Syamsidah
ABSTRAK Peran publik perempuan kini semakin bertambah setelah Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum. Dalam UU ini perempuan diberi peluang sebesar 30 % untuk mengisi jabatan-jabatan penting dalam sturuktur kekuasaan di parpol maupun di legislatif. Peran yang bertambah tersebut memberi sebuah gambaran adanya suatu perubahan yang diduga kuat akibat pada berubahnya tataran konsep dan inplementasi ketergantungan (devendence) menjadi konsep saling ketergantung (interdevendensi). Perempuan yang selama ini tergantung kepada pria secara bertahap telah berubah. Agar saling ketergantungan bisa langgeng maka kerangka sistem harus terus terbangun melalui berfungsinya sub-sub sistem, hingga mencapai titik keseimbangn yang disebut dengan equlibriun. Key Words : Fenomena, Perempuan dan Pemilu PENDAHULUAN Zaman kini telah berubah, khususnya perempuan timur yang taat meng-genggam adat istiadat. Undang-Undang (UU) Nomor
perempuan terus melaju menembus sekatsekat yang selama ini mem-belenggu dirinya. Kalau kemarin perempuan sudah menghiasi peran publik dibidang
10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Rakyat Rakyat, dan Daerah Dewan Dewan (pemilu
Perwakilan Perwakilan
kesehatan, pendidikan, perbankan, dan beberapa bidang kesra lainnya, kini peran itu diperluas lagi merambah bidang
legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di
kekuasaan, suatu jalan terjal dan pilihan hidup yang selama ini menjadi tabu,
159
Home Ec
Syamsidah
lembaga perwakilan rakyat. Pasal 8 butir dalam UU Nomor 10/2008, misalnya, penyertaan sekurang-
juga
tentang
penyusunannya
yang
memperhatikan keterwakilan perem-puan paling rendah 30%. Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%). PERAN PEREMPUAN Realitas sosial di atas meskipun belum maksimal tetapi telah memberi sebuah gambaran adanya suatu perubahan yang diduga kuat akibat pada berubahnya tataran konsep dan inplementasi menjadi
menyebutkan
kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan per-sentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan 30% parpol
ketergantungan konsep
(deven-dence)
saling
keter-gantung
menyertakan
keterwakilan
(interdevendensi). Perempuan yang selama ini tergantung kepada pria hingga menjadi warga kelas dua, yang dalam banyak aspek
160
Home Ec
Syamsidah
kehidupan termarjinalkan oleh berbagai kebijakan , dan menjadi sub ordinat dari pria.kini secara bertahap telah berubah. Tetapi meskipun perempuan telah dibukakan akses untuk berpartisipasi, termasuk dalam bidang politik, kendala yang dihadapi di lapangan sangat
perempuan untuk berpartisipasi maksimal dalam bidang politik, dan kalau ini tidak diantisipasi dengan baik, maka perempuan akan selamanya menjadi warga kelas dua, meskipun sebenarnya mereka memilki potensi diri yang luar biasa, (Budiman,A 1995). Memang disadari bahwa selama ini upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak terlalu menitip beratkan perhatian pada pendekatan psikologis, melihat perempuan sebagai individu yang serba kurang dilihat aspek sumber daya manusianya, mereka tidak berdaya karena kurang pendidikan, lemah dari segi pisik, dan ekonomi, serta berbagai atribut steriotipe yang melekat pada dirinya. Upaya dengan asumsi-asumsi di atas, ternyata menimbulkan berbagai
berpengaruh misalnya perempuan dinilai masih belum terbiasa berkompetisi publik setelah dideskreditkan sejak dulu oleh konstruksi sosial dan cultural dan
percaya diri bertanding dengan laiki-laki setelah terjadi pembunuhan karakter pembahwa
(character bentukan
assumsination) label
dan
(stereotype)
perempuan lemah dan secara kodrati hanya di ruang domestic saja, sementara dunia politik adalah dunianya laki-laki, ( Nurcahaya, 2009). Kendala-kendala tersebut di atas tentu saja bisa memudarkan impian kaum
