Anda di halaman 1dari 4

Buta Huruf Perlu Penanganan Serius

INDONESIA termasuk dalam daftar 34 negara yang angka buta hurufnya tinggi. Global Monitoring Report menyebutkan negara ini ada di peringkat ke tujuh setelah antara lain China, India, dan Bangladesh. Ace Suryadi, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional menyatakan populasi penduduk yang buta huruf saat ini sekitar 15,4 juta orang. Angka tersebut merupakan 9% dari jumlah total penduduk Indonesia. Dua pertiga atau sekitar 66% di antaranya adalah perempuan yang berlatar belakang keluarga miskin atau tinggal di daerah terpencil. Sekitar 77% dari populasi buta huruf tersebut adalah orang dewasa berusia 45 tahun ke atas, sedangkan sisanya berusia antara 15 tahun dan 45 tahun. Departemen Pendidikan Nasional yang paling berkepentingan dengan persoalan itu menargetkan angka buta huruf bisa diturunkan hingga 50% atau menjadi 7,7 orang pada akhir 2009. Target pencapian itu didasarkan pada asumsi bahwa melalui berbagai program yang dijalankan setiap tahun bisa memelekkan sekitar 1,5 juta orang yang buta huruf. Pada saat ini pemberantasan buta huruf difokuskan di sembilan provinsi yang angka buta hurufnya tinggi, yakni Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, Papua, Kalbar, NTT, dan Banten. Penuntasan buta huruf dilakukan secara terus-menerus sejak tahun 1997. Namun sebenarnya upaya tersebut sudah dimulai sejak 50 tahunan lalu meski tidak seintensif sekarang. Beberapa faktor yang mendorong angka buta huruf di Indonesia tinggi antara lain tidak mengenal nagku sekolah karena alasan ekonomi dan kondisi geografis. Di samping itu, angka putus sekolah yang juga tinggi dan peserta program pemberantasan buta huruf tidak dipelihara secara baik sehingga kemampuannya merosot atau bahkan lenyap. Setiap tahun hampir satu juta anak sekolah dasar (SD) putus sekolah karena berbagai alasan, terutama masalah ekonomi. Orang tuanya tak lagi mampu membiayai sehingga beranggapan lebih baik anaknya membantu bekerja agar memperoleh uang untuk keperluan sehari-hari. Sehubungan dengan itu program wajib belajar 9 tahun menjadi salah satu pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi buta huruf, terutama pada anak-anak usia sekolah. Buta huruf bukan sekadar tidak mampu membaca dan menulis, melainkan berpotensi menimbulkan serangkaian dampak yang sangat luas.

Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pada Hari Pemberantasan Buta Huruf tahun lalu mengungkapkan kemampuan membaca dan menulis merupakan alat penting untuk memberantas kemiskinan. Selain itu, untuk perluasan kesempatan kerja, peningkatan kesetaraan pria dan wanita, peningkatan kesehatan keluarga, perlindungan lingkungan hidup, serta penggalakan peran serta dalam demokratisasi. Tak mengherankan jika kemampuan itu termasuk dalam indikator pendidikan pada indeks pembangunan manusia atau Human Development Index United Nations Development Programme (UNDP). Indeks yang dikembangkan pada tahun 1990-an oleh Mahbub Ul Haq ekonom asal Pakistan tersebut mengukur kemajuan pendidikan berdasarkan kemampuan membaca dan menulis atau literasi. Laporan UNDP tahun 2003 menempatkan indeks pembangunan manusia Indonesia pada urutan 112 dari 174 negara di dunia yang dievaluasi. Tahun itu Vietnam menempati urutan yang lebih baik dari negara kita, yakni 109, padahal baru saja keluar dari konflik politik berkepanjangan. Tahun 2004 indeks pembangunan manusia Indonesia menempati urutan 111 dari 177 negara yang diperingkat oleh UNDP atau di posisi paling bawah di antara negara-negara Asia Tenggara. Kenyataan tersebut sungguh memprihatinkan karena sebelum krisis ekonomi 1997 Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu macan di kawasan itu. Kini, melihat kemajuan pesat yang dicapai negara-negara tetangga, misalnya Malaysia, Singapura, dan Thailand, bahkan Vietnam, kita boleh merasa iri. Namun jangan hanya berhenti pada rasa iri. Kita harus menguatkan tekat untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara yang di masa lalu pernah berguru kepada kita. Salah satunya adalah bagaimana menangani angka buta huruf agar bisa ditekan sampai minimal, bahkan kalau mungkin diberantas sehingga semua rakyat melek huruf dan tulis. Wajib Belajar Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk menghilangkan penderita buta huruf sekaligus mencegah kemunculannya. Pertama, program wajib belajar sembilan tahun harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan konsekuen. Selama ini ada kesan program itu hanya hangat-hangat tahi ayam.

Dukungan terhadap program itu, misalnya bea siswa bagi anak-anak tidak mampu dan bantuan sarana serta prasarana sekolah, amat kurang karena keterbatasan anggaran pemerintah. Hingga kini belum ada kemauan politik untuk merealisasi anggaran pendidikan yang idealnya sekitar 20% dalam APBN, sehingga tak aneh kalau banyak program di bidang pendidikan yang tidak berjalan. Swasta yang diharapkan ikut terlibat pun setali tiga uang alias sami mawon. Gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA) hanya ramai pada saat peresmian. Selanjutnya, dingin-dingin saja. Untuk itulah sangat penting artinya menyegarkan kembali berbagai upaya mendukung program wajib belajar sembilan tahun. Terutama kembali menggalakkan gerakan nasional orang tua asuh untuk menanggulangi angka putus sekolah kian membengkak di tengah anggaran pendidikan yang belum memuaskan. Kita ketuk hati orang-orang yang berkelebihan, perusahaan-perusahaan swasta, serta badan usaha milik negara (BUMN) agar membantu pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun. Kedua, menggalakkan sanggar-sanggar kegiatan belajar yang berbasiskan masyarakat. Sarana itu dibentuk, dikelola, dan dikelola secara mandiri oleh kelompok-kelompok masyarakat. Model pendidikan nonformal semacam kelompok belajar paket A, B, dan C yang setara SD, SLTP, dan SLTA juga sangat membantu dalam memberantas sekaligus mencegah buta huruf. Namun lebih ditekankan pada swadaya masyarakat di tengah kemampuan dan daya jangkau pemerintah yang masih terbatas. Di sinilah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan bisa memainkan peran utamanya sebagai motivator dan fasilitator. Khusus di daerah-daerah terpencil, tokoh masyarakat dan pendidik di daerah tersebut atau yang berdekatan bisa dimanfaatkan untuk mengajari baca tulis warga yang masih buta huruf. Dana penyelenggaraannya baik untuk pengadaan peralatan maupun sekadar uang lelah bagi tutornya bisa diambilkan dari kas desa atau sumbangan orang-orang yang lebih mampu. Ketiga, mendorong penerbit meningkatkan penerbitan buku-buku yang terjangkau oleh masyarakat bawah dari segi harga. Pemerintah bisa membantu para penerbit melalui pemberian keringanan pajak serta penyediaan kertas yang murah tetapi berkualitas cukup baik. Setiap tahun produksi buku di Indonesia baru berkisar 10 ribu judul, sedangkan di Malaysia dan Singapura sudah dua kali lipatnya lebih.

Di samping itu, menggalakkan pendirian perpustakaan hingga pelosok-pelosok desa. Organisasi semacam PKK, remaja masjid, karang taruna, bahkan posyandu bisa didayagunakan. Buku-buku dan bahan bacaan lainnya bisa diperoleh dari berbagai lembaga atau perorangan, sedangkan tempatnya bisa di masjid, balai desa, atau rumah pengurus. Dari upaya tersebut kita berharap budaya baca akan merasuk di kalangan masyarakat di tengah kemerebakan budaya nonton akibat serbuan stasiun-stasiun televisi swasta. Setelah lepas dari buta huruf kemampuan dan minat membaca perlu ditingkatkan. Survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) pada tahun 1992 menunjukkan minat baca rakyat Indonesia ada di peringkat 27 dari 32 negara. Sementara itu hasil survei Departemen Pendidikan Nasional (1995) menyebutkan 57% pembaca hanya sekadar membaca tanpa memahami dan menghayati apa yang dibaca. Padahal membaca akan bermanfaat jika seseorang sudah memahami sesuatu karena kegiatan itu dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman atas bacaannya. Berpijak pada ungkapan Sekretaris Jenderal PBB bahwa membaca dan menulis merupakan alat penting untuk meningkatkan kesejahteraan, kita mesti serius menangani persoalan buta huruf. Menumpukan pada peran pemerintah saja tidak cukup, tetapi seluruh komponen masyarakat harus bergerak membantu program pemberantasan buta huruf. (Bambang Tri Subeno, wartawan Suara Merdeka di Semarang-27)

Anda mungkin juga menyukai