Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karet merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Latin khususnya
Brazil, sehingga diberi nama ilmiah Hevea brasiliensis. Sebelum dipopulerkan
sebagai tanaman budi daya yang dikebunkan secara besar-besaran, penduduk asli
Amerika Selatan, Afrika, dan Asia sebenarnya telah memanfaatkan beberapa jenis
tanaman penghasil getah.
Karet termasuk kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia, hal ini
terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang
terbuat dari karet seperti ban kendaraan, conveyor belt, dock fender, sepatu, dan
sandal karet. Kebutuhan karet alam maupun karet sintetik terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya standar hidup manusia. Kebutuhan karet sintetik lebih
mudah dipenuhi karena sumber bahan baku mudah tersedia walaupun harganya
mahal, sedangkan karet alam merupakan komoditas perkebunan yang digunakan
sebagai bahan baku industri.
Produktivitas karet alam yang rendah merupakan permasalahan karet di
negara kita. Salah satu sebabnya adalah kurangnya informasi tentang klon unggul
di kalangan petani karet sehingga karet yang ditanam umumnya berasal dari bibit
lokal yang belum teruji produktivitasnya. Perkebunan rakyat umumnya belum
menggunakan bibit karet dari klon-klon unggul, pemeliharaannya masih
sederhana, serta banyak tanaman karet yang sudah tua dan rusak.
Selama ini masyarakat memperbanyak bibit karet dengan cara generatif,
yaitu menanam biji. Tanaman baru dari biji meskipun telah diketahui jenisnya
kadang-kadang sifatnya menyimpang dari pohon induknya, dan banyak tanaman
yang tidak menghasilkan biji atau jumlah bijinya sedikit. Untuk menghindari
kelemahan-kelemahan yang terdapat pada perbanyakan generatif, maka orang
mulai memindahkan perhatiannya keperbanyakan vegetatif.

Perbanyakan secara vegetatif yang dikenal adalah teknik grafting, yaitu


teknik menyambungkan batang bawah dan batang atas dari tanaman berbeda
sedemikian rupa sehingga tercapai persenyawaan, kombinasi ini akan terus
tumbuh membentuk tanaman baru. Namun menurut teknik ini memiliki
kekurangan yaitu memberi kemungkinan jika pohon sudah besar, gampang patah
jika ditiup angin kencang dan tingkat keberhasilannya rendah jika tidak cocok
antara scion (batang atas) dan rootstock (batang bawah).
Cara lain menghindari kelemahan perbanyakan secara generatif dan
vegetatif untuk menghasilkan bibit unggul adalah dengan melakukan perbanyakan
secara in vitro, dimana teknik ini menurut memiliki keunggulan dapat dapat
menghasilkan bibit dalam jumlah banyak, seragam, dan sama dengan induknya
secara kontinyu dalam waktu dan tempat yang lebih efisien.

1.2 Rumusan Masalah


Optimalisasi produksi karet alam harus ditingkatkan seiring dengan
meningkatnya kebutuhan lateks. Permasalahan utama yang harus segera ditangani
adalah penyediaan bibit dan bahan tanam unggul secara cepat dalam jumlah besar.
Hal ini dapat diatasi dengan melakukan perbanyakan tanaman secara in vitro
melalui teknik kultur jaringan.

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini untuk :
1. Menambah pengetahuan dan kemandirian mahasiswa dalam perbanyakan
tanaman karet secara in vitro menggunakan eksplan anter bunga karet.
2. Mengetahui cara mendapatkan bibit karet yang unggul melalui
perbanyakan secara in vitro menggunakan eksplan anter bunga karet.

BAB II
PEMBAHASAN
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya
secara aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan
beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Konsep awal dari kultur jaringan
adalah diketahuinya kemampuan totipotensi dari sel tumbuhan. Totipotensi
sel (Total Genetic Potential), berarti setiap sel memiliki potensi genetik seperti
zigot untuk memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap
(Sriyanti, 2002).
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak
tanaman, khususnya tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit
yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan antara lain
mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam
jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas,
mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat,
kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat
dibandingkan dengan perbanyakan konvensional (Yuwono, 2006).
Salah satu teknik dalam kultur jaringan adalah kultur anter. Kultur anter
merupakan salah satu teknik kultur jaringan yang keberhasilannya dipengaruhi
oleh jenis dan konsentrasi auksin maupun sitokinin (Winarto et.al., 2010). kultur
anter merupakan salah satu teknik kultur jaringan yang sangat menjanjikan untuk
pemuliaan tanaman serealia dan beberapa jenis tanaman lain. Teknik ini memberi
peluang mendapatkan tanaman homozigot murni atau haploid ganda yang dapat

digunakan sebagai tetua persilangan atau tanaman donor untuk tujuan produksi
benih dalam waktu yang singkat (Winarto & Rachmawati, 2007).
Pembatas dalam keberhasilan kultur jaringan salah satunya adalah
kontaminasi yang dapat terjadi pada setiap saat dalam masa kultur. Kontaminasi
dapat berasal dari eksplan, organisme kecil yang masuk ke dalam media,
lingkungan kerja dan ruang kultur yang kurang aseptik, kecerobohan dalam
pelaksanaan serta botol kultur atau alat-alat tanam yang kurang steril. Proses
sterilisasi yang perlu diperhatikan meliputi sterilisasi lingkungan kerja, sterilisasi
bahan tanam dan sterilisasi alat-alat dan media.
A. Sterilisasi Alat
1. Sterilisasi kering
Sterilisasi kering digunakan untuk alat-alat yang terbuat dari logam
atau bahan lain yang tidak rusak dalam pemanasan dan temperatur tinggi.
Metode ini juga dapat digunakan untuk sterilisasi gelas dan juga botolbotol. Metode dilakukan dengan menggunakan oven pengering.
Temperatur yang digunakan pada sterilisasi ini kira-kira 160 C selama 34 jam. Cara lain yaitu dengan membakar alat yang terbuat dari logam
pada api bunsen hingga berwarna merah, kemudian dicelupkan ke dalam
alkohol dan dibakar kembali sebanyak 3 kali, metode ini biasanya
dilakukan di dalam Laminar Air Flow Cabinet pada waktu penanaman
eksplan.

2. Sterilisasi dengan pemanasan basah


Metode sterilisasi dengan pemanasan basah dapat dilakukan dengan
alat autoklaf. Standar teknis untuk sterilisasi ini adalah tekanan uap 17,5
psi dengan temperatur 121C selama 15-20 menit. Penggunaan autoklaf

lebih dari 20 menit dapat merusak bahan-bahan kimia yang ada di dalam
media. Media dan aquades yang akan digunakan dalam kultur jaringan
juga

disterilisasikan

dalam

autoklaf.

Untuk

aquades

sebaiknya

dimasukkan dalam wadah kecil misalnya tabung erlenmeyer 250 ml


dengan isi maksimum 100 ml, agar sterilisasi lebih efektif.
3. Sterilisasi dengan ultrafiltrasi
Terdapat beberapa komponen media yang menjadi tidak stabil bila
terkena panas yang terlalu tinggi sehingga harus disterilisasi dengan
ultrafiltrasi pada suhu ruangan. Beberapa jenis ultrafiltrasi yaitu
nukleopore filter dari polyetilen sekali pakai dan autoclavable milipore
filter). Porositas dari setiap filter berbeda-beda dari 0,45 mikron sampai
0,22 mikron.
4. Sterilisasi dengan bahan kimia
Bahan kimia yang umumnya digunakan untuk sterilisasi sederhana
adalah alkohol 70% atau 95%. Larutan ini dapat berfungsi sebagai bahan
sterilisasi yang baik. Sterilisasi ruang kerja laboratorium juga dapat
dilakukan dengan melap permukaan tersebut dengan alkohol 95%. Selain
alkohol dapat digunakan formaldehid dan Na-hipoklorit 2% yang biasa
terdapat dalam bahan pembersih lantai merk komersial seperti Bayclin
5.

dan Sunclyn.
Sterilisasi dengan menggunakan lampu UV (Ultraviolet)
Sterilisasi dengan menggunakan lampu UV biasanya dilakukan
untuk mensterilkan ruangan kultur jaringan dan laminar air flow.
Sebelum melakukan kegiatan kultur, lampu UV dinyalakan selama 15
menit untuk mematikan kontaminan dipermukaan tempat kerja. Laminar
air flow harus dijaga sebersih mungkin. Setelah bekerja, permukaan

