhi pembungaan
tanpa menyebabkan pertumbuhan yang abnormal.

KESIMPULAN

Dari hasil tinjauan diatas, dapat disimpulkan bahwa peranan beberapa zat pengatur tumbuh
(ZPT) tumbuhan dalam kultur in vitro adalah sebagai berikut :
1. Semua hormon tanaman sintetik atau senyawa sintetik yang mempunyai sifat fisiologis dan
biokimia yang serupa dengan hormon tanaman adalah ZPT. Hormon tanaman dan ZPT pada
umumnya mendorong terjadi sesuatu pertumbuhan dan perkembangan.

2. Peranan auksin dalam kultur in vitro terutama untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel, dan
pertumbuhan akar. Bersama-sama sitokinin dapat mengatur tipe morfogenesis yang dikehendaki.

3. Pengaruh sitokinin di dalam kultur in vitro antara lain berhubungan dengan proses pembelahan
sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar tanaman dan induksi umbi mikro
ken-tang.

4. Di dalam morfogenesis tanaman in vitro , giberelin menghambat pembentukan akar ataupun


tunas. Pada nisbah auksin-sitokinin yang mampu membentuk akar atau tunas dengan
penambahan giberelin maka akar atau tunas tidak akan terbentuk.

5. Retardan dapat dipergunakan dalam konservasi tanaman in vitro , pengakaran tanaman


maupun pembentukan umbi mikro. Di dalam konservasi tanaman in vitro sebaiknya
dipergunakan retardan dengan sifat translokasi yang baik.
http://www.iptek.net.id/ind/?ch=jsti&id=221
Posted by dinyunita at 8:41 PM 0 comments Links to this post
Friday, February 9, 2007
ARTIKEL
AKTIFITAS PENELITIAN DALAM KULTUR JARINGAN TANAMAN
26 April 2007
BB-BiogenJl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111, IndonesiaTelp. (0251) 338820, 337975 Fax.
(0251) 338820
© 2004 Last updated on 29.01.2007 9:57

AKTIVITAS PENELITIAN
1. Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan (in-vitro)

Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan memeiliki beberapa keuntungan, yaitu
diperolehnya bibit yang seragam dalam jumlah besar. Teknik ini sangat bermanfaat untuk
tanaman-tanaman yang diperbanyak secara vegatatif. Adapun tanaman yang telah berhasil
diperbanyak antara lain tanaman hias (misal: anggrek dan mawar), tanaman obat (misal:
purwoceng dan bidara upas), tanaman berkayu (misal: jati dan cendana), serta tanaman buah-
buahan (misal: pisang dan manggis).

2. Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal

Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain
melalui kultur jaringan dan radiasi. Variasi somaklonal melalui kultur jaringan umumnya terjadi
pada kultur kalus akibat pengaruh media kultur, sedangkan variasi somaklonal melalui radiasi
dapat dilakukan secara fisik dengan menggunakan sinar gamma atau secara kimiawi. Perbaikan
tanaman melalui variasi somaklonal yang dilakukan di kelti BSJ menggabungkan kedua metode
tersebut. Untuk mengarahkan keragaman yang timbul akibat pengaruh radiasi, setelah diaradiasi,
eksplan ditanam dalam media kultur yang mengandung agen seleksi (seleksi in vitro). Teknik ini
telah menghasilkan beberapa nomor tanaman potensial, seperti nilam dengan kadar minyak lebih
tinggi, padi dan kedelai tahan alumunium, padi tahan kekeringan, dan pisang tahan layu
Fusarium (masih dalam pengujian).

3. Penyimpanan tanaman secara kultur jaringan

Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah yang besar yang perlu dilestarikan. Pelestarian di
alam secara konvensional menghadapi kedala hilangnya tanaman tersebut akibat kondisi
lingkungan. Penyimpanan secara kultur jaringan memberikan alternatif pemecahan kendala
tersebut, terutama untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif. Penyimpanan secara kultur
jaringan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pertumbuhan minimal (minimal growth)
dan kriopreservasi. Adapun penelitian penyimpanan secara kultur jaringan telah dilakukan di keti
BSJ terhadap tanaman ubi-ubian, sepeti ubi kayu, gembili, dan yam.

Perkembangan Teknologi Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan di BB-Biogen.


Pada saat ini pemerintah sedang menggalakkan komoditi non-migas, diantaranya untuk sektor
pertanian pengembangan agribisnis yang dapat meningkatkan perolehan devisa negara. Salah
satu dampak dalam peningkatan ekspor komoditi pertanian adalah kebutuhan bibit yang semakin
meningkat pula. Bibit dari suatu varietas unggul yang dihasilkan pemulia tanaman jumlahnya
sangat terbatas, sedang bibit tanaman yang dibutuhkan jumlahnya sangat banyak. Di negara maju
produksi bibit merupakan suatu usaha agribisnis yang potensial.
Penyediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan dalam pengembangan pertanian di masa mendatang. Pengadaan bibit pada suatu
tanaman yang akan dieksploitasi secara besar-besaran dalam waktu yang cepat akan sulit dicapai
dengan perbanyakan melalui teknik konvensional. Salah satu teknologi harapan yang banyak
dibicarakan dan telah terbukti memberikan keberhasilan adalah melalui teknik kultur jaringan.
Teknologi tersebut telah banyak digunakan untuk pengadaan bibit terutama pada berbagai
tanaman hortikultura. Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai
kebutuhan karena faktor perbanyakannya yang tinggi. Bibit dari varietas unggul yang mampu
bersaing di pasaran internasional yang jumlahnya sangat sedikit dapat segera dikembangkan
melalui kultur jaringan.
Menyadari pentingnya peranan kultur jaringan dalam menunjang program pengembangan
pertanian maka BB-Biogen telah lama memanfaatkan teknologi kultur jaringan untuk
perbanyakan tanaman.

kultur abaka kultur sukun

Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan diaplikasikan terutama pada tanaman-tanaman


yang sulit dikembangbiakan secara generatif, akan dieksploitasi secara besar-besaran (seperti
lada, jahe, pisang, jati, kapolaga, panili, abaka, berbagai tanaman obat dan tanaman hortikultura,
pada tanaman tahunan penyerbuk silang, (seperti jambu mente, cengkeh, melinjo, asam dan
kapuk), pada berbagai tanaman tahunan seperti tanaman kehutanan (jati, cendana) dan tanaman
buah-buahan. Pada tanaman-tanaman tersebut perbanyakan melalui kultur jaringan, bila berhasil
dapat lebih menguntungkan karena sifatnya akan sama dengan induknya, seragam, dalam waktu
yang singkat bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dan bebas penyakit.
Bioteknologi pertanian dapat berperan besar dalam agroindustri baik di sektor hulu maupun hilir.
Ditinjau dari ruang lingkup peran kultur jaringan dalam menunjang agroindustri adalah
penyediaan bibit yang bermutu dan penciptaan kultivar unggul.
Di negara-negara maju, produksi bibit dan penciptaan varietas unggul dilakukan oleh industri
benih, sehingga industri ini dapat dianggap sebagai industri hulu yang mendukung agroindustri.
Produksi bibit melalui kultur jaringan akan menguntungkan untuk diusahakan secara komersial
pada tanaman-tanaman yang sulit diperbanyak secara generatif, bibit diperlukan dalam jumlah
yang banyak atau tanaman yang berumah dua. Perbanyakan melalui teknologi tersebut dapat
memberikan keuntungan antara lain bibit dapat diproduksi seragam dalam jumlah banyak dengan
waktu yang singkat dan bebas hama penyakit. Penggunaan bibit yang memiliki keseragaman
tinggi akan meningkatkan kapasitas produksi dan secara tidak langsung memudahkan kegiatan
pengolahan sebagai industri hilir dalam agroindustri. Teknik kultur jaringan yang sudah dapat
dikembangkan dalam menunjang agroindustri antara lain untuk tanaman-tanaman jahe, jati,
pisang, abaka, panili, lada, nilam dan beberapa tanaman hias. Pada tanaman-tanaman tersebut
masalah utama yang dihadapi dalam pengembangannya adalah serangan penyakit dan
penyebaran penyakit yang cepat dari suatu daerah ke daerah lainnya umumnya melalui bahan
tanaman.
Ditinjau dari sudut agribisnis, produksi bibit melalui kultur jaringan bibit yang dihasilkan dapat
bebas penyakit dan memberikan beberapa keuntungan seperti memperlancar masuknya bibit ke
negara-negara pengimpor, meningkatkan hasil dan mencegah penyebaran penyakit ke sentra-
sentra produksi baru. Disamping itu teknik kultur jaringan dapat memberikan jaminan yang lebih
tinggi pada saat permintaan akan bibit meningkat.

Perbanyakan tanaman secara klonal yang telah dicoba diperbanyak melalui kultur jaringan antara
lain pada tanaman jahe (Zingiber officinale), touki (Angelica acutiloba), kapolaga (Eletaria
cardamomum), Mentha sp., Geranium (Pelargonium graveolens dan P. tomentosum), panili
(Vanilla planifolia), abaka (Musa textilis), nilam (Pogostemon cablin), rami (Boechmeria nivea),
lada (Piper nigrum), pyrethrum (Chrysanthemum cinerarifolium), gerbera (Gerbera jamesonii),
seruni (Chrysanthemum morifolium), pulasari (Alyxia stellata), pule pandak (Rauwolfia
serpentina), temu putri (Curcuma petiolata), purwoceng (Pimpinella pruatjan), inggu (Ruta
angustifolia), daun dewa (Gynura procumbens), beberapa tanaman pisang (Musa sp.) dan jati
(Tectona grandis).Pada tanaman tersebut, faktor multiplikasinya cukup tinggi sehingga kultur
jaringan dapat mempercepat pengembangan varietas yang dihasilkan para pemulia. Hampir
semua bibit tanaman hasil kultur jaringan telah ditanam di lapangan untuk melihat pola
pertumbuhan dan produktivitasnya terutama pada tanaman jahe, kapolaga, abaka, nilam, pisang,
jati dan rami. Perkembangan bibit di lapangan pada umumnya normal, kecuali pada jahe yang
menghasilkan rimpang yang lebih kecil dari bibit asal rimpang konvensional.Untuk tanaman
abaka, pertanaman asal bibit kultur jaringan memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik
daripada bibit asal konvensional. Disamping itu tanaman asal kultur jaringan menunjukkan
adanya pertumbuhan keseragaman yang tinggi.Pada umur dua tahun, tanaman asal kultur
jaringan menghasilkan pertumbuhan, komponen produksi dan produksi serat tiap batang tidak
berbeda dengan asal bibit konevensional, namun jumlah tanaman dewasa tiap rumpun lebih
banyak dan waktu berbunga lebih lambat dibandingkan dengan tanaman asal bibit konvensional.
Dengan demikian bibit asal kultur jaringan diduga dapat menghasilkan serat yang lebih tinggi
daripada asal bibit konvensional.Selain perbanyakan secara klonal telah pula dilakukan
perbanyakan generatif (biji) pada tanaman panili dan anggrek. Panili seperti halnya anggrek
mempunyai biji yang ukurannya sangat kecil, untuk itu dicoba perkecambahannya melalui kultur
jaringan. Hasil percobaan menunjukkan persentase dan kecepatan tumbuhnya meningkat
dibandingkan dengan pengecambahan secara konvensional.BB-Biogen mempunyai laboratorium
kultur jaringan yang dapat digunakan untuk perbanyakan berbagai tanaman. Pada tanaman yang
mudah diperbanyak secara konvensional antara lain untuk hibrida baru, tanaman yang langka,
tanaman introduksi dengan jumlah tanaman awal yang terbatas maka kultur jaringan dapat
berperan memperbanyak pada tahap awal dalam suatu proses produksi bibit. Apabila bibit yang
dihasilkan jumlahnya telah memadai maka pada proses produksi bibit benihnya dapat dilakukan
secara konvensional. Disamping itu teknologi produksi bibit yang diperoleh di BB-Biogen dapat
dilakukan pada laboratorium kultur jaringan yang akan memperbanyak secara besar-
besaran.Pada umumnya laboratorium kultur jaringan yang telah bergerak secara komersial tidak
melakukan penelitian tetapi mengadopsi teknologi yang telah dihasilkan oleh Institusi Penelitian.
Disamping itu biakan yang ada dalam botol yang telah tanggap terhadap media tumbuh (faktor
pertumbuhan membentuk tunas tinggi) dapat digunakan sebagai sumber bahan tanam bagi
perbanyakan selanjutnya melalui kultur jaringan.Dari paparan tersebut di atas terbukti bahwa
kultur jaringan merupakan teknologi potensial dalam menunjang agroindustri, antara lain untuk
perbanyakan tanaman yang akan dieksploitasi secara luas. Dengan keseragaman pertumbuhan
tanaman yang tinggi di lapang akan mempermudah kegiatan pengolahan sebagai industri hilir.
Disamping itu, dengan bibit yang dihasilkan dapat bebas penyakit maka dalam era globalisasi
dapat memudahkan pertukaran antar negara.
http://www.indobiogen.or.id/bsj/bsj_aktivitas.php

--------------------------------------------------------------------------------------
JURNAL AgroBiogen
Volume 1 Nomor 1 April 2005
http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobiogen/abstrak/agrobiogen_vol1_no1_2005_20-25.php
ARTIKEL 1

Mikropropagasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana)

(Ika Roostika, Novianti Sunarlim, dan Ika Mariska)

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111

ABSTRACT

Micropropagation of Mangosteen (Garcinia mangostana L.). Ika Roostika, N. Sunarlim, and I.


Mariska. The conventional propagation of mangosteen plant is still facing some problems, such
as the limited fruiting season and number of seedling, and slow growth of seedling. In vitro
culture is an alternative technique to solve the problems. An experiment was done to obtain a
suitable micropropagation technique for mangosteen plant through in vitro culture with high
level of shoot multiplication and root formation, as well as high level of acclimated shoot or
planlet growth. The treatments for shoot induction and axillary bud multiplication of mangosteen
were three levels of BA (1, 3, and 5 mg/l) on the MS basal medium. The treatments for root
induction were combinations between two kinds of basal medium (MS and WPM), two
formulations of the media (full strength and ¼ strength), and two levels of IBA (5 and 10 mg/l).
Root induction was also done ex situ by dipping the shoots in IBA solutions (100-200 ppm) for
1-2 hours, followed planting onto the best acclimation media. The acclimation was done using
two different media (soil only and soil + compost) under two different environments (green
house and incubation room + green house). Results of the experiment showed that the highest
percentages of seed growth and number of shoots per seed was obtained on the basal medium
containing 5 mg/l BA. The highest number of axillary bud multiplication was obtained on the
medium with 3 mg/l BA. MS medium + 5 mg/l IBA promoted 75% rooting. The plant
acclimatization on soil + compost in the green house with 75% shading promoted the fastest
plant growth. During the acclimatization, up to 75% of the shoots treated with dipping in 100
ppm IBA solution for one hour grew well. After four months, the roots of the plant developed
secondary and tertiary roots.

Keywords: Garcinia mangostana, micropropagation.

Manggis (Garcinia mangostana L.) adalah tanaman tropis yang mempunyai prospek cerah
sebagai komoditas ekspor. Dari tahun ke tahun, ekspor manggis terus meningkat. Menurut
Tridjaya (2003), pada tahun 1999 volume ekspor manggis tercatat sebanyak 4.743 ton dengan
nilai US$ 3.887.816 dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 7.182 ton dengan nilai US$
5.885.038 atau sekitar 44% dari total ekspor buah-buahan di Indonesia.
Tanaman manggis di sentra produksi tidak tumbuh berkelompok secara monokultur tetapi
bercampur dengan pohon-pohon lain dan umumnya sudah tua umurnya. Peremajaan belum
banyak dilakukan karena lambatnya pertumbuhan dan lamanya tanaman mulai berbuah.
Perbanyakan melalui biji menghadapi berbagai kendala. Tanaman manggis berasal dari biji baru
dapat dipanen buahnya pertama kali setelah berumur 15-17 tahun (Sarwono 1999). Biji hanya
tersedia pada musim tertentu ketika musim berbuah (1-2 kali setahun). Setiap buah hanya
menghasilkan 1-2 biji yang berukuran besar dan yang layak untuk dijadikan benih. Biji manggis
bersifat rekalsitran sehingga biji tidak dapat bertahan lama dan perbanyakan tidak dapat
dilakukan sepanjang tahun. Perbanyakan tanaman manggis secara vegetatif masih belum berhasil
dengan baik. Tanaman yang diperbanyak vegetatif mempunyai ukuran yang bervariasi, lemah,
tumbuh sangat lambat, dan tidak mampu mempercepat waktu pembungaan (Normah et al. 1995;
Cruz 2001). Perbanyakan tanaman manggis dari bibit susuan pada semai manggis dengan
tanaman manggis yang sudah berbuah dapat menyebabkan tanaman berbuah pada umur enam
tahun. Cara perbanyakan demikian membutuhkan banyak cabang entris. Perbanyakan melalui
sambung pucuk telah dilakukan dengan keberhasilan 48% (Jawal et al. 1989).
Perbanyakan manggis dengan cara in vitro diharapkan dapat menyediakan bibit manggis secara
masal, seragam, dan sepanjang tahun. Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa media MS
ditambah BA memberikan multiplikasi tunas terbaik (Normah et al. 1992; Teo 1992). Menurut
Goh et al. (1990), hasil penelitian di Singapura menunjukkan bahwa multiplikasi tunas terbaik
diperoleh dari media WPM + BA 5 mg/l. Penelitian di Balai Penelitian Tanaman Buah di Solok
menunjukkan bahwa penyemprotan pada sumber eksplan (tunas pucuk) dengan BA 0,5 ppm +
GA3 1 ppm sebelum dikulturkan, memberikan jumlah eksplan yang tumbuh terbanyak (42%),
sedangkan eksplan yang berasal dari kotiledon memberikan jumlah tunas yang lebih banyak
dibandingkan dari tunas pucuk (Triatminingsih et al. 1993).
Hasil penelitian perakaran manggis telah dilaporkan oleh Goh et al. (1990), yaitu dengan
penambahan IBA 20 mg/l. Penambahan NAA menghasilkan persentase eksplan yang berakar
lebih rendah daripada penambahan IBA. Hasil penelitian Pertamawati (1997) menunjukkan
bahwa media MS + 2iP 15 ppm + IBA 0,5 ppm memberikan persentase tertinggi bagi eksplan
yang berakar, sedangkan Sinaga (1999) menyatakan bahwa persentase tertinggi diperoleh dari
perlakuan ½ MS + IBA 4 mg/l + NAA 3 mg/l. Tujuan penelitian adalah memperoleh teknik
perbanyakan tanaman manggis melalui kultur in vitro dengan tingkat multiplikasi tunas dan
formasi akar, serta tingkat keberhasilan aklimatisasi yang tinggi.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

ARTIKEL 2

PENGARUH 2,4-D DAN KOMBINASI NAA DENGAN KINETIN


TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKECAMBAHAN KALUS
TOMAT (Lycopersicon esculentum MILL) VARIETAS KEMIR

The Effect of 2,4-D and NAA with Kinetin Combination on the Growth
and Development of Tomato (Lycopersicon esculentum MILL)
Callus of Kemir variety
Ratna Nirmala
ABSTRACT
From the growth of callus in tissue culture, could be studied
the growing process included plant growth and differentiation in
detail. In this research, which was used cotyledone explant of tomato
kemir variety, which was grown in Murashige and Skoog media,
which was completed supplemented single auxin 2,4-D and auxin
NAA with cytokinin kinetin combination. This treatment to induced
callus formed and regeneration. Concentration variation of 2,4-D:0,1;
0,3; and 0,5 ppm, while concentration variation of NAA: 0,1; 0,3 and
0,5 ppm, combination with kinetin 0,3 ppm. So, in this research, we
had six treatments. Each treatment was repeated ten times. Culture
was incubated in the grown room by 150-fc light.
All of this treatment can induce the explant to form callus and
then this callus can form root, but it cannot form shoot. The speed of
explant swelling and form callus of the all treatment did not show
different, were five days and seven days after planting in media.
Callus, which was formed because of NAA induction with
kinetin combination, was heavier than single auxin 2,4-D only. And so
were the quantities of the root. The heaviest callus and the highest
quantities of root, which were induced 0,5 ppm NAA with 0,3 ppm
kinetin treatment, were 0,869 g/callus and 12,20 roots/callus. The
color of callus from all the treatment, did not show different namely
greenness light yellow.

PENDAHULUAN

Pertumbuhan suatu tanaman meliputi tumbuh dan berkembang


(diferensiasi) dari sel-sel atau jaringan. Biasanya proses tumbuh dan
diferensiasi ini berjalan bersamaan selama pertumbuhan. Dengan melalui
teknik kultur jaringan dapat diamati proses tersebut yang berupa
pembentukkan massa sel yang belum berdiferensiasi yang disebut kalus.
Bila kalus ini mengalami regenerasi maka akan terbentuk tunas dan akar,
yang akhirnya terbentuk tanaman lengkap (Winata, 1992).
________________________________________
Page 2
Pada saat ini teknik tersebut sudah menjadi bidang yang sangat
menarik, sehingga banyak dipakai sebagai suatu cara dalam mempelajari
faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh dan diferensiasi. Dengan teknik
ini dapat memperbanyak tanaman secara vegetatif yang disebut
mikropropagasi, terutama untuk perbanyakkan klon.
Dasar teknik kultur jaringan adalah bahwa sel tanaman mempunyai
sifat totipotensi (Steward, 1968) yaitu kemampuan sel untuk tumbuh dan
berkembang membentuk tanaman lengkap dalam medium aseptik yang
mengandung unsur hara dan zat pengatur tumbuh yang sesuai. Sitokinin dan
auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam medium.
Sitokinin dimaksudkan untuk merangsang pembentukkan pucuk, sedangkan
auksin untuk merangsang pembentukkan akar (Narayanaswamy, 1973).
Inokulum dapat diambil dari potongan yang berasal dari kecambah atau
jaringan tanaman dewasa yang mengandung jaringan meristem (Kartha,
1975; Yoeman, 1973).
Berdasarkan uraian di atas, maka diadakan penelitian pada jaringan
tanaman tomat varietas kemir, dengan menggunakan medium nutrisi
Murashige dan Skoog, yang dilengkapi dengan zat pengatur tumbuh auksin
tunggal yaitu berupa 2,4-D dan kombinasi auksin dan sitokinin yaitu berupa
NAA dan kinetin.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari perlakuan 2,4-D,
kombinasi NAA dan kinetin terhadap pembentukkan jaringan kalus tomat
varietas kemir. Selain itu juga untuk mengetahui zat pengatur tumbuh yang
paling efektif untuk menginduksi terjadinya regenerasi dari kalus.

BAHAN DAN METODA

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman


selama satu setengah bulan. Kegiatannya yaitu menanam eksplan tomat
dalam medium nutrisi Murashige dan Skoog. Bahan yang dipergunakan
yaitu eksplan kotiledon dari kecambah tomat varietas kemir yang berumur
dua minggu. Medium nutrisi Murashige dan Skoog dibuat dari garam
anorganik dan senyawa organik. Sebagai sumber karbonnya berasal dari
gula sebesar 3%. Medium ini diberi bahan pemadat dari agar sebanyak
0,8%. Konsentrasi kemasaman medium diatur pada pH 5,8.
Perlakuan pada penelitian ini adalah 2.4-D dan kombinasi NAA dan
kinetin, masing-masing dengan tiga macam kombinasi konsentrasi. 2.4-D
tiga konsentrasi yaitu 0,1 ; 0,3 ; 0,5 ppm. Sedangkan NAA tiga konsentrasi
yaitu : 0,1 ; 0,3 ; 0,5 ppm yang dikombinasi dengan kinetin 0,3 ppm.
Sehingga didapat enam perlakuan, yang masing-masing diulang sepuluh
kali.
Peralatan yang akan digunakan disterilkan dalam autoklaf dengan
temperatur 121 C, tekanan 15 psi selama 60 menit. Tabung-tabung reaksi
yang telah berisi medium nutrisi Murashige dan Skoog, yang telah
________________________________________
Page 3
disesuaikan dengan perlakuan, disterilkan dalam autoklaf dengan
temperatur 121 C, tekanan 15 psi selama 30 menit.
Penanaman eksplan dilaksanakan dalam Laminar Air Flow Cabinet,
yang sebelumnya telah disterilkan dengan sinar ultra violet selama 30
menit. Eksplan yang digunakan yaitu kotiledon kecambah yang berumur
dua minggu, yang berasal dari biji tomat yang dikecambahkan pada medium
aseptik dalam tabung reaksi. Sebelumnya biji disterilkan dengan
merendamnya dalam alkohol 70% selama dua menit, kemudian direndam
lagi dalam clorox 20% selama 15 menit, lalu dibilas tiga kali dengan
akuades steril. Eksplan ditanam pada medium yang telah disediakan, sesuai
dengan perlakuan yang telah ditentukan, masing-masing tabung tiga
eksplan.
Tabung-tabung kultur yang telah ditanami eksplan kotiledon,
diletakkan pada rak-rak yang telah disediakan dan disinari lampu TL 20
Watt dalam ruang inkubasi.
Pengamatan pertumbuhan dan perkembangan eksplan dan kalus
dilakukan setiap hari. Pengamatan meliputi: kecepatan pembengkakkan dan
pembentukkan kalus eksplan, jumlah akar, jumlah tunas, berat kalus dan
warna kalus.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembengkakan dan Pembentukan Kalus