hambatan, karena ada sesuatu yang justru sangat berpengaruh pada diri perempuan yaitu faktor sistem dan struktur sosial. Faktor ini berasumsi bahwa masalah
161
Home Ec
Syamsidah
perempuan bukan disebabkan oleh diri perempuan yang serba terbatas, akan tetapi mereka selama sosial ini telah yang mengalami
Diterbitkan atas ker-jasama Rifka Annisa Women Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar, Jokyakarta, Aliran pertama yakni aliran
konstruksi
menempatkan
perempuan
terkebelakang
bahwa munculnya
permasalahan kaum
disebabkan oleh individu, dan asumsi kedua disebabkan oleh konstruksi social, dua pendekatan ini menjadi perdebatan memang sering dan mengilhami
perempuan disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia kaum perempuan itu sendiri, dan hal tersebut mengakibatkan ketidak mampuan kaum perempuan bersaing dengan laki-laki
kajian perempuan di pusat-pusat studi perempuan. Perbedaan-perbedaan itu pula yang dalam satu dasawarsa terakhir ini membuat gerakan feminisme membangun paradigma baru yang disebut dengan kesetaraan gender (gender equality). Dari uraian di atas nampak dengan jelas bahwa pendekatan yang selama ini dipergunakan dalam upaya menangani masalah perempuan adalah aliran feminis
pemikir
pertama adalah pendekatan pengentasan kemiskinan, dimana dasar pemikirannya adalah bahwa perempuan menjadi miskin karena mereka tidak produktif sehingga perlu diciptakan bagi proyek kaum peningkatan perempuan.
pendapatan
162
Home Ec
Syamsidah
itu
permasalahannya
bukan
terletak
dikaum perempuan , tetapi dalam idiologi, system, sturuktur yang bersumber dari ketidak adilan gender (gender inequality). Oleh sebab itu yang menjadi setiap tujuan setiap kegiatan atau setiap bukan program sekedar atau
mengalami kegagalan karena perempuan tidak dilibatkan, jadi pelibatan itu sendiri demi efisiensi pembangunan, dan
kegiatannya demi semata-mata memenuhi kebutuhan praktis perempuan. Aliran kedua adalah yang
bukan
praktis
menitipberatkan perhatian pada hubungan (sturuktur) sebagai gender, mulanya muncul alternative oleh pemikiran sebagian yang kecil
perempuan,
dikembangkan
memperjuangkan perubahan posisi kaum perempuan, termasuk menentang hegemini kaum pria dan melawan diskursus yang telah kaum
kalangan LSM. Gender sebagai konstruksi social, yang telah disosialisasikan sejak lahir , ternyata telah memberi kontribusi ketidakadilan manisfestasi (inequalities) ketidak adilan dari itu
keyakinan
perempuan dan laki-laki Usaha yang lebih menekankan pada pemberdayaan (empowerment) dan
pembangunan, mekanisme pengambilan keputusan metode riset birokrasi, , maupun epistemology, pelaksanaan
163
Home Ec
Syamsidah
berbagai pola di dalamnya, sturuktursturuktur tersebut saling menciptakan ketergantungan (interdevendensi) antara
peran domestik menjadi peran publik status dan peran. Karena status dan peran dengan berbagai implikasi yang itu berbeda-beda maka maka secara ditimbulkan memang sangat di-pengaruhi sturuktural fungsi status itu pun berbedaoleh satu perubahan sosial. Perubahan beda. sosial itu sendiri terjadi karena adanya sub Masyarakat adalah sebuah sistem, sistem dalam sistem sosial yang dan setiap sistem itu memiliki fungsi mengalami perubahan fungsi, sehingga sendiri-sendiri, dilain sisi ada struktur dan fungsi sub sistem lain tidak berjalan sistem lain, sistem-sistem inilah bisa sebagaimana pergeseran dianggap diharapkan, peran sebagai wanita biang akibtanya menciptakan equilibriun jika kebetulan seringkali sistem terjadinya dalamnya, tetapi sebalik-nya jika terjadi disharmoni dalam keluarga, munculnya perbedaan maka akan berakibat pada patologi sosial terhadap anak, dan ketidak seimbangan ) disequilibrium. berbagai penyakit sosial serta disintegrasi Baik pendekatan psikologis yang sosial dalam masyarakat. menekankan Sebagaimana diketahui bahwa perempuan, maupun pendekatan cultural dalam struktural fungsional approach yang menekankan pada pencitraan wanita seperti Parson( dikemukakan Ritzer,2004) oleh bahwa Talcot sebagai manusia seutuhnya semuanya dalam berawal dari konsep modernisasi. Menurut masyarakat terdapat stutruktur dengan konsep ini bahwa masyarakat, khususnya pada pemberdayaan lama terdapat kesamaan di
