Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan satu dari tiga orang di seluruh dunia
pada tahun 2001, meninggal karena penyakit kardiovaskular. Sementara, sepertiga dari
seluruh populasi dunia saat ini berisiko tinggi untuk mengalami major cardiovascular events.
Pada tahun yang sama, WHO mencatat sekitar 17 juta orang meninggal karena penyakit ini
dan melaporkan bahwa sekitar 32 juta orang mengalami serangan jantung dan stroke setiap
tahunnya. Di Amerika setiap tahun 1 juta pasien dirawat di rumah sakit karena angina pectoris
tak stabil; dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tak
fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakkan.1
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini merupakan
salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk
Indonesia. Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem
sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar
26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker
(6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia
adalah akibat PJK.
Sindrom koroner akut merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis
rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. Mekanisme
terjadinya SKA adalah disebabkan oleh karena proses pengurangan pasokan oksigen akut atau
subakut dari miokard, yang dipicu oleh adanya robekan plak aterosklerotik dan berkaitan
dengan adanya proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi. Manifestasi
klinis SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil/APTS, Non-ST elevation myocardial
infarction / NSTEMI, atau ST elevation myocardial infarction / STEMI sampai kematian
jantung mendadak.
Paradigma pengobatan atau strategi terapi medis penderita SKA berubah dan
mengalami kemajuan pesat dengan adanya hasil-hasil penelitian mengenai patogenesis SKA
dan petunjuk-petunjuk penatalaksanaan baru. Kemajuan pesat dalam terapi medis tersebut
mencakup terapi untuk mengendalikan faktor risiko (terpenting statin untuk dislipidemia, obat
antihipertensi terutama obat ACE-I, obat penghambat reseptor A-II), obat-obat baru
antitrombotik, gagal jantung, dan aritmia.
.
1

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI JANTUNG
ANATOMI DAN FISIOLOGI JANTUNG3,5
Jantung terletak dalam mediastinum di rongga dada, yaitu diantara kedua paru paru.
Pericardium yang meliputi jantung terdiri dari dua lapisan: lapisan dalam disebut pericardium
viseralis dan lapisan luar disebut pericardium parietalis. Perikardium parietalis melekat pada
tulang dada di sebelah depan, dan pada kolumna vertebralis di sebelah belakang, sedangkan
kebawah pada diafragma. Perikardium viseralis langsung melekat pada permukaan jantung.
Jantung sendiri terdiri dari tiga lapisan. Lapisan terluar disebut epikardium, lapisan tengah
merupakan lapisan otot yang disebut miokardium, sedangkan lapisan terdalam yaitu lapisan
endotel disebut endokardium.
Atrium Kanan
Darah yang berasal dari pembuluh vena ini masuk kedalam atrium kanan melalui vena
kava superior, inferior dan sinus koronarius. Dalam muara vena kava tidak ada katup katup
sejati. Yang memisahkan vena kava dari atrium jantung ini hanyalah lipatan katup atau pita
otot yang rudimenter. Karena itu peningkatan tekanan atrium kanan akibat bendungan darah
di bagian kanan jantung akan di balikkan kembali ke dalam vena sirkulasi sistemik.
Sekitar 80% alir balik vena ke dalam atrium kanan akan mengalir secara pasif ke
daalam ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis. Dua persen sisanya akan mengisi
ventrikel secara aktif ini dinamakan atrial kick.
Ventrikel Kanan
Sirkulasi pulmonal merupakan sistem aliran darah bertekanan rendah, dengan
resistensi yang jauh lebih kecil terhadap aliran darah dari ventrikel kanan, dibandingkan
tekanan tinggi sirkulasi sistemik terhadap aliran darah dari ventrikel kiri. Akibatnya tebal
dinding ventrikel kanan hanya sepertiga dari tebal dinding ventrikel kiri.
Atrium Kiri
Atrium kiri menerima darah dari yang sudah dioksigenasi dari paru paru melalui
keempat vena pulmonalis. Antara vena pulmonalis dan atrium kiri tidak ada katup sejati.
Karena itu, perubahan tekanan dalam atrium kiri mudah sekali membalik retrograd ke dalam
2

pembuluh paru paru. Peningkatan tekanan atrium kiri berdinding tipis dan bertekanan
rendah. Darah mengalir dari atrium kiri ke dalam ventrikel kiri melalui katup mitralis.
Ventrikel Kiri
Ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan yang cukup tinggi untuk mengatasi tahanan
sirkulasi sistemik, dan mempertahankan aliran darah ke jaringan jaringan perifer.
Pada kontraksi, tekanan ventrikel kiri meningkat sekitar lima kali lebih tinggi daripada
tekanan ventrikel kanan; bila ada hubungan abnormal antara kedua ventrikel maka darah akan
mengalir dari kiri ke kanan melalui robekan tersebut. Akibatnya jumlah jumlah aliran darah
dari ventrikel kiri melalui katup aorta ke dalam aorta akan berkurang.
Vaskularisasi jantung
Jantung mendapat vaskularisasi dari arterie coronaria dextra dan sinistra, yang berasal dari
aorta ascendens tepat diatas valva aortae. Arteri coronaria dan percabangan utama terdapat
dipermukaan jantung, terrletak di dalam jaring ikat subepicardial
Arteria coronaria dextra berasal dari sinus anterior aorta dan berjalan ke depan di antara
trunkus pulmonalis dan auricula dextra. Arteri ini berjalan turun hampir ventrikel di dalam
sulcus atrio-ventrikulare dextra. Cabangcabangnya
1. Ramus coni arteriosis, mendarahi facies anterior conus pulmonalis (infundibulum
ventrikulare dexter) dan bagian atas dinding anterrior ventrikulare dexter.
2. Ramus ventriculare anteriores, mendarahi fasies anterior ventrikulus dexter. Ramus
marginalis dexterr adalah cabang yang terbesar dan berjalan sepanjang pinggir
bawah fasies kostalis untuk mencapai apex cordis.
3. Ramus ventrikulare posterrior mendarahi facies diaphragmatica
ventrikulus dexter.
4. Ramus Interventrikulare posterior(desendens), berjalan menuju apeks pada sulkus
interventrikulare posterior. Memberikan cabang cabang ke ventrikulus dexter dan
sinister termasuk dinding inferiornya. Memberikan percabangan untuk bagian
posterior septum ventrikulare tetapi tidak untuk baagian apeks yang menerima

pendarahan dari ramus inventrikulus anterior arterria coronaria sinister. Sebuah


cabang yang besar mendarahi nodus atrioventrikularis.
5. Ramus atrialis, beberapa cabang mendarahi permukaan anterior dan lateral atrium
dexter. Atria nodus sinuatrialis mendarahi nodus dan atrium dextrum dan sinistra.
Arterria coronaria sinistra, lebih besar dibanndingkan dengan arteria coronaria dextera,
mendarahi sebagian besar jantung, termasuk sebagian besar atrium kiri, ventrikel kiri dan
septum ventrikular. Arteri ini berasal dari posterior kiri sinus aorta ascendens dan berjalan ke
depan di antara trunkus pulmonalis dan aurikula sinister. Kemudian pembuluh ini berjalan di
sulcus atrioventrikularis dan bercab.nag dua menjadi ramus interventreikular anterior dan
ramus circumflexus.
1. Ramus interventrikularis (descendens) anterior, berjalan ke bawah di dalam sulcus
interventrikularis anterior menuju apex kordis. Pada kebanyakan orang pembuluh
ini kemudian berjalan di sekitar apeks cordis untuk masuk ke sulkus
interventrikular posterior darn beranastosis dengan cabang cabang terminal arteria
coronaria dextra
2. Ramus circumflexus, pembuluh ini melingkari pinggir kiri jantung di dalam sulkus
atrioventrikular. Ramus marginalis merupakan cabang yang terbesar mendarahi
batas kiri ventrikule sinistra dan turun sampai apeks kordis.

Gambar II.1. Vaskularisasi Jantung

Pembuluh arteri koroner terdiri dari tiga lapisan yaitu :


Tunika intima yang terdiri dari dua bagian. Lapisan tipis sel sel endotel merrupakan
lapisan yang memberrikan permukaan licin antara darah dan dinding arteri serta lapisan
subendotelium. Sel ini menghasilkan prostadgandin, heparin dan aktivator plasminogen yang
membantu mencegah agregasi trombosit dan vasokonstriksi. Dan juga jaringan ikat yang
memisahkan dengan lapisan yang lain.
Tunika media merupakan lapisan otot dibagian tengan dinding arteri yang mempunyai tiga
bagian; bagian sebelah dalam disebut membran elastin internal kemudian jaringan fibrus otot
polos dan sebelah luar memberana elastika eksterna. Tunika adventisia umumnya
mengandung jaringan ikat dan dikelilingin oleh vasa vasorum yaitu jaringan arteriol.