Kecepatan pembengkakan dan pembentukan kalus eksplan kotiledon
tomat dalam kultur aseptik yang diberi berbagai konsentrasi 2,4-D dan
kombinasi perlakuan NAA dan kinetin tertera pada Tabel.
Tabel 1. Rata-rata kecepatan pembengkakkan dan pembentukkan kalus
eksplan kotiledon tomat, yang dipengaruhi 2,4-D dan kombinasi
NAA+ kinetin pada berbagai konsentrasi
Dari Tabel 1, tampak bahwa semua eksplan kotiledon tomat yang
dipengaruhi berbagai konsentrasi 2,4-D dan kombinasi NAA + kinetin
mampu membengkak dan berkalus, yang masing-masing perlakuan
________________________________________
Page 4
kecepatan pembengkakkan dan pembentukkan kalusnya tidak berbeda, yaitu
lima hari dan tujuh hari setelah tanam.
Jumlah Akar dan Tunas Eksplan Kotiledon
Untuk mengetahui terjadinya diferensiasi suatu jaringan tanaman
dalam kultur aseptik dapat dilihat dari kemampuannya untuk berakar dan
bertunas, salah satu kriterianya yaitu dengan menghitung jumlahnya.
Mengenai keadaan ini dapat diikuti pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata jumlah akar dan tunas eksplan kotiledon tomat yang
dipengaruhi 2,4-D dan kombinasi NAA + kinetin pada berbagai
konsentrasi.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah akar dari eksplan
kotiledon tomat pada umur 10 hari setelah tanam, sedikit mengalami
penurunan dengan semakin meningkatnya konsentrasi 2,4-D. Demikian pula
pada umur 20 hari setelah tanam, rata-rata jumlah akar eksplan kotiledon
semakin menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi 2,4-D.
Pada kombinasi perlakuan NAA dan kinetin, rata-rata jumlah akar
eksplan pada umur 10 hari setelah tanam, semakin menurun dengan semakin
meningkatnya konsentrasi NAA pada konsentrasi kinetin 0,3 ppm.
Sebaliknya daripada yang umur 20 hari setelah tanam. Menurut Skoog
dalam Street (1979) untuk menginduksi akar kultur jaringan tembakau
diperlukan auksin pada konsentrasi yang lebih tinggi daripada sitokinin.
Jadi kemungkinan jumlah akar pada umur 10 hari setelah tanam semakin
menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi NAA, mungkin
disebabkan auksin ini belum aktif untuk merangsang terbentuknya akar
dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan yang berumur 20 hari setelah
tanam. Jumlah akar yang terbanyak diperoleh pada perlakuan 0,5 ppm
NAA yang dikombinasikan dengan 0,3 ppm kinetin yaitu sebanyak 12,20
buah/kalus.
Tabel 2 menunjukan bahwa dari semua perlakuan berbagai kon-
sentrasi 2,4-D, kombinasi NAA + kinetin, tidak mampu menginduksi
________________________________________
Page 5
terbentuknya tunas pada umur 20 hari setelah tanam. Hal ini diduga bahwa
pada eksplan kotiledon tomat tersebut diperlukan tambahan sitokinin
eksogen dalam konsentrasi yang agak tinggi dari 0,3 ppm kinetin. Sesuai
dengan pernyataan Skoog dalam Street (1979) untuk menginduksi
terjadinya tunas diperlukan sitokinin yang lebih tinggi dibandingkan auksin.
Terlebih lagi pada perlakuan yang hanya menggunakan 2,4-D.
Berat Kalus
Berat kalus dari eksplan kotiledon tomat pada akhir pengamatan
(20 hari setelah tanam) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata berat kalus eksplan kotiledon tomat yang dipengaruhi
2,4-D dan kombinasi NAA + kinetin pada berbagai konsentrasi
Perlakuan
Tampak pada Tabel 3 bahwa dengan semakin meningkatnya kon-
sentrasi 2,4-D, rata-rata berat kalus eksplan kotiledon tomat semakin
meningkat pula. Demikian pula untuk kombinasi NAA + kinetin, dengan
semakin meningkatnya konsentrasi NAA pada konsentrasi 0,3 ppm kinetin,
rata-rata berat kalus eksplan pun semakin meningkat pula.
Berat kalus yang tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan 0,5
ppm NAA dengan 0,3 ppm kinetin yaitu 0,869 g/kalus. Menurut Wareing
dan Phillips (1981), auksin berperan pada pembesaran sel, sedangkan
sitokinin merangsang pembelahan sel. Interaksi antara kedua zat pengatur
tumbuh tersebut akan meningkatkan jumlah dan ukuran sel dalam jaringan.
Lebih lanjut Skoog dan Miller dalam Toruan (1980) menyatakan bahwa
keduanya diperlukan untuk meningkatkan sintesa DNA, mitosis dan
pembelahan sel secara terus menerus.
Warna Kalus
Warna kalus eksplan kotiledon tomat dari seluruh perlakuan, tidak
menunjukkan adanya perbedaan. Warna semuanya sama, yaitu kuning muda
kehijau-hijauan.

PENUTUP

Semua perlakuan baik 2,4-D maupun kombinasi NAA dengan kinetin


pada berbagai konsentrasi, mampu menginduksi kalus dari eksplan
________________________________________
Page 6
kotiledon tomat varietas kemir, walaupun belum mampu menghasilkan
diferensiasi tanaman yang sempurna karena yang diinduksi hanya akar saja.
Disarankan pada penelitian lebih lanjut, untuk menginduksi
terbentuknya tunas, perlu ditambahkan sitokinin eksogen dan dalam
konsentrasi yang lebih tinggi daripada 0,3 ppm.

DAFTAR PUSTAKA
Kartha, K.K. 1977. Meristem Culture. Culture Methods. Published by the
National Research Council of Canada Praire Regional Laboratory
Saskhatoon Saskachewan. 39 – 43.
Narayanaswamy, S. 1977. Regeneration of Plants from Tissue Culture,
Applied and Fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue and Organ
Culture. Springer – Verlag Berlin Heidelberg. New York. 178 – 207.
Steward, F.C. 1968. Growth and Organisation in Plant. Addison – Wesley.
Published Company. 564.
Street, H.E. 1979. Embyogenesis and Chemically Induced Organogenesis.
Plant Cell and Tissue Culture. Principles and Application. Ohio
State University Press Columbus. 123 – 155.
Toruan, N. 1980. Diferensiasi Tanaman Kopi Melalui Kultur Jaringan.
Pengaruh Berbagai Konsentrasi Auksin/Kinetin dan Intensitas
Cahaya. Balai Penelitian Perkebunan Bogor. 48(3) : 71 – 74.
Wareing, P.F dan I.D.J. Phillips. 1981. Growth Differentiation in Plants.
3rd Edition. Pergamun Press. 343.
Winata, L.G. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Perguruan Tinggi PAK
Bioteknologi IPB. Bogor. 43 – 101.
Yoeman, M.M. 1973. Tissue (Callus) Culture – Technique Plant Tissue and
Cell Culture. Botanical Monographs. Blackwell Scientific
Publication Oxford London. Vol. 11 : 31 – 58.

http://72.14.235.104/search?
q=cache:_qutkq6R_sAJ:www.unmul.ac.id/dat/pub/frontir/ratna.pdf+sitokinin&hl=id&amp;amp;
amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;a
mp;ct=clnk&cd=1&gl=id
http://www.unmul.ac.id/dat/pub/frontir/ratna.pdf

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

ARTIKEL 3

JURNAL AgroBiogenVolume 1 Nomor 2 Oktober 2005

Perkecambahan dan Perbanyakan Gaharu secara In Vitro


(Mia Kosmiatin, Ali Husni, dan Ika Mariska)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianJalan
Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111
ABSTRACT
In Vitro Germination and Micropropagation of Agarwood. Mia Kosmiatin, A. Husni, and I.
Mariska. Agarwood (Aquilaria malaccensis Lank) is one of the forest wood that are continously
exploited. Currently, the Indonesian export of agarwood is decreasing because its population is
endangered by excessive logging. Agarwood propagations need technology for reproduction of
agarwood seedlings and their fungal inoculum. In vitro technique for germination of recalsitrant
seeds and micropropagation are technologies that can be used for propagation of agarwood
seedlings. An experiment was done to develop techniques for in vitro germination and
micropropagation of agarwood. The in vitro germination was done using two different
techniques. Firstly, sterile seeds were germinated on an MS medium + 50 mg/l PVP, 50 mg/l
GA, and 1 mg/l BA or kinetin. Secondly, sterile seeds were germinated on basal medium of MS,
½ MS medium, MS medium without vitamins, as well as on MS medium without pyridoxine,
nicotinic acid and WPM. Shoot initiations and multiplications were done on MS and ½ MS
media containing 1, 3, or 5 mg/l BA. The explants used were cotyledone nodes, terminal shoots,
single node with leaf, and sinle node without leaf. The results showed that the seed germination
rate on the different media ranged from 7,14 to 50%. The seed germination rate on the MS
medium without vitamis was the highest. The best explants for shoot induction and
multiplication was single node with leaf which was cultured on MS + 1 mg/l BA.
Keywords: Aquilaria malaccensis Lank, in vitro germination, micropropagation.
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki mutu
sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum baunya.
Kayu yang mengandung resin ini dikenal dengan nama gaharu, agarwood, aloeswood, dan oudh.
Selain untuk keperluan agama, gaharu juga dipakai sebagai bahan pembuat parfum, sabun sari
aroma gaharu, pengobatan, dan sampo (Ng et al. 1997; Chakraburty et al. 1994). Kayu gaharu
juga cocok digunakan untuk pembuatan pensil (Lopez 1998). Dengan nilai komersial yang
demikian tinggi volume perdagangan gaharu semakin meningkat. Permintaan internasional
terhadap gaharu dari tahun ke tahun terus bertambah (Shyun 1997; Ng et al. 1997). Menurut
Susilo (2003), volume ekspor gaharau Indonesia pada periode 1990-1998 sebanyak 165 t dengan
nilai US$ 2.000.000 dan meningkat sebanyak 456 t dengan nilai US$ 2.200.000 pada periode
1999-2000. Namun pada periode 2000-2002 volume ekspor menurun 30 t dengan nilai US$
600.000 karena gaharu sulit didapat. Selama ini gaharu diambil langsung dari hutan alam
(Hartadi 1997; Peters 1996) sehingga populasi tanaman ini di Indonesia hampir punah (Oldfield
et al. 1998). Sejak tahun 1994 CITES menetapkan tanaman penghasil gaharu jenis A.
malaccacensis termasuk APENDIX II, yaitu jenis tanaman yang terancam punah.Kepunahan
tanaman gaharu selain disebabkan oleh eksploitasi yang terus menerus juga belum tersedianya
teknologi budi daya yang efisien. Teknologi ini sulit dikembangkan karena ketersediaan bibit
yang terbatas. Selain itu, diperlukan juga teknologi inokulasi penyakit untuk mendapatkan
kualitas gaharu yang baik (Isnaini dan Situmorang 2005).Bibit gaharu diperbanyak secara
konvensional baik secara generatif maupun vegetatif tetapi kedua teknik ini memerlukan waktu
yang cukup lama dengan tingkat keberhasilan yang relatif masih rendah. Teknik in vitro telah
banyak dimanfaatkan dan memberikan harapan di masa mendatang untuk mengatasi penyediaan
bibit gaharu. Aplikasi teknologi ini dibidang pertanian selain dimanfaatkan untuk perbanyakan
juga konservasi dan perbaikan tanaman. Pemanfaatan teknik in vitro terutama metode
mikropropagasi dan embriogenesis somatik menjadi alternatif utama dalam pengembangan dan
konservasi gaharu di Vietnam (Minh 2004).Perbanyakan melalui kultur in vitro dapat dilakukan
melalui 3 cara, yaitu pembentukan tunas adventif, proliferasi tunas lateral, dan embriogenesis
somatik. Proliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau
tunas terminal ke dalam media yang mempunyai komposisi yang sesuai untuk proliferasi tunas
sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat. Setiap tunas yang dihasilkan dapat
dijadikan sebagai sumber untuk penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang
banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat. Menurut Mariska dan Sukmadjaja (2003) faktor
perbanyakan dengan teknik kultur in vitro jauh lebih tinggi dari cara konvensional. Selain itu,
teknologi ini juga lebih menjamin keseragaman, bebas penyakit, dan biaya pengangkutan yang
lebih murah.Keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro baik melalui penggandaan tunas,
organogenesis maupun embriogenesis somatik sangat dipengaruhi oleh genotipa dan eksplan,
jenis media dasar, serta jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan (Monnier
1990; Liz dan Levicth 1997).Pada umumnya, tanaman berkayu sangat sulit melakukan
proliferasi tunas dan regenerasi, sehingga diperlukan manipulasi di dalam media tumbuhnya
supaya eksplan mampu melakukan regenerasi membentuk tanaman utuh (Dixon dan Gonzales
1994). Penambahan sitokinin dalam media pada umumnya sangat diperlukan pada tahap induksi
maupun penggandaan tunas. Oksidasi fenol pada tanaman berkayu juga cukup tinggi sehingga
sering menghambat pertumbuhan eksplan. Penambahan senyawa yang dapat mengantisipasi
aktivitas ini menjadi sangat diperlukan Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode
perkecambahan in vitro biji gaharu dan formulasi media serta eksplan yang sesuai untuk induksi
dan multiplikasi tunas.

http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobiogen/abstrak/agrobiogen_vol1_no2_2005_62-67.php

ARTIKEL 4

Induksi Kalus dan Optimasi Regenerasi Empat Varietas Padi melalui


Kultur In Vitro
(Ragapadmi Purnamaningsih)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111

