Anda di halaman 1dari 4

Sejak beberapa tahun terakhir terjadi kekurangan daya

listrik di beberapa daerah. Walaupun Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah ada
program untuk mengatasi, namun belum dapat dipastikan apakah akan segera
berakhir. Terjadinya kekurangan daya listrik sejak beberapa tahun terakhir
mungkin tak dapat dipisahkan dari beberapa peristiwa. Pertama, kriasis moneter
tahun 1998 yang mengakibatkan PLN mendadak mengalami “koma” Biaya produksi
meningkat beberapa kali lipat (besarnya komponen valuta asing) sementara tarif
listrik baru dinaikkan pada 2003.Kedua lahir nya UU 20/2000
tentang Ketenagalistrikan yang melepaskan posisi PLN sebagai Pemegang Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan (PKUK). Sesuai semangat otonomi daerah tanggung jawab
mengatasi kekurangan daya dalam UU tersebut ada pada pemerintah daerah.Ketiga
kenaikan
harga BBM pada 2005 menyusul kebijakan dihapuskannya Subsidi BBM untuk
industri, memperberat beban PLN yang baru saja siuman dari “Koma” karena masih
banyak pembangkit yang mengandalkan BBM. Disisi lain, membuat PLN pada poisisi
yang dilematis dalam mengatasi krisis. Sebab yang paling mudah dan cepat
dilakukan adalah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Listrik Tenaga Listrik
Diesel (PLTD) yang digerakkan BBM namun biayanya mahal. Dalam usaha tenaga
listrik, terjadinya krisis
dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu kurangnya kapasitas sarana sarana jaringan
pembangkit dan jaringan sehingga tidak mencukupi untuk operasi yang andal
gangguan atau kerusakan tak terduga pada sarana kenagalistrikan seperti akibat
bencana alam serta terganggunya pasokan energi pada sebagian pembangkit.Krisis
penyediaan listrik di Sumut, Sumatera Bagian Selatan, Kalbar, Kaltim, dan
sebagian Sulewesi sejak beberapa waktu lalu, serta beberapa waktu lalu serta
beberapa gangguan pasokan di Jawa – Bali akhir - akhir ini, semuanya berkaitan
dengan kurangnya kapasitas sarana yang ditandai dengan margin cadangan
pembangkit yang sudah minim. Kurangnya kapasitas sarana tersebut terjadikarena
tidak terlaksananya pembangunan tambahan sarana sesuai waktu dan kapasitas yang
direncanakan.Selama periode
2000 – 2005, penjualan tumbuh sekitar 6% - 7% per tahun.sedangkan, tambahan
sarana kelistrikan jauh diabawahnya, bahkan sampai 2003 praktis tidak ada
tambahan sarana baru.

Cadangan Negatif

Di daerah
yang padam bergilir, seperti di Sumut, kenyataan cadangan sudah negatif.
Sementara itu, didaerah sesekali mengalami kekurangan daya seperti di Jawa dan
Bali, cadangan sudah dibawah tingkat minimum, yaitu dibawah 25%.Kondisi krisis
kurangnya kapasitas ini sudah terindikasikan 3-4 tahun sebelum kurang daya
terjadi. Begitu jadwal mulai pembangunan sarana pembangkit dan jaringan tidak
terlaksana tepat sesuai rencana, ketika itu sudah dapat diperkirakan dampaknya
pada kecukupan daya 3-4 tahun kedepan.Ketika UU 20/2002 dibatalkan pada akhir
2004, PLN kembali menjadi PKUK. Namun, kondisi keuangan tidak memungkinka PLN
langsung dapat memulai pembangunan. Keputusan pembangunan untuk mengatasi
krisis dan mengurangi beban biaya BBM baru dapat dilakukan setelah pemerintah
turun tangan dengan Perpres. 71/2006 tentang pembangunan PLTU Batu Bara 10.000
mega watt (MW).Hal yang mendasar untuk menghindari krisis adalah memastikan
bahwa pembangunan sarana pembangkit yang mencukupi pada waktunya (n -4 sampai
n-3). Kalau kita tidak mau mengalami krisis listrik pada tahun 2012, harus
dipastikan bahwa 2008-2009 sudah dimulai pembangunan seluruh sarana yang
diproyeksikan perlu beroperasi sesuai kebutuhan untuk melayani penjualan pada
2012. Untuk menjaga tidak terjadi krisis, maka jika beban tumbuh rata – rata 7%
pertahun, sarana juga harus tumbuh minimum 7% pertahun.Mencermati paparan
tersebut, krisis monoter dan kenaikan harga BBM, sebenarnya bukanlah penyebab,
tetapi faktor yang memperburuk krisis. Penyebab krisis yang sesungguhnya adalah
ketidakmampuan melakukan investasi pengembangan sarana yang telah
diproyeksikan. Ketidakmampuan tersebut terutama terkait dengan kesehatan
keuangan PKUK. Hal itu terkait dengan industri ketenaga listrikan kita, diatur
dengan mekanisme tarif yang ditetapkan
pemerintah, dan PKUK diberi subsidi. Jadi kunci kesehatan keuangan ada pada
regulasi tarif dan subsidi tersebut.

Menghindari Krisis Listrik

Statistik
ekonomi dan energi dunia memperlihatkan bahwa perekonomian suatu negara
berkaitan secara langsung dengan konsumsi energinya. Data tahun 2003 dari The
Institute of energie economic of Japan menunjukan, Amerika Serikat yang
pendapatan (GDP) perkapita per tahunnya US $ 35.566, Konsumsi energi listriknya
10.000 kWh (kilo watt Jam) perkapita per tahun. Gabungan negara uni eropa yang
GDP perkapitanya US $ 18.800 per tahun, konsumsi listriknya 5.725 kWh perkapita
per tahun. Tiongkok dengan GDP perkapita US $ 1.067, konsumsi listriknya 1.140
kWh perkapita pertahun, sedangkan Malaysia yang GDP perkapitanya US $ 4.011 per
tahun, konsumsi listriknya 2.959 kWh perkapita pertahun. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memerlukan pertumbuhan penyediaan tenaga
listrik, atau dengan kata lain tenaga listrik merupakan suatu yang mutlak
tersedia dengan cukup. Mungkin karena itu, umumnya negara industri sangat
mengutamakan ketersediaan listrik dan menetapkan bahwa security of supply sebagai
kebijakan utama. Kelistrikan Singapura,
misalnya, dengan beban puncak 4.500 MW, memiliki cadangan kapasitas sekitar
70%.Berkaitan dengan pentingnya menjaga kecukupan listrik, seorang pembicara
dalam suatu seminar tentang investasi yang berlangsung di Jakarta tahun 2000
mengatakan, ”No electricity is more
expensive than expensive electricity”. (Kekurangan listrik lebih mahal
daripada listrik yang mahal).Untuk Indonesia yang rasio elektrifikasinya masih
60% dan perekonomiannya tumbuh sekitar 6% per tahun, tak dapat dielakkan bahwa
permintaan tenaga listrik akan naik melebihi 6%. Beberapa tempat bahkan
tercatat naik sekitar 10 sampai 11 persen per tahun.Untuk menghindari krisis,
harus dipastikan bahwa kapasitas sarana ketenagalistrikan minimum tumbuh pada
tingkat yang sama, dan kalau sistem dalam kondisi krisis, diperlukan
pertumbuhan yang lebih besar. Dengan demikian, margin cadangan kapasitas
minimum 30% dapat dicapai.

Mengingat
konsumsi listrik potensial tumbuh 7% per tahun, untuk menghindari krisis akibat
keterlambatan investasi atau pembangunan sarana, idealnya cadangan dijaga
sekitar 40-50 persen (10-20 persen di atas cadangan minimum). Agar dapat
memastikan cadangan kapasitas secara berkesinambungan, harus dapat dipastikan
terjadinya pembangunan sesuai jadwal. Dan untuk membuat pembangunan terjadi
sesuai jadwal, harus dapat dipastikan tersedianya dana investasi. Untuk dapat
memastikan tersedianya pendanaan investasi diperlukan kesehatan keuangan PKUK
sehingga layak dan mudah meminjam, serta dapat menyediakan dana pendamping,
sehingga tidak 100% mengandalkan pinjaman.Untuk beberapa tahun ke depan,
idealnya terjadi tambahan kapasitas minimum 3.000 MW per tahun, dan ini
memerlukan investasi rata-rata US $ 5 miliar per tahun. Jika listrik swasta dapat
berpartisipasi 30%, PLN harus berinvestasi rata-rata US $ 4 miliar per tahun.
Jika investasi yang dilakukan kurang dari jumlah tersebut, pertanda akan
terjadi kekurangan kapasitas sarana sekitar 3-4 tahun ke depan.Dari kebutuhan
investasi US $ 4 miliar tersebut, supaya dapat dan layak meminjam, PLN minimum
harus menyediakan 25% dana pendamping dari modal sendiri atau sekitar US $ 1
miliar. Merujuk kondisi keuangan tahun 2006, dengan total biaya produksi
sekitar US $ 10 miliar, untuk memastikan tersedianya investasi dan pembangunan
yang berkesinambungan, perlu memberi margin laba (untuk modal pembangunan
sarana) sekitar 10% (US $ 1 miliar). Jika marginnya tidak ada atau kurang,
kepastian atau kecukupan pendanaan akan terganggu. Untuk menghindari krisis
listrik (memastikan investasi), ke depan diperlukan regulasi yang secara lebih
jelas mengatur besarnya margin tersebut.Salah satu upaya untuk mencegah
berulangnya krisis tenaga listrik di masa yang akan datang, dapat (perlu)
dilakukan dengan menetapkan kebijakan dan langkah antara lain membuat konsensus
bersama pemangku kepentingan (pemerintah dan DPR) bahwa untuk mengamankan
perekonomian nasional dan mencapai pertumbuhan ekonomi, listrik harus selalu
tersedia dengan cukup, dan menetapkan kebijakan utama security of supply.Sejalan
dengan kebijakan tersebut, pemerintah perlu menetapakan (memastikan) rencana
pembangunan sarana pembangkit dan jaringan, mewajibkan PKUK (PLN) memenuhi
jadwal pembangunan tersebut, serta mengawasi dan mengambil tindakan jika terjadi
keterlambatan jadwal.Kepada PKUK diberikan revenue
(tarif ditambah subsidi) dengan suatu margin laba yang memadai, sehingga PKUK
memiliki kemampuan untuk melakukan investasi pengembangan sarana secara
berkelanjutan. Margin laba tersebut idealnya memenuhi keperluan modal sendiri
dan kelayakan meminjam dari lembaga keuangan, ataupun mendapatkan dana dari
pasar modal.Untuk industri ketenagalistrikan yang tidak menerapkan mekanisme
pasar, besarnya margin tersebut sebaiknya diatur dengan suatu peraturan
pemerintah, sehingga mendukung kepastian investasi.Dengan tarif yang ditetapkan
pemerintah sesuai UU 15/1985 tentang Ketenagalistrikan, UU 19/2003 tentang
BUMN, pemerintah selama ini telah menutupi kerugian dan memberikan margin
kepada PLN. Namun, besarnya margin yang diberikan sepertinya belum
memperhatikan kecukupan untuk mampu membangun sarana secara berkelanjutan agar
terhindar dari kekurangan kapasitas sarana, dan belum ada pengaturannya. (sumber
: Harian Suara Pembaruan, Senin Tgl 30 Juni 2008)

Anda mungkin juga menyukai