Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang1


Rinitis merupakan suatu kondisi inflamasi yang melibatkan mukosa hidung. Gejala
rhinitis meliputi sumbatan pada hidung, hiperirratabilitas dan hipersekresi. Rhinitis bisa
disebabkan oleh bermacam-macam kondisi yang berbeda-beda alergi maupun non-alergi.
Insidensi rhinitis terlihat meningkat di kawasan Eropa tepatnya setelah revolusi industri. Satu
dari lima orang Amerika diperkirakan menderita rhinitis.
Rinitis vasomotor adalah suatu inflamasi mukosa hidung yang bukan merupakan
proses alergi, bukan proses infeksi, menyebabkan terjadinya obstruksi hidung dan rinorea.
Etiologi dari rhinitis vasomotor dipercayai sebagai akibat dari terganggunya keseimbangan
dari saraf autonom pada mukosa hidung yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan
hipersekresi. Menejemen pengelolaan pada rinitis vasomotor bervariasi antara lain dengan
menghindari penyebab, psikoterapi, penggunaan medikamentosa, serta terapi bedah, tetapi
sampai saat ini belum memberikan hasil yang optimal.
Dalam praktek sehari - hari, seringkali muncul salah anggapan bahwa penyebab
rhinitis adalah alergi. Adanya kemiripan gejala antara rhinitis vasomotor dan rhinitis alergika
menyebabkan dokter umum sebagai primary care sering tidak tepat dalam menegakkan
diagnosis. Pada rhinitis vasomotor tidak ditemukan adanya skin tes yang (+) dan tes allergen
yang (+). Sedangkan rinitis alergi murni mempunyai skin tes (+) dan allergen yang jelas.
Rinitis alergika sering ditemukan pada pasien dengan usia < 20 tahun, sedangkan
pada rinitis vasomotor lebih banyak dijumpai pada usia > 20 tahun dan terbanyak diderita
oleh perempuan. Berdasarkan epidemiologinya, kurang lebih 58 juta penduduk amerika
menderita rinitis alergika, 19 juta menderita rinitis non-alergika dan 26 juta menderita rinitis
tipe campuran.
Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit
untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang
banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Dengan demikian diharapkan dokter
menjadi lebih teliti dalam melakukan anamnesa dan mempertimbangkan apakah tipe rinitis
pada pasien. Sehingga pengobatan yang digunakan memberikan hasil yang optimal.

Gangguan vasomotor merupakan gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang


disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis vasomotor adalah gangguan
pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi
kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini merupakan
keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan vasomotor
catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis. Rhinitis vasomotor mempunyai gejala yang
mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien
mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin
walaupun jarang. Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan.
Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer,
seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan
sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan
oleh individu tersebut.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT serta
beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rinitis lainnya.
Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI2,3

Hidung luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan puncak di bagian atas dan dasar di bawah.
Bagian-bagiannya yaitu:
1) Pangkal hidung (nasal bridge)
2)Batang hidung (dorsum nasi)
3) Puncak hidung (tip)
4) Ala nasi
5) Kolumela
6)Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi hidung luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan kartilago yang dilapisi kulit,
jaringan ikat, dan otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
1) Tulang Hidung
2) Processus Frontalis
3) Processus Nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2) Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga kartilago ala
mayor dan
3) Tepi anterior kartilago septum.

Gambar 2. Kerangka tulang dan kartilago hidung

Hidung dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang di
pisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Masing-masing kavum berhubungan dengan lingkungan melalui nares di bagian anterior
dan berhubungan dengan nasofaring melalui koana di bagian posterior.Tepat di belakang
nares, terdapat area berlapiskan kulit yang dinamai vestibulum yang mengandung banyak
kelenjar sebaseus dan bulu hidung atau vibrise. Bersambung ke belakang, area
berlapiskan mukosa yaitu kavum nasi.
Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior,
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
yaitu :
1)Lamina perpendikularis os etmoid
2)Vomer
3) Krista Nasalis Os Maksila
4) Krista Nasalis os palatina
dan tulang rawan yaitu :
1) Kartilago septum (Lamina Kuadrangularis)
2) Kolumella.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konkha atau turbinatum yang merupakan
proyeksi tulang berbentuk gulungan ke arah medial dilapisi oleh membran mukosa yaitu
konka yang terbesar dan terletak paling bawah : Konka Inferior, kemudian yang lebih
kecil : Konka media, lebih kecil lagi konka superior dan yan terkecil konka suprema.
Konka suprema mengalami rudimenter kemudian. Ruang dibawah setiap konkha
dinamakan meatus.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os. maksila dan
labirin etmoid. Di bagian bawahnya terdapat meatus inferior yang merupakan muara dari
saluran nasolakrimalis yang dijaga pada ujungnya oleh katup mukosa, katup Hasner.
Sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Gambar 3. Anatomi hidung tampak lateral dan medial

Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior, dan superior. Dinding medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan
dan periostium pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya
rudimenter.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung. Terdapat meatus yaitu
meatus inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus
maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.
Batas Rongga Hidung
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Vaskularisasi
Bagian atas rongga hidung divaskularisasi oleh arteri etmoidalis anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung divaskularisasi oleh cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Arteri sfenopalatina
keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media.
Bagian depan hidung divaskularisasi oleh cabang-cabang a. fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a.
etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus
kiesselbach (little's area)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arteri. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
sampai ke intrakranial.

