Anda di halaman 1dari 41

LACTATE CLEARANCE PREDIKTOR MORTALITAS DAN

RESPON TERAPI PADA PASIEN SEPSIS BERAT

Oleh:
EDWIN SALEH SIREGAR

USULAN PENELITIAN
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh gelar Dokter Konsultan Bedah Digestif

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-2


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN/
RSUP DR HASAN SADIKIN
BANDUNG
2015

LACTATE CLEARANCE PREDIKTOR MORTALITAS DAN


RESPON TERAPI PADA PASIEN SEPSIS BERAT

Oleh:
EDWIN SALEH SIREGAR

USULAN PENELITIAN

Bandung
Oktober 2015

Pembimbing I

Pembimbing II

Andriana Purnama, dr, MM, SpB-KBD

Dr. Reno Rudiman, dr, MSc, SpB-KBD

NIP: 197206092006041001

NIP: 196507101991021001

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Penelitian


Sepsis berat dan syok sepsis masih menjadi salah satu penyebab utama

kematian pasien perawatan intensif di dunia. Beberapa strategi awal resusitasi


pada pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis dapat menurunkan angka
mortalitas pasien, tetapi dari beberapa data mengatakan bahwa masih banyak
pasien yang di rawat lama di Intensive Care Unit (ICU).1 Sepsis bukan
merupakan suatu proses penyakit tunggal melainkan sekumpulan penyakit, dari
sistemic inflamatory response syndrome (SIRS) sampai sepsis berat (sepsis
dengan disfungsi organ akut) dan syok septik (sepsis berat dengan hipotensi
yang tidak respon terhadap resusitasi cairan) dengan angka mortalitas 26% pada
SIRS dan mencapai 82% pada syok septik.2
Sepsis menjadi penyebab kematian ke-10 di Amerika Serikat saat ini.
Insiden sepsis semakin sering dan akan terus meningkat seiring dengan umur.
Setiap tahun diperkirakan sekitar 400.000 sampai 500.000 pasien mengalami
sepsis di Eropa dan Amerika Serikat.3 Early Goal Directed Therapy (EGDT)
adalah rekomendasi internasional untuk tatalaksana sepsis berat dan syok septik,
dengan berdasarkan optimalisasi dari mean arterial pressure (MAP), central
venous pressure (CVP), urine output (UOP) dan central venous oxygen

(ScvO2) namun angka mortalitas pada sepsis berat dan syok septik masih tinggi. 5
Suatu nilai prediksi prognostik pada pasien sepsis berat dan syok septik sangat
dibutuhkan untuk menentukan agresifitas terapi yang akan kita pilih. Berbagai
cara digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di ruang
intensif.6
Berbagai cara scoring system yang umum dipergunakan antara lain Acute
Physiologic and Chronic Health Evaluation (APACHE), Sequential Organ
Failure Assesment (SOFA), Mortality Probability Model (MPM) dan Simplified
Acute Physiology Score (SAPS). Keempat scoring system ini berdasarkan nilai
parameter klinis dan laboraturium. Prognosis dari pasien sepsis dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain respon dari pasien, tempat dan sumber infeksi, tipe
infeksi, terapi antimikrobial dan restorasi perfusi.7 Kendala yang dapat dihadapi
dalam menerapkan scoring system tersebut adalah banyaknya parameter
laboraturium yang diperiksa dan tidak semua perawatan intensif di rumah sakit
lain memiliki kelengkapan fasilitas laboraturium. Pemeriksaan laboraturium yang
banyak dan lengkap juga memerlukan dana yang cukup besar bagi pasien yang
dirawat. Salah satu pemeriksaan yang cukup sering digunakan adalah pemeriksaan
saturasi oksigen vena sentral (ScvO2).7,8
Pada pasien pasca resusitasi , ScvO2 seringkali menunjukkan angka lebih
besar daripada 70% walaupun disertai dengan gejala oksigenisasi jaringan yang
abnormal. Defek ekstraksi oksigen ini mungkin berhubungan dengan kerusakan
mikrosirkulasi yang berat, kerusakan mitokondrial, gangguan respirasi di tingkat
seluler sehingga sebagian besar kasus menghasilkan peningkatan nilai dari ScvO2

ataupun saturasi vena campuran. Setelah dilakukan resusitasi awal, ScvO2 saja
tidak cukup sebagai panduan terapi cairan maupun terapi obat-obat vasoaktif
suportif.9-11
Pada pasien kritis dalam keadaan sepsis berat dan syok septik, parameter
hemodinamik global seringkali tidak dapat digunakan sebagai acuan. Untuk itu
diperlukan suatu penanda untuk menilai gangguan perfusi jaringan (shock
microcirculation). Pada keadaan ini peningkatan kadar laktat dalam darah diduga
dapat dijadikan penanda adanya gangguan/gagal perfusi jaringan atau sering
disebut gagal sirkulasi.12
Penentuan kadar laktat penting pada pasien syok, sepsis, pasca operasi,
cedera paru akut dan pada pasien kritis. Kadar konsentrasi laktat darah statis telah
banyak di teliti untuk dijadikan sebagai nilai prognostik pada pasien sepsis berat
dan syok septik karena laktat merupakan hasil dari produk metabolisme anaerob.
Konsentrasi laktat darah di refleksikan sebagai keseimbangan antara produksi dan
penggunaan laktat di jaringan, yang normal nya antara 0,5 1,8mm. Jika terjadi
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, maka akan terjadi
hipoksia jaringan, dapat juga di lihat saat penggunaan otot secara berat maka
piruvat akan direduksi menjadi laktat untuk menghasilkan energi, hal ini disebut
juga sebagai metabolisme anaerob. Kondisi inilah yang menjadi dasar studi untuk
menggunakan kadar laktat serum darah sebagai prediktor mortalitas.12
Namun nilai laktat statis tidak terlalu tepat untuk dijadikan prognostik
dan pedoman terapi pada pasien kritis. Perhitungan laktat beberapa jam kedepan
dengan di bandingkan dengan nilai laktat awal disebut sebagai lactate clearance.