ABSTRACT
Callus Induction and Plant Regeneration of Four Rice Varieties through In Vitro Culture.
Ragapadmi Purnamaningsih. A study was conducted at the Tissue Culture Laboratory of
ICABIOGRAD, Bogor, to obtain an optimum medium formulation for calli regenerations of for
rice varities (Ciherang, Cisadane, IR64, and T-309). The research activities were done in five
steps, i.e., callus induction, callus regeneration, shoot multiplication, root formation, and plant
acclimatization. The type of explants used in the study was embriozygotic explants. Five media
formulations were used for the callus induction, while four media formulations were used for the
callus regeneration. The results showed that the best medium formulation for induction of callus
formation was MS + 2,4-D 2 mg/l + casein hidrolisat 3 mg/l, while the best medium formulation
for callus regeneration was MS + BA 3 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l.Keywords: Rice, callus
induction, callus regeration, in vitro culture.
Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan yang sangat penting karena sampai saat ini
beras masih digunakan sebagai makanan pokok bagi sebagian penduduk dunia terutama Asia.
Selain itu, di Indonesia beras masih dipandang sebagai produk kunci bagi kestabilan
perekonomian dan politik.Indonesia saat ini menghadapi masalah pangan akibat peningkatan
jumlah penduduk yang diikuti oleh banyaknya sawah subur beririgasi di Pulau Jawa yang beralih
fungsi menjadi kawasan industri dan pemukiman. Selain itu, pengaruh bencana alam berupa
kemarau panjang atau banjir yang terjadi hampir setiap tahun menyebabkan produksi beras
menurun, sehingga untuk memenuhi keperluan nasional, pemerintah harus mengimpor beras.
Krisis perekonomian yang terjadi akhir-akhir ini berdampak terhadap melemahnya daya beli
petani terhadap sarana produksi yang harganya melambung tinggi, terutama pupuk dan pestisida.
Hal tersebut menyebabkan makin meningkatnya serangan hama dan penyakit yang menyebabkan
makin menurunnya produksi padi.Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut adalah melalui penerapan teknik transformasi gen yang menyandi sifat
tertentu, antara lain sifat ketahanan terhadap penyakit/hama tertentu ataupun gen untuk
ketahanan terhadap faktor abiotik, antara lain kekeringan. Dengan meningkatnya ketahanan
terhadap faktor biotik atau abiotik diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi. Untuk
menghasilkan tanaman transgenik ada beberapa faktor yang berperan, yaitu metode yang efisien
dalam mengklon gen, ketersediaan konstruksi gen-gen baru, teknik transformasi, sistem
regenerasi tanaman dan sistem vektor yang efisien serta promotor yang spesifik (Aswidinnoor
1995). Tanpa sistem regenerasi tanaman yang efisien, maka akan sulit diperoleh tanaman
transgenik yang diinginkan. Metode transformasi yang digunakan harus dapat memasukkan gen
interest ke dalam sel tanaman yang kompeten untuk diregenerasikan, sehingga sel tersebut dapat
tumbuh dan berkembang membentuk planlet/tanaman transgenik yang diharapkan. Regenerasi
tanaman dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu organogenesis (melalui pembentukan organ
langsung dari eksplan) dan embriogenesis somatik (melalui pembentukan embrio somatik).
Dibandingkan dengan embriogenesis, organogenesis mempunyai keunggulan, yaitu peluang
terjadinya mutasi lebih kecil, metodenya lebih mudah dan tidak memerlukan subkultur berulang
sehingga tidak menurunkan daya regenerasi dari kalus. Namun demikian, untuk keperluan
transformasi genetik, cara embriogenesis lebih dianjurkan karena tanaman yang diperoleh
berasal dari satu sel somatik sehingga peluang diperolehnya transforman lebih tinggi. Embrio
somatik biasanya berasal dari sel tunggal yang kompeten dan berkembang membentuk fase
globular, hati, torpedo dan akhirnya menjadi embrio somatik dewasa yang siap dikecambahkan
membentuk planlet.Hasil-hasil penelitian tentang metode induksi kalus dan regenerasi padi
subspesies japonica dan javanica telah banyak dilakukan, akan tetapi untuk padi indica masih
sedikit informasi yang diperoleh. Dari informasi yang ada ternyata persentase keberhasilan
regenerasinya masih rendah dan biasanya belum reproducible (tidak dapat diulang). Selain itu,
regenerasi tanaman melalui kultur in vitro bersifat spesifik artinya media yang dapat digunakan
untuk meregenerasikan varietas padi tertentu belum tentu dapat digunakan untuk varietas
lainnya. Alam et al. (1998) meng-gunakan media regenerasi MS + kinetin 2 mg/l + NAA 0,1
mg/l untuk regenerasi padi indica kultivar Vaidehi. Hasil penelitian Maftuchah (2003)
menunjukkan bahwa media induksi kalus terbaik untuk padi Cisadane adalah MS + 2,4-D 2,5
mg/l, sedangkan media regenerasi terbaik adalah MS + BA 0,5 mg/l + IAA 0,7 mg/l dengan rata-
rata jumlah tunas yang dihasilkan 2 tunas/ 56 hari. Selanjutnya Purnamaningsih (2003) telah
menggunakan media MS + BA 5 mg/l + IAA 0,8 mg/l untuk regenerasi padi Rojolele (javanica).
Setelah dicoba formulasi media tersebut ternyata persentase regenerasi yang diperoleh sangat
kecil. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, maka pada penelitian ini dicoba modifikasi
formulasi media tumbuh dengan penggunaan zat pengatur tumbuh dengan aktivitas yang kuat
serta dengan memodifikasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan.Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh metode dan formulasi media yang tepat untuk menginduksi
pembentukan kalus serta regenerasi dan perakaran pada beberapa varietas padi indica.

http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobiogen/abstrak/agrobiogen_vol2_no2_2006_74-80.php

Posted by dinyunita at 7:30 PM 1 comments Links to this post


Home
Subscribe to: Posts (Atom)

KULTUR JARINGAN TANAMAN


KULTUR JARINGAN TANAMAN
FOTO
kultur mawar

Text
Bahan Kuliah, Artikel Contoh Penelitian, Foto

Blog Archive
• ▼ 2007 (2)
o Mar 2007 (1)
o Feb 2007 (1)

FOTO

LINK
• http://72.14.235.104/search?
q=cache:_qutkq6R_sAJ:www.unmul.ac.id/dat/pub/frontir/ratna.pdf+sitokinin
• http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobiogen/abstrak/agrobiogen_vol1_no2_2005_62
-67.php

About Me
dinyunita
View my complete profile

foto-foto kultur in vitro

Wednesday, March 28, 2007


BAHAN KULIAH 1

KULTUR JARINGAN

Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur
jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman
seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara
aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya
sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap.
Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan
bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.

Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya


untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur
jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan
induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan
tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat,
kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan
dengan perbanyakan konvensional.

Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
1) Pembuatan media
2) Inisiasi
3) Sterilisasi
4) Multiplikasi
5) Pengakaran
6) Aklimatisasi

Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media
yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan
biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan
tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan
juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan
yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.
Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.

Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman
yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas.

Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang
steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan
terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan
yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.

Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada
media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang
menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan
diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.

Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang
menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan
dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat
adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan
gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).

Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng.
Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup.
Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena
bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah
bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan
dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.

Keunggulan inilah yang menarik bagi produsen bibit untuk mulai mengembangkan usaha kultur
jaringan ini. Saat ini sudah terdapat beberapa tanaman kehutanan yang dikembangbiakkan
dengan teknik kultur jaringan, antara lain adalah: jati, sengon, akasia, dll.

Bibit hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa areal menunjukkan pertumbuhan yang baik,
bahkan jati hasil kultur jaringan yang sering disebut dengan jati emas dapat dipanen dalam
jangka waktu yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan tanaman jati yang berasal dari
benih generatif, terlepas dari kualitas kayunya yang belum teruji di Indonesia. Hal ini sangat
menguntungkan pengusaha karena akan memperoleh hasil yang lebih cepat. Selain itu, dengan
adanya pertumbuhan tanaman yang lebih cepat maka lahan-lahan yang kosong dapat c

KEUNTUNGAN PEMANFAATAN

KULTUR JARINGAN

♦ Pengadaan bibit tidak tergantung musim

♦ Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak

dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari

satu mata tunas yang sudah respon dalam 1

tahun dapat dihasilkan minimal 10.000

planlet/bibit)

♦ Bibit yang dihasilkan seragam

♦ Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (meng

gunakan organ tertentu)

♦ Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah

dan mudah

♦ Dalam proses pembibitan bebas dari gang

guan hama, penyakit, dan deraan lingkungan

lainnya

KULTUR jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk


membuat bagian tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh
menjadi tanaman utuh (sempurna) dikondisi invitro (didalam gelas).
Keuntungan dari kultur jaringan lebih hemat tempat, hemat waktu, dan
tanaman yang diperbanyak dengan kultur jaringan mempunyai sifat sama
atau seragam dengan induknya. Contoh tanaman yang sudah lazim
diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman anggrek.

Bagian 2

Persyaratan Lokasi
Laboratorium kultur jaringan hendaknya jauh dari sumber polusi, dekat dengan sumber tenaga
listrik dan air. Untuk menghemat tenaga listrik, ada baiknya bila laboratorium kultur jaringan
ditempatkan di daerah tinggi, agar suhu ruangan tetap rendah.

Kapasitas Labotarium
Ukuran laboratorium tergantung pada jumlah bibit yang akan diproduksi. Untuk ukuran
laboratorium sekitar 250 m2, bibit yang dapat diproduksi tiap tahun sekitar 400–500.000
planlet/bibit, yang dapat memenuhi pertanaman seluas 500–800 ha.
Dalam suatu laboratorium minimal terdapat 5 ruangan terpisah, yaitu gudang (ruang) untuk
penyimpanan bahan, ruang pembuatan media, ruang tanam, ruang inkubasi (untuk pertunasan
dan pembentukan planlet/bibit tanaman) dan rumah kaca.

Peralatan dan Bahan Kimia


Untuk memproduksi bibit melalui kultur jaringan peralatan minimal yang perlu disediakan
adalah: laminar air flow, pinset, pisau, rak kultur, AC, hot plate + stirrer, pH meter, oven, dan
kulkas serta bahan kimia (garam makro + mikro, vitamin, zat pengatur tumbuh, asam amino,
alkohol, clorox).

Proses Produksi
Proses perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan terdiri atas seleksi pohon induk (sumber
eksplan), sterilisasi eksplan, inisiasi tunas, multiplikasi, perakaran, dan aklimatisasi seperti
terlihat pada diagram.
Sumber eksplan. Eksplan berupa mata tunas, diambil dari pohon induk yang fisiknya sehat.
Tunas tersebut selanjutnya disterilkan dengan alkohol 70%, HgCl2 0,2%, dan Clorox 30%.
Inisiasi tunas. Eksplan yang telah disterilkan di-kulturkan dalam media kultur (MS + BAP).
Setelah terbentuk tunas, tunas tersebut disubkultur dalam media multiplikasi (MS + BAP) dan
beberapa komponen organik lainnya.
Multiplikasi. Multiplikasi dilakukan secara berulang sampai diperoleh jumlah tanaman yang
dikehendaki, sesuai dengan kapasitas laborato-rium. Setiap siklus multiplikasi berlangsung
selama 2–3 bulan. Untuk biakan (tunas) yang telah responsif stater cultur, dalam periode tersebut
dari 1 tunas dapat dihasilkan 10-20 tunas baru. Setelah tunas mencapai jumlah yang diinginkan,
biakan dipindahkan (dikulturkan) pada media perakaran.
Perakaran. Untuk perakaran digunakan media MS + NAA. Proses perakaran pada umumnya
berlangsung selama 1 bulan. Planlet (tunas yang telah berakar) diaklimatisasikan sampai bibit
cukup kuat untuk ditanam di lapang.
Aklimatisasi. Dapat dilakukan di rumah kaca, rumah kasa atau pesemaian, yang kondisinya
(terutama kelembaban) dapat dikendalikan. Planlet dapat ditanam dalam dua cara. Pertama,
planlet ditanam dalam polibag diameter 10 cm yang berisi media (tanah + pupuk kandang) yang
telah disterilkan. Planlet (dalam polibag) dipelihara di rumah kaca atau rumah kasa. Kedua, bibit
ditaruh di atas bedengan yang dinaungi dengan plastik. Lebar pesemaian 1-1,2 m, panjangnya
tergantung keadaan tempat. Dua sampai tiga minggu sebelum tanam, bedengan dipupuk dengan
pupuk kandang (4 kg/m2) dan disterilkan dengan formalin 4%. Planlet ditanam dengan jarak 20
cm x 20 cm. Aklimatisasi berlangsung selama 2-3 bulan. Aklimatisasi cara pertama dapat
dilakukan bila lokasi pertanaman letaknya jauh dari pesemaian dan cara kedua dilakukan bila
pesemaian berada di sekitar areal pertanaman.

Keuntungan Pemanfaatan Kultur Jaringan


• Pengadaan bibit tidak tergantung musim
• Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari satu
mata tunas yang sudah respon dalam 1 tahun dapat dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit)
• Bibit yang dihasilkan seragam
• Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu)
• Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah
• Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya

Bagian 3

Perkembangan kultur jaringan di Indonesia terasa sangat lambat, bahkan hampir dikatakan jalan
di tempat jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, tidaklah heran jika impor bibit
anggrek dalam bentuk ‘flask’ sempat membanjiri nursery-nursery anggrek di negara kita. Selain
kesenjangan teknologi di lini akademisi, lembaga penelitian, publik dan pecinta anggrek, salah
satu penyebab teknologi ini menjadi sangat lambat perkembangannya adalah karena adanya
persepsi bahwa diperlukan investasi yang ’sangat mahal’ untuk membangun sebuah lab kultur
jaringan, dan hanya cocok atau ‘feasible’ untuk perusahaan.