Gambar 4. Vaskularisasi hidung


Jaringan limfatik
Jaringan limfatik berasal dari mukosa superfisial. Jaringan limfatik anterior
bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan limfatik
posterior terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok superior bermuara pada kelenjar
limfe retrofaringea. Kelompok media menuju ke kelenjar limfe jugularis. Kelompok
inferior menuju ke kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.

Persarafan

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior yang merupakan cabang n. nasosiliaris yang bersal dari n.
oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar terdapat persarafan sensorik dari
nervus maksilla melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion ini menerima serabut
sensoris dari n. maksilaris, serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor
dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak
di belakang dan sedikit di ujung posterior konka media.
Persarafan otonom ada 2 yaitu saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik)
dan serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik). Saraf simpatis meninggalkan
korda spinalis setinggi T1 3, berjalan ke atas dan mengadakan sinapsis pada
ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus
karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan serabut
saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n. vidianus yang
berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam
ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatina mayor ke
pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai
peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung da sangat sedikit mempengaruhi
kelenjar.
Sedangkan dan serabut saraf preganglion parasimpatis berasal dari ganglion
genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus salivatorius superior di medula
oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor berjalan menuju ganglion
sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut serabut
post ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini
terutama terhadap jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan
vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls
sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang
sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribrosa dari pemukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 5. Persarafan hidung


Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasalis adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal,
2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu,
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas, dan
5. Refleks nasal, dimana mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan yang dapat
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti, rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.1 DEFINISI3
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan).
Rinitis vasomotor digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik tidak dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai seperti anamnesis, tes cukit kulit, dan kadar
antibodi IgE spesifik serum.
Rinitis jenis ini juga disebut vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability,
atau juga non allergic perennial rhinnitis.

2.2 EPIDEMIOLOGI4
Menurut World Allergic Organ tahun2009, rinitis vasomotor merupakan rinitis non alergi yang paling
banyak ditemukan, mencapai 71% dari rinitis non alergi yang diagnosis. Frekuensi rinitis vasomotor
yakni 71% dari keseluruhan 20 juta orang Amerika yang menderita rinitis non alergi, dimana 14 juta
orang di Amerika Serikat menderita rinitis vasomotor. Sedangkan di dunia, dari 450 juta penduduk di
seluruh dunia yang menderita rinitis non alergi, prevalensi rinitis vasomotor sekitar 320 juta orang.

2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI3


Etiologi dan patofisiologi secara pasti belum diketahui. Beberapa hipotesis telah telah dikemukakan,
diantaranya:
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2, menginervasi terutama
pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter
nonadrenalin dan neuropeptida Y yang menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung.
Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya tahanan rongga hidung
yang bergantian tiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai siklus nasi. Dengan adanya siklus ini
seseorang tersebut akan bisa bernafas dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah
luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus saivatori superior menuju ganglion sfenopalatina
dan membentuk n.Viridanus, kemudian menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin.
Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptida yang
menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belum diketahui secara pasti, tetapi mungkin
hipotalamus bertindak sebagai pusat penerima impuls eferen, termasuk rangsang emosional dari pusat
yang lebih tinggi. Dalam keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih dominan. Rinitis
vasomotor diduga sebagai akibat ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang
berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.

2. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan
terhadap saraf sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan
diikuti dengan peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related
protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini
menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiperaktivitas hidung.

3. Nitrit Oksida (NO)


Kadar nitrit oksida yang tinggi dan persinten di lapisan epitel hidung dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi langsung ke
lapisan subepitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refleks
vaskular dan kelenjar mukosa hidung.

4. Trauma
Rinitis vasomotor bisa terjadi sebagai komplikasi jangka panjang dari trauma hidung melalui
mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rambe
2. Snell RS. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. Jakarta: EGC.
3. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. 2014. Rhinitis Vasomotor. Dalam Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta:
FKUI.
4. Settipane RA. 2009. Epidemiology of Vasomotor Rhinitis. World Allergy Organ J.
2(6): 115118.

Anda mungkin juga menyukai