Gambar II.2. Lapisan Pembuluh Darah Koroner

BAB III
SINDROM KORONER AKUT
III.1

DEFINISI
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi

klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA adalah
suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau
kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable
angina/UA), infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial
infarction/ NSTEMI), dan infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation
myocardial infarction/STEMI).
III.2

ETIOLOGI
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia dalam Pedoman tentang Tata

Laksana Sindrom Koroner Akut Tanpa ST-ELEVASI (2004) menjelaskan tentang patogenesis
SKA, secara garis besar ada lima penyebab yang tidak terpisah satu sama lain. Dengan kata
lain penyebabpenyebab tersebut tidak berdiri sendiri, beberapa pasien mempunyai lebih dari
dua penyebab. Antara lain:
1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi miokard oleh karena penyempitan
arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang
robek/pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat. Mikroemboli (emboli kecil) dari
agregasi trombosit beserta komponennya dari plak yang ruptur, yang mengakibatkan
infark kecil di distal, merupakan penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada
banyak pasien.
2. Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin diakibatkan oleh
spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner epikardium (angina
prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah
dan/atau akibat disfungsi endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh
konstriksi abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
3. Obstruksi mekanik yang progresif

Penyebab ke tiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme atau
trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau
dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI).
4. Inflamasi dan/atau infeksi
Penyebab ke empat adalah inflamasi, disebabkan oleh/yang berhubungan dengan infeksi,
yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur dan
trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di dinding plak meningkatkan ekspresi enzim
seperti metaloproteinase, yang dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga
selanjutnya dapat mengakibatkan SKA.
5. Faktor atau keadaan pencetus
Penyebab ke lima adalah SKA yang merupakan akibat sekunder dari kondisi pencetus
diluar arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab berupa penyempitan arteri koroner
yang mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard, dan mereka biasanya menderita angina
stabil yang kronik. SKA jenis ini antara lain karena :
o Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan
tirotoksikosis
o Berkurangnya aliran darah koroner
o Berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan hipoksemia.
Kelima penyebab SKA di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan banyak terjadi
tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai lebih dari satu penyebab dan
saling terkait.

III.3

PATOGENESIS3,4,7,10
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama dari proses

aterotrombosis selain stroke iskemik serta peripheral arterial disease (PAD). Aterotrombosis
merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat komplek dan multifaktor serta
saling terkait. Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis
merupakan proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan
seperti lipid-filled macrophages (foam cells), massive extracellular lipid dan plak fibrous
yang mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan
aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya
kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty streks, pembentukan
fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil.
Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi memegang peranan
penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung koroner inflamasi
7

dimulai dari pembentukan awal plak hingga terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya
mengakibatkan terjadinya ruptur plak dan trombosis pada SKA. Perjalanan proses
aterosklerosis (initiation, progression dan complication pada plak aterosklerotik), secara
bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah
terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam pembuluh
darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak atau
kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan/atau penyumbatan
pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah
proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh koroner.
Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses
aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang
dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak stabil /progresif
yang dikenal juga dengan SKA.
Sedangkan trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya darah beku yang
terdapat di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam trombosis, yaitu
trombosis arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada trombus tersebut
ditemukan lebih banyak platelet, dan trombosis vena (trombus merah) yang ditemukan pada
pembuluh darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan lebih sedikit
platelet. Komponen-komponen yang berperan dalam proses trombosis adalah dinding
pembuluh darah, aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi,
sistem fibrinolitik, dan antikoagulan alamiah.
Patogenesis terkini SKA menjelaskan, SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi
trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis yang vulnerable
mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA yang dipicu oleh erosi, fisur, atau
rupturnya plak aterosklerotik adalah karena terdapatnya kondisi plak aterosklerotik yang tidak
stabil (vulnerable atherosclerotic plaques) dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous cups
tipis, dan bahu plak (shoulder region of the plague) penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi
seperti sel limfosit T dan lain-lain (Gambar 3). Tebalnya plak yang dapat dilihat dengan
persentase penyempitan pembuluh koroner pada pemeriksaan angiografi koroner tidak berarti
apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain, risiko terjadinya ruptur
pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat penyempitan) tetapi
oleh kerentanan (vulnerability) plak.

Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding arteri
koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan tissue factor) ke
dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit serta pembentukan fibrin,
membentuk trombus atau proses trombosis. Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan
oklusi koroner total atau subtotal. Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur
pada plak aterosklerosis yang relatif kecil akan menyebabkan angina pektoris tidak stabil dan
tidak sampai menimbulkan kematian jaringan. Trombus biasanya transien/labil dan
menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 1020 menit (Tabel 1). Bila oklusi
menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh kolateral atau lisis trombus yang
cepat (spontan atau oleh tindakan trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak merusak
seluruh lapisan miokard). Trombus yang terjadi lebih persisten dan berlangsung sampai lebih
dari 1 jam. Bila oklusi menetap dan tidak dikompesasi oleh kolateral maka keseluruhan
lapisan miokard mengalami nekrosis dikenal dengan STEMI. Trombus yang terbentuk bersifat
fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang
berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.

Gambar III.3. Oklusi Plaque dan Trombus

Tabel III.1 . Patogenesis Pada Berbagai Manifestasi Klinik SKA

Sekarang semakin diyakini dan lebih jelas bahwa trombosis adalah sebagai dasar
mekanisme terjadinya SKA, trombosis pada pembuluh koroner terutama disebabkan oleh
pecahnya vulnerable plak aterosklerotik akibat fibrous cups yang tadinya bersifat protektif
menjadi tipis, retak dan pecah. Fibrous cups bukan merupakan lapisan yang statik, tetapi
selalu mengalami remodeling akibat aktivitas-aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran
sel-sel inflamasi, gangguan matriks ekstraselular atau extra-cellular matrix (ECM) akibat
aktivitas matrix metallo proteinases (MMPs) yang menghambat pembentukan kolagen dan
aktivitas inflammatory cytokines. Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa
proses inflamasi memegang peran yang sangat menentukan dalam proses poto-biologis SKA,
dimana vulnerabilitas plak sangat ditentukan oleh proses inflamasi. Inflamasi dapat bersifat
10

lokal (pada plak itu sendiri) dan dapat bersifat sistemik. Inflamasi juga dapat mengganggu
keseimbangan homeostatik.
Pada keadaan inflamasi terdapat peninggian konsentrasi fibrinogen dan inhibitor
aktivator plasminogen di dalam sirkulasi. Inflamasi juga dapat menyebabkan vasospasme
pada pembuluh darah karena tergganggunya aliran darah. Vasokonstriksi pembuluh darah
koroner juga ikut berperan pada patogenesis SKA. Vasokonstriksi terjadi sebagai respon
terhadap disfungsi endotel ringan dekat lesi atau sebagai respon terhadap disrupsi plak dari
lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskular dengan mengeluarkan faktor
relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal sebagai Endothelium Derived Relaxing Factor
(EDRF), prostasiklin, dan faktor kontraksi seperti endotelin-1, tromboksan A2, prostaglandin
H2. Pada disfungsi endotel, faktor kontraksi lebih dominan dari pada faktor relaksasi. Pada
plak yang mengalami disrupsi terjadi platelet dependent vasocontriction yang diperantarai
oleh serotonin dan tromboksan A2, dan thrombin dependent vasoconstriction diduga akibat
interaksi langsung antara zat tersebut dengan sel otot polos pembuluh darah.
III.4

FAKTOR RESIKO
Faktor risiko utama yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah umur, jenis

kelamin laki-laki, dan riwayat penyakit penyakit jantung koroner pada anggota keluarga
diusia muda (anggota keluarga laki-laki muda dari usia 55 tahun atau anggota keluarga
perempuan yang lebih muda dari usia 65). Faktor risiko tambahan yang dapat diubah antara
lain obesitas dan jumlah aktivitas fisik. Baru-baru ini marker penentu yang berhubungan
dengan perkembangan arterosklerosis dan sedang dievaluasi sebagai factor risiko baru adalah
naiknya jumlah hal-hal berikut dalam sirkulasi : 1) Metabolisme asam amino homocysteine,
2) pertikel lipoprotein khusus, dan 3) marker inflamasi tertentu yang terdiri atas reaktan fase
akut dar C-reaktif protein.4
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
1. Dislipidemia
Jumlah lipid yang abnormal dalam sirkulasi menjadi bukti tetap dan terbesar sebagai
faktor risiko utama terhadap perkembangan arterosklerosis. Studi observasional telah
menunjukkan hubungan antara negara dengan konsumsi asam lemak jenuh rendah dengan
jumlah kolesterol serum yang rendah (contohnya Jepang dan Negara-negara di Mediterania),
Amerika serikat dan Negara lainnya dengan konsumsi lemak jenuh dan kolesterolnya tertinggi
memiliki angka kematian yang tinggi terhadap penyakit jantung koroner.4,7,8
11