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah anggrek,
diperkirakan sekitar 5000 jenis anggrek spesies tersebar di hutan wilayah Indonesia. Potensi ini
sangat berharga bagi pengembang dan pecinta anggrek di Indonesia, khususnya potensi genetis
untuk menghasilkan anggrek silangan yang memiliki nilai komersial tinggi. Potensi tersebut akan
menjadi tidak berarti manakala penebangan hutan dan eksploitasi besar-besaran terjadi hutan
kita, belum lagi pencurian terang-terangan ataupun “terselubung” dengan dalih kerjasama dan
sumbangan penelitian baik oleh masyarakat kita maupun orang asing.
Sementara itu hanya sebagian kecil pihak yang mampu melakukan pengembangan dan
pemanfaatan anggrek spesies, khususnya yang berkaitan dengan teknologi kultur jaringan. Tidak
dipungkiri bahwa metode terbaik hingga saat ini dalam pelestarian dan perbanyakan anggrek
adalah dengan kultur jaringan, karena melalui kuljar banyak hal yang bisa dilakukan
dibandingkan dengan metode konvensional.

Secara prinsip, lab kultur jaringan dapat disederhanakan dengan melakukan modifikasi peralatan
dan bahan yang digunakan, sehingga sangat dimungkinkan kultur jaringan seperti ‘home
industri’. Hal ini dapat dilihat pada kelompok petani ‘pengkultur biji anggrek’ di Malang yang
telah sedemikian banyak.

Beberapa gambaran dan potensi yang bisa dimunculkan dalam kultur jaringan diantaranya adalah
:

Kultur meristem, dapat menghasilkan anggrek yang bebas virus,sehingga sangat tepat digunakan
pada tanaman anggrek spesies langka yang telah terinfeksi oleh hama penyakit, termasuk virus.
Kultur anther, bisa menghasilkan anggrek dengan genetik haploid (1n), sehingga bentuknya lebih
kecil jika dibandingkan dengan anggrek diploid (2n). Dengan demikian sangat dimungkinkan
untuk menghasilkan tanaman anggrek mini, selain itu dengan kultur anther berpeluang
memunculkan sifat resesif unggul yang pada kondisi normal tidak akan muncul karena tertutup
oleh yang dominan
Dengan tekhnik poliploid dimungkinkan untuk mendapatkan tanaman anggrek ‘giant’ atau besar.
Tekhnik ini salah satunya dengan memberikan induksi bahan kimia yang bersifat menghambat
(cholchicine)
Kloning, tekhnik ini memungkinkan untuk dihasilkan anggrek dengan jumlah banyak dan
seragam, khususnya untuk jenis anggrek bunga potong. Sebagian penganggrek telah mampu
melakukan tekhnik ini.
Mutasi, secara alami mutasi sangat sulit terjadi. Beberapa literatur peluangnya 1 : 100 000 000.
Dengan memberikan induksi tertentu melalui kultur jaringan hal tersebut lebih mudah untuk
diatur. Tanaman yang mengalami mutasi permanen biasanya memiliki nilai ekonomis yang
sangat tinggi
Bank plasma, dengan meminimalkan pertumbuhan secara ‘in-vitro’ kita bisa mengoleksi
tanaman anggrek langka tanpa harus memiliki lahan yang luas dan perawatan intensif. Baik
untuk spesies langka Indonesia maupun dari luar negeri untuk menjaga keaslian genetis yang
sangat penting dalam proses pemuliaan anggrek.

BAHAN KULIAH 2PUSTAKA IPTEK


Jurnal Saint dan Teknologi BPPT

V3.n5.08
JUDUL : Peranan Beberapa Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Tanaman Pada Kultur In Vitro
PENGARANG : Netty Widyastuti dan Donowati Tjokrokusumo
ABSTRAK
All synthetic plant hormones or synthetic compounds that have similar phisiological and
biochemical characters as plant hormones, are plant growth regulators. Phytohormones and plant
growth regulators usually stimulate growth and development plants. Auxin functions in in vitro
culture , especially in callus and cell suspension development, as well as root growing. Together
with cytokinin, they can regulate certain morphogenesis of interest. In in vitro culture, cytokinin
can influence cell fusion process, adventif shoot proliferation, plant root inhibition and induction
of potato microtube. In the in vitro plant morphogenesis, gibberellin inhibits root or shoot
formation. Retardant can be used in in vitro plant conservation, plant rooting or microtube
formation.
Keywords : Plant growth regulator, auxin, cytokinine, gibbereline, retardan,

Sumber :
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol.3, No.5, (Agustus 2001), hal. 55-63 Humas-
BPPT/ANY

PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian di Indonesia saat ini dan selanjutnya harus dilakukan dengan penerapan
teknologi baru seperti bioteknologi dan penggunaan zat pengatur tumbuh. Masalahnya sekarang ,
mampukah kita menyeleksi teknologi baru ini yang sesuai dengan keadaan Indonesia dalam
rangka menunjang pembangunan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan ? (1) .
Konsep zat pengatur tumbuh diawali dengan konsep hormon tanaman. Hormon tanaman adalah
senyawa-senyawa organik tanaman yang dalam konsentrasi yang ren-dah mempengaruhi proses-
proses fisiologis. Proses-proses fisiologis ini terutama tentang proses pertumbuhan, differensiasi
dan per-kembangan tanaman. Proses-proses lain seperti pengenalan tanaman, pembukaan
stotama, translokasi dan serapan hara dipengaruhi oleh hormon tanaman. Hormon tanaman
kadang-kadang juga disebut fitohormon, tetapi istilah ini lebih jarang digunakan.
Istilah hormon ini berasal dari bahasa Gerika yang berarti pembawa pesan kimiawi (Chemical
messenger) yang mula-mula dipergunakan pada fisiologi hewan.
Dengan berkembangnya pengetahuan biokimia dan dengan majunya industri kimia maka
ditemukan banyak senyawa-senya-wa yang mempunyai pengaruh fisiologis yang serupa dengan
hormon tanaman. Senyawa-senyawa sintetik ini pada umumnya dikenal dengan nama zat
pengatur tumbuh tanaman (ZPT = Plant Growth Regulator). Tentang senyawa hormon tanaman
dan zat pengatur tumbuh, Moore (2) mencirikannya sebagai berikut :

1. Fitohormon atau hormon tanaman ada-lah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam
jumlah kecil (< 1mM) yang disintesis pada bagian tertentu, pada umumnya ditranslokasikan
kebagian lain tanaman dimana senyawa tersebut, menghasilkan suatu tanggapan secara biokimia,
fisiologis dan morfologis.

2. Zat Pengatur Tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam kon-sentrasi rendah
(< 1 mM) mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkem-
bangan tanaman.

3. Inhibitor adalah senyawa organik yang menghambat pertumbuhan secara umum dan tidak ada
selang konsentrasi yang dapat mendorong pertumbuhan. Retardan. Cathey (1975) dalam (1)
mendefinisikan retardan sebagai suatu senyawa organik yang menghambat per-panjangan
batang, meningkatkan warna hijau daun, dan secara tidak langsung mem-pengaruhi pembungaan
tanpa menyebabkan pertumbuhan yang abnormal.

KESIMPULAN

Dari hasil tinjauan diatas, dapat disimpulkan bahwa peranan beberapa zat pengatur tumbuh
(ZPT) tumbuhan dalam kultur in vitro adalah sebagai berikut :
1. Semua hormon tanaman sintetik atau senyawa sintetik yang mempunyai sifat fisiologis dan
biokimia yang serupa dengan hormon tanaman adalah ZPT. Hormon tanaman dan ZPT pada
umumnya mendorong terjadi sesuatu pertumbuhan dan perkembangan.

2. Peranan auksin dalam kultur in vitro terutama untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel, dan
pertumbuhan akar. Bersama-sama sitokinin dapat mengatur tipe morfogenesis yang dikehendaki.

3. Pengaruh sitokinin di dalam kultur in vitro antara lain berhubungan dengan proses pembelahan
sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar tanaman dan induksi umbi mikro
ken-tang.

4. Di dalam morfogenesis tanaman in vitro , giberelin menghambat pembentukan akar ataupun


tunas. Pada nisbah auksin-sitokinin yang mampu membentuk akar atau tunas dengan
penambahan giberelin maka akar atau tunas tidak akan terbentuk.

5. Retardan dapat dipergunakan dalam konservasi tanaman in vitro , pengakaran tanaman


maupun pembentukan umbi mikro. Di dalam konservasi tanaman in vitro sebaiknya
dipergunakan retardan dengan sifat translokasi yang baik.
http://www.iptek.net.id/ind/?ch=jsti&id=221
Posted by dinyunita at 8:41 PM 0 comments Links to this post

Friday, February 9, 2007


ARTIKEL
AKTIFITAS PENELITIAN DALAM KULTUR JARINGAN TANAMAN
26 April 2007
BB-BiogenJl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111, IndonesiaTelp. (0251) 338820, 337975 Fax.
(0251) 338820
© 2004 Last updated on 29.01.2007 9:57

AKTIVITAS PENELITIAN
1. Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan (in-vitro)
Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan memeiliki beberapa keuntungan, yaitu
diperolehnya bibit yang seragam dalam jumlah besar. Teknik ini sangat bermanfaat untuk
tanaman-tanaman yang diperbanyak secara vegatatif. Adapun tanaman yang telah berhasil
diperbanyak antara lain tanaman hias (misal: anggrek dan mawar), tanaman obat (misal:
purwoceng dan bidara upas), tanaman berkayu (misal: jati dan cendana), serta tanaman buah-
buahan (misal: pisang dan manggis).

2. Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal

Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain
melalui kultur jaringan dan radiasi. Variasi somaklonal melalui kultur jaringan umumnya terjadi
pada kultur kalus akibat pengaruh media kultur, sedangkan variasi somaklonal melalui radiasi
dapat dilakukan secara fisik dengan menggunakan sinar gamma atau secara kimiawi. Perbaikan
tanaman melalui variasi somaklonal yang dilakukan di kelti BSJ menggabungkan kedua metode
tersebut. Untuk mengarahkan keragaman yang timbul akibat pengaruh radiasi, setelah diaradiasi,
eksplan ditanam dalam media kultur yang mengandung agen seleksi (seleksi in vitro). Teknik ini
telah menghasilkan beberapa nomor tanaman potensial, seperti nilam dengan kadar minyak lebih
tinggi, padi dan kedelai tahan alumunium, padi tahan kekeringan, dan pisang tahan layu
Fusarium (masih dalam pengujian).

3. Penyimpanan tanaman secara kultur jaringan

Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah yang besar yang perlu dilestarikan. Pelestarian di
alam secara konvensional menghadapi kedala hilangnya tanaman tersebut akibat kondisi
lingkungan. Penyimpanan secara kultur jaringan memberikan alternatif pemecahan kendala
tersebut, terutama untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif. Penyimpanan secara kultur
jaringan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pertumbuhan minimal (minimal growth)
dan kriopreservasi. Adapun penelitian penyimpanan secara kultur jaringan telah dilakukan di keti
BSJ terhadap tanaman ubi-ubian, sepeti ubi kayu, gembili, dan yam.

Perkembangan Teknologi Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan di BB-Biogen.

Pada saat ini pemerintah sedang menggalakkan komoditi non-migas, diantaranya untuk sektor
pertanian pengembangan agribisnis yang dapat meningkatkan perolehan devisa negara. Salah
satu dampak dalam peningkatan ekspor komoditi pertanian adalah kebutuhan bibit yang semakin
meningkat pula. Bibit dari suatu varietas unggul yang dihasilkan pemulia tanaman jumlahnya
sangat terbatas, sedang bibit tanaman yang dibutuhkan jumlahnya sangat banyak. Di negara maju
produksi bibit merupakan suatu usaha agribisnis yang potensial.
Penyediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan dalam pengembangan pertanian di masa mendatang. Pengadaan bibit pada suatu
tanaman yang akan dieksploitasi secara besar-besaran dalam waktu yang cepat akan sulit dicapai
dengan perbanyakan melalui teknik konvensional. Salah satu teknologi harapan yang banyak
dibicarakan dan telah terbukti memberikan keberhasilan adalah melalui teknik kultur jaringan.
Teknologi tersebut telah banyak digunakan untuk pengadaan bibit terutama pada berbagai
tanaman hortikultura. Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai
kebutuhan karena faktor perbanyakannya yang tinggi. Bibit dari varietas unggul yang mampu
bersaing di pasaran internasional yang jumlahnya sangat sedikit dapat segera dikembangkan
melalui kultur jaringan.
Menyadari pentingnya peranan kultur jaringan dalam menunjang program pengembangan
pertanian maka BB-Biogen telah lama memanfaatkan teknologi kultur jaringan untuk
perbanyakan tanaman.

