DEPARTEMEN SURGICAL
APENDIKSITIS
OLEH:
2. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Penyakit ini mengenai semua
umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10
sampai 30 tahun (mansjoer, 2000).
Apendisitis adalah infeksi pada apendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu
feces), hiperplasia jaringan limfoid dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab
utama apendisitis. Erosi mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti E. Coli.
Apendisitis merupakan penyebab yang paling umum dari inflamasi akut kuadran kanan
bawah rongga abdomen dan penyebab yang paling umum dari pembedahan abdomen darurat.
Pria lebih banyak terkena daripada wanita, remaja lebih banyak dari orang dewasa. Insiden
tertinggi adalah mereka yang berusia 10 sampai 30 tahun (Baughman, 2000).
3. Kalsifikasi Apendisitis
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik
(Sjamsuhidayat, 2005).
a) Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut ialah nyeri samar-samar dan tumpul
yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ketitik mc Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
b) Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik
dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus
lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
4. Epidemiologi
Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian appendiksitis di sebagian besar wilayah
indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang menderita
penyakit apendiksitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di Indonesia atau
sekitar 179.000 orang. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di
indonesia, apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan
beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens
apendiksitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen
lainnya (Depkes 2009).
Data epidemiologi apendisitis jarang terjadi pada balita, insidennya hanya 1%.
Apendisitis mengalami peningkatan pada masa pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat
remaja dan awal 20-an, sedangkan penderita apendisitis mengalami penurunan menjelang
dewasa (Pieter,2005). Hal ini berkaitan dengan bentuk anatomis dari apendiks pada laki-laki
lebih lurus daripada apendiks perempuan, sehingga resiko untuk masuknya makanan dan
terjadi sumbatan lebih tinggi.
5. Etiologi dan faktor resiko Apendisitis
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat
pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
adalah E. coli (Sjamsuhidajat, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis
akut (Sjamsuhidajat, 2004).
6. Patofisiologi
Terlampir
7. Manifestasi klinis
Menurut Pieter, 2005 manifestasi klinis apendisitis akut antara lain:
1. Tanda awal
Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksia
2. Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di
titik Mc Burney
nyeri tekan
nyeri lepas
defans muskuler
3. nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,
mengedan
8. Pemeriksaan Diagnostik Apendisitis
a) Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan terlihat
distensi perut.
2. Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci
diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut
kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri
bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda
Blumberg (Blumberg Sign).
3. Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk menentukan
letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa
nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang terletak di daerah pelvic.
4. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka
tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang meradang kontak
dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri.
b) Tes laboratorium
Jumlah leukosit berkisar antara 10.000 dan 16.000/mm dengan pergeseran ke kiri (lebih
dari 75 persen neutrofil) pada 75 persen kasus yang ada. 96 persen diantaranya
leukositosis atau hitung jenis sel darah putih yang abnormal. Tetapi beberapa pasien
dengan apendisitis memiliki jumlah leukosit yang normal. Pada urinalisis tampak sejumlah
kecil eritrosit atau leukosit.
c) Foto sinar-X
Tak tampak kelainan spesifik pada foto polos abdomen. Barium enema mungkin dapat
untuk diagnosis tetapi tundakan ini dicadangkan untuk kasus yang meragukan
d) Appendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang
diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum
pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa,
hasil apendikogram diexpertise oleh dokter spesialis radiologi.
perforate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses
atau perforasi (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparskopi. Bila
apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostic pada kasus
meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Sjamsuhidajat, 2004).
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai
akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk
mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan
penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi
dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah). Alternatif lain operasi pengangkatan usus
buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video
camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan
melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih
lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu
luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara
kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).
Adapun pendapat lain, adalah sebagai berikut :
Penatalaksanaan apendisitis tergantung dari nyeri apendisitisnya akut atau
kronis.Penatalaksanaan bedah ada dua cara yaitu non bedah (non surgical) dan
pembedahan (surgical).
1. Non bedah (non surgical)
Penatalaksanaan ini dapat berupa :
a. Batasi diet dengan makan sedikit dan sering (4-6 kali perhari)
b. Minum cairan adekuat pada saat makan untuk membantu proses pasase makanan
c. Makan perlahan dan mengunyah sempurna untuk menambah saliva pada makanan
d. Hindari makan bersuhu ekstrim, pedas, berlemak, alkohol, kopi, coklat, dan jus jeruk
e. Hindari makan dan minum 3 jam sebelum istirahat untuk mencegah masalah refluks
nonturnal
f. Tinggikan kepala tidur 6-8 inchi untuk mencegah refluks nonturnal
g. Turunkan berat badan bila kegemukan untuk menurunkan gradient tekanan gastro
esophagus
h. Hindari tembakan, salisilat, dan fenibutazon yang dapat memperberat esofagistis.
2. Pembedahan
Yaitu dengan apendiktomi. Operasi apendisitis dapat dipersiapkan hal -hal sebagai
berikut:
Insisi tranversal 5 cm atau oblik dibuat di atas titik maksimal nyeri tekan atau massa
yang dipalpasi pada fosa iliaka kanan. Otot dipisahkan ke lateral rektus abdominalis.
Mesenterium apendikular dan dasar apendiks diikat dan apendiks diangkat. Tonjolan
ditanamkan ke dinding sekum dengan menggunakan jahitan purse string untuk
meminimalkan kebocoran intra abdomen dan sepsis. Kavum peritoneum dibilas dengan larutan
tetrasiklin dan luka ditutup. Diberikan antibiotic profilaksis untuk mengurangi luka sepsis pasca
operasi yaitu metronidazol supositoria (Syamsuhidayat, 2004).
10. KOMPLIKASI
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih
tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan
nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan
nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).
Komplikasi yang paling sering adalah perforasi apendisitis. Perforasi usus buntu dapat
mengakibatkan periappendiceal abses (pengumpulan nanah yang terinfeksi) atau peritonitis
difus (infeksi selaput perut dan panggul). Alasan utama untuk perforasi appendiceal
adalah keterlambatan dalam diagnosis dan perawatan. Secara umum, semakin lama
waktu tunda antara diagnosis dan operasi, semakin besar kemungkinan perforasi. Risiko
perforasi 36 jam setelah onset gejala setidaknya 15%. O leh karena itu, setelah didiagnosa
radang usus buntu, operasi harus dilakukan tanpa menunda - nunda. Komplikasi jarang
terjadi pada apendisitis adalah penyumbatan usus. Penyumbatan terjadi ketika peradangan
usus buntu sekitarnya menyebabkan otot usus untuk berhenti bekerja, dan ini mencegah isi
usus yang lewat. Jika penyumbatan usus di atas mulai mengisi dengan cairan dan gas,
distensi perut, mual dan muntah dapat terjadi. Kemudian mungkin perlu untuk mengeluarkan
isi usus melalui pipa melewati hidung dan kerongkongan dan ke dalam perut dan usus.
Sebuah komplikasi apendisitis ditakuti adalah sepsis, suatu kondisi dimana bakteri menginfeksi
masuk ke darah dan perjalanan ke bagian tubuh lainnya. Kebanyakan komplikasi setelah
apendektomi adalah (Hugh A.F. Dudle y, 1992):
1. Infeksi luka dan perforasi.
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga
perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat
tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan
gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C,
tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear
(PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan
peritonitis
2. Abses residual
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula -mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
3. Sumbatan usus akut,
4. Ileus paralitik
5. Fistula tinja eksternal
6. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi be rbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elek trolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
11. Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian appendicitis.
Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat. Upaya yang
dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens
timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi serat
mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan. Serat dalam
makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa, dan pektin yang membantu
sehingga
tidak
terjadi
12. ASKEP
a.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
b.
1)
2)
3)
4)
5)
Gejala : alergi, defisiensi imun, riwayat keluarga tentang hipertermi malignan/reaksi anastesi,
riwayat penyakit hepatik, riwayat transfusi darah
Tanda : munculnya proses infeksi yang melelahkah, demam
ANALISA DATA
ETIOLOGI
ASUHAN
KEPERAWATAN
1.
DS :
-
Klien mengeluh
demam
DO :
-
suhu : 38,5 0 c
Leukosit : 30000/
dl
Etiologi
Hipertermi berhubungan
Inflamasi apendiks
metabolism akibat
peradangan
apendisitis
Reaksi inflamasi
Hiperthermi
DS:
-
mengeluh nyeri
perut kanan
Kadang menyebar
disektar umbilicus
Etiologi
Inflamasi apendiks
apendisitis
Respon peradangan
Nyeri akut
Skala nyeri 8
DO:
-
Nadi : 110x/menit
RR : 25 x/m
nyeri
INTERVENSI
Thermoregulation
-
Intervensi (NIC)
a. Fever treatment
Kaji suhu tubuh klien secara berkala
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tekanan darah, nadi, dan RR
Monitor WBC, Hb, dan Hct
Berikan kompres air dengan suhu normal; hindari penggunaan alkohol.
tingkatkan sirkulasi udara
RR : 20 x/menit
Nadi : 80 x/ menit
Intervensi
a. Pain management
Kaji nyeri (lokasi, karakter, onset/durasi, frekuensi, intensitas).
Amati isyarat nonverbal ketidaknyamanan.
Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui riwayat nyeri klien.
Kaji pengetahuan dan kepercayaan klien tentang nyeri.
Kaji penggunaan metode pereda nyeri farmakologi saat ini.
Tentukan pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup klien (nafsu makan, aktifitas).
Berikan informasi kepeda klien tentang penyebab nyeri.
Kontrol lingkungan yang dapat mempegaruhi respon nyeri klien.
Kurangi/ hilangkan faktor yang dapat meningkatkan nyeri.
Pastikan pemberian analgesic farmakologi sebelum prosedur operasi.
b. Asuhan Keperawatan Post Op
Diagnosa:
1. Resiko Infeksi
2. Nyeri Akut
3. Kerusakan Integritas Jaringan
ANALISA DATA
NO
ANALISA DATA
ETIOLOGI
ASUHAN
KEPERAWATAN
faktor resiko
-
Terdapat
luka
bekas oprasi
Post appendiktomi
Resiko Infeksi
Berhubungan dengan
Teputusnya kontinuitas
Resiko infeksi
2
DS:
-
DO:
Nadi : 110x/menit
RR : 25 x/m
Post Appendiktomi
Teputusnya kontinuitas
operasi)
Nyeri akut
Ds :
Do :
-
Post operasi
Kerusakan integritas
jaringan berhubungan
Teputusnya kontinuitas
oprasi pengambilan
jaringan apendik yang
radang
INTERVENSI
1. Resiko Infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adequate
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam, resiko infeksi klien dapat diatasi
dengan
Criteria hasil (NOC):
Tissue Integrity : kulit dan mucous membrane
-
Temperatur kulit disekitar luka sama dengan di temperature di area yang perut
Pigmen warna kulit yang luka merah segar dan tak ada tanda-tanda necrosis
Intervensi (NIC)
a. Infection Control
Monitor status hemodynamic pasien (Hb, Ht, Leukosit, Trombosit)
Kontrol lingkungan untuk mencegah infeksi
Perawatan dan pergantian peralatan atau protocol yang digunakan pasien
(pergantian balutan sesuai indikasi)
Lakukan teknik aseptic pada setiap prosedur tindakan invasive yang ditujukan pada
pasien (seperti saat penggantian balutan menggunakan sarung tangan steril)
Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan pada pasien
Ajari pasien dan keluarga untuk mengenal tanda dan gejala infeksi
Berikan antobiotik jika diperlukan
b. Infection Protection
Monitor tanda dan gejala sistemik yang berhubungan dengan infeksi
Observasi kulit, jaringan, dan mucous membrane pada luka dan sekitar luka
Tingkatkan intake nutrisi dan cairan untuk menunjang penyembuhan luka pasien
menjadi cepat
Anjurkan meningkatkan istirahat untuk mempercepat proses penyembuhan luka
Ajari pasien dan keluarga untuk mengenali tanda dan gejala infeksi serta
bagaimana cara untuk menghindari resiko infeksi (misalnya : modifikasi lingkungan
untuk mencegah timbulnya sarang kuman, bakteri atau virus)
2. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera (post operasi)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam, nyeri klien berkurang dengan
Criteria hasil:
Pain level
-
Pain control
-
Intervensi
NIC:
Pain Management
Kaji keluhan nyeri klien secara komprehensif termasuk lokasi,karakteristik,
onset/durasi,frekuensi, kualitas, intensitas dan besarnya keluhan nyeri yang dirasakan
klien.
Observasi tanda non verbal klien akibat nyeri
Kaji pengaruh budaya terhadap persepsi nyeri klien
Kaji faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan persepsi nyeri klien, seperti lingkungan,
suhu, suara dan lain-lain
Jelaskan kondisi yang dialami klien saat ini
Kolaborasikan pemberian analgesik yang sesuai untuk kondisi klien
Anjurkan klien untuk istiharahat secara adequate untuk mempercepat penyembuhan.
Gunakan strategi komunikasi terapeutik dan teknik relaksasi (pemberian music, nafas
dalam, dll) untuk membantu klien untuk meringankan nyeri.
Monitor kepuasan pasien tehadap manajemen nyeri.
Intervensi (NIC) :
a. Wound care
Monitor karakteristik dari luka, termasuk drainase, warna, ukuran dan bau
Bersihkan dengan normal salin dan nontoxic cleanser
Berikan salep yang cocok untuk lesi
Gunakan teknik steril dressing ketika melakukan perawatan luka
Jelaskan pada pasien untuk menghindari posisi yang dapat menyebabkan
ketegangan pada luka
Ajarkan pada pasien dan keluarga proses perawatan luka
Jelaskan pada pasien tentang tanda-tanda infeksi (rubor, calor, dolor, fungsiolesa)