Untuk dijadikan suatu prognostik dan agresifitas terapi, dihitung laktat secara
bertahap kemudian dibandingkan dengan laktat awal untuk melihat respon dari
terapi dan prognostik pada pasien sepsis berat dan syok septik. Lactate clearance
dihitung dengan cara ( lactate initial lactate delayed) / lactate initial x
100%.12,13
Berdasarkan uraian tersebut dapat diperoleh latar belakang situasi dan
kondisi yang mengindikasikan penggunaan lactate clearance sebagai prediktor
tingkat mortalitas , sehingga dapat dirumuskan tema sentral penilitian sebagai
berikut :
Sepsis berat dan syok septik memiliki angka mortalitas yang cukup
tinggi. Tinggi nya angka mortalitas ini merupakan hal penting pada
penatalaksanaan pasien karena akan menentukan agresifitas terapi yang dilakukan.
Penilaian dengan nilai laktat statis tidak memiliki hasil yang baik sebagai
prediktor, oleh karena itu dibutuhkan penilaian laktat awal dan laktat selanjutnya
untuk lebih tepat dijadikan sebagai prediktor mortalitas. Laktat klirens
menunjukkan sebagai nilai prognostik tetapi tidak semua studi menunjukkan hasil
yang sama.
Prediktor nilai mortalitas yang paling banyak digunakan di ICU adalah
skor APACHE II. Penilaian dengan APACHE II membutuhkan modalitas dan
data yang banyak, biaya yang lebih banyak dan hanya satu kali pengukuran pada
awal masuk ruang ICU dimana hal ini dapat dianggap sebagai data statis. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh prediksi mortalitas yang
lebih mudah, efisien dan tidak statis, kurang dapat difungsikan untuk mengukur

respon terapi. Dalam hal ini lactate clearance diharapkan memiliki kemampuan
dalam menentukan tingkat mortalitas pada pasien sepsis berat.
1.2

Rumusan Masalah
Apakah lactate clearance dapat digunakan untuk menilai tingkat

mortalitas dan respon terapi pada pasien sepsis berat di Rumah Sakit Hasan
Sadikin ?

1.3

Tujuan Penelitian
Mengetahui kegunaan nilai lactate clearance dalam menilai tingkat

mortalitas dan respon terapi pada pasien sepsis berat di Rumah Sakit Hasan
Sadikin ?

1.4
1.4.1

Kegunaan Penelitian
Kegunaan Ilmiah
Hasil

penelitian

diharapkan

dapat

berguna

untuk

menambah

pengetahuan dan kepustakaan mengenai lactate clearance dapat digunakan sebagai


prediktor mortalitas dan respon terapi pada pasien sepsis berat di RSHS Bandung.
Selain itu penilitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk penelitian
penelitian selanjutnya.

1.4.2

Kegunaan Praktis
Apabila terbukti bahwa nilai lactate clearance dapat digunakan untuk

menilai tingkat mortalitas pasien dengan sepsis berat, maka nilai lactate clearance
dapat digunakan sebagai evaluasi prognosis yang lebih sederhana pada pasien
sepsis berat, namun juga sekaligus digunakan sebagai evaluasi prognosis yang
mudah.

BAB II
TINJUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1

Tinjauan Pustaka
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik dengan etiologi mikroba

yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya adalah berupa kenaikan suhu tubuh
(>380C) atau (<360C), takikardia, peningkatan atau penurunan jumlah sel darah
putih dan adanya sumber dari infeksi. Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi
virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia mengacu pada
infeksi dari darah sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tetapi dapat
mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ.1
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ,
hipotensi atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia dan
perubahan status mental. Tidak hanya ginjal dan otak, seluruh organ tubuh dapat
dirusak oleh ada nya sepsis. Syok septik merupakan sepsis berat dengan tekanan
darah arteri <90 mmHg atau 40mmHg dibawah tekanan darah normal pasien
setelah pemberian cairan yang cukup dan membutuhkan support vasopressor.1
Sepsis menjadi penyebab kematian ke-10 di Amerika Serikat saat ini. Insiden
sepsis semakin sering dan akan terus meningkat seiring dengan umur. Setiap
tahun diperkirakan sekitar 400.000 sampai 500.000 pasien mengalami sepsis di
Eropa dan Amerika Serikat. Early Goal Directed Therapy (EGDT) adalah
rekomendasi internasional untuk tatalaksana sepsis berat dan Syok septik, dengan
berdasarkan optimalisasi dari mean arterial pressure (MAP), central venous

pressure (CVP), urine output (UOP) dan central venous oxygen saturation
(SvO2) namun angka mortalitas pada sepsis berat dan syok septik masih tinggi.2
Suatu nilai prediksi prognostik pada pasien sepsis berat dan syok septik sangat
dibutuhkan untuk menentukan agresifitas terapi yang akan kita pilih. Berbagai
cara digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di ruang
intensif. 2,3
Pada pasien kritis dalam keadaan sepsis berat dan syok septik, parameter
hemodinamik global seringkali tidak dapat digunakan sebagai acuan. Untuk itu
diperlukan suatu penanda untuk menilai gangguan perfusi jaringan (shock
microcirculation). Pada keadaan ini peningkatan kadar laktat dalam darah diduga
dapat dijadikan penanda adanya gangguan/gagal perfusi jaringan atau sering
disebut gagal sirkulasi.2
Penentuan kadar laktat penting pada pasien syok, sepsis, pasca operasi,
cedera paru akut dan pada pasien kritis. Kadar konsentrasi laktat darah statis telah
banyak di teliti untuk dijadikan sebagai nilai prognostik pada pasien sepsis berat
dan syok septik karena laktat merupakan hasil dari produk metabolisme anaerob.
Konsentrasi laktat darah di refleksikan sebagai keseimbangan antara produksi dan
penggunaan laktat di jaringan, yang normal nya antara 0,5 1,8mmol/L. Jika
terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, maka akan terjadi
hipoksia jaringan, dapat juga di lihat saat penggunaan otot secara berat maka
piruvat akan direduksi menjadi laktat untuk menghasilkan energi, hal ini disebut
juga sebagai metabolisme anaerob.5 Namun kondisi laktat darah statis atau hanya
dilakukan satu saat pengukuran tidak dapat mencerminkan respon terapi dari