kultur abaka kultur sukun

Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan diaplikasikan terutama pada tanaman-tanaman


yang sulit dikembangbiakan secara generatif, akan dieksploitasi secara besar-besaran (seperti
lada, jahe, pisang, jati, kapolaga, panili, abaka, berbagai tanaman obat dan tanaman hortikultura,
pada tanaman tahunan penyerbuk silang, (seperti jambu mente, cengkeh, melinjo, asam dan
kapuk), pada berbagai tanaman tahunan seperti tanaman kehutanan (jati, cendana) dan tanaman
buah-buahan. Pada tanaman-tanaman tersebut perbanyakan melalui kultur jaringan, bila berhasil
dapat lebih menguntungkan karena sifatnya akan sama dengan induknya, seragam, dalam waktu
yang singkat bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dan bebas penyakit.
Bioteknologi pertanian dapat berperan besar dalam agroindustri baik di sektor hulu maupun hilir.
Ditinjau dari ruang lingkup peran kultur jaringan dalam menunjang agroindustri adalah
penyediaan bibit yang bermutu dan penciptaan kultivar unggul.
Di negara-negara maju, produksi bibit dan penciptaan varietas unggul dilakukan oleh industri
benih, sehingga industri ini dapat dianggap sebagai industri hulu yang mendukung agroindustri.
Produksi bibit melalui kultur jaringan akan menguntungkan untuk diusahakan secara komersial
pada tanaman-tanaman yang sulit diperbanyak secara generatif, bibit diperlukan dalam jumlah
yang banyak atau tanaman yang berumah dua. Perbanyakan melalui teknologi tersebut dapat
memberikan keuntungan antara lain bibit dapat diproduksi seragam dalam jumlah banyak dengan
waktu yang singkat dan bebas hama penyakit. Penggunaan bibit yang memiliki keseragaman
tinggi akan meningkatkan kapasitas produksi dan secara tidak langsung memudahkan kegiatan
pengolahan sebagai industri hilir dalam agroindustri. Teknik kultur jaringan yang sudah dapat
dikembangkan dalam menunjang agroindustri antara lain untuk tanaman-tanaman jahe, jati,
pisang, abaka, panili, lada, nilam dan beberapa tanaman hias. Pada tanaman-tanaman tersebut
masalah utama yang dihadapi dalam pengembangannya adalah serangan penyakit dan
penyebaran penyakit yang cepat dari suatu daerah ke daerah lainnya umumnya melalui bahan
tanaman.
Ditinjau dari sudut agribisnis, produksi bibit melalui kultur jaringan bibit yang dihasilkan dapat
bebas penyakit dan memberikan beberapa keuntungan seperti memperlancar masuknya bibit ke
negara-negara pengimpor, meningkatkan hasil dan mencegah penyebaran penyakit ke sentra-
sentra produksi baru. Disamping itu teknik kultur jaringan dapat memberikan jaminan yang lebih
tinggi pada saat permintaan akan bibit meningkat.

Perbanyakan tanaman secara klonal yang telah dicoba diperbanyak melalui kultur jaringan antara
lain pada tanaman jahe (Zingiber officinale), touki (Angelica acutiloba), kapolaga (Eletaria
cardamomum), Mentha sp., Geranium (Pelargonium graveolens dan P. tomentosum), panili
(Vanilla planifolia), abaka (Musa textilis), nilam (Pogostemon cablin), rami (Boechmeria nivea),
lada (Piper nigrum), pyrethrum (Chrysanthemum cinerarifolium), gerbera (Gerbera jamesonii),
seruni (Chrysanthemum morifolium), pulasari (Alyxia stellata), pule pandak (Rauwolfia
serpentina), temu putri (Curcuma petiolata), purwoceng (Pimpinella pruatjan), inggu (Ruta
angustifolia), daun dewa (Gynura procumbens), beberapa tanaman pisang (Musa sp.) dan jati
(Tectona grandis).Pada tanaman tersebut, faktor multiplikasinya cukup tinggi sehingga kultur
jaringan dapat mempercepat pengembangan varietas yang dihasilkan para pemulia. Hampir
semua bibit tanaman hasil kultur jaringan telah ditanam di lapangan untuk melihat pola
pertumbuhan dan produktivitasnya terutama pada tanaman jahe, kapolaga, abaka, nilam, pisang,
jati dan rami. Perkembangan bibit di lapangan pada umumnya normal, kecuali pada jahe yang
menghasilkan rimpang yang lebih kecil dari bibit asal rimpang konvensional.Untuk tanaman
abaka, pertanaman asal bibit kultur jaringan memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik
daripada bibit asal konvensional. Disamping itu tanaman asal kultur jaringan menunjukkan
adanya pertumbuhan keseragaman yang tinggi.Pada umur dua tahun, tanaman asal kultur
jaringan menghasilkan pertumbuhan, komponen produksi dan produksi serat tiap batang tidak
berbeda dengan asal bibit konevensional, namun jumlah tanaman dewasa tiap rumpun lebih
banyak dan waktu berbunga lebih lambat dibandingkan dengan tanaman asal bibit konvensional.
Dengan demikian bibit asal kultur jaringan diduga dapat menghasilkan serat yang lebih tinggi
daripada asal bibit konvensional.Selain perbanyakan secara klonal telah pula dilakukan
perbanyakan generatif (biji) pada tanaman panili dan anggrek. Panili seperti halnya anggrek
mempunyai biji yang ukurannya sangat kecil, untuk itu dicoba perkecambahannya melalui kultur
jaringan. Hasil percobaan menunjukkan persentase dan kecepatan tumbuhnya meningkat
dibandingkan dengan pengecambahan secara konvensional.BB-Biogen mempunyai laboratorium
kultur jaringan yang dapat digunakan untuk perbanyakan berbagai tanaman. Pada tanaman yang
mudah diperbanyak secara konvensional antara lain untuk hibrida baru, tanaman yang langka,
tanaman introduksi dengan jumlah tanaman awal yang terbatas maka kultur jaringan dapat
berperan memperbanyak pada tahap awal dalam suatu proses produksi bibit. Apabila bibit yang
dihasilkan jumlahnya telah memadai maka pada proses produksi bibit benihnya dapat dilakukan
secara konvensional. Disamping itu teknologi produksi bibit yang diperoleh di BB-Biogen dapat
dilakukan pada laboratorium kultur jaringan yang akan memperbanyak secara besar-
besaran.Pada umumnya laboratorium kultur jaringan yang telah bergerak secara komersial tidak
melakukan penelitian tetapi mengadopsi teknologi yang telah dihasilkan oleh Institusi Penelitian.
Disamping itu biakan yang ada dalam botol yang telah tanggap terhadap media tumbuh (faktor
pertumbuhan membentuk tunas tinggi) dapat digunakan sebagai sumber bahan tanam bagi
perbanyakan selanjutnya melalui kultur jaringan.Dari paparan tersebut di atas terbukti bahwa
kultur jaringan merupakan teknologi potensial dalam menunjang agroindustri, antara lain untuk
perbanyakan tanaman yang akan dieksploitasi secara luas. Dengan keseragaman pertumbuhan
tanaman yang tinggi di lapang akan mempermudah kegiatan pengolahan sebagai industri hilir.
Disamping itu, dengan bibit yang dihasilkan dapat bebas penyakit maka dalam era globalisasi
dapat memudahkan pertukaran antar negara.
http://www.indobiogen.or.id/bsj/bsj_aktivitas.php

--------------------------------------------------------------------------------------
JURNAL AgroBiogen
Volume 1 Nomor 1 April 2005
http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobiogen/abstrak/agrobiogen_vol1_no1_2005_20-25.php

ARTIKEL 1

Mikropropagasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana)

(Ika Roostika, Novianti Sunarlim, dan Ika Mariska)

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111
ABSTRACT

Micropropagation of Mangosteen (Garcinia mangostana L.). Ika Roostika, N. Sunarlim, and I.


Mariska. The conventional propagation of mangosteen plant is still facing some problems, such
as the limited fruiting season and number of seedling, and slow growth of seedling. In vitro
culture is an alternative technique to solve the problems. An experiment was done to obtain a
suitable micropropagation technique for mangosteen plant through in vitro culture with high
level of shoot multiplication and root formation, as well as high level of acclimated shoot or
planlet growth. The treatments for shoot induction and axillary bud multiplication of mangosteen
were three levels of BA (1, 3, and 5 mg/l) on the MS basal medium. The treatments for root
induction were combinations between two kinds of basal medium (MS and WPM), two
formulations of the media (full strength and ¼ strength), and two levels of IBA (5 and 10 mg/l).
Root induction was also done ex situ by dipping the shoots in IBA solutions (100-200 ppm) for
1-2 hours, followed planting onto the best acclimation media. The acclimation was done using
two different media (soil only and soil + compost) under two different environments (green
house and incubation room + green house). Results of the experiment showed that the highest
percentages of seed growth and number of shoots per seed was obtained on the basal medium
containing 5 mg/l BA. The highest number of axillary bud multiplication was obtained on the
medium with 3 mg/l BA. MS medium + 5 mg/l IBA promoted 75% rooting. The plant
acclimatization on soil + compost in the green house with 75% shading promoted the fastest
plant growth. During the acclimatization, up to 75% of the shoots treated with dipping in 100
ppm IBA solution for one hour grew well. After four months, the roots of the plant developed
secondary and tertiary roots.

Keywords: Garcinia mangostana, micropropagation.

Manggis (Garcinia mangostana L.) adalah tanaman tropis yang mempunyai prospek cerah
sebagai komoditas ekspor. Dari tahun ke tahun, ekspor manggis terus meningkat. Menurut
Tridjaya (2003), pada tahun 1999 volume ekspor manggis tercatat sebanyak 4.743 ton dengan
nilai US$ 3.887.816 dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 7.182 ton dengan nilai US$
5.885.038 atau sekitar 44% dari total ekspor buah-buahan di Indonesia.
Tanaman manggis di sentra produksi tidak tumbuh berkelompok secara monokultur tetapi
bercampur dengan pohon-pohon lain dan umumnya sudah tua umurnya. Peremajaan belum
banyak dilakukan karena lambatnya pertumbuhan dan lamanya tanaman mulai berbuah.
Perbanyakan melalui biji menghadapi berbagai kendala. Tanaman manggis berasal dari biji baru
dapat dipanen buahnya pertama kali setelah berumur 15-17 tahun (Sarwono 1999). Biji hanya
tersedia pada musim tertentu ketika musim berbuah (1-2 kali setahun). Setiap buah hanya
menghasilkan 1-2 biji yang berukuran besar dan yang layak untuk dijadikan benih. Biji manggis
bersifat rekalsitran sehingga biji tidak dapat bertahan lama dan perbanyakan tidak dapat
dilakukan sepanjang tahun. Perbanyakan tanaman manggis secara vegetatif masih belum berhasil
dengan baik. Tanaman yang diperbanyak vegetatif mempunyai ukuran yang bervariasi, lemah,
tumbuh sangat lambat, dan tidak mampu mempercepat waktu pembungaan (Normah et al. 1995;
Cruz 2001). Perbanyakan tanaman manggis dari bibit susuan pada semai manggis dengan
tanaman manggis yang sudah berbuah dapat menyebabkan tanaman berbuah pada umur enam
tahun. Cara perbanyakan demikian membutuhkan banyak cabang entris. Perbanyakan melalui
sambung pucuk telah dilakukan dengan keberhasilan 48% (Jawal et al. 1989).
Perbanyakan manggis dengan cara in vitro diharapkan dapat menyediakan bibit manggis secara
masal, seragam, dan sepanjang tahun. Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa media MS
ditambah BA memberikan multiplikasi tunas terbaik (Normah et al. 1992; Teo 1992). Menurut
Goh et al. (1990), hasil penelitian di Singapura menunjukkan bahwa multiplikasi tunas terbaik
diperoleh dari media WPM + BA 5 mg/l. Penelitian di Balai Penelitian Tanaman Buah di Solok
menunjukkan bahwa penyemprotan pada sumber eksplan (tunas pucuk) dengan BA 0,5 ppm +
GA3 1 ppm sebelum dikulturkan, memberikan jumlah eksplan yang tumbuh terbanyak (42%),
sedangkan eksplan yang berasal dari kotiledon memberikan jumlah tunas yang lebih banyak
dibandingkan dari tunas pucuk (Triatminingsih et al. 1993).
Hasil penelitian perakaran manggis telah dilaporkan oleh Goh et al. (1990), yaitu dengan
penambahan IBA 20 mg/l. Penambahan NAA menghasilkan persentase eksplan yang berakar
lebih rendah daripada penambahan IBA. Hasil penelitian Pertamawati (1997) menunjukkan
bahwa media MS + 2iP 15 ppm + IBA 0,5 ppm memberikan persentase tertinggi bagi eksplan
yang berakar, sedangkan Sinaga (1999) menyatakan bahwa persentase tertinggi diperoleh dari
perlakuan ½ MS + IBA 4 mg/l + NAA 3 mg/l. Tujuan penelitian adalah memperoleh teknik
perbanyakan tanaman manggis melalui kultur in vitro dengan tingkat multiplikasi tunas dan
formasi akar, serta tingkat keberhasilan aklimatisasi yang tinggi.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

ARTIKEL 2

PENGARUH 2,4-D DAN KOMBINASI NAA DENGAN KINETIN


TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKECAMBAHAN KALUS
TOMAT (Lycopersicon esculentum MILL) VARIETAS KEMIR

The Effect of 2,4-D and NAA with Kinetin Combination on the Growth
and Development of Tomato (Lycopersicon esculentum MILL)
Callus of Kemir variety
Ratna Nirmala

ABSTRACT
From the growth of callus in tissue culture, could be studied
the growing process included plant growth and differentiation in
detail. In this research, which was used cotyledone explant of tomato
kemir variety, which was grown in Murashige and Skoog media,
which was completed supplemented single auxin 2,4-D and auxin
NAA with cytokinin kinetin combination. This treatment to induced
callus formed and regeneration. Concentration variation of 2,4-D:0,1;
0,3; and 0,5 ppm, while concentration variation of NAA: 0,1; 0,3 and
0,5 ppm, combination with kinetin 0,3 ppm. So, in this research, we
had six treatments. Each treatment was repeated ten times. Culture
was incubated in the grown room by 150-fc light.
All of this treatment can induce the explant to form callus and
then this callus can form root, but it cannot form shoot. The speed of
explant swelling and form callus of the all treatment did not show
different, were five days and seven days after planting in media.
Callus, which was formed because of NAA induction with
kinetin combination, was heavier than single auxin 2,4-D only. And so
were the quantities of the root. The heaviest callus and the highest
quantities of root, which were induced 0,5 ppm NAA with 0,3 ppm
kinetin treatment, were 0,869 g/callus and 12,20 roots/callus. The
color of callus from all the treatment, did not show different namely
greenness light yellow.

PENDAHULUAN

Pertumbuhan suatu tanaman meliputi tumbuh dan berkembang


(diferensiasi) dari sel-sel atau jaringan. Biasanya proses tumbuh dan
diferensiasi ini berjalan bersamaan selama pertumbuhan. Dengan melalui
teknik kultur jaringan dapat diamati proses tersebut yang berupa
pembentukkan massa sel yang belum berdiferensiasi yang disebut kalus.
Bila kalus ini mengalami regenerasi maka akan terbentuk tunas dan akar,
yang akhirnya terbentuk tanaman lengkap (Winata, 1992).
________________________________________
Page 2
Pada saat ini teknik tersebut sudah menjadi bidang yang sangat
menarik, sehingga banyak dipakai sebagai suatu cara dalam mempelajari
faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh dan diferensiasi. Dengan teknik
ini dapat memperbanyak tanaman secara vegetatif yang disebut
mikropropagasi, terutama untuk perbanyakkan klon.
Dasar teknik kultur jaringan adalah bahwa sel tanaman mempunyai
sifat totipotensi (Steward, 1968) yaitu kemampuan sel untuk tumbuh dan
berkembang membentuk tanaman lengkap dalam medium aseptik yang
mengandung unsur hara dan zat pengatur tumbuh yang sesuai. Sitokinin dan
auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam medium.
Sitokinin dimaksudkan untuk merangsang pembentukkan pucuk, sedangkan
auksin untuk merangsang pembentukkan akar (Narayanaswamy, 1973).
Inokulum dapat diambil dari potongan yang berasal dari kecambah atau
jaringan tanaman dewasa yang mengandung jaringan meristem (Kartha,
1975; Yoeman, 1973).
Berdasarkan uraian di atas, maka diadakan penelitian pada jaringan
tanaman tomat varietas kemir, dengan menggunakan medium nutrisi
Murashige dan Skoog, yang dilengkapi dengan zat pengatur tumbuh auksin
tunggal yaitu berupa 2,4-D dan kombinasi auksin dan sitokinin yaitu berupa
NAA dan kinetin.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari perlakuan 2,4-D,
kombinasi NAA dan kinetin terhadap pembentukkan jaringan kalus tomat
varietas kemir. Selain itu juga untuk mengetahui zat pengatur tumbuh yang
paling efektif untuk menginduksi terjadinya regenerasi dari kalus.
BAHAN DAN METODA

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman


selama satu setengah bulan. Kegiatannya yaitu menanam eksplan tomat
dalam medium nutrisi Murashige dan Skoog. Bahan yang dipergunakan
yaitu eksplan kotiledon dari kecambah tomat varietas kemir yang berumur
dua minggu. Medium nutrisi Murashige dan Skoog dibuat dari garam
anorganik dan senyawa organik. Sebagai sumber karbonnya berasal dari
gula sebesar 3%. Medium ini diberi bahan pemadat dari agar sebanyak
0,8%. Konsentrasi kemasaman medium diatur pada pH 5,8.
Perlakuan pada penelitian ini adalah 2.4-D dan kombinasi NAA dan
kinetin, masing-masing dengan tiga macam kombinasi konsentrasi. 2.4-D
tiga konsentrasi yaitu 0,1 ; 0,3 ; 0,5 ppm. Sedangkan NAA tiga konsentrasi
yaitu : 0,1 ; 0,3 ; 0,5 ppm yang dikombinasi dengan kinetin 0,3 ppm.
Sehingga didapat enam perlakuan, yang masing-masing diulang sepuluh
kali.
Peralatan yang akan digunakan disterilkan dalam autoklaf dengan
temperatur 121 C, tekanan 15 psi selama 60 menit. Tabung-tabung reaksi
yang telah berisi medium nutrisi Murashige dan Skoog, yang telah
________________________________________
Page 3
disesuaikan dengan perlakuan, disterilkan dalam autoklaf dengan
temperatur 121 C, tekanan 15 psi selama 30 menit.
Penanaman eksplan dilaksanakan dalam Laminar Air Flow Cabinet,
yang sebelumnya telah disterilkan dengan sinar ultra violet selama 30
menit. Eksplan yang digunakan yaitu kotiledon kecambah yang berumur
dua minggu, yang berasal dari biji tomat yang dikecambahkan pada medium
aseptik dalam tabung reaksi. Sebelumnya biji disterilkan dengan
merendamnya dalam alkohol 70% selama dua menit, kemudian direndam
lagi dalam clorox 20% selama 15 menit, lalu dibilas tiga kali dengan
akuades steril. Eksplan ditanam pada medium yang telah disediakan, sesuai
dengan perlakuan yang telah ditentukan, masing-masing tabung tiga
eksplan.
Tabung-tabung kultur yang telah ditanami eksplan kotiledon,
diletakkan pada rak-rak yang telah disediakan dan disinari lampu TL 20
Watt dalam ruang inkubasi.
Pengamatan pertumbuhan dan perkembangan eksplan dan kalus
dilakukan setiap hari. Pengamatan meliputi: kecepatan pembengkakkan dan
pembentukkan kalus eksplan, jumlah akar, jumlah tunas, berat kalus dan
warna kalus.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembengkakan dan Pembentukan Kalus


Kecepatan pembengkakan dan pembentukan kalus eksplan kotiledon
tomat dalam kultur aseptik yang diberi berbagai konsentrasi 2,4-D dan
kombinasi perlakuan NAA dan kinetin tertera pada Tabel.
Tabel 1. Rata-rata kecepatan pembengkakkan dan pembentukkan kalus
eksplan kotiledon tomat, yang dipengaruhi 2,4-D dan kombinasi
NAA+ kinetin pada berbagai konsentrasi
Dari Tabel 1, tampak bahwa semua eksplan kotiledon tomat yang
dipengaruhi berbagai konsentrasi 2,4-D dan kombinasi NAA + kinetin
mampu membengkak dan berkalus, yang masing-masing perlakuan
________________________________________
Page 4
kecepatan pembengkakkan dan pembentukkan kalusnya tidak berbeda, yaitu
lima hari dan tujuh hari setelah tanam.
Jumlah Akar dan Tunas Eksplan Kotiledon
Untuk mengetahui terjadinya diferensiasi suatu jaringan tanaman
dalam kultur aseptik dapat dilihat dari kemampuannya untuk berakar dan
bertunas, salah satu kriterianya yaitu dengan menghitung jumlahnya.
Mengenai keadaan ini dapat diikuti pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata jumlah akar dan tunas eksplan kotiledon tomat yang
dipengaruhi 2,4-D dan kombinasi NAA + kinetin pada berbagai
konsentrasi.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah akar dari eksplan
kotiledon tomat pada umur 10 hari setelah tanam, sedikit mengalami
penurunan dengan semakin meningkatnya konsentrasi 2,4-D. Demikian pula
pada umur 20 hari setelah tanam, rata-rata jumlah akar eksplan kotiledon
semakin menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi 2,4-D.
Pada kombinasi perlakuan NAA dan kinetin, rata-rata jumlah akar
eksplan pada umur 10 hari setelah tanam, semakin menurun dengan semakin
meningkatnya konsentrasi NAA pada konsentrasi kinetin 0,3 ppm.
Sebaliknya daripada yang umur 20 hari setelah tanam. Menurut Skoog
dalam Street (1979) untuk menginduksi akar kultur jaringan tembakau
diperlukan auksin pada konsentrasi yang lebih tinggi daripada sitokinin.
Jadi kemungkinan jumlah akar pada umur 10 hari setelah tanam semakin
menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi NAA, mungkin
disebabkan auksin ini belum aktif untuk merangsang terbentuknya akar
dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan yang berumur 20 hari setelah
tanam. Jumlah akar yang terbanyak diperoleh pada perlakuan 0,5 ppm
NAA yang dikombinasikan dengan 0,3 ppm kinetin yaitu sebanyak 12,20
buah/kalus.
Tabel 2 menunjukan bahwa dari semua perlakuan berbagai kon-
sentrasi 2,4-D, kombinasi NAA + kinetin, tidak mampu menginduksi
________________________________________
Page 5
terbentuknya tunas pada umur 20 hari setelah tanam. Hal ini diduga bahwa
pada eksplan kotiledon tomat tersebut diperlukan tambahan sitokinin
eksogen dalam konsentrasi yang agak tinggi dari 0,3 ppm kinetin. Sesuai
dengan pernyataan Skoog dalam Street (1979) untuk menginduksi
terjadinya tunas diperlukan sitokinin yang lebih tinggi dibandingkan auksin.
Terlebih lagi pada perlakuan yang hanya menggunakan 2,4-D.
Berat Kalus
Berat kalus dari eksplan kotiledon tomat pada akhir pengamatan
(20 hari setelah tanam) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata berat kalus eksplan kotiledon tomat yang dipengaruhi
2,4-D dan kombinasi NAA + kinetin pada berbagai konsentrasi
Perlakuan
Tampak pada Tabel 3 bahwa dengan semakin meningkatnya kon-
sentrasi 2,4-D, rata-rata berat kalus eksplan kotiledon tomat semakin
meningkat pula. Demikian pula untuk kombinasi NAA + kinetin, dengan
semakin meningkatnya konsentrasi NAA pada konsentrasi 0,3 ppm kinetin,
rata-rata berat kalus eksplan pun semakin meningkat pula.
Berat kalus yang tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan 0,5
ppm NAA dengan 0,3 ppm kinetin yaitu 0,869 g/kalus. Menurut Wareing
dan Phillips (1981), auksin berperan pada pembesaran sel, sedangkan
sitokinin merangsang pembelahan sel. Interaksi antara kedua zat pengatur
tumbuh tersebut akan meningkatkan jumlah dan ukuran sel dalam jaringan.
Lebih lanjut Skoog dan Miller dalam Toruan (1980) menyatakan bahwa
keduanya diperlukan untuk meningkatkan sintesa DNA, mitosis dan
pembelahan sel secara terus menerus.
Warna Kalus
Warna kalus eksplan kotiledon tomat dari seluruh perlakuan, tidak
menunjukkan adanya perbedaan. Warna semuanya sama, yaitu kuning muda
kehijau-hijauan.

PENUTUP

Semua perlakuan baik 2,4-D maupun kombinasi NAA dengan kinetin


pada berbagai konsentrasi, mampu menginduksi kalus dari eksplan
________________________________________
Page 6
kotiledon tomat varietas kemir, walaupun belum mampu menghasilkan
diferensiasi tanaman yang sempurna karena yang diinduksi hanya akar saja.
Disarankan pada penelitian lebih lanjut, untuk menginduksi
terbentuknya tunas, perlu ditambahkan sitokinin eksogen dan dalam
konsentrasi yang lebih tinggi daripada 0,3 ppm.