Data yang sama dari studi Framingham menunjukkan bahwa risiko penyakit jantung
iskemik meningkat seiring dengan total kolesterol serum yang tinggi. Risiko penyakit jantung
koroner meningkat kira-kira dua kali lipat pada individu yang level total kolesterolnya 240
mg/dL dari pada individu yang level kolesterolnya 200 mg/dL.4
Normalnya, kandungan kolesterol intraseluler dipertahankan dengan memperketat
regulasi asupan kolesterol, sintesis de novo, penyimpanan, dan membuangnya dari sel. Enzim
HMG CoA reductase adalah langkah untuk membatasi biosintesis kolesterol intraseluler dan
dikontrol oleh reseptor terkait endositosis dari partikel LDL sirkulasi. Level kolesterol yang
tinggi dapat menghambat enzim HMG CoA reduktase dan sinyal sel untuk mengurangi
produksi reseptor LDL. Jumlah kolesterol intraseluler yang cukup pada sel perifer selalu
dipicu oleh peningkatan produksi Cholesterol efflux regulatory protein (CERP), produk yang
baru-baru ini teridentifikasi adalah gen ATP binding Cassette 1 (ABC A-1). CERP memediasi
transfer kolesterol membran ke partikel HDL, yang mengirim kolesterol berlebih kembali ke
hati dalam proses yang dikenal sebagai transport balik kolesterol. Dengan kemampuan ini
dapat membuang lipid intraseluler, HDL melindungi lagi akumulasi lipid, dan level HDL
serum berbanding terbalik dengan kejadian penyakit arterosklerotik. HDL sering juga disebut
sebagai kolesterol baik.4
Sebaliknya, jumlah LDL yang tinggi berhubungan dengan meningkatnya kejadian
arterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler. Saat jumlahnya berlebihan, LDL dapat
terakumulasi di rongga subendothelial dan mengalami modifikasi kimia dan merusak tunika
intima mengakibatkan perkembangan arterosklerosis. LDL sering disebut juga Lemak
Jahat.4
Kenaikan LDL serum dapat disebabkan berbagai alas an, termasuk diet tinggi lemak
atau dikarenakan kerusakan pada mekanisme penghambatan reseptor LDL. Pasien dengan
kerusakan genetic reseptor LDL (biasanya heterozigot dengan satu normal dan satu kerusakan
gen yang mengkode reseptor) tidak dapat membuang LDL dari sirkulasi dengan efisien.
Keadaan ini disebut familial hiperkolesterolemia, dan begitu juga dengan individu yang
memiliki LDL plasma tinggi dan berkembang menjadi arterosklerosis premature. Homozigot
yang kekurangan reseptor LDL total dapat bertahan selama decade pertama kehidupan.4
Meningkatkan bukti keterkaitan trigliserida kaya lipoprotein, seperti VLDL dan IDL,
dalam perkembangan arterosklerosis. Belum sepenuhnya jelas jika partikel ini ikut andil
secara langsung dalam aterogenesis atau secara sederhana ikut serta bersama dengan
rendahnya level kolesterol HDL. Untuk catatan, lemahnya kontrol diabetes mellitus tipe II
12

sering berhubungan dengan hipertrigliseridemia rendahnya level HDL, sering diikuti dengan
obesitas sentral (meningkatnya ukuran lingkar abdomen) dan hipertensi. Gabungan dari factor
risiko tersebut dapat berhubungan dengan ketahanan insulin dan khususnya atherogenik.
Penyebab sekunder dari rendahnya level lipid serum terkait dengan penyakit tiroid, ginjal, dan
hati.4
2. Merokok
Merokok dapat memicu terjadinya aterosclerosis, melingkupi meningkatnya proses
oksidasi modifikasi dari LDL dan menurunkan HDL dalam sirkulasi. Kelainan disfungsi
endotel pembuluh darah disebabkan karena jaringan tersebut mengalami hipoksia dan
peningkatan adhesi dari trombosit, peningkatan molekul leukosit dan respon inflamasi
stimulasi yang tidak sesuai dari nervus simpotikus oleh nikotin dan perpindahan dari oksigen
menjadi karbon monoksida pada hemoglobin. Dari percobaan yang dilakukan pada hewan
merokok mempunyai konstribusi dalam terjadinya aterosklerosis.4,7,8
Secara kebetulan penghentian terhadap kebiasaan merokok bisa merubah efek
buruknya. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa seseorang yang sudah berhenti merokok
dapat mengurangi terjadinya aterosklerosis dari pada orang yang merokok. Salah satu studi
mengatakan bahwa, setelah 3 tahun berhenti merokok resiko terkena penyakit jantung koroner
menjadi sama dengan orang yang tidak pernah merokok.4
3. Diabetes melitus
Diabetes meningkatkan resiko terjadinya aterosklerosis dan orang dengan diabetes
melitus memiliki 2-3 kali peningkatan kemungkinan terjadi gangguan pada kardiovaskular.
Mekanismenya bisa berhubungan dengan non-enzim glycation dari lipoprotein pada pasien
diabetes (hal tersebut berhubungan dengan besarnya ambilan kolesterol oleh makrofag
scavenger) atau kecenderungan protrombotik dan anti fibrinolitik. Keadaan tersebut mungkin
banyak terjadi pada pasien dengan kondisi ini.4,7
Seseorang dengan diabetes seringkali memiliki fungsi endotel yang lemah ini dapat
diukur dari menurunnya bioavailabilitas dari NO dan meningkatnya perlekatan leukosit.
Contoh : kadar serum glukosa yang terjaga pada pasien diabetes mengurangi resiko
komplikasi mikrovaskuler antaralain seperti retinophati dan neprophaty.4
Diabetes tipe- II adalah bagian tersering dalam syndrom metabolik dalam hal ini
berhubungan dengan hipertensi, kadar lemak yang abnormal (hipertrigliserida, HDL rendah,
partikel LDL padat) dan bertambahnya ukuran lingkar perut.4

13

Kunci pada sindrom adalah adanya resistensi insulin pada sel-sel peripheral. Faktanya
ada resistensi insulin ini muncul untuk mendorong terjadinya aterosklerosis, lama sebelum
berdampak pasien yang didapati dengan diabetes.4

4. Hipertensi
Kenaikan tekanan darah (sistolik atau diastolik) memperbesar kemungkinan untuk
beresiko aterosklerosis, peyakit jantung koroner dan stroke. Hubungan kenaikan darah dengan
penyakit kardiovaskular tidak memperlihatkan hasil akhir yang baik. Lebih dari itu resiko
akan terus naik dengan nilai progresif yang tinggi. Tekanan sistolik diprediksi menurunkan
out come lebih nyata dari pada tekanan diastolik terutama pada usia tua.4,7,8
Hipertensi mungkin memicu aterosklerosis dengan berbagai cara. Penelitian yang
dilakukan pada bintang memperlihatkan kenaikan tekanan darah dapat melukai endotel dan
meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga lipoprotein menjadi lebih
mudah untuk masuk ke dinding pembuluh darah tersebut. Peningkatan hemodinamik stress
dapat juga meningkatkan jumlah reseptor scanvanger di makrofag, juga meningkatkan foam
sel. Siklus rantai circum ferential, dapat meningkatkan tekanan arteri yang dapat
meningkatkan produksi sel otot polos yang mengikat proteoglikan dan menahan partikel LDL,
memacu akumulasi di tunika intima dan memfasilitasi perubahan oksidatif. Angiotensin II
adalah sebuah mediator hipertensi tidak hanya sebagai vasokontriktor tetapi juga sebagai
sitokin pro-inflamasi. Dengan demikian hipertensi juga dapat menimbulkan proses
aterogenesis yang melibatkan proses inflamasi.4
III.5

KLASIFIKASI
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan

pemeriksaan marka jantung, SKA dibagi menjadi:


1. Sindrom Koroner Akut Segmen ST Nonelevasi (Non-ST Elevation Acute
Coronary Syndrome, NSTEACS)
2. Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi (ST Elevation Acute Coronary
Syndromes, STEACS)
Diagnosis NSTEACS ditegakkan jika terdapat angina dan tidak ditemukan elevasi segmen ST
yang persisten. Gambaran EKG pasien NSTEACS dapat berupa depresi segmen ST, inversi
14

gelombang T, gelombang T yang data gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa


perubahan EKG. Depresi segmen ST yang diagnostik untuk NSTEAC adalah sebesar 0.5
mm disandapan V1-V3 dan 1 mm di sandapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen
ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten ( < 20 menit), dengan
amplitudo yang lebih rendah dan elevasi yang terlihat pada STEACS, dan dapat terdeteksi di
<2 sandapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris 2 mm menunjukan persangkaan
yang kuat untuk iskemia akut (NSTEACS). Bila hasil pemeriksaan biokimia (Troponin I/T
atau CK-MB tidak menunjukan peningkatan bermakna, maka NSTEACS disebut Angina
Pectoris Tidak Stabil, Unstable Angina Pectoris, UAP). Pada keadaan troponin I/T atau CK
MB menunjukan peningkatan yang bermakna, maka diagnosis NSTEACS berubah menjadi
Infark Miokard Akut Segmen ST Nonelevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI. APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama,
hanya berbeda dalam derajatnya. Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak
mengalami oklusi total/ oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak
untuk mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling
sensitif dan spesifik untuk nekrose miosit dan penentuan patogenesis dan alur pengobatannya.
Sedang kebutuhan miokard tetap dipengaruhi obat-obat yang bekerja terhadap kerja jantung,
beban akhir, status inotropik, beban awal untuk mengurangi konsumsi O2 miokard. APTS dan
NSTEMI merupakan SKA yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan
oksigen miokard. Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang
terjadi pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur.
Diagnosis STEACS ditegakkan jika terdapat keluha angina akut disertai elevasi
segmen ST yang persiten (20menit). Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEACS sangat beragam, bergantung pada usia, jenis kelamin dan dinding jantung yang
terkena. Bagi pria, diagnosis ditegakkan jika terdapat elevasi segmen ST di V1-V3 2mm
pada usia 40 tahun dan 2.5mm pada usia <40 tahun. Sementara itu, nilai ambang
disandapan lain adalah 1mm. bagi wanita tanpa memandang umur, nilai ambang di V1-V3
adalah 1.5mm dan 1mm disandapan lain. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi
segmen ST disandapan V3R dan V4R adalah 0.5mm, kecuali pria usia <30tahun nilai
ambang 1mm dianggap lebih tepat; nilai ambang elevasi segmen ST disandapan V7-V9
adalah 0.5mm. depresi segmen ST yang resiprokal, sandapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEACS, kecuali jika
STEACS akan berlanjut menjadi infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI). Oleh
15

karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEACS dapat segera mendapat terapi
reperfusi sebelum hasil pemriksaan marker jantung tersedia.