164
Home Ec
Syamsidah
di Negara berkembang bisa maju jika ia memulai pembangunan manusia pada sisi mentalitas, sebab selama ini meskipun diberi berbagai kebijakan misalnya modal dan teknologi, mereka tidak bisa berhasil karena mentalnya tidak cocok dengan pranata pisik dan sosial yang modern. Kedua, jika masyarakat di dunia ketiga ingin maju maka terlebih dahulu harus memperbaiki sistem dan nilai yang ada di masyarakat, sistem mana harus pula cocok dengan nilai-nilai yang berasal dari
mandiri dan tidak menggantungkan lagi hidupnya pada kaum pria, (Alfian, 2000). Sumber daya manusia yang rendah sebagai bagian dari pendektan psikologi, ternyata juga belum cukup untuk
mengantar perempuan kearah perbaikan hidup yang lebih baik, sebab masalahnya bukan hanya itu, perempuan tetap
terhambat oleh konstruk social yang menganggap bahwa perempuan kerjanya memang hanya dibidang domestik, sedang laki-laki di luar rumah atau peran publik. Tapi apakah hambatan-hambatan di atas, bila diterapi dengan konsep
sumber modernisasi yaitu Negara-negara Barat (Frank.A, 2000). Masyarakat di Negara ber-kembang, termasuk perempuan meng-alami
modernisasi, akan menyelesaikan masalah perempuan, ternyata oleh penganut teori devendensi menyang-sikan hal itu, sebab menurut teori ini bahwa modernisasi dalam pelak-sanaannya di banyak Negara berkembang, bukan mengantar kearah perbaikan hidup, malah sebaliknyua justru menciptakan ketergantungan kepada
keterbelakangan karena sumber dayanya memang sangat rendah, pola pikir, sikap dan perilakunya tidak mendukung kearah kemajuan, karena itulah perlu upaya yang sungguh-sungguh agar mereka diberi
165
Home Ec
Syamsidah
Negara-negara (Dove,1985).
Barat
dan
Amerika
saling
ketergantung Perempuan
(interyang
devendensi).
Tetapi terlepas dari itu semua, yang jelas bahwa perubahan kearah kemajuan untuk perempuan telah menemukan titik terang meskipun itu masih perlu
selama ini tergantung kepada pria secara bertahap kini ubah. telah ber-
perjuangan. KESIMPULAN
1. Peran
perempuan bukan
kini saja
telah pada
berfungsinya
berkembang,
ranah domestik dan publik yang berkaitan dengan masalah-masalah kesra, akan tetapi juga telah
equlibriun. DAFTAR PUSTAKA Alfian, 2000. Transpormasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Nasional, Universitas Jakarta: Indonesia Press. Budiman,A. 1995. Teori Pembangunan dan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia. Dove, Michael R (ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisas.. New York. Frank,A. Gunder.2000. Sosiologi Pembangunan Dan Keterbelakangan. Jakarta: Pustaka Pulsar.
melintas dan muncul dalam dunia politik. Ini disebabkan aktifis oleh
perjuangan hingga
perempuan berbagai
me-lahirkan
2. Munculnya
perempuan
dalam
banyak aktifitas juga tidak bisa dilepaskan dari perubahan konsep dan inplementasi keter-gantungan (devendence) men-jadi konsep
166
Home Ec
Syamsidah
Julia CleveMosse, 1996, Gender dan Pembangunan, Diterbitkan atas kerjasama. Yogyakarta: Rifka Annisa Women Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar.
aslinya Modern Sociological Theory Oleh Alimandan, Jakarta: Perana Media. Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Alih Bahasa Oleh Alimandan. Prenada. Nurcahaya, 2009, Kendala Politik yang dihadapi Perempuan, Artikel Harian Fajar 2009.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern, Diterjemahkan deri Karya
167