DAFTAR PUSTAKA
Kartha, K.K. 1977. Meristem Culture. Culture Methods. Published by the
National Research Council of Canada Praire Regional Laboratory
Saskhatoon Saskachewan. 39 – 43.
Narayanaswamy, S. 1977. Regeneration of Plants from Tissue Culture,
Applied and Fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue and Organ
Culture. Springer – Verlag Berlin Heidelberg. New York. 178 – 207.
Steward, F.C. 1968. Growth and Organisation in Plant. Addison – Wesley.
Published Company. 564.
Street, H.E. 1979. Embyogenesis and Chemically Induced Organogenesis.
Plant Cell and Tissue Culture. Principles and Application. Ohio
State University Press Columbus. 123 – 155.
Toruan, N. 1980. Diferensiasi Tanaman Kopi Melalui Kultur Jaringan.
Pengaruh Berbagai Konsentrasi Auksin/Kinetin dan Intensitas
Cahaya. Balai Penelitian Perkebunan Bogor. 48(3) : 71 – 74.
Wareing, P.F dan I.D.J. Phillips. 1981. Growth Differentiation in Plants.
3rd Edition. Pergamun Press. 343.
Winata, L.G. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Perguruan Tinggi PAK
Bioteknologi IPB. Bogor. 43 – 101.
Yoeman, M.M. 1973. Tissue (Callus) Culture – Technique Plant Tissue and
Cell Culture. Botanical Monographs. Blackwell Scientific
Publication Oxford London. Vol. 11 : 31 – 58.

http://72.14.235.104/search?
q=cache:_qutkq6R_sAJ:www.unmul.ac.id/dat/pub/frontir/ratna.pdf+sitokinin&hl=id&amp;amp;
amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;a
mp;ct=clnk&cd=1&gl=id
http://www.unmul.ac.id/dat/pub/frontir/ratna.pdf

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

ARTIKEL 3

JURNAL AgroBiogenVolume 1 Nomor 2 Oktober 2005

Perkecambahan dan Perbanyakan Gaharu secara In Vitro


(Mia Kosmiatin, Ali Husni, dan Ika Mariska)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianJalan
Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111

ABSTRACT
In Vitro Germination and Micropropagation of Agarwood. Mia Kosmiatin, A. Husni, and I.
Mariska. Agarwood (Aquilaria malaccensis Lank) is one of the forest wood that are continously
exploited. Currently, the Indonesian export of agarwood is decreasing because its population is
endangered by excessive logging. Agarwood propagations need technology for reproduction of
agarwood seedlings and their fungal inoculum. In vitro technique for germination of recalsitrant
seeds and micropropagation are technologies that can be used for propagation of agarwood
seedlings. An experiment was done to develop techniques for in vitro germination and
micropropagation of agarwood. The in vitro germination was done using two different
techniques. Firstly, sterile seeds were germinated on an MS medium + 50 mg/l PVP, 50 mg/l
GA, and 1 mg/l BA or kinetin. Secondly, sterile seeds were germinated on basal medium of MS,
½ MS medium, MS medium without vitamins, as well as on MS medium without pyridoxine,
nicotinic acid and WPM. Shoot initiations and multiplications were done on MS and ½ MS
media containing 1, 3, or 5 mg/l BA. The explants used were cotyledone nodes, terminal shoots,
single node with leaf, and sinle node without leaf. The results showed that the seed germination
rate on the different media ranged from 7,14 to 50%. The seed germination rate on the MS
medium without vitamis was the highest. The best explants for shoot induction and
multiplication was single node with leaf which was cultured on MS + 1 mg/l BA.
Keywords: Aquilaria malaccensis Lank, in vitro germination, micropropagation.
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki mutu
sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum baunya.
Kayu yang mengandung resin ini dikenal dengan nama gaharu, agarwood, aloeswood, dan oudh.
Selain untuk keperluan agama, gaharu juga dipakai sebagai bahan pembuat parfum, sabun sari
aroma gaharu, pengobatan, dan sampo (Ng et al. 1997; Chakraburty et al. 1994). Kayu gaharu
juga cocok digunakan untuk pembuatan pensil (Lopez 1998). Dengan nilai komersial yang
demikian tinggi volume perdagangan gaharu semakin meningkat. Permintaan internasional
terhadap gaharu dari tahun ke tahun terus bertambah (Shyun 1997; Ng et al. 1997). Menurut
Susilo (2003), volume ekspor gaharau Indonesia pada periode 1990-1998 sebanyak 165 t dengan
nilai US$ 2.000.000 dan meningkat sebanyak 456 t dengan nilai US$ 2.200.000 pada periode
1999-2000. Namun pada periode 2000-2002 volume ekspor menurun 30 t dengan nilai US$
600.000 karena gaharu sulit didapat. Selama ini gaharu diambil langsung dari hutan alam
(Hartadi 1997; Peters 1996) sehingga populasi tanaman ini di Indonesia hampir punah (Oldfield
et al. 1998). Sejak tahun 1994 CITES menetapkan tanaman penghasil gaharu jenis A.
malaccacensis termasuk APENDIX II, yaitu jenis tanaman yang terancam punah.Kepunahan
tanaman gaharu selain disebabkan oleh eksploitasi yang terus menerus juga belum tersedianya
teknologi budi daya yang efisien. Teknologi ini sulit dikembangkan karena ketersediaan bibit
yang terbatas. Selain itu, diperlukan juga teknologi inokulasi penyakit untuk mendapatkan
kualitas gaharu yang baik (Isnaini dan Situmorang 2005).Bibit gaharu diperbanyak secara
konvensional baik secara generatif maupun vegetatif tetapi kedua teknik ini memerlukan waktu
yang cukup lama dengan tingkat keberhasilan yang relatif masih rendah. Teknik in vitro telah
banyak dimanfaatkan dan memberikan harapan di masa mendatang untuk mengatasi penyediaan
bibit gaharu. Aplikasi teknologi ini dibidang pertanian selain dimanfaatkan untuk perbanyakan
juga konservasi dan perbaikan tanaman. Pemanfaatan teknik in vitro terutama metode
mikropropagasi dan embriogenesis somatik menjadi alternatif utama dalam pengembangan dan
konservasi gaharu di Vietnam (Minh 2004).Perbanyakan melalui kultur in vitro dapat dilakukan
melalui 3 cara, yaitu pembentukan tunas adventif, proliferasi tunas lateral, dan embriogenesis
somatik. Proliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau
tunas terminal ke dalam media yang mempunyai komposisi yang sesuai untuk proliferasi tunas
sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat. Setiap tunas yang dihasilkan dapat
dijadikan sebagai sumber untuk penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang
banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat. Menurut Mariska dan Sukmadjaja (2003) faktor
perbanyakan dengan teknik kultur in vitro jauh lebih tinggi dari cara konvensional. Selain itu,
teknologi ini juga lebih menjamin keseragaman, bebas penyakit, dan biaya pengangkutan yang
lebih murah.Keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro baik melalui penggandaan tunas,
organogenesis maupun embriogenesis somatik sangat dipengaruhi oleh genotipa dan eksplan,
jenis media dasar, serta jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan (Monnier
1990; Liz dan Levicth 1997).Pada umumnya, tanaman berkayu sangat sulit melakukan
proliferasi tunas dan regenerasi, sehingga diperlukan manipulasi di dalam media tumbuhnya
supaya eksplan mampu melakukan regenerasi membentuk tanaman utuh (Dixon dan Gonzales
1994). Penambahan sitokinin dalam media pada umumnya sangat diperlukan pada tahap induksi
maupun penggandaan tunas. Oksidasi fenol pada tanaman berkayu juga cukup tinggi sehingga
sering menghambat pertumbuhan eksplan. Penambahan senyawa yang dapat mengantisipasi
aktivitas ini menjadi sangat diperlukan Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode
perkecambahan in vitro biji gaharu dan formulasi media serta eksplan yang sesuai untuk induksi
dan multiplikasi tunas.

http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobiogen/abstrak/agrobiogen_vol1_no2_2005_62-67.php

ARTIKEL 4

Induksi Kalus dan Optimasi Regenerasi Empat Varietas Padi melalui


Kultur In Vitro
(Ragapadmi Purnamaningsih)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
Jalan Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111

ABSTRACT
Callus Induction and Plant Regeneration of Four Rice Varieties through In Vitro Culture.
Ragapadmi Purnamaningsih. A study was conducted at the Tissue Culture Laboratory of
ICABIOGRAD, Bogor, to obtain an optimum medium formulation for calli regenerations of for
rice varities (Ciherang, Cisadane, IR64, and T-309). The research activities were done in five
steps, i.e., callus induction, callus regeneration, shoot multiplication, root formation, and plant
acclimatization. The type of explants used in the study was embriozygotic explants. Five media
formulations were used for the callus induction, while four media formulations were used for the
callus regeneration. The results showed that the best medium formulation for induction of callus
formation was MS + 2,4-D 2 mg/l + casein hidrolisat 3 mg/l, while the best medium formulation
for callus regeneration was MS + BA 3 mg/l + thidiazuron 0,1 mg/l.Keywords: Rice, callus
induction, callus regeration, in vitro culture.
Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan yang sangat penting karena sampai saat ini
beras masih digunakan sebagai makanan pokok bagi sebagian penduduk dunia terutama Asia.
Selain itu, di Indonesia beras masih dipandang sebagai produk kunci bagi kestabilan
perekonomian dan politik.Indonesia saat ini menghadapi masalah pangan akibat peningkatan
jumlah penduduk yang diikuti oleh banyaknya sawah subur beririgasi di Pulau Jawa yang beralih
fungsi menjadi kawasan industri dan pemukiman. Selain itu, pengaruh bencana alam berupa
kemarau panjang atau banjir yang terjadi hampir setiap tahun menyebabkan produksi beras
menurun, sehingga untuk memenuhi keperluan nasional, pemerintah harus mengimpor beras.
Krisis perekonomian yang terjadi akhir-akhir ini berdampak terhadap melemahnya daya beli
petani terhadap sarana produksi yang harganya melambung tinggi, terutama pupuk dan pestisida.
Hal tersebut menyebabkan makin meningkatnya serangan hama dan penyakit yang menyebabkan
makin menurunnya produksi padi.Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut adalah melalui penerapan teknik transformasi gen yang menyandi sifat
tertentu, antara lain sifat ketahanan terhadap penyakit/hama tertentu ataupun gen untuk
ketahanan terhadap faktor abiotik, antara lain kekeringan. Dengan meningkatnya ketahanan
terhadap faktor biotik atau abiotik diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi. Untuk
menghasilkan tanaman transgenik ada beberapa faktor yang berperan, yaitu metode yang efisien
dalam mengklon gen, ketersediaan konstruksi gen-gen baru, teknik transformasi, sistem
regenerasi tanaman dan sistem vektor yang efisien serta promotor yang spesifik (Aswidinnoor
1995). Tanpa sistem regenerasi tanaman yang efisien, maka akan sulit diperoleh tanaman
transgenik yang diinginkan. Metode transformasi yang digunakan harus dapat memasukkan gen
interest ke dalam sel tanaman yang kompeten untuk diregenerasikan, sehingga sel tersebut dapat
tumbuh dan berkembang membentuk planlet/tanaman transgenik yang diharapkan. Regenerasi
tanaman dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu organogenesis (melalui pembentukan organ
langsung dari eksplan) dan embriogenesis somatik (melalui pembentukan embrio somatik).
Dibandingkan dengan embriogenesis, organogenesis mempunyai keunggulan, yaitu peluang
terjadinya mutasi lebih kecil, metodenya lebih mudah dan tidak memerlukan subkultur berulang
sehingga tidak menurunkan daya regenerasi dari kalus. Namun demikian, untuk keperluan
transformasi genetik, cara embriogenesis lebih dianjurkan karena tanaman yang diperoleh
berasal dari satu sel somatik sehingga peluang diperolehnya transforman lebih tinggi. Embrio
somatik biasanya berasal dari sel tunggal yang kompeten dan berkembang membentuk fase
globular, hati, torpedo dan akhirnya menjadi embrio somatik dewasa yang siap dikecambahkan
membentuk planlet.Hasil-hasil penelitian tentang metode induksi kalus dan regenerasi padi
subspesies japonica dan javanica telah banyak dilakukan, akan tetapi untuk padi indica masih
sedikit informasi yang diperoleh. Dari informasi yang ada ternyata persentase keberhasilan
regenerasinya masih rendah dan biasanya belum reproducible (tidak dapat diulang). Selain itu,
regenerasi tanaman melalui kultur in vitro bersifat spesifik artinya media yang dapat digunakan
untuk meregenerasikan varietas padi tertentu belum tentu dapat digunakan untuk varietas
lainnya. Alam et al. (1998) meng-gunakan media regenerasi MS + kinetin 2 mg/l + NAA 0,1
mg/l untuk regenerasi padi indica kultivar Vaidehi. Hasil penelitian Maftuchah (2003)
menunjukkan bahwa media induksi kalus terbaik untuk padi Cisadane adalah MS + 2,4-D 2,5
mg/l, sedangkan media regenerasi terbaik adalah MS + BA 0,5 mg/l + IAA 0,7 mg/l dengan rata-
rata jumlah tunas yang dihasilkan 2 tunas/ 56 hari. Selanjutnya Purnamaningsih (2003) telah
menggunakan media MS + BA 5 mg/l + IAA 0,8 mg/l untuk regenerasi padi Rojolele (javanica).
Setelah dicoba formulasi media tersebut ternyata persentase regenerasi yang diperoleh sangat
kecil. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, maka pada penelitian ini dicoba modifikasi
formulasi media tumbuh dengan penggunaan zat pengatur tumbuh dengan aktivitas yang kuat
serta dengan memodifikasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan.Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh metode dan formulasi media yang tepat untuk menginduksi
pembentukan kalus serta regenerasi dan perakaran pada beberapa varietas padi indica.

http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobiogen/abstrak/agrobiogen_vol2_no2_2006_74-80.php
Posted by dinyunita at 7:30 PM 1 comments Links to this post
Home
Subscribe to: Posts (Atom)

KULTUR JARINGAN TANAMAN


KULTUR JARINGAN TANAMAN
FOTO

kultur mawar

Text
Bahan Kuliah, Artikel Contoh Penelitian, Foto
Blog Archive
• ▼ 2007 (2)
o Mar 2007 (1)
o Feb 2007 (1)

FOTO

LINK
• http://72.14.235.104/search?
q=cache:_qutkq6R_sAJ:www.unmul.ac.id/dat/pub/frontir/ratna.pdf+sitokinin
• http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobiogen/abstrak/agrobiogen_vol1_no2_2005_62
-67.php

About Me
dinyunita
View my complete profile
foto-foto kultur in vitro

http://dinyunita-kuljar.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai