Oleh
Rozi Abdullah
PPDS FARMAKOLOGI KLINIK
ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG
PENDAHULUAN
Elektrofisologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai mekanisme terbentuknya fenomena
elektris dan
konsekuensinya
Elektrofisiologi
dalam
jantung mempelajari
(Dorland, 2007).
tentang
dan
mekanisme,
fungsi
keberadaan
aktivitas elektris di jantung termasuk inisiasi impuls dan konduksi dari level seluler.
Gangguan jantung dengan dasar gangguan proses elektrik
umumnya
didiagnosis
klinis
berdasarkan
adalah
aritmia.
Aritmia
mencerminkan arus listrik akibat proses eksitasi otot jantung keseluruhan. Gambar 1
menggambarkan kaitan antara proses elektrofisologis seluler dengan ECG.
Gambar 1. Hasil EKG dan potensial aksi di di sel miosit ventrikel (Wildmaier et
al, 2001)
Aritmia sering terjadi pada manusia dengan penyakit jantung yang mendasari atau pada
jantung yang secara struktur normal. Walaupun manifestasi klinik aritmia sangat bervarisasi
namun dapat terjadi fenomena elektrofisiologis yang serupa dalam level seluler (Gaztanaga
et al, 2012). Terdapat
3 mekanisme utama terjadinya aritmia yaitu automatisitas, trigerred activity dan reentry,
semuanya merupakan
memahami
ketiga
bentuk
perubahan
karakter
elektrofisiologis
jantung.
Untuk
misalnya mengenai potensial membran, potensial aksi, periode refraktori dan sistem
konduksi. Pemahaman mengenai mekanisme aritmia penting dalam pengembangan
penegakan diagnosis dan manajemen. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai dasar
elektrofisiologi jantung dan mekanisme utama terjadinya aritmia.
POTENSIAL MEMBRAN
Setiap membran sel mempunyai potensial membran yang terjadi karena perbedaan
konsentrasi ion di sitoplasma dengan interstitial dan berubah bila ada aliran ion melintasi
membran (Mohrman and Haller, 2006). Potensial membran istirahat didefinisikan sebagai
perbedaan potensial listrik (voltase) pada membran sel eksitabel selama kondisi istirahat.
Potensial membran istirahat sel tubuh berada dalam rentang +5 sampai -100 mV. Pada
sebagian besar sel, potensial membran istirahat berada dalam kondisi terpolarisasi dengan
nilai negatif, yang berarti bagian intrasel lebih negatif dari bagian ekstrasel. Sel pacemaker
jantung mempunyai potensial membran istirahat -60 mV sedangkan sel otot jantung -90
mV (Tortora dan Dericsson, 2010).
protein bermuatan sebagai sensor voltase (gambar 3) yang sensitive terhadap perubahan
potensial membran (Jalife et al, 2009)
Kanal
Na (arus pada
pacemaker) Voltase
dan ligand
Kanal Na (cepat)
Voltase
Kanal Ca-L (lambat)
Voltase dan ligand
Peran fungsional
Diaktifkan oleh hiperpolarisasi
Berperan pada depolarisasi diastolik yang tidak
stabil
Dipacu oleh
stimulasi
Berperan
dalam
fase 0simpatis
potensial aksi
Inaktifasi kanal berperan dalam fase 1 potensial aksi
Ditekan oleh stimulasi vagal (parasmpatis)
Berperan dalam fase 2 potensial aksi (plateu)
Inaktifasi kanal berperan dalam fase 3
Dipacu oleh stimulasi simpatis dan agen beta
adrenergik
Tabel 2. Kanal
K
Arus
ITo
IKI
IK
Kanal
Kanal K
(transient outward)
Kanal K
(inward rectifier)
Kanal K
(delayed rectifier)
IKAT Kanal K
P
(sensitif ATP)
IKAch Kanal K
(diaktifkan
Ach) Ligand
Peran fungsional
Kontribusi fase 1 potensial aksi
PERUBAHAN
MEMBRAN
POTENSIAL
Perubahan keadaan kanal ion akan menyebabkan perubahan pada permeabilitas membran.
Peningkatan permeabilitas membran terhadap suatu ion disebabkan oleh peningkatan jumlah
kanal ion yang terbuka. Bila kanal ion terbuka maka terjadilah aliran ion melintasi membran
sehingga konsentrasi ion intrasel dan ekstrasel berubah. Perubahan permeabilitas membran
plasma terhadap ion tertentu dapat mengubah potensial membran dari keadaan istirahat.
Perubahan tersebut dapat berupa depolarisasi, overshoot, repolarisasi dan hiperpolarisasi
(gambar 4)
tinggi
di
intrasel
Pembukaan kanal ion menyebabkan suatu inward current atau outward current (gambar 5).
Peningkatan permebilitas membran terhadap ion Na dan Ca menyebabkan aliran ion
bermuatan positif ke dalam sel (inward current) sehingga polaritas membran berkurang
(arus defleksi negatif, voltase depolarisasi). Sebaliknya peningkatan permeabilitas membran
terhadap ion K menyebabkan aliran ion positif keluar sel (outward current) sehingga
polaritas membran bertambah (arus defleksi positif, voltase repolarisasi). Penutupan atau
inaktivasi kanal ion menghentikan efek ini. Proses yang melibatkan aliran ketiga ion utama
ini mendasari terbentuknya potensial aksi di jantung.
potensial
properti
elektrofisiologisnya.
Secara
umum
mekanisme
pacemaker dan di otot kontraktil jantung. Potensial aksi yang timbul di pacemaker
merupakan slow response action potential sedangkan di otot jantung merupakan fast
response action potential (Tabel 3)
Tabel 3. Perbandingan Slow dan Fast Response Action
Potential
Slow Response Action Potential
potensial aksi pacemaker
Inisiasi depolarisasi lebih lambat
amplitude potensial aksi yang lebih
rendah
fase plateu yang pendek dan tidak
stabil
repolarisasi yang lambat menuju
MEKANISME
POTENSIAL
OTOT JANTUNG
AKSI
membran mencapai treshold potensial aksi yaitu sekitar -65mV. Secara lengkap mekanisme
potensial aksi di otot jantung terbagi menjadi fase 0 sampai 4 (gambar 8).
aktif, yang diinisiasi oleh repolarisasi Pada periode refraktori absolute sel tidak dapat
dieksitasi berapapun amplitudo gelombang impuls yang datang sedangkan pada periode
refraktori relatif sel masih dapat tereksitasi namun memerlukan arus yang lebih tinggi dari
normal (Jalife et al, 2009).
Gambar 10. Periode refraktori terjadi lama, sampai otot relaksasi dahulu (Wildmaier et al,
2001)
PENJALARAN IMPULS
OTOT JANTUNG
PACEMAKER-
Impuls dari pacemaker kemudian diteruskan dengan cepat melalui sistem konduksi ke
seluruh otot jantung sehingga menimbulkan kontraksi otot jantung. Sistem konduksi jantung
terdiri dari 1) nodus SA sebagai sumber impuls jantung pada kondisi normal, 2) jalur
internodus yang menghantarkan impuls dari nodus SA ke nodus AV, 3) nodus AV
ventrikel dan 5) berkas Purkinje dan cabangnya (left and right bundle branch of Purkinje)
yang menghantarkan impuls ke seluruh otot ventrikel.
Fa
ktor ekstrinsik yang mempengaruhi kecepatan
konduksi
Sebelum
pacemaker
laten
tersebut
mencapai
potensial
threshold intrinsik, sudah mendapat impuls kembali dari nodus SA sehingga mereka tidak
sempat mencetuskan impuls sendiri.
otomatis oleh kanal funny (If) sehingga sel pacemaker laten tidak pernah terdepolarisasi
otomatis mencapai potensial tresholdnya dan mencegah terjadinya potensial aksi spontan
sesuai irama intrinsiknya.
Gambar 15. Overdrive suppression dengan periode warm up (Castanaganza et al, 2012)
Mekanisme ini berperan penting dalam menjaga irama sinus, yang secara
berkelanjutan
menghambat pacemaker
eksternal, irama
intrinsik
juga
disupresi
laten
dibawahnya.
melalui
mekanisme
Pada
pasien
dengan
pacemaker
ini.
Tidak
adanya
overdrive
Aktivitas pacemaker dikontrol oleh sistem saraf otonom (gambar 16) dan dapat
dipengaruhi oleh berbagai factor sistemik termasuk gangguan metabolik, substansi endogen
atau obat-obatan
Gambar. 16. Frekuensi Instrinsik rate nodus SA dan interaksi dengan tonus otonom
Keadaan yang mempengaruhi firing rate
nodus SA
Gambar 17. Efek simpatis dan parasimpatis pada potensial pacemaker (Wildmaier et al, 2001)
Sebaliknya aktivitas simpatik meningkatkan kecepatan pembentukan impuls sinus.
Katekolamin
penurunan
konduktansi
kalium.
Automatisitas abnormal dapat terjadi pada kasus peningkatan kadar kalium ekstrasel,
penurunan pH intrasel dan katekolamin yang berlebihan.
Pada
sel
nonpacemaker
yang terkondisikan
terdepolarisasi
konstan
dapat
spontan
pada
-10
timbul
atau
potensial
aksi
automatisitas
abnormal
(depolarization
induced
automaticity).
Frekuensi
intrinsik
abnormal
kondisi
semakin
dari automatisitas
tergantung
potensial
besar
pada
membran,
kondisi
stimulus
Gambar 18. Frekuensi automatisitas meningkat dengan peningkatan depolarisasi (Jalife et al,
2009) Berbeda dengan peningkatan automatisitas normal, pada automatisitas abnormal
berciri kurang sensitive terhadap overdrive suppression walaupun pada kondisi tertentu
dapat teramati.
TRIGERRED
ACTIVITY
Trigerred activity (TA) terjadi setelah inisiasi impuls karena afterdepolarisasi (oskilasi
potensial membran selama atau segera setelah potensial aksi). Afterdepolarisasi hanya
terjadi jika ada potensial aksi yang mendahului (sebagai trigger) dan bila sudah mencapai
potensial threshold akan membentuk potensial aksi yang baru. Hal ini dapat sebagai sumber
terpicunya respon baru, menjadi potensial aksi tersendiri.
Berdasarkan kaitan temporal, afterdepolarisasi dideskripsikan menjadi dua tipe (gambar 19)
yaitu early after depolarizations (EADs) dan delayed after depolarizations (DADs). EADs
terjadi selama fase 2 dan 3 dari potensial aksi sedangkan DADs terjadi setelah lengkapnya fase
repolarisasi.
oleh fungsi reticulum sarkoplasmikum yang abnormal (misal mutasi reseptor ryanodin),
memfasilitasi aritmia klinis seperti catecholaminergic polymorphic VT.
Adenosin telah dipakai sebagai uji diagnosis DADs. Adenosin mengurangi aliran masuk ion
Ca secara indirek
monophosphate
dengan
menghambat
adenilat
siklase
dan
cyclic
adenosine
katekolamin namun tidak mengubah DADs yang diiduksi inhibisi pompa Na/K. Adanya
interupsi VT dengan pemberian adenosine menunjukan bahwa mekanisme aritmia adalah
karena DADs yang diinduksi katekolamin.
Karakteristik utama DADs adalah dapat kemunculanya semakin dipicu oleh peningkatan
frekuensi stimulasi. Frekuensi dan durasi stimulasi selanjutnya terkait dengan amplitudo
dan jumlah triggered activity. Misalnya pada skema munculnya DADs pada serabut
Purkinje yang dipapar digitalis kadar toksik (gambar 22). Stimulasi potensial aksi dengan
frekuensi yang relative lambat akan diikuti oleh fase 4 yang normal (a). Jika stimulasi
semakin cepat maka terdapat dua gelombang oskilasi selama fase 4 (b). Apabila stimulasi
lebih dipercepat maka DADs mencapai threshold sehingga munculah trigerred activity
(c). Makin cepat stimulasi diberikan maka terjadilah trigerred activity yang berulang
(d).
Akibatnya,
perubahan
kecil
pada
arus
yang
menyebabkan
repolarisasi atau depolarisasi dapat berpengaruh terhadap durasi dan profil potensial aksi.
Berbagai jenis zat dan kondisi yang menurunkan arus keluar atau meningkatkan arus
masuk (sehingga menggeser current outward yang normal) dapat menyebabkan kondisi
yang diperlukan untuk terjadinya EADs.
Tabel 5. Obat yang dapat menginduksi EAD
dari recoveri yang tidak lengkap dari kondisi refraktori. Ketika suatu impuls
berikutnya sampai pada jaringan yang masih dalam periode refraktori maka impuls tidak
dapat dihantarkan atau dihantarkan dengan aberasi. Hal ini merupakan mekanisme khas
yang menjelaskan beberapa fenomena seperti blok konduksi berkas cabang dari denyut
premature, fenomena Ashman selama atrial fibrillation (AF) dan acceleration dependent
aberration.
Bradikardia atau deceleration dependent block diduga disebabkan berkurangnya
eksitabilitas pada interval diastolik yang panjang dengan berkurangnya amplitude potensial
aksi.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi konduksi, termasuk frekuensi, tonus otonom,
obat (misal Ca channel blocker, digitalis, adenosine/adenosine trifosfat) atau proses
degeneratif (dengan mengubah fisiologi jaringan dan kapasitas untuk konduksi impuls).
REENTRY
Ketika impuls normal dari nodus sinoatrial telah menjalar ke seluruh ventrikel maka
ventrikel akan masuk ke periode refraktori. Selanjutnya impuls akan berhenti dan tidak
akan menjalar lebih jauh lagi. Apabila terdapat serabut otot tertentu yang tidak teraktivasi
saat inisial impuls menjalar (misal damaged area), maka bagian tersebut dapat lebih
dullu mengalami recoveri eksitabilitasnya sebelum impuls menghilang. Akibatnya bagian
tersebut dapat berperan sebagai penghubung untuk terjadinya reeksitasi di area lain yang
sebelumnya terdepolarisasi saat penjalaran impuls inisial tetapi telah recoveri. Reentry
terjadi ketika impuls yang menjalar gagal menghilang dan kemudian me reeksitasi
jantung yang telah selesai periode refraktorinya (Guyton & Hall, 2006). Karena terjadi
penjalaran berulang impuls yang kembali lagi ke tempat asal untuk mereaktivasi, maka
fenomena ini disebut reentry, reentrant excitation, circus movement, reciprocal/echo
beats, atau reciprocating tachycardia (RT).
Gambar 26. Anatomic reentry dan Functional reentry (Veenhuyzen et al, 2004)
Reentry
dibagi
menjadi
dua
kelompok
yaitu
anatomical/classic
reentry
dan
functional reentry (gambar 26). Pada anatomical reentry terdapat struktur anatomi
yang terlibat sedangkan pada functional reentry terdapat hambatan fungsional tanpa
kelainan struktur. Reentry adalah mekanisme aritmia yang paling sering dijumpai di klinis
(Gaztanaga et al, 2012).
ANATOMICAL REENTRY
Nama lain dari anatomical reentry adalah classic reentry dan digambarkan dengan
ring model (gambar 26). Mekanisme classic reentry didasarkan pada hambatan anatomis
berupa area tidak dapat tereksitasi dikelilingi jalur sirkuler sehingga gelombang awal dapat
masuk kembali (reenter), membentuk sirkuit reentrant yang stabil (Gaztanaga et al, 2012)
Inisiasi dan keberlangsungan reentry tergantung pada kecepatan konduksi dan periode
refraktori di setiap
jalur
yang
menentukan
panjangnya
gelombang
depolarisasi
anterograde di jalur cepat dan konduksi tetap terjadi di jalur lambat. Selanjutnya,
karena jalur cepat telah recoveri maka gelombang aktivasi dapat masuk kembali
(reenter) ke jalur cepat (secara retrograde). (C) Selama reentry yang berkelanjutan akan
membentuk
gap)
Inisiasi reentry yang diawali terbentuknya excitable gap ditentukan oleh 3 faktor yaitu 1)
Jalur yang akan dilalui impuls terlalu panjang (too long pathway), 2) kecepatan konduksi
melambat, 3) periode refraktori memendek. Ketiga hal tersebut terjadi pada kondisi
patologis yang berbeda. Jalur yang memanjang khas terjadi pada dilatasi jantung
sedangkan penurunan kecepatan konduksi terjadi pada blok pada sistem Purkinje,
iskemi otot, hiperkalemia dan lainya. Pemendekan periode refraktori terjadi karena
obat seperti epinefrin atau stimulasi elektrik yang berulang (Guyton & Hall,
2006).
FUNCTIONAL REENTRY
Pada reentry fungsional, sirkuit yang terbentuk tidak ditentukan oleh hambatan
anatomis namun oleh heterogenitas dinamik properti elektrofisiologik jaringan yang
terlibat. Lokasi dan ukuran dari sirkuit reentrant fungsional dapat bervariasi namun
biasanya kecil dan tidak stabil. Reentry fungsional terjadi karena mekanisme yang
berbeda-beda, terdiri dari leading cycle reentry, anisotropic reentry, figure of eight
reentry, reflection, spiral wave activity (Gaztanaga et al, 2012).
MEMBEDAKAN MEKANISME ARITMIA
Pendekatan diagnosis deferensial mekanisme aritmia dapat dilihat pada tabel 6 berikut:
Tabel 6. Cara membedakan mekanisme aritmia
yang
mendasari.
Irama
sinus
pada
EKG
dapat
menggambarkan
proses
penyakit
Trigerred
activity
Reentry
Automatisitas
abnormal
TA diinduksi
DADs
TA diinduksi
EADs
Anatomical
reentry
Fungsional
Reentry
CONTOH KLINIS
sinus tachycardia terkait exercise, demam dan
tirotoksikosis; atrial dan
ventricular accelerated rhythms, inappropriate sinus
premature beats, atrial tachycardia, accelerated
idioventricular rhythms,
atrial
digitalis
toxicity
induced
ventriculartachycardia,
tachycardia (VT),
pada fase akut
iskemia dan
tachycardia, accelerated
ventricular rhythym pada acute myocardial infarction,
beberapa bentuk
repetitive
monomorphic
VT,
reperfusion
induced
torsades de pointes (twisting of the tips), karakteristik
polymorphic VT
AV
chicardia
with bypass tract, AV
padareentrant
pasien dengan
longassociated
QT syndrome.
nodal reentrant
atrial
and ventricular
fibrillation,
polymorphic
VTVT, post
tachycardia,
atrial flutter,
bundle branch
reentry
KESIMPULAN
Aritmia terjadi karena berbagai perubahan dan gangguan terkait properti elektrofisiologi
seluler jantung. Mekanisme aritmia dikelompokan menjadi gangguan pembentukan
impuls (automatisitas, TA)
Pengembangan
untuk
atau
gangguan
penjalaran
penegakan
diagnosis
impuls
(reentry).
DAFTAR PUSTAKA
Barrett K E, Barman S M, Boitano S, Brooks H. Ganong's Review of Medical
Physiology, 23th ed. McGraw-Hill. 2009.
Despopoulos, A, Silbernagl S. Color Atlas Of Physiology. Thieme. 2003.
Dorland, W. A. Newman. Dorland's illustrated medical dictionary. Philadelphia, PA:
Saunders. 2007. Gaztaaga L, Marchlinski FE, Betensky BP. Mechanisms of cardiac
arrhythmias. Rev Esp Cardiol. 2012 Feb;65(2):174-85.
Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11th ed. Philadelphia, PA: Elsevier,
2006. Jalife J, Delmar M, Davidenko, Anumonwo J, Berenfeld O, Anumonwo KJ. Basic
nd
cardiac electrophysiology for the clinician. 2 ed. New Jersey: Wiley-Blackwell; 2009.
Mohrman D, Heller L. Cardiovascular Physiology 6th ed McGraw Hill 2006.
Widmaier EP, Raff H, Strang KT. Vander, Sherman and Luciano's Human Physiology: the
Mechanisms of Body Function, 8th ed. Boston, MA: McGraw-Hill Higher Education, 2001.
Veenhuyzen G D, Simpson C S, Abdollah H. Atrial fibrillation. CMAJ September 28, 2004
vol. 17