III.6

DIAGNOSIS

III.6.1 Anamnesis
Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan didasarkan
pada tiga kriteria, yaitu; gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram)
dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala
kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari
sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina
dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda
awal dalam pengelolaan pasien SKA.
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :

Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial

Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan dapat


juga ke lengan kanan.

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat

Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan

Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas.
Berat

ringannya

nyeri

bervariasi.

Sulit

untuk

membedakan

antara

gejala

APTS/NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal
ventrikel kiri akut. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek,
rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita,
penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan
faktor risiko kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis.
III.6.2 Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan
kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI. Hipertensi tak terkontrol, anemia,
16

tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti
penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3) menunjukkan
prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan
bahwa pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner (PJK).
III.6.3 Elektrokardiografi
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang dilakukan saat
sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG adalah :
1) Depresi segmen ST > 0,05 mV
2) Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di
sandapan prekordial
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia jantung, terutama
Sustained VT. Serial EKG 12 lead harus dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen ST.
Namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI.
Berdasarkan kelainan EKG IMA dibagi atas 2 yaitu :
IMA dengan gelombang Q
i. Mula-mula terjadi elevasi segmen ST yang konveks pada hantaran yang
mencerminkan daerah IMA. Kadang baru terjadi beberapa jam setelah
serangan. Depresi segmen ST yang resiprokal terjadi [ada hantaran yang
berlawanan.
ii. Diikuti terbentuknya gelombang Q patologis yang menunjukkan IMA
transmural (terjadi 24 jam pertama IMA).
iii. setelah elevasi segmen ST berkurang, gelombang T terbalik (inversi).
Keduanya dapat menjadi normal setelah beberapa hari atau minggu.
o
o
o
o
o
o
o

Anterior
Ateroseptal
Anterolateral
Anterior luas
Anterolateral tinggi
Posterior
Ventrikel kanan

: V3-V4
: V1-V2
: I, aVL, V5-V6
: I, aVL, V1-V6
: I, aVL
: V1-V2
: II,III, aVF,V3R,V4R

IMA non gelombang Q


Tidak ada Q patologis, hanya dijumpai depresi segmen ST dan inversi simetrik
gelombang T

17

Gambar III.1. EKG


III.6.4 Petanda Biokimia Jantung
Nekrosis pada jaringan otot jantung menyebabkan pecahnya sarkolema, jadi hal
tersebut menyebabkan makromolekul mengalami kebocoran protein kedalam lapisan
intersisium jantung dan memasuki aliran darah.4
Petanda biokimia seperti troponin I
(TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai
prognostik yang lebih baik dari pada CKMB.
Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan
konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam
amino dari Troponin C sama dengan sel otot
jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan
TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau
TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark
miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam
30 hari, adalah sama. Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan
indikator penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua petanda tersebut
adalah relative rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (<6 jam) setelah onset
serangan. Risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segment ST elevasi lebih besar pada
pasien dengan peningkatan nilai CKMB. Meskipun mioglobin tidak spesifikasi untuk jantung,
tapi memiliki sensitifitas yang tinggi. Dapat terdeteksi secara dini 2 jam setelah onset nyeri.
Tes negatif dari mioglobin dalam 4-8 jam sangat berguna dalam menetukan adanya nekrosis
miokard. Meskipun demikian mioglobin tak dapat digunakan sebagai satu satunya petanda
jantung untuk mengidentifikasi pasien dengan NSTEMI. Peningkatan kadar CKMB sangat
18

erat berkaitan dengan kematian pasien dengan SKA tanpa elevasi segmen ST, dan naiknya
risiko dimulai dengan meningkatnya kadar CKMB diatas normal. Meskipun demikian nilai
normal CKMB tidak menyingkirkan adanya kerusakan ringan miokard dan adanya risiko
terjadinya perburukan penderita. Troponin khusus jantung merupakan petanda biokimia
primer untuk SKA. Sudah diketahui bahwa kadar troponin negatif saat < 6 jam harus diulang
saat 6-12 jam setelah onset nyeri dada. Pemeriksaan troponin jantung dapat dilakukan di
laboratorium kimia atau dengan peralatan sederhana / bediside. Jika dilakukan di
laboratorium, hasilnya harus dapat diketahui dalam waktu 60 menit.

III.7

PENATALAKSANAAN

Tindakan umum dan Langkah awal


Prinsip penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah koroner dengan
trombolitik/ PTCA primer untuk menyelamatkan jantung dari infark miokard, membatasi
luasnya infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung. Yng dimaksud dengan terapi
awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA atau
definitif SKA atas dasar keluhan angina diruang gawat darurat, sebelum hasil pemeriksaan
EKG dan atau marka jantung (sebelum diagnosis STEACS/NSTEACS ditegakkan). Terapi
awal yang dimaksud adalah Morfin, oksigen, nitrat dan aspirin (MONA), antara lain:

Oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6jam pertama tanpa

mempertimbangkan saturasi O2 arteri.


Aspirin 160-320 diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih

mengingatkan absorpsi bukal yang lebih cepat.


Dosis awal Clopidogrel 300mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan

75mg/hari adalah dosis yang terbukti efektif berdasarkan penelitian klinis.


Nitrogliserin(NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba diruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang
dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal
tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif
dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG
sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat
dipakai sebagai pengganti.
19

Morfin Sulfat 1-5mg intravena, dapat diulang setiap 10-30menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual

BAB IV
Non-ST Elevation Acute Coronary Syndrome, NSTEACS
NSTEACS dibedakan menjadi 2 berdasarkan kenaikan penanda biokimia jantung
(Troponin I/T atau CKMB), menjadi; Non ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) dan Angina
Pectoris Tak Stabil (Unstable Angina Pectoris, UAP). Menurut pedoman American College
of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA) perbedaan antara angina
pectoris tak stabil dengan infark miokard tanpa elevasi segmen ST adalah adanya penada
jantung pada pemeriksaan. Diagnosis angina pectoris tak stabil bila pasien memiliki keluhan
iskemia tanpa disertai kenaikan penanda jantung seperti troponin dan CK-MB, dengan atau
tanpa disertai perubahan EKG untuk iskemia seperti depresi segmen ST atau elevasi yang
sebentar atau adanya gelombang T negative. 1,2
IV.1

Definisi
20

Angina pektoris adalah suatu nyeri didaerah dada yang biasanya menjalar ke bahu dan lengan
kiri yang disebabkan oleh menurunnya suplai oksigen ke jantung. Sedangkan yang termasuk
angina pectoris tak stabil antara lain:
1. Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina tersebut cukup
berat dan frekuensi nya cukup sering lebih dari 3 kali sehari,
2. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil lalu
serangan angina timbul lebih sering dan lebih berat sakit dadanya sedangkan faktor
presipitasinya lebih ringan.
3. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.
Angina pectoris tak stabil dengan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan
kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksaan
keduanya tidak berbeda.

Table 4. Grading of Angina Pectoris According to CCS Classification


Class
Description of Stage
I
Ordinary physical activity does not cause . . . angina, such as
walking or climbing stairs. Angina occurs with strenuous,
rapid, or prolonged exertion at work or recreation.
II
Slight limitation of ordinary activity. Angina occurs on
walking or climbing stairs rapidly; walking uphill; walking
or stair climbing after meals; in cold, in wind, or under
emotional stress; or only during the few hours after
awakening. Angina occurs on walking .2 blocks on the
level and climbing .1 flight of ordinary stairs at a normal
pace and under normal conditions.
III
Marked limitations of ordinary physical activity. Angina
occurs on walking 1 to 2 blocks on the level and climbing
1 flight of stairs under normal conditions and at a normal pace.
IV
Inability to carry on any physical activity without
discomfortanginal symptoms may be present at rest.
Adapted with permission from Campeau L. Grading of angina pectoris
(letter).
Circulation 1976;54:5223. 1976, American Heart Association, Inc
IV.2

Penilaian Risiko
21

Penilaian risiko harus dimulai dengan penilaian terhadap kecenderungan penyakit


jantung koroner (PJK). Lima faktor terpenting yang dimulai dari riwayat klinis yang
berhubungan dengan kecenderungan adanya PJK, diurutkan berdasarkan kepentingannya
adalah :
1. Adanya gejala angina
2. Riwayat PJK sebelumnya
3. Jenis kelamin
4. Usia
5. Diabetes, faktor risiko tradisonal lainnya
Saat diagnosis APTS/NSTEMI sudah dipastikan, maka kencenderungan akan terjadinya
perubahan klinis dapat diramalkan berdasarkan usia, riwayat PJK sebelumnya, pemeriksaan
klinis, EKG dan pengukuran petanda jantung.
Derajat kemungkinan APTS/NSTEMI:
I.

Derajat kemungkinan tinggi


a. Riwayat: suatu sakit dada dan nyeri lengan kiri yang tipikal. Mempunyai
riwayat CAD/PJK termasuk MI sebelumnya.
b. Pemeriksaan fisik: Mitral regurgitasi yang sementara, hipertensi, diaporesis,
udema pulmonal, atau ronkhi basah.
c. EKG: Deviasi segmen ST (depresi atau elvasi) yang diperkirakan baru terjadi

II.

atau transient (>0.05mV) atau inverse gelombang T (>0.2mV)


d. Kardio marker: TnT, TnI atau CKMB meningkat pada STEMI.
Derajat kemungkinan sedang
a. Riwayat: suatu sakit dada dan nyeri lengan kiri, umur >70tahun, laki-laki,
penderita DM
b. Pemeriksaan fisik: penderita penyakit vaskuler ditempat lain.
c. EKG: terdapat gelombang Q yang menunjukan infark lama, segmen ST atau

III.

gelombang T abnormal yang diperkirakan bukan baru.


Derajat kemungkinan rendah
a. Riwayat: tidak didapati keluhan yang terdapat pda kemungkinan sedang,
memakai kokain yang belum lama. Dada tidak nyaman karena palpitasi.
b. EKG dan kardio marker normal.

Rasionalisasi Stratifikasi Risiko


Pasien dengan APTS/NSTEMI memiliki peningkatan terhadap risiko kematian, infark
berulang, iskemia berulang dengan simptom, aritmia berbahaya, gagal jantung dan stroke.
Penilaian prognosis tidak hanya menolong untuk penanganan kegawatan awal dan
pengobatannya, tetapi juga membantu penentuan pemakaian fasilitas seperti:
22

1) Seleksi ruang perawatan (CVCU, intermediate ward, atau rawat jalan) dan
2) Seleksi pengobatan yang tepat, seperti antagonis GP IIb/ IIIa dan intervensi koroner
Kriteria untuk risiko terhadap kematian atau Infark Miokard Akut (IMA )
1. Risiko tinggi
a. Riwayat: keluhan iskemia semakin berat dalam 48 jam sebelumnya, sakit dada
>20menit, dan masih dalam keadaan sakit pada saat datang, angina saat
istirahat yang tidak hilang dengan nitrat
b. Pemeriksaan fisik: edema paru akibat iskemia, regurgitasi mitral baru atau
perburukan, ronkhi basah yang banyak, bradikardi atau takikardi, umur
>75tahun.
c. EKG: Angina at rest dengan perubahan segmen ST yang bersifat sementara,
Bundle branch block/BBB yang baru atau diperkirakan baru, sustained
ventricular tachycardia (tertahan).
d. Kardio marker: peningkatan kadar Troponin, TnT atau Tn I >0.1mg/ml
2. Risiko sedang
a. Riwayat: Pernah MI, penyakit perifer atau serebrovaskuler CABG, pemakai
aspirin, rest angina >20menit tetapi saat datang, sakit dada sudah
berkurang/hilang. Rest angina <20menit dan hilang dengan nitrogliserin
sublingual. Umur >70 tahun
b. EKG: inversi gelombang T > 0.2 mV, Q patologis
c. Kardo marker: meningkat ringan
3. Risiko rendah
a. Riwayat: New onset CSS klas III atau II angina dalam waktu 2 bulan terakhir,
tidak ada rest pain yang lama, tidak termasuk kemungkinan APTS/NSTEMI
sedang atau tinggi
b. EKG: normal atau tidak berubah selama episode discomfort.
c. Kardio marker: normal
IV.3 Diagnosis9,10
IV.3.1. Anamnesis
Keluhan pasien antara lain adalah keluhan angina untuk pertama kali atau angina yang
semakin memberat dari biasa. Angina biasa dirasakan saat beraktivitas atau pada saat istirahat.
Nyeri dada ini biasanya dirasakan beserta keluhan sesak nafas, mual sampai muntah, keringat
dingin. Nyeri dadanya bersifat khas, dengan kriteria sebagai berikut:
Kualitas nyari
Rasa tertekan/tertindih1,4
Rasa tidak nyamanan/kesusahan/kegelisahan1,4
Rasa seperti kesempitan1,4
Rasa berat1,4

Lokasi
23

Nyeri angina pektoris biasanya pasien tidak mengetahui letak sumber nyeri (diffuse),
dan biasanya letak nyeri berlokasi di retrosternal, atau di perikardium kiri. Tetapi nyeri
bisa menjalar ke dada, punggung, leher, rahang bawah atau perut bagian atas. Rasa

nyeri biasanya tidak lebih dari 10 menit.1,4


Mekanisme Nyeri Dada
Rasa nyeri di daerah dada dan perut di pengaruhi oleh saraf intercostales (T1-12),
nervus sympatikus dan nervus parasimpatikus. Rasa nyeri jantung biasanya dirasakan
dari Th1-4, yang dinamakan serabut sensorik atau viseral averen. Badan sel berada di
dalam ganglion posterior yang sama, sehingga bila di daerah viseral mengalami suatu
cidera maka rasa nyeri tersebut akan terasa di bagian perifer.7

Gambar . Persarafan jantung dan cabang-cabang persarafannya.

IV.3.2 .Pemeriksaan Laboratorium


Penanda jantung yang digunakan yang paling penting untuk diagnosis sindrom
koroner akut adalah pemeriksaan troponin T dan I (cTn T, I) serta CKMB. Menurut European
Society of Cardiology (ESC) dan American College of Cardiology (ACC) dianggap terdapat
mionekrosis bila cTn T dan I positif dalam 24 jam. cTn tetap positif dalam 2 minggu.
CKMB kurang spesifik untuk diagnosis karena ditemukan juga pada otot skeletal, tapi
berguna untuk diagnosis iskemia akut dan akan meningkat dalam beberapa jam, kembali
normal dalam 48 jam.
Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker
yang lain seperti amioid A, interleukin-6 belum rutin dipakai dalam diagnosis SKA.
IV.3..3.Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG digunakan untuk diagnosis dan stratifikasi risiko pasien dengan
angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan iskemia
akut. Gelombang T terbalik juga merupakan tanda adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan
gelombang T dan ST tidak spesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,5 mm dan
gelombang T terbalik kurang dari 2 mm tidak spesifik untuk iskemia. 4% pasien dengan
angina tak stabil memiliki gambaran EKG yang normal dan 1-6% pasien NSTEMI memiliki
gambaran EKG yang normal
Exercise Test
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan memiliki resiko tinggi perlu
dilakukan pemeriksaan exercise test dengan menggunakan treadmill, bila hasilnya negative
maka prognosisnya baik tetapi bila hasilnya positif atau depresi segmen ST menjadi lebih
24

dalam maka dianjurkan melakukan pemeriksaan angiografi koroner untuk menilai apakah
perlu dilakukan tindakan revaskularisasi koroner.
Ekokardiografi
Tes menggunakan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak
stabil hanya memberikan gambaran prognosis pada pasien angina pectoris tak stabil. Bila
tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya insufisiensi mitraldan abnormalitas
gerakan dinding regional jantung, menandakan prognosinya kurang baik.
IV.4 Penatalaksanaan
Terapi umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya diunit intensif koroner. Penatalaksaan
pertama adalah tirah baring (bedrest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian morfin di
indikasikan bila pasien masih merasakan nyeri dada setelah diberikan nitrogliserin.
1) Pasang infus intravena : dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
2) Aktivitas: istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat tidur dan
mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.
3) Diet: puasa sampai nyeri hilang, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung (rendah
lemak tinggi serat).
4) Medikamentosa:
o Oksigen nasal 2 l/mnt; terutama pada pasien sianosis, distress pernafasan atau
risiko tinggi.
o Mengatasi rasa nyeri: nitrat sublingual atau patch. Jika angina tidak membaik
setelah pemberian nitrogliserin sublingual 3 kali berturut-turut atau setelah
terapi anti-iskemik adekuat angina berulang diberikan: nitrogliserin drip atau
morfin 2,5 mg intravena, dapat diulang tiap lima menit sampai dosis total 20
mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.
o Aspirin 80 325 mg hisap atau telan, tiklopidin 2 x 250 mg jika terdapat
hipersensitivitas atau kontraindikasi terhadap aspirin.
o Heparin intravena sesuai protokol. Target aPTT 1,5-2,5 kontrol. Biasanya
diberikan 3-5 hari tergantung respon klinis.
o Nitrat oral atau topikal kerja panjang setelah nitrogliserin sublingual
o Penghambat beta:

Propranolol: 0,5-1 mgIV, dilanjutkan 3 x 10-40 mg oral.

25

Metoprolol: 5 mg intravena (diberikan perlahan dalam 1-2 menit)


diulang tiap 5 menit sampai dosis awal total 15 mg, dilanjutkan
metoprolol oral 2 x 25-50 mg.

Atenolol: 5 mgIV, dilanjutkan 5 menit kemudian 5 mg intravena,


kemudian 1 x 50-100 mg oral.

Esmolol: mulai dengan dosis pemeliharaan 0,1 mg/kgBB/menit,


dititrasi dengan menaikkan dosis 0,05 mg/kgBB/menit, tiap 10-15
menit yang masih dapat ditoleransi sampai respon terapi yang
diharapkan, atau telah tercapai dosis 0,2 mg/kgBB/menit. Dosis
loading pilihan lain untuk onset kerja yang lebih cepat adalah 0,5
mg/kgBB/menit diberikan intravena perlahan (2-5 menit). Target
frekuensi jantung 50-60/menit.

o Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau IV.
o Obat pelunak tinja, laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.
o Pertimbangkan antagonis kalsium terutama deltiazem bila ditemukan:
hipertensi, iskemia refrakter, angina varian.
o Kateterisasi jantung segera dilakukan pada pasien dengan episode iskemia
berat.

>1 kali dan berkepanjangan (> 20 menit), terutama yang disertai

dengan: edema paru akut, regurgitasi mitral baru atau perburukan, hipotensi,
perubahan ST-T baru.
Farmakoterapi
Obat Anti Iskemia
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang dapat diberikan
terapi awal mencakup nitrat sub lingual dan dilanjutkan intravena dan pemberian beta blocker
oral. Antagonis kalsium dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat diberikan beta blocker.
1. Nitrat
Menyebabkan vasodilatasi vena dan arteriol perifer, sehingga menurunkan preload
dan

afterload yang menyebabkan berkurangnya kebutuhan oksigen. Nitrat juga

menambah suplai oksigen dengan cara membuat vasodilatasi koroner dan


memperbaiki aliran darah kontralateral. Pemberian nitrogliserin secara sublingual dan
intravena dilakukan pada keadaan akut. Dosis pemberian isosorbid dinitrat 1-4
mg/jam, dosis dapat ditingkatkan karena adanya toleransi terhadap obat tersebut. Bila
keluhan sudah terkendali pemberian secara infuse dapat diganti dengan pemberian
oral.
26

Nitrat pertama kali harus diberikan secara sublingual atau spray bukal, jika
nyeri menetap diberikan nitrat 3 kali dalam interval 5 menit. Pemberian nitrogliserin
secara intravena direkomendasikan mulai 5-10g/menit, laju infuse ditingkatkan
10g/menit tiap 3-5 menit hingga keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik
<100 mmHg. Setelah pasien bebas nyeri dalam 12-24 jam pemberian secara IV diganti
dengan oral. Kontra indikasi jika pasien hipotensi atau penggunaan sildenafil atau
sekelasnya dalam 24 jam.
2. Beta blocker
Pemberian beta blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokard melalui
penurunan denyut jantung dan daya kontraktilitas miokard. Semua pasien dengan
angina tak stabil diberi dengan beta blocker kecuali terdapat kontra indikasi yaitu
pasien dengan asthma dan bradiaritmia. Berbagai macam beta-blocker seperti
propanolol, metopropol, atenolol, telah diteliti pada pasien dengan angina tak stabil,
yang menunjukan efektivitas yang serupa.
Target pemberian beta blocker adalah frekuensi jantung 50-60 kali/menit. Pada
nyeri dada persisten dan rekuren dengan pemberian beta blocker dan nitrat diberikan
antagonis kalsium dan morfin dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit
hingga dosis 20 mg.
3. Antagonis kalsium
Terdiri dari 2 golongan : dihidropiridin dan nondihidropiridin seperti diltiazem
dan verapamil. Kedua golongan ini memberikan efek vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah. Pemakaian antagonis kalsium bila pasien memiliki
kontraindikasi terhadap beta blocker.
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif
juga lebih kecil. Pada pasien dengan angina tak stabil yang mendapat antagonis
kalsium, menunjukan tak ada pengurangan angka kematian dan infark. Pada pasien
yang sebelumnya tidak mendapat antagonis, pemberian nifedipin menaikkan infark
dan angina yang rekuren sebesar 16%, sedangkan kombinasi nifedipin dan metoprolol
dapat mengurangi kematian dan infark sebesar 20%, tapi kedua studi itu tidak
bermakna. Kenaikan mortalitas mungkin karena pemberian nifedipin menyebabkan
takikardia dan kenaikan kebutuhan oksigen.
Verapamil dan diltiazem dapat memperbaiki survival dan mengurangi infark
pada pasien pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal.
Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada
golongan nondihidropiridin. Pada pasien SKA dengan faal jantung normal.
27

Pemakanian antagonis kalsium biasanya pada pasien yang kontraindikasi dengan


antagonis atau telah diberi penyekat beta tapi keluahan angina masih refrakter.
Obat Antiagregasi Trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tak stabil
maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga golongan obat anti platelet seperti aspirin,
tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIb telah terbukti bermanfaat.
1. Aspirin
Aspirin dosis kecil memberikan efek anti agregasi trombosit. Pada studi dibuktikan
pemberian aspirin pada pasien angina tak stabil dapat menurunkan risiko kematian
jantung dan infark miokard dari 51%-72%. Penggunaan aspirin seumur hidup
dianjurkan pada dengan dosis awal 160 mg/hari dan dosis selanjutnya 60-325 mg/hari.
2. Tienopiridin
a. Tiklopidin
Merupakan derivate tienopiridin sebagai obat lini kedua pada pasien angina tak
stabil yang tak tahan dengan aspirin. Tiklopidin memiliki efek samping
granulositopenia pada 2,4% pasien. Tapi mulai ditinggalkan semenjak ada
klopidogrel.
b. Clopidogrel
Merupakan derivate tienopiridin yang memberikan efek antiagregasi trombosit.
Efek samping lebih kecil dibanding tiklopidin sehingga tiklopidin mulai
digantikan dengan klopidogrel. Pemberian klopidogrel diindikasikan pada pasien
yang tidak tahan terhadap aspirin. Dalam pedoman ACC/AHA pemberian
klopidogrel dianjurkan bersamaan bersama aspirin paling sedikit 1 sampai 9 bulan.
Dosis klopidogrel dimulai dari 300 mg/hari dilanjutkan dosis 75 mg/hari.
Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular.
3. GP IIb/IIIa inhibitors
Fibrinogen akan berikatan dengan reseptor GP IIb/IIIa untuk membentuk ikatan antara
trombosit dan fibrinogen. Dengan GP IIb/IIIa inhibitor maka tidak akan terbentuk
ikatan antara trombosit dan fibrinogen. Tiga golongan obat ini adalah absiksimab,
suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, siklik heptapeptid; tirobifan, suatu mimetik.
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun untuk obat
tambahan dalam tindakan PCI terutama kasus-kasus angina tak stabil. Tirofiban dan
eptifibatid harus diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemia
terus menerus atau pasien resiko tinggi dan pasien yang direncanmakan untuk

28

tindakan PCI. Abciximab disetujui untuk pasien angina tak stabil dan NSTEMI yang
direncanakan dalam 12 jam.
Obat Antitrombin
1. Unfractionated heparin
Ikatan antara antitrombin III dengan heparin akan menghambat thrombin dan
faktor Xa. Heparin juga dapat berikatan dengan protein plasma lain sehingga dapat
mempengaruhi bioavailibilitasnya. Kelemahan yang lain adalah efek hambatan ini
dapat dirusak oleh platelet faktor 4. Menurut metaanalisis dari 6 penelitian
menunjukan bahwa pemberian heparin bersamaan aspirin dapat mengurangi resiko
sebesar 3% dibandingkan aspirin saja. Activated partial thromboplastin time (APTT)
harus 1.5-2.5 kali kontrol dan dilakukan pemantauan tiap 6 jam setelah pemberian.
Pemeriksaan trombosit juga perlu untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparininduced thrombositopenia (HIT).
2. Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Dibuar dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin.
Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 dan hanya bekerja pada faktor Xa,
sedangkan heparin menghambat faktor Xa dan trombin. Obat yang beredar di
Indonesia antara lain adalah dalteparin,nadroparin dan enoksaparin. Dibandingkan
dengan heparin adalah LMWH mempunyai ikatan terhadap protein plasma kurang,
sehingga bioavailibilitasnya lebih besar dan tidak mudah dinetralisir oleh faktor 4,
lebih besar pelepasan tissue factor pathway inhibitor(TFPI) dan kejadian
trombositopenia lebih sedikit. Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian
mudah yaitu dapat disuntikan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
3. Direct Trombin Inhibitor
Bekerja langsung mencegah pengaktivan thrombin (pembentukan pembekuan
darah) tanpa dihambat oleh plasma protein dan platelet faktor 4. Yang termasuk dalam
golongan ini adalah. Bivalirudin telah disetuji untuk menggantikan heparin pada
pasien angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat
menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).

29

BAB V
ST Elevation Acute Coronary Syndromes, STEACS (STEMI)
V.1

Diagnosis
Diagnosis STEMI ditegakkan dengan anamnesis khas IMA , gambaran EKG adanya

elevasi segmen ST lebih dari atau sama dengan 2 mm pada minimal 2sandapan prekordial
yang berdampingan, elevasi segmen ST lebih dari atau sama dengan 1 mm pada 2 sandapan
ekstrimitas dan pemeriksaan penanda jantung, troponin T yang meningkat, memperkuat
diagnosis.2,3
V.1.1. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis dengan
cermat apakah nyeri tesebut berasal dari jantung atau bukan. Perlu dianamesis adanya riwayat
infark miokard sebelumnya serta faktor risiko lain seperti hipertensi, DN, dislipidemia,
merokok, serta stress. Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi, atau penyakit medis atau bedah. Walaupun
STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasisirkadian dilaporkan pada pagi hari
dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
V.1.2. Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak
keringat curiga kuat adanya STEMI. Seperempat pasien infark anterior mengalami
manifestasi hiperaktivitas simpatis dan setengan pasien infark inferior menunjukkan
30

hiperaktivitas parasimpatis. Pada pasien IMA terjadi disfungsi ventrikel yaitu, S3 dan S4
gallop, penurunan intensitas S1 dan split paradoksal S2.
Dapat ditemukan ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical sementara
karena adanya disfungsi katup mitral dan pericardial friction rub. Pada minggu pertama pasca
STEMI dapat ditemukan peningkatan suhu sampai 38 derajat.
V.1.3. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG dilakukan segera pada pasien yang memiliki gejala khas. Jika
pemantauan EKG awal tidak ditemukan adanya elevasi ST namun pasien tetap simptomatik
maka pasien dipantau secara serial dengan interval setiap 5-10 menit atau secara kontinu.

GambarV.1. EGC evolution sepanjang ST-elevation MI

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG ang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q,
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus
tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak stabil
atau nonSTEMI.
V.1.4. Penanda Jantung
peningkatan nilai 2 kali nilai normal menandakan adanya infark miokard.
CKMB : meningkat setelah 3 jam, mencapai puncak dalam 10-13 jam dan kembali

normal dalam 2-4hari.


Troponin : cTn T dan cTn I. meningkat setelah 2 jam, mencapai puncak dalam 10-24
jam, cTn T masih bias dideteksi dalam 5-14 hari, sedangkan cTn I masih dapat

dideteksi dalam 5-10 hari.


Mioglobin: dapat dideteksi setelah 1 jam dan mencapai puncak dalam 4-8jam
31

Kreatin Kinase : meningkat setelah 3-8 jam, mencapai puncak dalam 10-36 jam dan

kembali normal dalam 3-4 hari.


Laktak Dehidrogenase : meningkat setelah 24-36 jam, mencapai puncak dalam 3-6
hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polymorfonuklear yang
terjadi beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap dalam 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai
12.000-15.000/L.
V.2

Penatalaksaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada dan

implementasi strategi referfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi
antiplatet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA
Tata laksana awal
1. Tata laksana pra hospital
Prognosis STEMI tergantung terhadap 2 kelompok kolmplikasi yaitu komplikasi
elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Elemen utama tata
laksana pre hospital :
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
Segera memanggil tim emergensi medis dan segera melakukan resusitasi
Tranportasi pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih
Melakukan terapi reperfusi.
2. Tata laksana di ruang emergensi
Tata laksana mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat
pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien yang tepat dan
hindari pemulangan cepat pada pasien dengan STEMI.
Tata laksana Umum
1. Oksigen
Pada pasien dengan saturasi oksigen < 90% harus diberikan oksigenasi segera. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.
2. Nitrogliserin (NTG)
NTG dapat diberikan dalam dosis 0,4mg sebanyak 3 kali dengan interval 5 menit.
Terapi NTG dihandari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau
pasien yang dicurigai infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi) dan pada pasien yang mengkonsumsi sedenafil
karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
32

3. Mengurangi/menghilangkan Nyeri Dada


Pemberian Morfin dapat mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan
utama dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI.morfin diberikan dengan dosis 2-4
mg dan dapat diulang setiap interval 5-15 menit hingga dosis 20 mg. efek samping
yang perlu diwaspadai :
Konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis sehingga terjadi
pooling vena yang dapat mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek ini
diatasi dengan elevasi tungkai dan pada keadaan tertentu diberikan NaCl 0,9%

IV.
Efek vagotonik yang dapat menyebabkan bradikari dan blok jantung derajat
tinggi terutama pasien infark posterior. Efek ini dapat diatasi dengan
pemberian atropine 0,5 mgIV.

4. Aspirin
Tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI.inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksai kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi
aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg diberikan diruang emerensi, dilanjutkan
dengan oral dosis 75-162 mg.
5. Beta blocker
Pada pemberian morfin dan nitrat yang tidak meredakan nyeri dada diberikan beta
blocker. Pemberian 5 mg metoprolol setiap 3-5 menit dalam 3 dosis, harus
diperhatikan :
Frekuensi >60 kali/menit
Tekanan sistolik >100mmHg
Interval PR <0,24 mm
Ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma
6. Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel sehingga mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikuler maligna.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contat-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit
atau door-to-balloon (atau medical contact-to-balloon) time untuk PCI dapat dicapai
dalam 60 menit.
Langkah langkah penilaian dalam memilih terapi reperfusi pada pasien STEMI :
1. Nilai waktu dan risiko
a. Waktu sejak onset gejala
Prediktor penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat
fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat tergantung dengan
33

waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan pada 2 jam pertama (terutama jam
pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis
menurunkan angka kematian. Beberapa laporan menunjukan tidak ada
pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan
setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.
b. Risiko STEMI
Jika estimasi mortalitas sengan fibrinolisis sangat tinggi seperti pada pasien
renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukan strategi PCI lebih baik.
c. Risiko fibrinolitik
Semakin tinggi resiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat
keputusan untuk memilih PCI.
d. Waktu yang dibutuhkan dalam transportasi menuju laboratorium PCI yang
mampu
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah
PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI,
penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis.
Jika composite end point kematian, infark miokard rekuren nonfatal atau
stroke dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark
miokard nonfatal berulang.
2. Tentukan apakah terapi fibrinolisis atau terapi invasive lebih disukai. Jika
presentasi kurang dari 3 jam dan tidak ada keterlambatan untuk tindakan invasive,
maka tidak ada pilihan strategi lain.
Reperfusi farmakologis :
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit
sejak masuk (door-to-needle-time< 30menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah
restorasi cepat patensi arteri koroner.
Jika dinilai secara angiografi, aliran didalam arteri koroner yang terlibat (culprit)
digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial
infarction (TIMI) grading system:
Grade 0 : menunjukan oklusi total (complete occlusions)
Grade 1: menunjukan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik

obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal.


Grade 2 : menunjukan perfusi pembuluh darah yang mengalami infark ke
bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibanding aliran arteri
normal.

34

Grade 3 : menunjukan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan

aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri
koroner ysng terkena infark menunjukan hasil yang lebih baik balam membatasi
luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas
jangka pendek dan jangka panjang.
Terapi fibrinolitik
Indikasi terapi fibrinolitik
Klas I
1. Jika tidak ada kontraindikasi, dilakukan pada pasien STEMI dengan onset
gejala <12 jam dan Elevasi ST > 0,1 mV pada sekurang-kurangnya dua
sadapan prekordial atau sekurang-kurangnya dua sadapan ekstremitas.
2.

Jika tidak ada kontraindikasi , onset gejala < 12 jam, dan LBBB baru atau
diduga baru.

Klas IIa
1. Jika tidak ada kontraindikasi, onset gejala <12 jam dan EKG 12 sandapan
konsisten dengan infark miokard posterior.
2. Jika tidak ada kontraindikasi, dengan gejala mulai dari <12jam sampai 24 jam
yang mengalami gejala iskemia yang terus berlanjut dan elevasi ST 0.1 mV
pada sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau
skurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas.

Sedangkan kontra indikasi pemberian terapi fibrinolitik, antara lain:

Kontraindikasi fibrinolitik absolute

Riwayat perdarahan intracranial kapanpun

Lesi structural cerebrovascular. Contoh ; arterio venous malformation

Tumor intracranial ( primer maupun metastasis )

Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali dalam 3 jam terakhir

Dicurigai diseksi aorta

Adanya trauma/pembedahan/trauma kepala dalam 3 bulan terakhir

Adanya perdarahan aktif ( tidak termasuk menstruasi )


35

Kontraindikasi fibrinolitik relative


o Riwayat hipertensi kronik
o Hipertensi berat tidak terkontrol. Systole > 180 mmHg Diastole > 110 mmHg
o Riwayat stroke, iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan intracranial selain
pada absolute
o Resusitasi jantung paru traumatic atau lama > 10 menit atau operasi besar < 3
o
o
o
o
o

minggu
Perdarahan internal dalam 24 minggu terakhir
Terapi anti koagulan oral
Kehamilan
Non compressible puncture
Ulkus peptikum aktif, Khusus untuk streptokinase / anistreplace riwayat alergi
pada zat tersebut

Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain:


a. Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan
dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuk antibodi.
Harganya murah dan insiden perdarahan intrakranial rendah. Dosis pemberian:
1,5 juta UI dalam 1 jam.
b. Tissue plasminogen activator (tPA, Alteplase)
Menurut GUSTO-1 trial tPA menurunkan mortalitas 30 hari sebesar 15%
daripada SK, namun harganya lebih mahal dan risiko perdarahan intrakranial
sedikit lebih tinggi. Dosis: bolus 15 mg, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB (maksimal
50 mg) dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit
c. Reteplase (r-PA)
Inject trial menunjukan efikasi dan keamanan sebanding SK dan
sebanding tPA pada GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah karena
waktu paruh yang lebih panjang. Dosis: bolus dobel, 10 U bolus dua kali,
interval 30 menit.
d. Tenekteplase (TNKase)
Keuntungannya

mencakup

memperbaiki

spesifisitas

fibrin

dan

resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Komplikasi


perdarahn sebanding dengan tPA. Bolus satu, dosis berdasarkan BB <60kg
30mg, 60-69kg 35mg, 70-79 40mg.
Tabel: Strategi terapi reperfusi (fibrinolisis atau invasif)
36

Terapi Fibrinolisis

Onset < 3 jam


Tidak tersedia pilihan invasif terapi
- Kontak doctor-baloon atau doorbaloon > 90 menit
- (door-baloon) minus (doorneedle) lebih dari 1 jam.
Tidak terdapat kontraindikasi
fibrinolisis

Terapi Invasif (PCI)

Onset > 3 jam


Tersedia ahli PCI
- Kontak doctor-baloon atau door
baloon < 90 menit.
- (Doorbaloon) minus (doorneedle) < 1 jam
Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk
resiko perdarahan dan perdarahan
intraserebral.
STEMI resiko tinggi (CHF, Killip 3)
Diagnosis STEMI diragukan.

Percutaneous Coronary Intervention (PCI)


Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI
jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif daripada
fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome
klinis jangka pendek dan panjang yang lebih baik. Dibandingkan fibrinolisis, PCI lebih dipilih
jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau
gejala sudah ada minimal 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah
hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa RS.

V.3

Komplikasi
1. Aritmia
Beberapa aritmia mungkin timbul pada IMA. Hal ini disebabkan perubahan-perubahan
listrik jantung sebagai akibat iskemia pada tempat infark atau daerah perbatasan yang
mengelilingi, kerusakan sistem konduksi, lemah jantung kongestif atau keseimbangan
elektrolit yang terganggu.
o Aritmia ventrikel: Ekstra sistol ventrikular (VES) sering terjadi pada IMA.
Takikardia ventrikel (VT) atau fibrilasi ventrikel (VF). VES dapat merupakn
pencetus timbulnya VT atau VF.
o Aritmia atrial: Atrial takikardia, Atrial fibrilasi (AF), Atrial flutter jarang
terjadi tetapi bila ada, dapat menyebabkan gangguan hemodinamik.

37

Bradiaritmia akibat kerusakan nodus SA atau AV sering terjadi pada IMA


didinding posterior.
2. AV Block: dapat terjadi 1st degree AV block, 2nd degree AV block, 3rd degree AV block,
RBBB baru, LBBB baru.
3. Gagal Jantung (pump failure)
Dapat timbul akibat kerusakan ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya dengan
atau tanpa aritmia.cardiac output pada pump failure akibat IMA tersebut menyebabkan
perfusi ke perifer berkurang. Peningkatan resistensi perifer sebagai kompensasi
menyebabkan beban kerja jantung bertambah. Circulus vitiosus ini juga terjadi pada
gagal jantung kronik. Bentuk yang paling ekstrim pada gagal jantung ini ialah syok
kardiogenik. Gagal pada ventrikel menyebabkan Left ventricular end siastolic pressure
(LVESP) meningkat sehingga tekanan left atrium (LA) meningkat yang menyebabkan
tekanan arterial dan kapiler pada paru meningkat disertai kongesti paru sehingga
menyebabkan sesak nafas.

4. Emboli/Tromboemboli
Emboli paru: Adanya gagal jantung dengan kongesti vena, disertai tirah baring yang
berkepanjangan merupakan faktor predisposisi trombosis vena-vena tungkai bawah
yang mungkin lepas dan terjadi emboli paru dan mengakibatkan kemunduran
hemodinamik (DVT)
5. Ruptura
Komplikasi ruptura miokard mungkin terjadi pada IMA dan menyebabkan
kemunduran fungsi hemodinamik. Ruptura biasanya pada batas antara zona infark dan
normal. Ruptura yang komplit (pada free wall) menyebabkan perdarahn cepat ke
dalam kavum pericard sehingga terjadi tamponade jantung dengan gejala klinis yang
cepat timbulnya.
Ruptur IVS: timbul VSD akut dengan L to R shunt. Disfungsi M. Papilaris
akibat iskemia atau ruptura partial atau ruptur komplit akan menyebabkan perburukan
hemodinamik.
V.4

Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA, antara lain:
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana; s3 gallop,
kongesti paru, dan syok kardiogenik.
38

Klasifikasi akibat gagal jantung berdasarkan penilaian klinis:


Klasifikasi Killip pada IMA

Kelas

Definisi

Mortalitas (%)

Tak ada tanda gagal jantung kongestif

II

Gagal jantung ringan, +S3 dan atau rongki paru (kongesti


paru pada Ro thorax)

17

III

Edema paru, ronkhi basah >50% pada kedua paru

30-40

IV

Syok kardiogenik, hipotensi dengan TD<90mmHg,


vasokonstriksi perifer, oliguria, kongesti pembuluh darah
paru.

60-80

Klasifikasi Forrester
berdasarkan monitoring hermodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary
wedge presure (PWCP)

TIMI

risk

prognosis

score adalah sitem


paling akhir yang

menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada


pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.

Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI


Skor
Faktor Risiko (Bobot)
Risiko/Mortalitas
30 hari(%)
Usia 65-74 tahun (2poin)
0 (0.8)
Usia >75 tahun (3poin)
1 (1,6)
Diabetes melitus/ hipertensi atau angina
2 (2,2)
(1poin)
TD sistolik < 100mmHg (3poin)
3 (4,4)
Frekuensi jantung > 100mmHg (2poin)
4 (7,3)
Klasifikasi killip II-IV (2poin)
5 (12,4)
Berat <67kg (1poin)
6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1poin)
7 (23,4)
Waktu ke reperfusi >4jam (1poin)
8 (26,8)
Skor resiko = total poin (0-14)
>8 (35,9)

39

BAB VI
KESIMPULAN

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi
klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri
atas angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut (IMA) yang disertai elevasi segmen ST,
dan IMA tanpa elevasi segmen ST. Ketiga penyakit tersebut mempunyai mekanisme
patofisiologi yang sama, yaitu disebabkan oleh terlepasnya plak yang merangsang terjadinya
agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stenosis berat
atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli. Sedangkan letak perbedaan antara
angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan elevasi ST adalah dari jenis trombus yang
menyertainya. Angina tak stabil dengan trombus mural, Non-elevasi ST dengan thrombus
inkomplit/nonklusif, sedangkan pada elevasi ST adalah trobus komplet/oklusif.
Diagnosis sindrom koroner akut didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta

pemeriksaan

penunjang

berupa

elektrokardiogram

dan

biomarker

jantung.

Penatalaksanaan pasien dengan sindrom koroner akut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
penatalaksanaan STEMI dan NSTEACS (UAP & NSTEMI). Pada pasien STEMI, PCI primer
merupakan terapi reperfusi yang lebih dianjurkan dibanding fibrinolisis sepanjang
keterlambatan dari onset gejala 90-120 menit. Selain itu, terdapat juga terapi awal seperti
pemberian oksigen, NTG, beta blocker, morfin, dan ASA, serta terapi sekunder berupa terapi
platelet, beta blocker, terapi penurun kadar lipid, ACE inhibitor, antagonis aldosteron, dan
40

suplemen diet. Angiografi koroner direkomendasikan pada semua pasien setelah terapi
fibrinolitik dan pada pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi. Sedangkan pada pasien
NSTEACS, terdapat empat kategori terapi, yaitu antiiskemik, antikoagulan, antiplatelet dan
revaskularisasi koroner.

BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
1. J Am Coll Cardiol. ACC/AHA 2007 Guidelines for the management of patient with
unstable

angina/non-ST elevation

myocardial

infarction.

2007. Available

at

http://content.onlinejacc.org/cgi/content/full/50/7/e1. And Guidelines for management of


patients

with

ST

elevation

Myocardial

Infarction.

2007.

Available

at

http://content.onlinejacc.org/cgi/content/full/j.jacc.2007.10.001 diakses pada 5 Oktober


2012.
2. Yeghiazarians Y, Braunstein JB, Askari A, and Stone P. Unstable angina pectoris. N Engl J
Med 2000; 342:101-11.
3. Trisnohadi H. Angina Pektoris Tak Stabil dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi 4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007. p1606-10.
4. Alwi Idrus. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi 4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. p1615-26.
5. Bertrand ME, Chair, Simoons ML, et al. Management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment elevation. European Heart Journal 2002;
23: 18091840
6. By Kristen J. Overbaugh, MSN, RN, APRN-BC. Acute Coronary Syndrome. American
Journal of Nursing 2009; 109(3): p89-95.
7. Hamm C, Heeschen C, Falk E, Fox Keith A. Acute coronary syndromes: pathophysiology,
diagnosis and risk stratification in European society textbook of cardiovascular medicine.
41

1st edition. Blackwell Publishing, 2006. p333-60.


8. Crawfors HM, Chyu K. Unstable Angina/Non-ST Elevation Myocardial Infarction in
CURRENT Diagnosis & Treatment : Cardiology 3rd Edition: McGraw-Hill Companies,
2009. p247-63
9. Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Dkk. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam . Jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka FKUI.
10. Lilly, Leonard S. 2003. Pathofisiology of Heart Disease. USA: Lippincott Williams
Wilkins.

42

Anda mungkin juga menyukai