Anda di halaman 1dari 3

HARUS OPTIMIS…!!

Beberapa waktu yang lalu, harga minyak dunia sempat menembus angka diatas 100 dolar

per barel. Kenaikan ini dipicu oleh krisis subprime mortgage atau krisis kredit

bermasalah disektor properti di Amerika Seriakat.

Hal ini tentu saja sangat memukul perekonomian di negara-negara berkembang

khususnya Indonesia. Bagaimana tidak, bangsa Indonesia yang masih diselimuti krisis

ekonomi yang tak kunjung usai harus menerima kenyataan pahit yakni melambungnya

harga minyak dunia diatas 100 dolar per barel. Padahal, pemerintah saat ini mensubsidi

BBM dengan asumsi harga 60 dolar per barel, secara otomatis dengan kenaikan harga

minyak dunia tersebut pemerintah harus berfikir ulang untuk menemukan formula baru

dalam menutupi APBN. Walaupun dalam revisi APBN 2008 pemerintah menggunakan

asumsi 95 dolar per barel, tidak menutup kemungkinan harga tersebut akan terus meroket

seiring dengan tingkat kebutuhan minyak dunia yang semakin tinggi. Artinya pemerintah

saat ini harus tetap waspada mengantisipasi setiap perkembangan yang terjadi di luar

sana.

Seperti yang dikemukakan oleh Prof Steve H Hanke seorang pakar ekonomi dunia,

Indonesia dinilai tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam menghadapi krisis global.

Anggaran pembelanjaan negara yang seharusnya menjadi semacam gameplan alias

jantung dari semua kebijakan bisnis memang tidak bisa mengcover segala kebutuhan

rakyat Indonesia. Akibatnya, subsidi untuk BBM dan listrik pun meningkat seiring

melonjaknya harga minyak dunia. Yang lebih ditekankan adalah bagaimana pemerintah

saat ini bisa mematok kisaran harga minyak dunia dengan angka yang aman dan realistis.
Disatu sisi rakyat Indonesia memang belum cukup siap untuk menerima kenyataan

bahwa harga minyak dunia saat ini sangat tinggi, namun disisi lain pemerintah harus

menemukan jalan keluar akan permasalahan fundamental perekonomian bangsa ini.

Terlepas dari itu semua, opsi kenaikan harga BBM dalam rangka mengurangi beban

pemerintah dalam APBN bukanlah sebuah alternatif, pasalnya jika pemerintah saat ini

mau melihat jauh keluar masih banyak cara lain yang bisa diambil. Seperti kekayaan

sumber daya alam yang belum tergali maksimal misal, minyak bumi, tambang emas,

timah, batu bara dan lain-lain bisa dikonversikan menjadi subsidi ataupun konsumsi, juga

kekayaan alam tersebut hendaknya diprioritaskan untuk kemakmuran seluruh rakyat.

Bukan dieksploitasi untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu saja.

Disini menuntut ketegasan pemerintah akan arah kebijakan perekonomian yang tetap

berorientasi pada masa yang akan datang. Tidak hanya itu, pemerintah harus berani

melakukan revolusi kebijakan dibidang ekonomi, seperti renegoisasi dengan para investor

minyak tentang bagi hasil, perbaikan kebijakan cost recovery, konversi BBM ke gas

untuk penyediaan barang dan jasa publik, membatasi produksi barang-barang konsumsi

(mobil&motor) namun sebaliknya sebarkan pembangunan infrastruktur ke wilayah-

wilayah yang masih belum tersentuh pembangunan seperti Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi, Irian jaya mengingat saat ini kegiatan perekonomian sekitar 70 persen masih

terpusat di Jawa. Pembangungan infrastruktur sangat penting karena ini akan menjadi

jembatan bagi pendistribusian uang dari pusat ke daerah.

Sebagai bangsa yang besar, bangsa ini harus tetap optimistis menatap masa depan yang

lebih baik. Jangan hanya karena analisis seorang pakar ekonomi dunia menjadikan kita

berkecil hati dan tidak berani melakukan langkah-langkah strategis dibidang ekonomi.
Karena yang tahu permasalahan bangsa ini adalah pemerintah dan rakyat itu sendiri,

bukan seorang pengamat atau pakar ekonomi dari negara lain. Walaupun bangsa ini

bukan merupakan pemain kunci dari perekonomian global, tetapi setidaknya bangsa ini

mempunyai fondasi perekonomian yang kuat, sehingga dikemudian hari bangsa

Indonesia menjadi salah satu peta kekuatan ekonomi yang disegani didunia.

Nama : Septiandi

NIM : D 600 040 030

* Penulis adalah mahasiswa Teknik Industri angkatan 2004 Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai