Anda di halaman 1dari 16

ZOONOSIS

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, zoonosis merupakan penyakit hewan yang


dapat menular ke manusia, menimbulkan gangguan kesehatan, bahkan
menyebabkan kematian. Sekurang-kurangnya sejak abad 23 SM, pada zaman
Babilonia, orang telah mulai menyadari adanya penyakit zoonosis ini. Sejak saat
itu mulai disadari pula bahwa pengendalian penyakit ini dapat berhasil, bila
dalam pelaksanaannya diarahkan pada rantai penularan yang bukan saja pada
lingkungan hewan dan habitatnya, tetapi juga pada manusia, baik sebagai
sasaran akhir maupun sasaran lanjutan.
Jenis penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia ini, untuk
pertama kali diberi istilah zoonosis oleh Virchow. Asal penyakit bisa dari hewan
ke manusia dan bisa pula dari manusia ke hewan. Penyakit yang menular dari
hewan ke manusia dikelompokkan sebagai penyakit anthropozoonosis dan
sebaliknya dari manusia ke hewan disebut zooanthroponosis. Karena
pembatasan kedua istilah tersebut sering tidak dapat dilakukan dengan tegas,
istilah zoonosis tetap digunakan, baik untuk penyakit yang menular dari hewan
ke manusia, atau sebaliknya yang menular dari manusia ke hewan.

Agen penyakit yang menyebabkan penyakit zoonosis dapat disebabkan


oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, bakteria, rickkettsia, clamedia,
protozoa, dan sebagainya. Penyakit zoonosis dapat pula disebabkan oleh
organisme yang lebih tinggi lagi tingkatannya, misalnya parasit cacing, beberapa
jenis jamur dan oleh beberapa ektoparasit. Beberapa contoh penyakit zoonosis
yang penting dapat dilihat pada Tabel 4.

Pada dasarnya penyakit zoonosis yang disebabkan oleh jasad renik di


luar kelompok parasit seperti virus, bakteria, rickettsia dan lain-lain, baik yang
berada dalam hewan maupun manusia adalah merupakan agen penyakit yang
sama dan sama-sama pula patogenisitas dan virulensinya. Sedangkan pada
penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit baik endoparasit seperti
protozoa, cacing, maupun ektoparasit seperti bangsa tungau, kutu dan lainnya,
bentuk penularannya pada hewan dan manusia merupakan suatu kesatuan
proses siklus hidup. Dengan demikian, keadaan parasit di alam bebas, kemudian
dalam tubuh hewan dan selanjutnya dalam tubuh manusia, adalah merupakan
proses yang tidak dapat dipisahkan.
Proses penularan penyakit zoonosis parasit dari hewan ke manusia
ataupun sebaliknya, merupakan peristiwa yang lebih rumit dibandingkan dengan
proses penularan yang disebabkan mikroorganisme lainnya. Oleh karena itu,
dalam usaha pengendalian penyakit zoonosis parasit, pengetahuan mengenai
habitat untuk masing-masing fase infeksi dan perkembangannya perlu diketahui
dengan baik. Selain itu, untuk mengoptimalkan pengendalian, tentunya
pengetahuan mengenai parasitnya sendiri harus dikuasai pula.
Selain itu, terkait dengan inang yang dibutuhkan untuk kelangsungan
hidup agen penyakitnya, zoonosis dapat dapat dibagi menjadi empat golongan,
yaitu:

direct zoonosis: untuk kelangsungan siklus hidupnya, agen penyakit hanya


memerlukan satu vertebrata sebagai inang antara (intermediate host).
Penularan agen penyakit terjadi secara langsung, yaitu agen penyakit
menginfeksi hewan, kemudian pindah ke manusia. Contoh: penyakit
rabies, brucellosis, trichinosis.

cyclo zoonosis: untuk kelangsungan siklus hidupnya, agen penyakit


memerlukan dua atau lebih inang vertebarata. Contoh: penyakit taeniasis
dan penyakit hidatid.

meta zoonosis: untuk kelangsungan siklus hidupnya, agen penyakit


memerlukan inang vertebrata dan invertebrata. Contoh: penyakit
fasioliosis.

sapro zoonosis: untuk kelangsungan siklus hidupnya, agen penyakit


memerlukan satu inang antara dari bahan organik atau bahan hidup yang
tidak berjiwa sebagai reservoir. Contoh: penyakit cutaneus larva migran.

Selanjutnya beberapa istilah berikut perlu diketahui, sehubungan dengan


kejadian, penularan, dan timbulnya penyakit yang diakibatkan karena sifat atau
karakteristik dari agen penyakit yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Penyakit: suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu agen penyakit yang
menyebabkan gangguan fisiologik dari suatu inang.

Infeksi: masuknya agen penyakit berupa mikroorganisme atau organisme


lain ke dalam inang.

Infeksious: sifat atau kemampuan dari agen penyakit untuk berpindah dari
satu inang ke inang yang lain.

Infektivitas: derajat kemampuan dari suatu agen penyakit untuk


menyebabkan infeksi atau untuk hidup dan berkembang dalam tubuh
inang.

Virulensi: derajat keparahan penyakit yang disebabkan oleh agen penyakit


yang mempunyai kekuatan infeksi yang diukur dengan laju fatalitas.

Patogenisitas: derajat kemampuan suatu agen penyakit untuk


menimbulkan penyakit.

Toxisitas:derajat kemampuan suatu agen penyakit untuk mengeluarkan


zat racun atau toxin.

Antigenesitas: derajat kemampuan tubuh inang untuk meproduksi


antoibodi atau kekebalan terhadap infeksi suatu agen penyakit.

Invasifness: derajat kemampuan agen penyakit untuk memasuki tubuh


inang.

Latensi: kemampuan suatu agen penyakit untuk bersembunyai pada


inangnya sehingga susah terdeteksi.

Periode inkubasi: waktu yang diperlukan mulai dari masuknya agen


penyakit ke dalam tubuh inang sampai terlihatnya awal gejala.

Periode prepaten: waktu yang diperlukan mulai masuknya agen penyakit


ke dalam tubuh inang sampai dapat dideteksi sebelum gejala terlihat.

Beberapa Penyakit Zoonosis Penting pada Hewan

Penyakit

Penyebab

Agen Penyakit

Hewan Rentan /
Sumber Penular

Ca
Ma

Anthrax

Bakteria

Bacillus anthracis

sapi, kerbau, kambing,


domba, kuda, babi

ko
ata

Bartonellosis

Bakteria

Bartonella henselae

kucing

lew
jila

Brucellosis

Bakteria

Brucella abortus

sapi

Brucella suis

babi

Brucella canis

anjing

ko
de
fet
rep

Brucella ovis

domba

Brucella melitensis

kambing, domba

Erysipelas

Bakteria

Erysipelothrix
rhusiopathiae

babi, ikan, unggas

ko

Leptospirosis

Bakteria

Leptospira interrogans

urin (sapi, babi, anjing, ko


tikus)
tid
su

Listeriosis

Bakteria

Listeria monocytogenes

bahan asal hewan


seperti susu dan hasil
olahan seperti keju
(sapi, domba)

Melioidosis

Bakteria

Burkholderia
pseudomallei

tanah berair dan


pe
tercemar tinja rodensia ma
pembawa agen
sal
penyakit

pe
mi

Psittacosis

Bakteria

Chlamydia psittaci

bangsa burung
terutama dalam
FamPsittacidae

ko
de
ter

Demam Q

Rickettsia

Coxiela burnetti

sapi, domba, kambing,


susu segar, caplak

lew
(dr

Salmonellosis

Bakteria

Salmonella sp.

Babi, ayam, sapi,


pe
kerbau, kambing,
ba
domba, burung, hewan tin
liar, hewan
kesayanagn

Streptococcosis

Bakteria

Streptococcus equi
subspecies
zooepidemicus,
Streptococcus suis tipe 2

daging dan ekskreta


babi tertular

sec
lan
sen

Ringworm

Jamur

Microspora sp.,

Anjing, kucing, tanah


yang tercemar

ko
de
da

Trichophyton sp.

Ebola

Virus

Virus Ebola, Fam:


Filoviridae

diduga kuat virus


ko
tersebar di alam bebas de
pada satwa liar
sat

Flu Burung/ Avian


Influenza

Virus

Virus Influenza Tipe A,


ubtype H5N1

unggas (ayam, burung, ko


itik)
de

Japanese
Encephalitis

Virus

Virus RNA, Fam:


Flaviviridae, Genus:
Flavivirus

babi dan beberapa


bangsa burung

lew
ny
trit
jen

Penyakit Nipah

Virus

Virus Golongan
Paramyxovirus

babi, kelelawar diduga


bertindak sebagai
reservoir

ko
de
ata
ter

Orf

Virus

Virus Fam. Poxviridae,


Genus Parapoxvirus

domba, kambing

ko
de
he

Rabies

Virus

Virus Fam. Rhabdoviridae

anjing, kucing, kera

lew

pe
Ascariasis

Parasit Cacing

Ascaris suum

babi

pe
me

Balantidiosis

ParasitProtozoa

Balantidium coli

feses dan potongan


usus babi

pe
ata
ter

Cutaneus larva
migrans

Parasit Cacing

Larva nematoda
(Ancylostoma caninum,
A. brazilienze)

tanah yang tercemar


lava nematode dari
anjing, kucing

ko
lar
tan

Scabies

Parasit Tungau

Sarcoptes sp.

hewan kesayangan
(anjing, kucing)

ko
ka

Taeniasis

Parasit Cacing

Taenia saginata

sapi

Taenia solium

babi

pe
me
ya
kis

Toxoplasmosis

Parasit Protozoa

Toxoplasma gondii

oocyt yang telah


mengalami sporulasi
dalam tinja kucing

pe
ku
ya
kis

Sapi Gila

Prion

Suatu molekul protein


tanpa asam inti

Jaringan sapi yang


mengandung prion,
terutama otak dan
sumsum tulang
belakang

pe

BERIKUT BEBERAPA DESKRIPSI MENGENAI PENYAKIT ZOONOSIS PADA


HEWAN
1. 1.

Zoonosis Bersifat Eksotik

Eksotik artinya penyakit yang hanya ada pada Negara tertentu dan tidak
menyebar secara meluas ke Negara lain.
1. a.

Ebola

Penyebab penyakit ini adalah virus dari genus ebola virus dan
familinya filoviridae. Karakteristik dari virus ini, morfologi filamennya panjang
dan dikelilingi lemak serta mempunyai envelop. Ebola virus mempunyai
morfologi yang sama dengan marburg virus karena familinya yang sama yaitu

filoviridae serta gejala klinis yang sama. Ebola adalah ancaman luas untuk gorila
dan simpanse di Afrika Tengah, dan mungkin sudah menyebar ke manusia dari
orang-orang yang makan binatang yang terinfeksi. Sekarang menular dari
manusia ke manusia, melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh dari orang
yang terinfeksi, dan telah membunuh beberapa ratus orang di setiap beberapa
wabah pada pertengahan 1970-an. Gejala klinis penyakit ebola muntah, diare,
luka pada tubuh, pengeluaran darah internal dan eksternal dan demam. Ratarata kematiannya sangat tinggi yaitu 50-90%, penyebab utama kematian adalah
hipopolemik syok dan kegagalan jatung. Sejak ditemukan ebola tidak ada
vaksinnya untuk treatmen. Ebola dibagi menjadi tiga yaitu zaire ebola virus,
reston ebola virus dan ivori coast ebola virus.
1. b.

Nipah virus

Nipah virus merupakan virus zooonotik yang baru, ditemukan pada tahun
1999, penyakit ini menular pada manusia melalui kontak dengan hewan yang
terinfeksi. Nipah virus familinya paramyxovidae. Pola transmisinya mempunyai
dua model transmisi yaitu transmisi dari hewan ke hewan dan transmisi dari
hewan ke manusia. Kontak terbuka dengan jaringan atau body fluids yang
terkontaminasi dari hewan yang terinfeksi. Antibody dari nipah ditemukan pada
babi, hewan domestik lain dan hewan liar. Peran dari babi adalah penyebaran
infeksi pada hewan lain yang belum tertular. Masa inkubasi dari nipah virus
antara 4 dan 18 hari, terdapat kasus infeksi yang tidak mempunyai gejala
(subklinikal). Gejala klinis kasus ini mirip dengan gejala influenza dengan demam
tingi dan nyeri sendi (mialgia), penyakit ini inflamasi ke otak (encephalitis),
mengantuk, konvulsi dan koma. 50% dari gejala ini menimbulkan kematian.
1. c.

Rift valley fever (RVF)

RVF bersifat zoonosis, kasus penyakit ini pada hewan dan manusia dengan
morbiliti dan mortalitas yang tinggi. Virus RVF ini vektornya adalah nyamuk yang
merupakan epizootik potensial (epidemik pada hewan) dan pada manusia
epidemik terlihat dari virus baru pada satu area yang terdapat vektornya. RVF
merupakan genus dari phlebovirus dengan famili bunyaviridae. Vektor dari RVF
melalui gigitan nyamuk, berasal dari species nyamuk yang merupakan vektor
transmisi RVF pada daerah berbeda dengan species nyamuk yang berbeda
disebut pre dominan vektor, nyamuk Aides adalah contohnya, virus ini terdapat
pada pakan hewan yang terinfeksi dan mampu bertransmisi secara transovarial
(trasmisi virus dari nyamuk betina yang terinfeksi pada telurnya), jadi generasi
baru infeksi nyamuk terdapat pada telur.
Banyak type dari hewan yang terinfeksi dari RVF dan kejadian penyakit pada
umumnya hewan domestik seperti ternak, domba, unta, kambing dan burung liar
dari endemik area yang beradaptasi kekondisi lokal. Hewan dengan umur yang
berbeda mempunyai tingkat kejadian penyakit yang berbeda. Lebih dari 90%
anak domba terinfeksi RVF mengalami kematian, sedangkan domba dewasa
hanya 10%, aborsi hewan yang bunting 100%. RVF pada manusia bersifat
epizootik, manusia terinfeksi RVF melalui gigitan nyamuk atau melalui kontak
dengan darah, cairan tubuh lain atau organ dari hewan yang terinfeksi, kontak
lain melalui pemotongan hewan yang terinfeksi dan juga melalui susu hewan
yang terinfeksi. Virus ini infeksi pada manusia melalui inokulasi (pada kulit yang
terluka atau pisau pemotongan daging yang terinfeksi). Melalui infeksi dengan
darah yaitu transmisi dari laboratorium yang terinfeksi.
1. d.

SARS Virus

SARS virus mempunyai tipikal yang mirip dengan pneumonia dan influenza,
familinya paramyxoviridae. Virus ini diinokulasi dari Macaca fascicularis
coronaviridae, selain itu virus ini juga familinya coronaviridae. Corona virus
memiliki famili yang luas dengan envelop ikatan tunggal positif standar RNA
virus yang bereplikasi dalam sitoplasma sel dari inang definitif. Virus ini
ditemukan pada feces dan urin dari stable dengan temperatur ruangan. 1-2 hari
pasien menderita diare dengan pH lebih tinggi dari normal. Dalam supernatan
dari kultur sel yang terinfeksi terdapat konsentrasi virus setelah 21 hari pada
suhu 40C dan 800C. Setelah 48 jam dengan temperatur ulang konsentrasi virus
direduksi dengan satu tempat. Corona virus ditemukan pada hewan liar yang
dijual untuk konsumsi manusia, corona virus ditemukan pada musang (Paguma
larvata) dan species hewan lainya. Vaksinnya untuk respiratori corona virus
infeksi seperti infeksi bronchitis virus pada ayam, dan transmisi gastroenteritis
corona virus dari babi serta Feline Infectious Peritonitis virus (FIP).
1. 2.

Zoonosis bersifat Endemik

Endemik adalah suatu keadaan dimana penyakit secara menetap berada


dalam masyarakat pada suatu tempat / populasi tertentu. Epidemik ialah
mewabahnya penyakit dalam komunitas / daerah tertentu dalam jumlah yang
melebihi batas jumlah normal atau yang biasa.Sedangkan pandemik ialah
epidemik yang terjadi dalam daerah yang sangat luas dan mencakup populasi
yang banyak di berbagai daerah / negara di dunia.
1. a.

Flu babi

Flu babi (Inggris:Swine influenza) adalah kasus-kasus influensa yang disebabkan


oleh virus Orthomyxoviridaeyang endemik pada populasi babi. Galur virus flu
babi yang telah diisolasi sampai saat ini telah digolongkan sebagai Influenzavirus
C atau subtipe genus Influenza virus A. Flu babi menginfeksi manusia tiap tahun
dan biasanya ditemukan pada orang-orang yang bersentuhan dengan babi,
meskipun ditemukan juga kasus-kasus penularan dari manusia ke manusia.
Gejala virus termasuk demam, disorientasi, kekakuan pada sendi, muntahmuntah, dan kehilangan kesadaran yang berakhir pada kematian Flu babi
diketahui disebabkan oleh virus influenza A subtipe H1N1H1N2, H3N1,] H3N2,
and H2N3. Di Amerika Serikat, hanya subtipe H1N1 lazim ditemukan di populasi
babi sebelum tahun 1998. Namun sejak akhir Agusuts 1998, subtipe H3N2 telah
diisolasi juga dari babi.
1. b.

Flu Burung

Penyebab flu burung adalah virus influensa tipe A yang menyebar antar unggas.
Virus ini kemudian ditemukan mampu pula menyebar ke spesies lain seperti
babi, kucing, anjing, harimau, dan manusia. Virus influensa tipe A memiliki
beberapa subtipe yang ditandai adanya Hemagglutinin (H) dan Neuramidase (N).
Ada 9 varian H dan 14 varian N. Virus flu burung yang sedang berjangkit saat ini
adalah subtipe H5N1 yang memiliki waktu inkubasi selama 3-5 hari. Burung liar
dan unggas domestikasi (ternak) dapat menjadi sumber penyebar H5N1. Di Asia
Tenggara kebanyakan kasus flu burung terjadi pada jalur transportasi atau
peternakan unggas alih-alih jalur migrasi burung liar. Virus ini dapat menular
melalui udara ataupun kontak melalui makanan, minuman, dan sentuhan.
Namun demikian, virus ini akan mati dalam suhu yang tinggi. Oleh karena itu
daging, telur, dan hewan harus dimasak dengan matang untuk menghindari
penularan. Kebersihan diri perlu dijaga pula dengan mencuci tangan dengan
antiseptik. Kebersihan tubuh dan pakaian juga perlu dijaga. Virus dapat bertahan

hidup pada suhu dingin. Bahan makanan yang didinginkan atau dibekukan dapat
menyimpan virus. Tangan harus dicuci sebelum dan setelah memasak atau
menyentuh bahan makanan mentah.
1. 3.

Zoonosis bersifat sporadis


A. a.

Bakteri Enterobacter sakazakii

Bakteri ini merupakan bakteri batang, Gram negatif dari family


Enterobacteriaceae, dan digolongkan sebagai bakteri koliform. Bakteri ini bersifat
motil (memiliki peritrichous flagella), tidak membentuk spora, memproduksi
koloni berpigmen kuning. Sebelum tahun 1980, bakteri ini disebut sebagai
yellow-pigmented Enterobacter cloacae (INFOSAN 2005). Bakteri ini dapat
dimusnahkan pada suhu di atas 70 C.
Habitat alami bakteri ini tidak diketahui pasti. E. sakazakii dapat dideteksi pada
usus manusia sehat, serta dapat pula ditemukan di usus hewan dan lingkungan.
E. sakazakii merupakan bakteri patogen yang bersifat oportunistik. Bakteri ini
menyebabkan meningitis, sepsis, bakterimia, dan necrotizing enteritis pada bayi
(Kim et al. 2007). Tingkat mortalitas dari infeksi E. sakazakii ini mencapai 20
50%.
1. b.

Toxoplasmosis

Penyakit ini ditakuti oleh kaum wanita karena menyebabkan kemandulan atau
selalu keguguran bila mengandung. Bayi yang lahir dengan kondisi cacatpun
juga dapat di sebabkan oleh penyakit ini. Penyakit Toxoplasmosis disebarkan oleh
satwa bangsa kucing, misalnya kucing hutan, harimau atau juga kucing
rumahan. Penularan kepada manusia melalui empat cara yaitu:
1. Secara tidak sengaja menelan makanan atau minuman yang telah
tercemar Toxoplasama.
2. Memakan makanan yang berasal dari daging yang mengandung parasit
Toxopalsma dan tidak dimasak secara sempurna/setengah matang.
3.
4.

Penularan lain adalah infeksi penyakit yang ditularkan melalui placenta


bayi dalam kandungan bagi ibu yang mengandung.
Cara penularan terakhir adalah melalui transfusi darah.

5. c.

Salmonellosis

Bakteri Salmonella masuk ke tubuh penderita melalui makanan atau minuman


yang tercemar bakteri ini. Akibat yang ditimbulkan bila terinfeksi bakteri
Salmonella adalah peradangan pada saluran pencernaan sampai rusaknya
dinding usus. Akibatnya penderita akan mengalami :
1. Diare
2. Sari makanan yang masuk dalam tubuh tidak dapat terserap dengan baik
3. Penderita akan tampak lemah dan kurus.
Racun yang dihasilkan oleh bakteri Salmonella menyebabkan kerusakan otak,
organ reproduksi wanita bahkan yang sedang hamilpun dapat mengalami

keguguran. Satwa yang bisa menularkan penyakit salmonella ini antara lain:
primata, iguana, ular, dan burung.

Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan
virus rabies. Virus rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan hewan, misalnya
anjing, kucing, kera, rakun, dan kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing
gila.
Etimologi
Kata rabies berasal dari bahasa Sansekerta kuno rabhas (artinya melakukan
kekerasan atau kejahatan). Dalam bahasa Yunani, rabies
disebut Lyssa atau Lytaa (artinya kegilaan). Dalam bahasa Jerman, rabies
disebut tollwut, yang berasal dari bahasa Indojerman Dhvar (artinya merusak)
dan wut (artinya marah). Dalam bahasa Perancis, rabies disebut rage, berasal
dari katarobere (artinya menjadi gila).
Sejarah
Rabies bukanlah penyakit baru dalam sejarah perabadan manusia. Catatan
tertulis mengenai perilaku anjing yang tiba-tiba menjadi buas ditemukan pada
Kode Mesopotamia yang ditulis 4000 tahun lalu serta pada Kode
Babilonia Eshunna yang ditulis pada 2300 SM. Democritus pada 500 SM juga
menuliskan karakteristik gejala penyakit menyerupai rabies.
Aristotle, pada 400 SM, menulis di Natural History of Animals edisi 8, bab 22:
.... anjing itu menjadi gila. Hal ini menyebabkan mereka menjadi agresif,
dan semua binatang yang digigitnya juga mengalami sakit yang sama."
Hippocrates, Plutarch, Xenophon, Epimarcus, Virgil, Horace, dan Ovid pernah
menyinggung karakteristik rabies dalam tulisan-tulisannya. Celsius, seorang
dokter di zaman Romawi, mengasosiasikan hidrofobia (ketakutan terhadap air)
dengan gigitan anjing, di tahun 100 Masehi. Cardanus, seorang penulis zaman
Romawi, menjelaskan sifat infeksi pada air liur anjing rabies. Para penulis
Romawi zaman itu mendeskripsikan rabies sebagai racun (kata Latin bagi virus).
Pliny dan Ovid adalah orang yang pertama menjelaskan penyebab lain rabies,
yang saat itu disebut cacing lidah anjing (dog tongue worm). Untuk mencegah
rabies di masa itu, permukaan lidah yang diduga mengandung "cacing"
dipotong. Anggapan tersebut bertahan sampai abad 19, sampai akhirnya Louis
Pasteur berhasil mendemonstrasikan penyebaran rabies dengan menumbuhkan
jaringan otak yang terinfeksi rabies di tahun 1885. Goldwasser dan Kissling
menemukan cara diagnosis rabies secara modern pada tahun 1958 yaitu dengan
teknik antibodi imunofluoresens untuk menemukan antigen rabies pada jaringan.
Penyebab
Rabies disebabkan virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dan
genus Lysavirus. Karakteristik utama virus keluarga Rhabdoviridae adalah hanya
memiliki satu utas negatif RNA yang tidak bersegmen. Virus rabies hidup pada
beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan. Spesies
hewan perantara rabies bervariasi pada berbagai letak geografis. Hewan-hewan

yang diketahui dapat menjadi perantara rabies antara lain rakun (Procyon Lotor)
dan sigung (Memphitis Memphitis) di Amerika Utara, rubah merah (Vulpes
Vulpes) di Eropa, dan anjing di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Afrika, Asia, dan
Amerika Latin memiliki tingkat rabies tinggi. Hewan
perantara rabies menginfeksi inang yang bisa berupa hewan lain atau manusia
melalui gigitan. Infeksi rabies juga dapat terjadi melalui jilatan hewan
perantara rabies pada kulit yang terluka. Setelah infeksi, virus rabies akan
masuk melalui saraf-saraf menuju sumsum tulang belakang dan otak dan
bereplikasi di sana. Selanjutnya virus rabiesakan berpindah lagi melalui saraf ke
jaringan non saraf, misalnya kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur. Hewan
yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas/ganas ataupun rabies
jinak/tenang. Pada rabies buas/ganas, hewan yang terinfeksi tampak galak,
agresif, menggigit dan menelan segala macam barang, air liur terus menetes,
meraung-raung gelisah kemudian menjadi lumpuh dan mati. Pada rabies
jinak/tenang, hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan lokal atau
kelumpuhan total, suka bersembunyi di tempat gelap, mengalami kejang dan
sulit bernapas, serta menunjukkan kegalakan.
Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan melalui penghirupan
udara yang tercemar virus rabies. Dua pekerja laboratorium telah
mengkonfirmasi hal ini setelah mereka terekspos udara yang mengandung virus
rabies. Pada tahun 1950, dilaporkan dua kasus rabies terjadi pada penjelajah gua
di Frio Cave, Texas yang menghirup udara di mana ada jutaan kelelawar hidup di
tempat tersebut. Mereka diduga tertular rabies lewat udara karena sama sekali
tidak ditemukan adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar.

Manifestasi Klinis
Gejala rabies biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah
terinfeksi. Masa inkubasi virus rabies hingga munculnya penyakit adalah 10-14
hari pada anjing tetapi bisa mencapai 9 bulan pada manusia. Bila disebabkan
gigitan anjing, luka yang memiliki risiko rabies tinggi meliputi infeksi pada
mukosa, luka di atas daerah bahu (kepala, muka, leher), luka pada jari tangan
atau kaki, luka pada kelamin, luka yang lebar atau dalam, dan luka yang
banyak. Sedangkan luka dengan risiko rabies rendah meliputi jilatan pada kulit
yang luka, garukan atau lecet, serta luka kecil di sekitar tangan, badan, dan kaki.
Gejala penyakit rabies meliputi 4 stadium:
Stadium prodromal
Dalam stadium prodromal sakit yang timbul pada penderita rabies tidak khas,
menyerupai infeksi virus pada umumnya, yang meliputi demam, sulit makan
yang menuju taraf anoreksia, pusing dan pening, dan lain sebagainya.
Stadium sensoris
Dalam stadium sensoris penderita rabies umumnya akan mengalami rasa nyeri
pada daerah luka gigitan, panas, gugup, kebingungan, keluar banyak air liur
(hipersalivasi), dilatasi pupil, hiperhidrosis, hiperlakrimasi.
Stadium eksitasi

Pada stadium eksitasi penderita rabies menjadi gelisah, mudah kaget, kejangkejang setiap ada rangsangan dari luar sehingga terjadi ketakutan pada udara
(aerofobia), ketakutan pada cahaya (fotofobia), dan ketakutan air (hidrofobia).
Kejang-kejang terjadi akibat gangguan daerah otak yang mengatur proses
menelan dan pernapasan. Hidrofobia pada penderita rabies terutama karena
rasa sakit luar biasa saat berusaha menelan air.

Stadium paralitik
Pada stadium paralitik, penderita rabies menunjukkan tanda kelumpuhan dari
bagian atas tubuh ke bawah yang progresif.
Karena durasi penyebaran penyakit rabies cukup cepat, maka umumnya
keempat stadium rabiesdi atas tidak dapat dibedakan dengan jelas. Gejalagejala rabies yang tampak jelas pada penderita di antaranya nyeri pada luka
bekas gigitan dan ketakutan pada air, udara, cahaya, dan suara keras.
Sedangkan pada hewan yang terinfeksi, gejala rabies yang tampak adalah dari
jinak menjadi ganas, hewan-hewan peliharaan menjadi liar dan lupa jalan
pulang, serta ekor dilengkungkan di bawah perut.

Diagnosis
Jika seseorang digigit hewan, maka hewan yang menggigit harus diawasi. Satusatunya uji yang akurat 100% terhadap adanya virus rabies adalah dengan uji
antibodi fluoresensi langsung (direct fluorescent antibody test/dFAT) pada
jaringan otak hewan yang terinfeksi. Uji dFAT ini telah digunakan lebih dari 40
tahun dan dijadikan standar dalam diagnosis rabies. Prinsipnya adalah ikatan
antara antigen rabies dan antibodi spesifik yang telah dilabel dengan senyawa
fluoresens yang akan berpendar sehingga memudahkan deteksi rabies. Namun,
kelemahannya adalah subjek uji harus disuntik terlebih dahulu (eutanasia)
sehingga tidak dapat digunakan terhadap manusia. Akan tetapi, uji serupa tetap
dapat dilakukan menggunakan serum, cairan sumsum tulang belakang, atau air
liur penderita rabies, walaupun tidak memberikan keakuratan 100%. Selain itu,
diagnosis rabies dapat juga dilakukan dengan biopsi kulit leher atau sel epitel
kornea mata walaupun hasilnya tidak terlalu tepat sehingga nantinya akan
dilakukan kembali diagnosis post mortem setelah hewan atau manusia yang
terinfeksi rabies meninggal.
Penanganan
Bila terinfeksi rabies, segera cari pertolongan medis. Rabies dapat diobati,
namun harus dilakukan sedini mungkin, sebelum menginfeksi otak dan
menimbulkan gejala. Bila gejala mulai terlihat, tidak ada pengobatan untuk
rabies. Kematian biasanya terjadi beberapa hari setelah terjadinya gejala rabies
pertama.
Jika terjadi kasus gigitan oleh hewan yang diduga terinfeksi rabies atau
berpotensi rabies (anjing, sigung, rakun, rubah, kelelawar), segera cuci luka
dengan sabun atau pelarut lemak lain di bawah air mengalir selama 10-15
menit, lalu beri antiseptik alkohol 70% atau betadin.

Orang-orang yang belum diimunisasi tetanus selama 10 tahun terakhir akan


diberikan suntikan tetanus. Orang-orang yang belum pernah mendapat vaksin
rabies akan diberikan suntikan globulin imun rabies yang dikombinasikan dengan
vaksin. Separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan dan separuhnya
disuntikan ke otot, biasanya di daerah pinggang. Dalam periode 28
hari, diberikan 5 kali suntikan vaksin rabies. Suntikan pertama untuk
menentukan risiko adanya virus rabies akibat bekas gigitan. Sisa suntikan
diberikan pada hari ke-3, 7, 14, dan 28. Kadang-kadang terjadi rasa sakit,
kemerahan, bengkak, atau gatal pada tempat penyuntikan vaksin rabies.

Pencegahan
Pencegahan rabies pada manusia harus dilakukan sesegera mungkin setelah
terjadi gigitan oleh hewan yang berpotensi rabies, karena bila tidak, dapat
mematikan (letal).
Langkah-langkah mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus rabies
atau segera setelah terkena gigitan. Sebagai contoh, vaksinasi rabies bisa
diberikan kepada orang-orang yang beresiko tinggi terhadap terjangkitnya
virus rabies, yaitu:

Dokter hewan.

Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang


terinfeksi rabies.

Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang
rabies pada anjing banyak ditemukan.

Para penjelajah gua kelelawar.

Vaksinasi idealnya dapat memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi seiring


berjalannya waktu, kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko
tinggi terhadap rabies harus mendapatkan dosis booster vaksinasi rabies setiap
3 tahun. Pentingnya vaksinasi rabies terhadap hewan peliharaan, seperti
anjing, juga merupakan salah satu cara pencegahan rabies yang harus
diperhatikan.

LEPTOSPIROSIS
A. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh suatu
mikrorganisme Leptopsiro interogans. Penyakit ini memiliki manifestasi klinik dari
bentuk yang ringan dengan gejala sakit kepala dan mialigia seperti influenza
hingga bentuk berat dengan gejala ikterus, disfungsi ginjal dan diathesis
hemorrhagic. Penyakit ini pertama kali ditemukan ole Weil pada tahun 1886, oleh
karena itu, bentuk berat penyakit ini dikenal dengan Weils disease. Penyakit ini

dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, dan
sebagainya. 1,2,3
B. Etiologi
Leptospira disebabkan oleh genus leptospira, family leptospiraceae yang
merupakan suatu mikroorganisme spirachaeta. Ciri khas mikroroganisme ini
adalah bergelung, tipis, motilitas tinggi yang panjangnya 5-15 um, dengan spiral
halus lebarnya 0,1-0,2 um, salah satu ujungnya membengkak membentuk suatu
kait, memiliki dua buah periplasmic flagella yang dapat membuat terowongan
menginfeksi jaringan. Spiroceta ini begitu halus sehingga dalam mikroskop
lapangan gelap hanya dapat dilihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan
pemeriksaan lapang redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara
umum dapat dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan
mikroskop lapang gelap. Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang
khusus untuk tumbuh. Dengan medium flethcers dapat tumbuh dengan baik
sebagai obligat anaerob.1,2
Secara sederhana genus leptospira terdiri atas dua species yaitu L.interogans
yang pathogen dan L. biflexa yang non pathogen. L. interrogans dibagi menjadi
beberapa serogroup dan serogroup ini dibagi menjadi beberapa serovar menurut
komposisi antigennya. Saat ini telah ditemukan 23 serogroup yang dibagi
menjadi 250 serovar. Beberapa serogroup yang penting adalah
icterohemorrhagiae,canicola, pomona, australis, grippotyphosa, hyos, dan sejroe.
2,3
C. Epidemiologi
Leptospirosis tersebar hampur diseluruh benua kecuali benua Amerika, namun
penyebaran paling banyak terdapat di daerah tropis. Leptospirosis bisa terdapat
dalam binatang piaraan seperti anjing, babi, kuda, lembu, kucing. Dalam tubuh
binatang tersebut, Leptospirosis hidup dalam ginjal atau air kencingnya. Tikus
merupakan vector utama dari Leptospira icterohaemorrhagica penyebab
leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan
membentuk koloni serta berkembang biak didalam epitel tubulus ginjal tikus dan
terus menerus ikut mengalir dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman,
didaerah beriklim sedang masa puncak insiden dijumpai pada musim panas dan
musim gugur karena temperature adalah faktor yang mempengaruhi
kelangsungan hidup leptopsira. Sedangkan di daerah tropis insiden tertinggi
terjadi selama musim hujan.1
Leptospira mengenai paling banyak mamalia seperti landak, tikus, kelinci, tupai,
musang dan sebagainya. Binatang pengerat terutama tikus merupakan reservoir
paling banyak. Leptospira membentuk hubungan simbiosis dengan pejamunya
dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan dan bahkan
bertahun-tahun. Beberapa reservoir berhubungan dengan binatang tertentu
seperti L. icterohaemoragiae dengan tikus, L. hardjo dengan sapi, L. canicola
dengan anjing dan L. pomona dengan babi. 1,2
Di Indonesia Leptospira ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY,
Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara,
Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Kalimantan
Timur. Salah satu kendala dalam penanganan leptospira adalah kesulitan dalam
melakukan diagnostic awal. Diagnostic pasti dengan ditegakkan dengan

ditemukannya leptospira dalam urin atau hasil serologi positif. Untuk dapat
berkembang biak, leptospira memerlukan lingkungan optimal serta tergantung
pada suhu yang lembab, hangat, dimana lokasi ini ditemukan didaerah tropis.1,
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air atau tanah, lumpur yang
telah terkontaminasi oleh urin binatang yang telah terinfeksi leptospira. Infeksi
tersebut terjadi jika terdapat luka pada kulit ataupun selaput lender. Air
genangan dapat memanikan peranan dalam proses penularan penyakit. Kadangkadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang sebelumnya terinfeksi
leptospira. Transmisi dari manusia ke manusia paling jarang terjadi. Orang-orang
yang memiliki faktor resiko penularan leptospira adalah pekerja di sawah,
pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, dokter hewan. 2
D. Patofisiologi
Leptospira masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit dan membrane mukosa
yang terluka kemudian masuk kedalam aliran darah dan berkembang khususnya
pada konjungtiva dan batas oro-nasofaring. Kemudian terjadi respon imun seluler
dan humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik.
Leptospira dapat bertahan sampai ke ginjal dan sampai ke tubulus konvoluntus
sehingga dapat berkembang biak di ginjal. Leptospira dapat mencapai ke
pembuluh darah dan jaringan sehingga dapat diisolasi dalam darah dan LCS
pada hari ke 4-10 dari perjalanan penyakit. Pada pemeriksaan LCS ditemukan
pleocitosis. Pada infiltrasi pembuluh darah dapat merusak pembuluh darah yang
dapat menyebabkan vasculitis dengan terjadi kebocoran dan ekstravasasi darah
sehingga terjadi perdarahan. Setelah terjadi proses imun leptospira dapat lenyap
dari darah setelah terbentuk agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Dalam
perjalana pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi
yang muncul terjadi karena kerusakan pada endotel kapiler. Organ-organ yang
sering terkena leptospira adalah sebagai berikut :1.2.3.4,5
Ginjal. Nefritis Interstisial dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk
lesi yang dapat terjadi tanpa disertai gangguan fungsi ginjal. Sedangkan jika
terjadi gagal ginjal akibat nekrosis tubular akut.
Hati. Pada organ hati terjadi nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel
limfosit fokal dan proliferasi sel Kupfer.
Jantung. Kelainan miokradium dapat fokal ataupun difus berupa interstisial
edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan
dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal dan juga endokarditis.
Otot rangka. Pada otot rangka terjadi nekrosis, vakuolisasi dan kehilangan
striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan oleh invasi langsung
leptospira.
Mata. Leptospira dapat masuk ke uvea anterior yang dapat menyebabkan uveitis
anterior pada saat fase leptospiremia.
Pembuluh darah. Bakteri yang menempel pada dinding pembuluh darah dapat
terjadi vaskulitis dengan manifetasi perdarahan termasuk pada mukosa, organorgan visceral dan perdarahan bawah kulit.

Susunan Saraf Pusat (SSP). Manifestasi masuknya bakteri ke dalam LCS adalah
meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi, bukan pada
saat masuk ke LCS. Terjadi penebalan meninges dengan peningkatan sel
mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic,
biasanya paling sering disebabkan oleh L.canicola.
Weil Disease
Weil disease merupakan leptopsirosis yang berat ditandai dengan ikterus
biasanya disertai dengan perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran
dan demam tipe continue. Serotype leptospira yang menyebabkan weil disease
adalah serotype icterohaemorrhagica. Gambaran klinis bervariasi berupa
gangguan renal, hepatic dan disfungsi vascular.1
E. GAMBARAN KLNINIS
Masa inkubasi 2-26 hari, dengan manifestasi klinis dibagi menjadi 2 fase
penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.1,2
Fase Leptopsiremia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
srebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala
biasanya di bagian frontal, rasa sakit yang hebat terutama pada paha, betis dan
pinggang disertai dengan nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesia
kulit, demam tinggi yang disertai mengigil, juga didapati mual muntah disertai
mencret, bahkan dapat terjadi penurunan kesadaran. Pada hari keempat dapat
disertai dengan konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai
rash berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang dapat dijumpai
hepatosplenomegali dan limfadenopati. Fase ini berlangsung selama 4-7
hari.1,2,5
Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibody, dapat timbul demam yang
mencapai suhu 40oC disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa
sakit menyeluruh diotot-otot leher terutama diotot bagian betis. Terdapat
perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia dan
ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, pupura, petechiae,
epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifetasi perdarahan yang paling
sering. Conjunctiva injection dan conjunctiva suffusion dengan ikterus
merupakan tanda patognomosis untuk leptospirosis. Pada sekitar 50% pasien
dapat terjadi meningitis. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin.
Gambaran perjalanan penyakit leptospirosis dapat dilihat pada gambar dibawah
ini.1,2,5
F. DIAGNOSIS
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah
termasuk kelompok resiko tinggi. Gejala dan keluhan didapati demam muncul
mendadak, sakit kepala bagian frontal, nyeri otot, fotofobia. Pada pemeriksaan
fisik didapati demam, bradikardia, nyeri tekan dan hepatomegali. Pada
pemeriksaan laboratorium darah rutin biasanya dijumpai leukositosis, pada
pemeriksaan urin dijumpai protein urin, leukosituria. Diagnose pasti dengan
kultur dan serologi.1,4
Kultur
Dengan mengambil specimen dari darah dan LCS segera pada awal gejala.
Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil specimen pada fase

leptospiremia serta belum diberi antibiotic. Kultur urin diambil setelah 2-4
minggu onset penyakit. 1,4
Serologi
Pemeriksaan untuk mendeteksi leptospira dengan cepat adalah dengan
pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR), silver stain atau fluorescent
antibody stain, dan mikroskop lapangan gelap. 3,4
G. PENGOBATAN
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi
keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada
leptospirosis. Pemberian antobiotik harus dimulai secepat mungkin, bias any
pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Berikut golongan antibiotic
yang dapat diberika pada pasien leptospirosis :1
Indikasi Regimen Dosis
Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg
Ampisilin 4 x 500-750 mg
Amoksisilin 4 x 500 mg
Leptospirosis sedang/berat Penisilin G 1,5 juta unit/ 6 jam
Ampisilin 1 gram/ 6 jam
Amoksisilin 1 gram/ 6 jam
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/ minggu
Sampai saat ini penisilin masih menjadi pilihan utama, namun perlu diingat
bahwa antibiotic bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia).
Pada pemberian penisilin dapat timbul reaksi Jarisch-Herxheimer 4 sampai 6 jam
setelah pemberian intravena yang menunjukkan adanya aktivitas anti leptospira.
Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi
yang timbul. Kesimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana
pada penaggulangan gagal ginjal secara umum. Jika terjadi azotemia berat dapat
dilakukan dialisa.1
H. PROGNOSIS
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka
kematian 5% pada umur dibawah 30 tahun. Pada usia lanjut mencapai 30-40%.1
I. PENCEGAHAN
Pencegahan leptospira khususnya didaerah tropis sangat sulit karena banyaknya
hospes perantara dan jenis serotype sulit untuk dihapuskan. Bagi mereka yang
memiliki resiko tinggi untuk tertular laptospirosis harus diberikan perlindungan
khusus yang dapat melindungi dari kontak dengan bahan-bahan yang
terkontaminasi dengan kemih binatang reservoir. Pemberian doksisiklin 200 mg
perminggu dikatakan bermanfaat untuk mengurangi serangan leptospirosis bagi
mereka yang resiko tinggi dan terpapar dalam waktu singkat.4
J. KESIMPULAN
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh leptospira.
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara incidental.
Gejala klinis yang timbul mulai dari yang ringan sampai yang berat bahkan
kematian bila terlambat dalam pengobatan. Diagnosa dini yang tepat dan
penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan penyakit menjadi berat.
Pencegahan dini terhadap mereka yang terekspos diharapkan dapat melindungi
mereka dari serangan leptospirosis.

Anda mungkin juga menyukai