tempat kerja dibersihkan dengan alkohol 70% atau dengan lampu ultra
violet selama 25-30 menit.
B. Sterilisasi Permukaan Eksplan
Kontaminasi pada kultur jaringan, dapat dicegah dengan menggunakan
dua metode yaitu metode fisik dan kimiawi. Metode fisik ditujukan untuk
mengatasi kontaminasi mikroba dengan mengurangi populasi mikroba yang
menempel pada eksplan atau yang berada di dalam eksplan (endogenous).
Metode sterilisasi permukaan eksplan secara fisik antara lain:
1. Mengekspos tanaman induk dengan kondisi kekeringan selama 3-4 minggu
sebelum kultur jaringan dimulai. Tanaman diberi air yang cukup, dipupuk, dan
diberi pestisida atau fungisida bila perlu.
2. Pada saat memulai kultur jaringan, tanaman dicuci sampai bersih dan
bagian yang tidak akan dikulturkan segera dibuang. Pembersihan meliputi
pencucian, penggosokan merata untuk membuang semua partikel tanah dan
jaringan yang mati, termasuk membuang sebagian besar daun mengingat
kebanyakan daun tidak digunakan dalam kultur. Bahan tanaman kemudian
dicuci di bawah air mengalir selama 20 menit sampai beberapa jam,
tergantung sumber bahan tanaman.(Sjahril, 2011).
Anter yang telah ditanam akan membentuk kalus. Menurut pendapat
George & Sherington (1994), kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang
terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Penelitian
pembentukan kalus pada jaringan terluka pertama kali dilakukan oleh Sinnott
pada tahun 1960. Pembentukan kalus pada jaringan luka dipacu oleh zat pengatur
tumbuh auksin dan sitokinin endogen. Secara in vivo, kalus pada umumnya
terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikroorganisme seperti

Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus


juga dapat terbentuk sebagai akibat tekanan lingkungan.
Pemilihan tanaman sebagai sumber eksplan sangat tergantung pada
tujuan penelitian. Pada dasarnya hampir seluruh bagian tanaman dapat diinduksi
menjadi kalus. Untuk tanaman Gymnospermae eksplan bisa diambil dari bagian
kuncup, bibit, atau irisan floem. Eksplan tanaman rumput-rumputan dapat diambil
dari embrio, mesokotil, dan irisan akar atau dasar batang. Sedangkan untuk
tanaman dikotil, sumber eksplan adalah akar, hipokotil, batang, umbi, dan daun.
Laju pembelahan kalus dari jaringan eksplan yang ditempatkan pada medium
sangat beragam. Sumber eksplan juga menentukan laju pertumbuhan kalus. Kalus
yang baik biasanya terbentuk dalam waktu satu bulan. Tekstur kalus yang
terbentuk bisa beragam, ada yang lembut dan mudah hancur disebut kalus remah
dan ada yang keras dan liat disebut kalus kompak (Wetter & Constabel, 1991).
Media yang digunakan untuk perbanyakan tanaman secara in vitro adalah
media MS (Murashige dan Skoog, 1962). Menurut Yuliarti (2010), media ini
mengandung garam dan nitrat dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan
media lain,dan telah berhasil digunakan pada berbagai tanaman dikotil. Untuk
inisiasi kalus, Zat Pengatur tumbuh (ZPT) 2,4-D ditambahkan ke dalam media
dengan konsentrasi 1-5 mg/L. Untuk multiplikasi tunas, ZPT yang ditambahkan
adalah sitokinin seperti BAP dan auksin seperti NAA pada konsentrasi rendah.
Untuk inisiasi akar, ditambahkan IBA pada konsentrasi 1-2 mg/L.

C. Jenis Medium dan Komponen Penyusun Utamanya

Medium yang digunakan mengandung lima komponen utama yaitu: senyawa


anorganik, sumber karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh, dan suplemen organik.
1. Senyawa anorganik
Unsur-unsur esensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar disebut
sebagai unsur-unsur makro. Unsur-unsur makro terdiri dari nitrogen, fosfor,
kalium, kalsium, magnesium, dan belerang harus terpenuhi di dalam medium
tumbuh. Pada kultur in vitro, nitrogen diberikan dalam jumlah terbesar dalam
bentuk KNO3 atau NH4NO3. Magnesium dan belerang dapat dipenuhi melaui
pemberian MgSO4.7H2O. Fosfor dapat diberikan dalam bentuk NaH2PO4.H2O atau
KH2PO4. Kalium diberikan pada medium dalam bentuk KCl, KNO 3, atau KH2PO4.
Selain unsur makro, sel-sel tanaman pun membutuhkan unsur-unsur mikro
tertentu. Unsur-unsur mikro yang dibutuhkan oleh semua tanaman tingkat tinggi
meliputi besi, mangan, seng, boron, tembaga, molibdat, dan klor.

2. Sumber karbon
Sukrosa ataupun D-glukosa biasanya diberikan pada konsentrasi 20.00030.000 mg/L, namun konsentrasi yang lebih tinggi kadang diberikan untuk tujuantujuan tertentu. Mioinositol ditambahkan pada medium kultur pada konsentrasi
100 mg/L. Pilihan dan takaran gula tergantung pada macam jaringan tanaman
yang dikulturkan dan tujuan dari pengkulturan tersebut.

3. Vitamin
Vitamin memiliki fungsi katalitik pada sistem enzim dan dibutuhkan dalam
jumlah kecil. Satu-satunya vitamin yang dianggap esensial pada kultur in vitro
adalah tiamin (Vitamin B1). Tiamin diberikan pada medium kultur dalam bentuk
tiamin-HCl dengan takaran berkisar 0,1-30,0 mg/L. Beberapa vitamin lain yang
digunakan pada kultur in vitro meliputi asam p-aminobenzoat (PABA; vitamin
Bx), asam askorbat vitamin C, biotin (vitamin H), kolin klorida, sianokobalalamin
(vitamin B12).
4. Zat Pengatur tumbuh
Kombinasi

ZPT yang

digunakan

untuk

perbanyakan

meliputi

2,4

dichlorophenoxy acetic acid (2,4 D) atau 1-naphtalene acetic acid (NAA) dan
sitokinin (kinetin, benzyl adenosine, 2-isopentyll adenosine, zeatin, thidiazuron.
Untuk regenerasi diperlukan auksin, dalam konsentrasi rendah dan sitokinin
dalam konsentrasi tinggi. Auksin yang digunakan untuk regenerasi bukan dalam
bentuk 2,4-D karena senyawa 2,4 D diketahui menginduksi perbanyakan sel tetapi
menekan diferensiasi pada tanaman dikotil, tetapi 2,4 D dan 2,4,5-T (2,4,5
trichlorophenoxyacetic acid) diketahui bersifat efektif untuk menginduksi
embriogenesis somatik pada tanaman serealia (monokotil) (Sjahril, 2011).
5. Suplemen organik kompleks
Media yang digunakan dalam kultur in vitro mengandung bahan-bahan
penyusun yang telah teruji kemurniannya. Namun penggunaan ekstrak-ekstrak
alami seperti jus buah, tepung pisang, dan air kelapa kadang kala dibutuhkan
karena mengandung nutrisi komplek yang penting untuk regenerasi tanaman pada
kultur in vitro. Jus buah merupakan suplemen organik yang penting. Menurut

Pareara (1997), air kelapa juga digunakan dalam kultur jaringan tanaman karena
mengandung zat tumbuh dari golongan sitokinin yakni zetein dalam jumlah sangat
kecil tapi sangat berpengaruh terhadap jumlah tunas atau perbanyakan tunas.

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Kalus


Menurut pendapat Kurniati et. al (2011), pembentukan kalus dipengaruhi
beberapa faktor yaitu genotip tanaman, jenis eksplan, jenis media dan zat pengatur
tumbuh serta umur eksplan. Stadia perkembangan eksplan kuncup bunga
berpengaruh terhadap pembentukan kalus dan banyaknya kalus yang dihasilkan.
Hasil analisis destruktif struktur kalus yang terjadi pada eksplan anter
bunga karet menunjukkan bahwa kalus yang terbentuk adalah kalus yang
berstruktur kompak. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas kalus yang kurang baik.
Menurut Lizawati (2012), kalus yang memiliki kualitas baik ditandai dengan
struktur kalus yang remah (friable). Kalus berstruktur remah biasanya mudah
dalam hal pemisahan sel-selnya menjadi sel tunggal. menyatakan bahwa kalus
yang berstruktur kompak diindikasikan sebagai kalus yang tidak embriogenik.
Kalus yang berstruktur kompak diduga akibat perbedaan kemampuan jaringan
tanaman menyerap unsur hara dan zat pengatur tumbuh dalam media inisiasi.
Indikator perkembangan eksplan pada budidaya in vitro adalah warna
kalus, sehingga dapat diketahui bahwa kalus yang terbentuk sel-sel-nya masih
aktif membelah atau mati. Kalus yang terbentuk berwana kuning kecoklatan,
sehingga dapat dikatakan kalus bersifat non embriogenik. Hal ini sesuai dengan
pendapat Peterson & Smith (1991), bahwa kalus yang embriogenik biasanya
ditandai dengan kalus yang berwarna putih kuning, mengkilat dan, remah (mudah

