Anda di halaman 1dari 4

Pembangunan Air Minum dan Kemiskinan Oswar Mungkasa

Abad ke-21 dimulai dengan sebuah kondisi pembangunan manusia yang mendasar yang belum tertanggulangi, yaitu akses kepada layanan air minum, khususnya bagi penduduk miskin di daerah kumuh perkotaan. Sementara akses ke air minum merupakan sumber daya atau modal dasar bagi keberlangsungan hidup. Akses ke air minum merupakan salah satu komponen dalam klasifikasi kemiskinan (Howard, 2004). Kegagalan dalam penyediaan air membawa dampak ke semua kelompok. Akan tetapi, yang paling besar dampaknya adalah terhadap penduduk miskin kota sehingga mereka semakin tidak mampu keluar dari siklus kemiskinan. Beberapa faktor ditengarai menjadi penyebab minimnya akses air minum, khususnya bagi penduduk miskin, yaitu sebagai berikut. (i) Lahan yang ditempati bukan merupakan miliknya yang sah. Pada daerah perkotaan, penyedia layanan air minum tidak melayani daerah permukiman liar, dengan pertimbangan akan memberi legitimasi dan alasan bagi penduduk untuk terus menempati lokasi tersebut. Walaupun kebijakan nasional menyatakan bahwa air minum diperuntukkan bagi semua orang, dalam prakteknya hal ini tidak akan terjadi pada penduduk di permukiman liar. (ii) Kemampuan penduduk miskin sangat terbatas untuk membayar biaya sambungan sekaligus di depan. Keterbatasan kemampuan untuk membayar biaya sambungan itu akan berakibat bahwa penduduk miskin tidak akan pernah memperoleh layanan air perpipaan. Harga satuan air perpipaan jauh lebih rendah dari air yang dijajakan keliling, tetapi biaya sambungan air perpipaan mahal (McIntosh, A. C, 2003). (iii) Ketika tanggung jawab penyediaan air minum dialihkan ke swasta, kepentingan penduduk

miskin bukan menjadi perhatian.


Perusahaan penyedia layanan air minum swasta tidak tertarik melayani penduduk miskin sebab penduduk miskin berkonsumsi rendah, mereka tidak mampu membayar biaya pemasangan sekaligus di depan. Di samping itu, mereka sering berlokasi di kawasan permukiman liar.

(iv) Bagi sebagian besar pengambil keputusan, penduduk miskin dianggap tidak mampu dan/atau tidak mau membayar.
Penduduk miskin dianggap tidak mampu untuk membayar. Walaupun demikian, pada saat tertentu seperti menjelang pemilihan umum, penduduk miskin perkotaan memperoleh perhatian berupa janji perbaikan lingkungan dan penyediaan air gratis.

(v) Lokasi tempat tinggal jauh dari jaringan perpipaan.


Ketika penduduk berlokasi di kawasan kumuh, atau berjarak jauh dari jaringan perpipaan, akses air minum menjadi berkurang. Kekurangan air dan sanitasi berdampak pada kemiskinan melalui empat dimensi, yaitu (a) kesehatan, (b) pendidikan, (c) jender, dan (d) pendapatan dan konsumsi (Bosch, Hommann, Sadoff dan Travers, 2000). Hal itu selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Ketika penduduk miskin tidak memperoleh akses air minum, penduduk miskin khususnya di perkotaan menanggung konsekuensinya, di antaranya berupa (Johnstone dan Wood, 1999) (i) Meningkatnya biaya bagi yang tidak memperoleh akses. Ketika penduduk tidak memperoleh akses, mereka mencari alternatif lain yang lebih mahal. Masyarakat miskin membeli 5-30 liter air per kapita/hari melalui "perantara" seperti pemilik rumah, kios air, dan penjaja keliling dengan harga yang jauh lebih mahal. Penduduk menghabiskan dana sekitar 10-40 persen dari pendapatan untuk air minum dan mungkin membayar 10-100 kali tarif rata-rata (Black, 1996). Sementara itu, RT pelanggan air perpipaan umumnya hanya mengeluarkan kurang dari 2 persen (Satterwaithe, 1998). Hal itu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Sebagai perbandingan, di negara maju, pengeluaran air berkisar pada 0,5 sampai 2 persen dari pendapatan rata-rata (1,3 persen di Jerman dan Belanda, 1,2 persen di Perancis). Air minum dianggap mahal jika pengeluaran melampaui 3 persen dari pendapatan rata-rata penduduk (Water Academy, 2004). (ii) Berkurangnya konsumsi air. Semakin besar biaya, waktu dan usaha yang dibutuhkan bagi konsumsi air, air yang dikonsumsi penduduk miskin kemungkinan semakin jauh dari kebutuhan minimal.

(iii) Bertambahnya beban kesehatan dan timbulnya biaya ekonomi karena hilangnya produktivitas. Kekurangan akses ke air minum berkaitan ke penyakit baik yang langsung

maupun yang tidak langsung. Banyak penduduk miskin terjangkit penyakit disebabkan oleh kurang layaknya air yang dikonsumsi. Akibatnya, sebagian besar pendapatan habis untuk penanggulangan kesehatan sehingga tidak cukup tersedia dana untuk kegiatan produktif. Selain itu, penduduk yang menderita sakit diare atau yang merawat keluarga yang sakit tidak akan dapat bekerja, yang berarti hilangnya produktivitas. (Surjadi, 2003)

Karakteristik pasar air minum di antara komunitas miskin menunjukkan hal-hal sebagai berikut. (i) Kinerja penyedia air minum yang rendah lebih menyengsarakan penduduk miskin dibandingkan yang kaya. Penduduk miskin biasanya tergantung pada gaji harian sehingga waktu yang terbuang untuk memperoleh air akan mengurangi kesempatan memperoleh penghasilan. (ii) Penduduk miskin membayar lebih besar untuk air minum. Meskipun terdapat

persepsi bahwa penduduk miskin tidak mampu membayar, kenyataannya mereka membayar lebih besar daripada penduduk kaya, seperti membeli air dari penjaja keliling dengan harga yang lebih mahal. (iii) Penyedia alternatif merupakan jalan keluar bagi penduduk miskin untuk mendapatkan layanan. Tingginya kebutuhan air yang tidak terlayani oleh penyedia air perpipaan memungkinkan penyedia skala kecil mengembangkan inovasi, seperti kios air, penjaja keliling, jaringan independen, dan lain-lain. (iv) Ketersediaan dana tunai merupakan isu dalam mendapatkan layanan air minum. Penduduk miskin cenderung membayar tidak teratur dan dalam jumlah kecil sesuai dengan ketersediaan dana mereka. (v) Pemilikan lahan merupakan kendala mendapatkan layanan (Kariuki, 2000). Program pembangunan air minum dapat menanggulangi kemiskinan melalui 2 cara, yaitu (i) mengurangi biaya layanan dasar, dan (ii) mengurangi beberapa risiko penyebab menurunnya kondisi kesehatan masyarakat yang dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat (Cain, 1998). Namun, aspek pertama yang terkait langsung dengan kondisi ekonomi yang sering dikemukakan adalah berupa peningkatan pendapatan yang dapat digunakan untuk keperluan selain air minum. Kaitan ini dijelaskan secara nyata melalui ilustrasi berupa peningkatan pendapatan penduduk miskin setelah penduduk miskin tersebut beralih dari mengonsumsi air yang dibeli dari penjual keliling ke air perpipaan. Ketika pemerintah maupun swasta berkeinginan memberikan layanan air minum pada penduduk miskin, faktor yang menjadi kepedulian penduduk miskin perlu mendapat perhatian. Terdapat tiga hal yang menjadi kepedulian utama dari penduduk miskin. a. Harga air. Rumah tangga miskin lebih tertarik pada harga air yang rendah dan penerapan skema subsidi silang.

b. Ekspansi sistem distribusi.

c. Tingkat layanan (kualitas air, lama layanan, sistem penagihan dan lainnya).

Rumah tangga miskin akan lebih memberi perhatian pada besarnya biaya sambungan dan cara pembayaran biaya sambungan (sekali bayar vs dicicil).

Rumah tangga miskin cenderung membayar tagihan dalam jumlah kecil dengan frekuensi yang lebih sering. Selain itu, penyedia air minum harus memperhatikan beberapa hal, yaitu (i) desain penyediaan air minum harus tetap mempertahankan sasaran meningkatkan taraf kehidupan penduduk miskin, (ii) menghindari asumsi bahwa melayani penduduk miskin berisiko tinggi dan tingkat pengembalian rendah, (iii) memberikan kebijakan dan pengaturan yang jelas, (iv) mempersiapkan beragam pilihan akses air minum bagi penduduk miskin, dengan catatan bahwa penyedia air minum alternative mungkin lebih sesuai dengan penduduk miskin, dan (v) memberikan subsidi ke penduduk miskin melalui tarif yang sering tidak berhasil. Penduduk miskin sebagian memperoleh air dari tempat umum bahkan penyedia skala kecil, sementara subsidi silang lebih mengarah pada sambungan rumah. Akibatnya, subsidi terhadap harga menguntungkan penduduk kaya daripada penduduk miskin. Harga air yang murah tanpa didukung oleh akses air minum ke penduduk miskin hanya akan menguntungkan pedagang dan bukan penduduk miskin (McIntosch, 2003), (vi) perlu ditingkatkan keterlibatan penduduk miskin sehingga keinginan mereka dapat tersampaikan (Kariuki, 2000). *Penulis Anggota Pokja AMPL Pusat Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah PERCIK Edisi Oktober 2006

Anda mungkin juga menyukai