tindakan, sehingga di perlukan pemeriksaan laktat lanjutan dan dibandingkan


dengan laktat awal untuk melihat respon terapi yang telah dilakukan. Kondisi
inilah yang mendasarkan beberapa studi untuk menggunakan kadar laktat serum
darah sebagai prediktor mortalitas. Hal ini menyebabkan penggunaan lactate
clearance untuk menentukan nilai prognostik pada pasien sepsis berat dan syok
septik merupakan topik menarik untuk diteliti.2
2.1.1 Patofisiologi Sepsis
Sepsis adalah suatu sindrom respon inflamasi sistemik ataupun SIRS yang
terkait dengan adanya suatu infeksi. Pada sepsis terjadi pelepasan mediator
inflamasi sistemik yang dapat mengakibatkan terjadinya venodilatasi, disfungsi
kardiovaskuler, disfungsi ginjal dan gangguan mikrosirkulasi. Perubahan dasar
dari awal mulanya sepsis berat meliputi depresi kardiovaskuler dan hipovolemia.7
Sepsis berat dan syok septik dapat menyebabkan disfungsi miokardial dan secara
bersamaan dengan terjadi nya kebocoran kapiler pada pembuluh darah.
Pengukuran yang tepat dari kontraktilitas jantung, suatu penelitian menemukan
bahwa terjadi penurunan ejeksi fraksi ventrikel kiri, peningkatan volume end
diastolic dan end systolic ataupun penurunan isi sekuncup, penurunan tahanan
pembuluh darah sistemik dan terjadi takikardia yang merupakan proses
kompensasi. Kejadian ini merupakan perubahan fisiologis kardiovaskuler yang
khas yang di akibatkan ada nya sepsis berat dan syok septik.7,8
Hipovelemia relatif yang disebabkan oleh sepsis disebabkan adanya
dilatasi dari arteri dan vena. Dilatasi dari arteri dan vena ini akan menyebabkan
berkurangannya pengisian cairan atrium kanan. Kondisi hipovelemia ini juga

dapat disebabkan oleh adanya kebocoran kapiler pembuluh darah, sehingga terjadi
kebocoran cairan dari intravaskuler ke rongga interstisial. Hal ini menyebabkan
terjadinya penurunan tahanan pembuluh darah tepi, menigkatkan detak jantung
sebagai bentuk kompensasi dan meningkatnya oksigen vena campur. Suatu
keadaan yang disebut dengan syok hiperdinamik, sering ditemui dalam keadaan
sepsis berat. Permeabilitas mikrovaskular, khusunya molekul yang besar,
meningkat selama sepsis oleh karena endotoksin dan pelepasan dari mediator
inflamasi lainnya. Protein molekul besar lainnya yang normal akan mengisi
kapiler yang pecah dan air akan keluar secara osmosis. Gradasi onkotik akan
menjadi kurang efektif. Peningkatan tekanan kapiler oleh mediator sistemik,
seperti histamin, bradikinin dan disfungsi dari miokardial meningkatkan terjadi
nya ekstravasasi cairan. Keadaan ini menyebabkan terjadinya syok distributif
karena berkurangnya perfusi kejaringan.9
Venodilatasi yang dihasilkan oleh pengluaran mediator inflamasi seperti
nitrit oksida (NO), menurunkan pengisian ventrikel dan kardiak outoput dan
tekanan arterial. Secara normal harusnya sistem kardiovaskuler menyesuaikan
untuk menurunkan preload dan peningkatan resistensi sistem vaskuler sistemik,
kontraktilitas miokardial dan denyut jantung, tetapi pada sepsis mekanisme ini
tidak efektif karena respon sirkulasi yang buruk. Resusitasi cairan diberikan untuk
menambah aliran balik vena dan meningkatkan kardiak output.10-12
Hipoperfusi jaringan dapat terjadi dalam keadaan tekanan darah yang
normal dan curah jantung

yang adekuat, keadaan ini sering disebut dengan

cryptic shock.13 Hipoperfusi ini berhubungan dengan maldistribusi aliran darah

10

pada tingkat mikrosirkulasi. Pengaturan perfusi pembuluh darah kecil merupakan


fungsi instrinsik pada mikrosirkulasi. Walaupun penilaian syok septik sering
difokuskan pada makrosirkulasi yang menunjukkan distribusi aliran darah secara
global. Sistem mikrosirkulasi sangat bergantung pada sistem kardiovaskuler
sebagai penyuplai oksigen yang efektif ke jaringan. Semua jenis syok atau
hipoperfusi tidak selalu sebagai prognosa buruk apabila ditangani dengan cepat
dan agresif. Penanganan yang cepat dan baik dapat mencegah kerusakan lebih
lanjut yang disebabkan hipoperfusi jaringan.14,15

2.1.2 Laktat
Pada individu sehat terdapat siklus berkelanjutan dari metabolisme dan
produksi laktat sehingga kadar laktat dalam darah rendah dalam keadaan normal.
Kadar laktat tinggi ketika diproduksi lebih tinggi dari eliminasi, ketika kapasitas
eleiminasi menurun atau lebih sering keduanya terjadi bersamaan.15
Konsentrasi laktat didarah merefleksikan keseimbangan antara produksi
dan penggunaan laktat dijaringan, yang secara normal antara 0,5-1,8 mmol/l.
Laktat dihasilkan dari reduksi piruvat dan di metabolisme dengan oksidasi piruvat
dengan

reaksi

yang

dikatalisasi

menggunakan

NAD-dependent

lactate

dehydrogenase. Pembentukan piruvat terutama dari oksidasi mitokondrial


terhadap CO2 dan H20 dengan melibatkan energi dan oksigen dalam prosesnya.16
Jika kebutuhan oksigen tidak tercukupi piruvat akan direduksi menjadi
laktat untuk menghasilkan energi. Sehingga jika terjadi ketidakseimbangan antara
kebutuhan oksigen dan suply oksigen proses ini akan terjadi. Saat keadaan ini

11

terjadi, tidak hanya terjadi hipoksia dan anoksia dijaringan, tapi dapat terlihat juga
saat penggunaan otot secara berlebihan dan berat, dan metabolisme alkohol di
liver. Kondisi inilah yang mendasarkan beberapa studi untuk menggunakan kadar
laktat darah sebagai prediktor mortalitas.16,17
Pada dalam keadaan hipoksia, maka glikogen akan diubah menjadi
glukosa, selanjutnya glukosa akan diubah menjadi laktat. Laktat melalui aliran
darah masuk ke hati. Di dalam hati laktat akan diubah kembali menjadi glukosa.
Glukosa kembali masuk ke dalam darah yang selanjutnya akan digunakan di
dalam otot. Di dalam otot, glukosa diubah kembali menjadi glikogen. Hal ini
disebut dengan siklus asam laktat atau siklus Cori.18

Gambar 2.1 Siklus Cori18

12

Siklus krebs adalah reaksi metabolisme antara asetil ko-A dengan asam
oksaloasetat yang terjadi setelah proses glikolisis. Reaksi ini juga disebut siklus
asam sitrat dan merupakan pusat dari sekitar 500 reaksi metabolisme yang terjadi
di dalam sel. Fase kedua respirasi aerob adalah siklus krebs. Hasilnya adalah
karbon dioksida dan energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) yang berasal
dari karbohidrat, lemak, dan protein. ATP adalah sumber utama energi tubuh.
Jalur metabolisme ini berasal dari asam sitrat dan menghasilkan karbon dioksida
sebagai limbah. Jalur ini dapat menghasilkan energi kimia yang dapat digunakan
dalam bentuk ATP. Pada sel eukariotik, siklus krebs terjadi di dalam mitokondria.
Pada sel prokariotik seperti bakteri yang tidak memiliki mitokondria, urutan
reaksi dilakukan di dalam sitosol.19

13

Gambar 2.2 Siklus Kreb19

2.1.3 Asidosis Laktat


Asidosis laktat merupakan keadaan asidosis dengan anion gap yang luas,
dikarakterisitikan dengan pH < 7,35 dan kadar laktat di plasma > 5mmol/L. Hal
ini dapat terjadi bila oksigenisasi di jaringan tidak adekuat memenuhi kebutuhan
energi sebagai akibat dari hipoperfusi atau hipoksia, menyebabkan terjadinya
metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat dalam jumlah berlebihan.20
Terjadinya asidosis laktat dikaitkan dengan adanya disregulasi metabolik,
hipoperfusi jaringan, pengaruh obat/toksin tertentu ataupun abnormalitas
kongenital pada metabolisme karbohidrat. Asidosis laktat dibagi menjadi 2
kategori, yaitu: terjadinya asidosis laktat dihubungkan dengan adanya gangguan
perfusi jaringan ataupun oksigenisasi yang jelek (tipe A) dan tidak didapati

14

adanya gangguan perfusi jaringan ataupun oksigenisasi dalam hal terjadinya


asidosis laktat (tipe B).20
Di Amerika serikat, prevalensi asidosis laktat tidak diketahui dan sulit
untuk diselidiki, meskipun demikian metabolisme laktat yang abnormal sering
dialami penderita yang sakit berat. Penderita dengan kadar laktat di darah > 5
mmol/L dan pH < 7,35 mempunyai prognosis yang sangat buruk. Pada peneletian
yang dilakukan di Amerika sebanyak 126 pasien dengan asidosis metabobolik,
ditemukan peningkatan kadar laktat pada penderita yang meninggal, dengan
angka mortaloitas berkisar 75% dibandingkan dengan pasien yang bertahan
hidup.20,21
Tanda klinis biasanya memperlihatkan tanda-tanda hipoperfusi jaringan.
Hipotensi berat, oliguria atau anuria, perubahan status mental dan takipnu selalu
dijumpai pada asidosis laktat yang disebabkan oleh hipoksemia jaringan.
Gambaran klinis yang didapati bila terjadi gangguan hipoperfusi jaringan juga
terjadi hipotensi, penurunan kesadaran, vasokonstriksi perifer. Manifestasi lanjut
yang terjadi adalah syok dan hal ini menjadi indikator keadaan hipoperfusi.
Manifestasi lain yang ditemukan adalah tipe pernafasan kussmaul yang
menunjukkan suatu keadaan asidosis yang mengakibatkan terjadinya kompensasi
pernafasan. Oleh karena sepsis sering didapati pada sebagian besar kasus asidosis
laktat, demam (>38,5oC) atau hipotermia (35oC) menjadi segala tambahan yang
memperlihatkan kemungkinan sudah terjadinya sepsis.21

15

2.1.4 Mekanisme Produksi Dan Eliminasi Laktat


Asam laktat atau laktat merupakan hasil akhir dari metabolisme.
Diperkirakan 1400 mmol asam laktat diproduksi setiap hari. Semua jaringan dapat
memproduksi asam laktat dan asam piruvat dari glukosa. Jalur metabolisme
glikolisis merupakan langkah awal metabolisme glukosa dan terjadi pada
sitoplasma sel. Produk akhir dari proses ini adalah piruvat, yang selanjutnya
berdifusi ke dalam mitokondria dan dimetabolisme menjadi karbondioksida
melalui siklus kreb. Metabolisme glukosa menjadi piruvat juga terjadi sebagai
akibat reduksi dari kofaktor enzim yang mengoksigenisasi bentuk nicotinic acid
dehidrogenase (NAD+) menjadi nicotinic acid dehidrogenase NADH), bentuk
tereduksi.21
Laktat diproduksi melalui proses glikolisis dan dibentuk di dalam cytosol
yang dikatalisasi oleh enzim lactate dehydrogenase. NADH/NADH+ merupakan
kofaktor pertukaran atom hidrogen yang dilepaskan atau yang dipakai. Oleh
karena itu, rasio laktat/piruvat selalu sebanding dengan rasio NADH/NAD+ di
cytosol. Konsentrasi laktat yang tinggi juga disertai dengan konsentrasi yang
tinggi dari piruvat atau NADH di cytosol, atau keduanya. Ini merupakan reaksi
reversibel yang membantu sintesa laktat dengan rasio normal laktat menjadi
piruvat adalah 25 berbanding 1.21,22
Sintesis laktat meningkat bila pembentukan piruvat di cytosol melebihi
penggunaannya di mitokondria. Ini terjadi bila didapati peningkatan metabolik
yang cepat atau hantaran oksigen ke mitokondria menurun, seperti keadaan
hipoksia jaringan. Hipoksia laktat juga dapat terjadi bila metabolisme glukosa

16

melebihi kapasitas oksidatif mitokondria. Laktat berdifusi keluar dari sel dan
dikonversi menjadi piruvat dan selanjutnya dimetaboliosme secara aerob menjadi
karbondioksida dan ATP. Jantung, hati dan ginjal menggunakan laktat dengan
cara ini. Sebagai alternatif, jaringan hati dan ginjal dapat menggunakan laktat
untuk menghasilkan glukosa melalui jalur lain, yakni glukoneogenesis.22
Eritrosit berperan dalam membawa hasil glikolisis, meskipun demikian sel
ini tidak mempunyai mitokondria dan tidak dapat menggunakan oksigen untuk
memproduksi ATP, oleh karena itu sel darah merah menghasilkan asam laktat
melalui regenerasi ATP selama glikolisis anaerobik tetapi tidak dapat
menggunakan asam laktat. Semua jaringan lain dapat menggunakan asam laktat
untuk memproduksi acetyl-CoA melalui pyruvat dehydrogenase (PDH).23
Konsentrasi

laktat

di

arteri

tergantung

pada

produksinya

dan

penggunaannya oleh berbagai organ. Konsentrasi laktat di darah secara normal


dipertahankan < 2 mmol/L. Laktat diproduksi oleh otot skelet, otak, usus dan
eritrosit. Bila kadar laktat di darah melebihi 4mmol/L, otot skelet dapat menjadi
satu jaringan pengguna laktat. Penurunan transpor oksigen di sel menyebabkan
lebih banyak ambilan oksigen dari kapiler darah. Cara ini meredistribusi cardiac
output ke organ-organ sesuai dengan kemampuan organ tersebut untuk menerima
darah kapiler. Pada keadaan dengan penurunan transpor oksigen yang berat,
terjadi peningkatan kompensasi ambilan oksigen untuk menyokong metabolisme
aerob. Oleh karena itu, sel harus bekerja secara anaerob untuk menghasilkan ATP,
yang mengakibatkan pembentukan laktat dan H+.23

17

2.1.5 Lactate Clearance


Pengukuran kadar laktat darah saja mempunyai batasan untuk dijadikan
sebagai prognostik dari pasien dengan sakit kritis. Seiring berjalannya waktu,
pengukuran laktat secara serial dilakukan untuk melihat respon terapi dan respon
resusitasi yang telah dilakukan. Laktat serial yang dilakukan akan dihitung selisih
dengan laktat inisial ataupun laktat awal.23
Penghitungan lactate clearance didapat dari rumus :
Laktatawal Laktatserial
__________________________X100

Laktatawal

Produksi laktat yang dihasilkan tubuh terjadi secara terus menerus, sehingga
peningkatan ataupun penurun kadar laktat darah harus diukur secara
berkesinambungan. Pada beberapa penelitian sebelumnya, lactate clearance lebih
unggul dibandingkan dengan oxygen derived variables pada pasien sepsis dan
syok septik. Peningkatan kadar laktat yang terjadi secara terus menerus
merupakan tanda buruknya perfusi pada mikrosirkulasi dan juga sebagai tanda
dari adanya kegagalan organ, sehingga pengukuran kadar laktat yang hanya
dilakukan sekali saja tidak adekuat untuk dijadikan sebagai prognostik.23
Telah diketahui sebelumnya bahwa hiperlaktasemia berkorelasi dengan
mortalitas pada pasien dengan sakit kritis. Produksi laktat juga bukan hanya
disebabkan oleh metabolisme anaerob, namun juga oleh mediator inflamasi,
katekolamin, endotoxin, dan penurunan lactate clearance oleh hati. Meningkatnya
konsentrasi laktat serial didapatkan pada kondisi sirosis hepatis, gagal ginjal,

18

diabetes melitus, kanker, kejang, kolera, pankreatitis akut, dan penggunaan obatobatan (biguanid, Isoniazid, Nitroprusid, etanol, salisilat, laktulosa, dll). Pada
studi-studi sebelumnya, efektivitas penggunaan lactate clearance sebagai prediktor
mortalitas dibandingkan skoring seperti APACHE II, SOFA, SAPS II,
mengisyaratkan bahwa lactate clearance secara independen merupakan prediktor
mortalitas yang baik. 24,25

2.1.6 Laktat dan Lactate Clearance (LC) Sebagai Penanda Derajat


Keparahan Penyakit
Telah banyak studi yang mendokumentasikan kegunaan laktat sebagai
indikator prognostik pada kondisi syok. Meningkatnya kadar laktat dalam darah
dapat digunakan sebagai penanda terjadinya hantaran oksigen yang tidak adekuat
dan terjadinya metabolisme anaerob.26 Selain itu, metabolisme aerob yang berefek
terhadap efisiensi transfer energi juga berkontribusi terbentuknya laktat.
Pengambilan glukosa yang dimediasi sitokin, maupun aktivitas berlebih dari
pompa Na-K yang distimulasi katekolamin akan meningkatkan produksi piruvat
yang kemudian akan meningkatkan produksi laktat karena terbatasnya kapasitas
kerja katalitik dari piruvat dehidrogenase.26-28
Telah banyak studi yang menyebutkan bahwa penilaian lactate clearance
adalah target terapetik yang lebih superior dibandingkan variabel derivat oksigen
lain. Suatu studi RCT menyebutkan bahwa penggunaan lactate clearance sebagai
target terapetik dinilai lebih unggul pada beberapa studi multi-senter pada pasien
dengan sepsis berat dan syok sepsis.29 Selain itu, penilaian lactate clearance juga

19

dapat digunakan sebagai alat monitor yang baik pada pasien dengan sakit kritis
termasuk sepsis dan henti jantung.30 Tidak seperti variabel derivat oksigen,
kemampuan tubuh untuk membersihkan laktat secara konsisten menentukan
survival yang lebih baik pada pasien yang menjalani resusitasi. Lactate clearance
secara biologis merefleksikan lebih mengenai homeostasis tubuh secara umum
dan memberikan data yang lebih berarti mengenai keadekuatan seluruh proses
resusitasi yang telah dilakukan. Ambamson et al menyebutkan bahwa mortalitas
secara signifikan menurun pada pasien dengan kadar laktat yang kembali ke
normal dalam 24 jam pertama, namun konsep ini tidak terlalu cocok dalam
mendeteksi hipoperfusi yang dini seperti pada pasien sepsis berat.24,25
Regnier et al menyebutkan bahwa lactate clearance memiliki kegunaan klinis
yang penting pada pasien dengan trauma akut. Pertama, lactate clearance
memberikan tambahan informasi prognostik yang penting, yang lebih unggul
dibandingkan pemeriksaan laktat inisial. Selain itu juga dapat membantu klinisi
untuk menilai keadekuatan proses resusitasi yang telah dilakukan, menilai derajat
keparahan dari cedera yang sedang berlangsung, dan respon fisiologis terhadap
interaksi antara cedera dan resusitasi yang diberikan. Kedua, studi ini mendukung
paradigma evaluasi lactate clearance pada fase awal terjadinya trauma, dimana
kebanyakan lactate clearance terjadi dalam dua jam pertama namun kemudian
dalam 2-4 jam selanjutnya dalam kondisi plateau. Ketiga, diperlukan nilai ambang
lactate clearance 20% perjam. Pada batas ini dihubungkan dengan penurunan
mortalitas, terutama pasien dengan laktat inisial 2-10 milimoles/liter. Selain itu,
dikatakan pula bahwa kadar laktat inisial dan lactate clearance (LC) juga mampu

20

untuk memprediksi kematian dini (<24 jam), trauma berat (ISS >15), perlunya
prosedur operatif, dan lama inap di ICU, sehingga selain dapat menentukan
mortalitas namun juga dapat memprediksi morbiditas.24

2.1.7 Prediktor Nilai Prognostik


2.1.7.1 Skor APACHE II
APACHE (Acute Physiology and Chronic health Evaluation) II
merupakan standar yang umum digunakan di ICU sebagai nilai prognostik pasien
dengan sakit kritis. Nilai dari APCHE II sendiri di menggunakan skor poin dari 12
parameter pengukuran. Sistem klarifikasi APACHE II merupakan revisi dari.
APACHE yang berkembang berdasarkan hipotesis bahwa keparahan dari suatu
penyakit akut dapat diukur dengan menghitung derajat abnormalitas dari berbagai
variabel fisiologis.Cara ini digunakan karena salah satu fungsi utama perawatan
intensif adalah mendeteksi dan menagani perburukan fisiologis akut yang
mengancam nyawa, dan sistem keparhan harus berdasarkan fisiologis objektif.
Sistem APACHE II ini merupakan bentuk ringkas dari APACHE yang lama dan
mampu mempresentasikan kegunaan klinis yang lebih tinggi, akurat secara
statistik.31
APACHE II menggunakan skor objektif yang dirangkum dari 12
parameter pengukuran fisiologis rutin, usia dan status kesehatan sebelumnya
untuk memperoleh nilai dari keparahan suatu penyakit. Skor APACHE II yang
tinggi berkorelasi positif dengan resiko kematian yang tinggi. Nilai APACHE

21

yang tinggi ini dikombinasikan dengan deskripsi penyakit ini dijadikan sebagai
nilai prognostik dari pasien pasien yang dirawat di ICU.31
Berdasarkan hasil penelitian klasifikasi dengan menggunakan sistem
APACHE II akan lebih tepat digunakan secara dini, misalkan pada unit gawat
darurat atau pada awal masuk perawatan intensif karena hal ini dapat
meminimalisasi pengaruh terapi. Studi menyarankan untuk menggunakan hasil
terburuk selama 24 jam admisi perawatan intensif sebagai nilai yang digunakan
dalam menentukan skor APACHE II.31
Hasil dari studi validasi, skor APACHE II mampu menstratifikasi
kelompok pasien pada unit perawatan intensif berdasarkan prognosis secara kuat
dan stabil dan bahkan untuk sekelompok kecil pasien dengan kategori penyakit
spesifik. APACHE II dapat melengkapi klinisi dengan evaluasi sistematis dan
meningkatkan pemahaman mengenai bagaimana keparahan penyakit seseorang
individu dapat mempengaruhi hasil akhir dari suatu penyakit. Data mengenai hasil
akhir suatu penyakit dapat digunakan untuk pertimbangan dalam proses
pengambilan keputusan klinis.32
Dari hasil studi ini, diperoleh bahwa tidak ada asien yang mampu bertahan
hidup dari 24 pasien yang mengalami syok septik dengan skor APACHE II diatas
40. Informasi seperti ini apabila diintegrasikan dengan perjalanan klinis pasien,
dapat menyediakan elemen yang berguna bagi pengambil keputusan klinis.Namun
meskipun APACHE II telah terbukti dan tervalidasi dalam memperkirakan
prognosis pasien, perkiraan dari APACHE II tetaplah hanya estimasi prognosis.32