dipisahkan membentuk fragmen), sedangkan kalus yang non embriogenik


berwarna kuning kecoklatan, agak pucat dan lembek berair sehingga sulit
dipisahkan.
Permasalahan yang dihadapi dalam perbanyakan tanaman karet secara in
vitro ini, yaitu kontaminasi dan pencoklatan eksplan (browning). Keberhasilan
dalam perbanyakan melalui kultur jaringan ini salah satunya ditentukan oleh
teknik sterilisasi eksplan yang tepat (Purnawati, 2012). Kontaminasi dan
browning ini mengganggu jalannya kegiatan kultur jaringan serta menurunkan
produksi bibit.
Terdapat 11 eksplan yang browning, dimana browning merupakan
terjadinya pencokelatan atau penghitaman bagian eksplan. Hal ini menurut
pendapat Yusnita (2004) disebabkan oleh senyawa fenol yang timbul akibat stress
mekanik yang timbul akibat pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan dari
tanaman induk. Senyawa fenol tersebut bersifat toksik, menghambat pertumbuhan
atau bahkan dapat mematikan jaringan eksplan.
Masalah pencoklatan atau browning, dapat pula disebabkan oleh semakin
bertambahnya umur jaringan atau kalus dan konsentrasi ZPT (Yusnita, 2004).
Menurut pendapat Lizawati (2012), selama masa perkembangannya, kalus yang
semakin lama berada pada media tanam akan mengalami degradasi fisiologis atau
penurunan tingkat fisiologi tanaman akibat kekurangan unsur hara atau hormon
tumbuhnya. konsentrasi hormon tumbuh 2,4-D yang tinggi dan tidak adanya
penambahan sitokinin dalam media juga mampu memacu terjadinya senesensi
yang dapat menghambat proses pertumbuhan kalus.

Masalah lain dalam perbanyakan tanaman karet secara in vitro adalah


kontaminasi yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Pada hasil didapatkan 85
eksplan yang terkontaminasi, yang menurut pendapat Sjahril (2011), kontaminasi
berasal dari eksplan, lingkungan kerja, dan kecerobohan dalam pelaksanaan serta
alat-alat tanam yang kurang steril. Keanekaragaman sumber kontaminasi
menyebabkan prosedur aseptik yang harus diperhatikan meliputi sterilisasi
lingkungan kerja, sterilisasi bahan tanam dan sterilisasi alat-alat dan media.
Media yang digunakan mengandung 3% sukrosa yaitu sebanyak 1,5 gr.
Kadar sukrosa yang cukup banyak akan mempengaruhi kemampuan jaringan
dalam penyerapan unsur hara dari media ke dalam kalus. Hal ini sesuai dengan
pendapat Zakaria (2010), bahwa pada media yang mengandung sukrosa tinggi
akan lebih pekat. Media yang pekat berarti banyak terdapat molekul-molekul,
sehingga arah gerakan difusi menuju tempat berkonsentrasi rendah. Keadaan
tersebut menyebabkan jaringan yang ditumbuhkan dapat lebih cepat menerima
unsur hara. Namun pada kenyataannya, kalus belum mampu tumbuh sampai
tahapan organogenesis. Sehingga komposisi media dengan kadar sukrosa cukup
tinggi masih belum mampu dijadikan bahan tanam yang unggul.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai perbanyakan tanaman karet
secara in vitro diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam perbanyakan tanaman karet secara in vitro dilakukan dengan


menggunakan kultur anter yang merupakan salah satu teknik kultur
jaringan yang keberhasilannya dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi
auksin maupun sitokinin
2. Pembentukan kalus dipengaruhi beberapa faktor yaitu genotip tanaman,
jenis eksplan, jenis media dan zat pengatur tumbuh serta umur eksplan
Kalus yang dihasilkan adalah kalus yang bersifat non embriogenik.
3. Permasalahan yang dihadapi dalam perbanyakan tanaman karet secara in
vitro ini, yaitu kontaminasi dan pencoklatan eksplan (browning).
4. Perbanyakan tanaman karet secara in vitro masih belum menyelesaikan
permasalahan penyediaan bahan tanam dan bibit unggul dalam jumlah
banyak dan waktu yang efisien.
3.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi media yang
cocok untuk pertumbuhan kalus dari eksplan tanaman karet yang dilakukan
secara in vitro.

DAFTAR PUSTAKA

Sriyanti, Daisy P. dan A. Wijayani. 2002. Teknik Kultur Jaringan : Pengenalan


dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif-Modern. Yogyakarta:
Kanisius.
Winarto, B., Mattjik, A. Purwito, dan B. Marwoto. 2010. Aplikasi 2,4-D dan TDZ
dalam Pembentukkan dan Regenerasi Kalus pada Kultur Anther Anthurium.
Jurnal Hort. 20(1): 1-9.
Winarto, B. dan F. Rachmawati. 2007. Teknik Kultur Anther pada Tanaman
Anthurium. Jurnal Hort. 17(2): 127-37.

Anda mungkin juga menyukai