22

2.2 Kerangka Pemikiran


Sistem klarifikasi APACHE II merupakan revisi dari APACHE yang
berkembang berdasarkan hipotesis bahwa keparahan dari suatu penyakit akut
dapat diukur dengan menghitung derajat abnormalitas dari berbagai variabel
fisiologis. APACHE II merupakan standar yang umum digunakan di ICU sebagai
nilai prognostik pasien dengan sakit kritis. Nilai dari APCHE II sendiri di
menggunakan skor poin dari 12 parameter pengukuran.26
Penelitian pada tahun 2007 meneliti tentang pasien-pasien yang keluar dari
ICU dibagi berdasarkan skor APACHE II dan membandingkan tingkat mortalitas
dari kedua kelompok. Observasional ini dilakukan dengan jumlah sample
sebanyak 203. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang keluar
dari icu dengan skor APACHE II > 17 memiliki tingkat mortalitas yang lebih
tinggi ( 37,3%) dibandingkan dengan pasien pasien dengan skor APACHE II <
17.26
Penelitian lainnya meneliti empat prediktor mortalitas (SAPSS II, MPM
admision, MPM 24h dan APACHE II) dan membandingkan sensitifitas keempat
prediktor tersebut. Hasil dari penelitian observasional retrospektif ini dilakukan
dengan memeriksa 20 sampel pasien dengan sepsis. Didapatkan hasil skor
APACHE II lebih dari 22 tingkat sensitifitasnya dalam menilai mortalitas
mencapai 100%. 26
Penelitian pada tahun 2012, membandingkan antara skor APACHE II
dengan GCS dalam memprediksi tingkat mortalitas pasien di neurosurgical
intensive care unit. Studi ini melibatkan 93 pasien dengan 79 pasien adalah laki-

23

laki dan 14 pasien adalah wanita. Mean survival score dari skor APACHE II
adalah 36,5 dan skor kematian 67,4. Sementara untuk GCS mean survival skor
10,3 dan skor kematian 6,8. Dari hasil ini disimpulkan bahwa GCS memng lebih
cepat tetapi dalam memprediksi tingkat mortalitas APACHE II lebih superior
karena skor APACHE II menghitung berdasarkan parameter fisiologis multipel.
Dari data diatas maka skor APACHE II dijadikan gold standar saat ini sebagai
nilai prediktor prognosis dari pasien kritis.26
Pada tahun 2014 dilakukan penelitian pada 56 pasien dengan diagnosa
syok septik.

Penelitiian ini membandingkan validitas nilai prognostik dari

APACHE II, SOFA dan SAPS II. Dari 56 pasien terdapat 34 pasien mortalitas.
Dengan hasil penelitian skor APACHE II 25,36, skor SOFA 7,67 dan SAPS II
44,4. Disimpulkan SAPS II lebih bermakna digunakan sebagai prediksi
prognostik dari pasien syok septik.27
Pada penelitian lain tahun 2014, diteliti saturasi vena campuran (SvO2)
untuk dijadikan sebagai prediksi prognosis dari pasien sepsis dan sepsis berat. Di
temukan 24 dari 34 pasien dengan kadar SvO2 kurang dari 70% mengalami
mortalitas pada hari ke 28. Namun dari data statistik, spesifitas dari hasil
penelitian ini kurang spesifik untuk dijadikan sebagai prediksi prognosis.
Pengukuran dari SvO2 dapat menggambarkan kadar oksigen yang terpakai dan
yang tidak terpakai oleh sel tubuh, sehingga dapat menggambarkan penghantaran
oksigen ke jaringan.27
Terdapat studi yang meniliti nilai lactate clearance pada pasien syok
hipovelemik dan syok kardiogenik, di lakukan pemeriksaan kadar laktat pada saat

24

awal masuk, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke 24 kemudian dihitung nilai lactate
clearance dari 41 pasien. Dari hasil statistik nilai lactate clearance yang menurun
pada 24 jam pertama memiliki nilai positif untuk dijadikan sebagai prediksi
porgnostik kematian pasien. 27
Tahun 2012 suatu studi meniliti kadar laktat dan lactate clearance sebagai
prediksi mortalitas dari pasien trauma yang dirawat di ICU. Suatu penilitian
prospektif dengan jumlah 586 pasien trauma. Dari data didapatkan pada 327
pasien nilai laktat mengalami kenaikan dari nilai normal. Kemudian diperiksa
laktat jam ke 2 dan dilakukan perhitungan menilai lactate clearance. Kesimpulan
dari hasil statistik menunjukkan nilai lactate clearance cukup penting untuk
membantu klinisi menilai respon terapi dan menilai prognosa dari pasien trauma.
28

Pada tahun 2013 penelitian lain meniliti nilai lactate clearance sebagai
biomarker prediksi mortalitas pada seluruh pasien kritis dari beberapa ICU, dari
data statistik dinyatakan bahwa lactate clearance cukup baik untuk dijadikan
sebagai prediksi mortalitas. Suatu penelitian lain dari beberapa senter
membandingkan antara lactate clearance dengan saturasi oksigen vena sentral
sebagai terapi awal pada pasien sepsis. Dengan jumlah sampel 300 pasien dibagi
menjadi 2 kelompok untuk dilakukan resuistasi berdasarkan lactate clearance
dengan SVO2. Tidak ada perbedaan terapi antara kedua grup. Dari hasil data
pada grup lactate clearance memiliki lebih banyak pasien yang bertahan, dan
disimpulkan lactate clearance dapat dijadikan sebagai pedoman terapi
resusitasi.29,30

25

Penelitian ini akan dilakukan untuk menilai kemampuan lactate clearance


dalam menentukan tingkat mortalitas pada pasien sepsis berat. Penelitian ini akan
dilakukan secara prospektif observasional dengan perkiraan jumlah pasien 51
orang. Setiap subjek penilitian akan diperiksa nilai laktat dan APACHE II. Nilai
laktat diperiksa pada jam pertama masuk (H0), kemudian diperiksa pada jam ke 6
(H6) dan jam ke 24 (H24). Sedangkan nilai

paramater APACHE II hanya

diperiksa satu kali pada awal masuk perawatan ICU. Kemudian dihitung nilai
lactate clearance dari masing-masing subjek. Dari penelitian ini diharapkan nilai
lactate clearance dapat digunakan sebagai prediksi mortalitas dan prognostik pada
pasien sepsis berat.

26

Sepsis Berat

Syok Septik

Perfusi Jaringan

Metabolisme Anaerob

Hipoksia Jaringan

Lactate Clearance

Mortalitas

Gambar Konsep Kerangka Pemikiran

27

2.3 Premis
Dari pernyataan beberapa penelitian sebelumnya di atas dapat diambil
beberapa premis sebagai berikut :
Premis 1 :

Keadaan sepsis berat dan syok septik menyababkan buruknya


sirkulasi jaringan.2,4-5

Premis 2 :

Laktat

merupakan

hasil

akhir

dari

produksi

metabolisme

anerob.11,13-15
Premis 3 :

Sirkulasi jaringan dan oksigenisasi yang buruk dapat menurunkan


nilai lactate clearance.4,5,18,20,21

Premis 4 :

Buruknya sirkulasi jaringan secara terus menerus ditandai dengan


penurunan nilai lactate clearance berhubungan dengan tingkat
mortalitas pasien.4,5,13,18-25

2.4 Hipotesis
Berdasarkan premis yang disimpulkan dari berbagai kepustakaan di atas,
maka disusunlah hipotesis dari penelitian ini, yaitu :
Nilai lactate clearance dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas dan
prognostik pada pasien sepsis berat.

28

BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian


Subjek dalam penelitian ini adalah pasien bedah digestif di RSHS yang
memenuhi kriteria diagnosis sepsis berat yang di rawat pada periode Agustus
2015 sampai dengan Desember 2015
3.1.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien yang berusia 15 tahun keatas
2. Menunjukkan 2 atau lebih dari tanda berikut :

Suhu >38oC atau <36oC

Laju jantung >90x/menit

Laju nafas >20x/ menit

Hitung leukosit >12.000/mm3 atau <4000/mm3 atau di dapoatkan sel sel


neutropil muda >10%

Semua tanda tanda diatas disertai dengan disfungsi organ

2 dari tanda tanda di atas disertai dengan hipotensi ( tekanan sistolik <
90mmHg atau tekanan rata-rata arteri <70mmHg)

3.1.2 Kriteria Eksklusi


1. Pasien dengan riwayat penyakit sirosis hati
2. Pasien dengan riwayat penyakit diabetes melitus, gagal ginjal dan
penyakit jantung

29

3.1.3 Kriteria Pengeluaran


Pasien sepsis berat yang tidak berhasil dilakukan early goal direct therapy.
3.1.4 Besar Sampel dan Cara Penarikan Sampel
Sampel diambil dari subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Penentuan besar sampel dilakukan berdasarkan perhitungan statistik
dengan menetapkan taraf kepercayaan 95%. Penentuan besar sampel disesuaikan
dengan tujuan penelitian dan tipe data pada penelitian. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk membuktikan laktat klirens dapat digunakan untuk menilai tingkat
mortalitas pada pasien sepsis berat di bagian bedah digestif Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung.
Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus penentuan besar sampel untuk
penelitian uji diagnostik dengan keluaran sensitivitas dengan mempertimbangkan
nilai sensitivitas pemeriksaan dari penelitian sebelumnya sebesar 98% dengan
memilih taraf kepercayaan 95% dan presisi 5%. Angka kejadian atau prevalensi
pada penelitian sebelumnya sebesar 50%.
Dengan menggunakan Z yang diperoleh dari tabel distribusi normal standar,
didapat nilainya sesuai untuk Z = 1,96, maka menggunakan rumus besar sampel
didapatkan jumlah sampel minimal. Dengan menggunakan rumus penentuan besar
sampel untuk penelitian uji diagnostik dengan keluaran sensitivitas, maka
digunakan rumus besar sampel sebagai berikut, yaitu:

30

dengan :
N = Jumlah sampel yang dibutuhkan
Z = Nilai Z dari tabel distribusi normal untuk taraf kepercayaan 95% (Z = 1,96)
Sen = Sensitivitas berdasarkan yang diharapkan (93%=0,93)
d = Presisi (10%)
P = Prevalensi kejadian (50% = 0,5)
Berdasarkan rumus di atas diperoleh:
N = 50,01 51
Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh jumlah sampel minimal yaitu 51 orang
pasien.

3.2 Metode Penelitian


Tipe penelitian ini adalah cohort observasional bersifat uji diagnostik secara

analitik.
3.2.1 Tipe dan Rancangan Penelitian
Tipe penelitian ini dalam penelitian ini adalah studi analitik dengan
rancangan

penelitian prospektif crosssectional, yaitu penelitian untuk

mempelajari hasil yang dinilai di kemudian hari berdasarkan paparan yang terjadi
saat penelitian dilaksanakan.
3.2.2 Analisis Data
Cara pengolahan data dalam penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu:
1.

Editing, yaitu data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan


pemilahan untuk menjaga validitas, reliabilitas, dan akurasinya.

31

2.

Coding, yaitu data yang telah diedit kemudian diberikan kode sesuai
klasifikasi data yang telah ditentukan.

3.

Data Entry, yaitu data yang telah diedit serta diberi kode diolah

menggunakan program SPSS versi 21.0 for windows yakni program pengolahan
data statistik. Hal ini bertujuan untuk:
a.

Mempercepat proses analisis.

b.

Diharapkan memberikan hasil yang akurat dan tepat.

3.2.2.1 Analisis Data Univariabel


Analisis data univariabel bertujuan mendiskripsikan variabel-variabel
dependen dan independen sehingga dapat membantu analisis bivariabel lebih
mendalam. Selain itu digunakan juga untuk mengetahui karakteristik dan status
klinis pasien yang menjadi sampel penelitian. Analisis data univariabel juga
melihat gambaran proporsi dari masing-masing variabel yang akan disajikan
secara deskriptif.

3.2.2.2 Analisis Data Bivariabel


Dalam penelitian ini, analisis lactate clearance sebagai prediktor
mortalitas akan dianalisis melalui analisis perbandingan lactate clearance
berdasarkan status mortalitas pasien dan analisis perbandingan kategori lactate
clearance hasil kurva ROC berdasarkan status mortalitas pasien. Analisis
perbandingan lactate clearance berdasarkan status mortalitas pasien menggunakan
uji t independen jika kedua kelompok status mortalitas memiliki distribusi data

32

normal. Sebaliknya menggunakan uji Mann Whitney jika kedua kelompok status
mortalitas tidak memiliki distribusi data normal. Uji normalitas dilakukan dengan
uji Shapiro-Wilk. Adapun analisis perbandingan kategori lactate clearance hasil
kurva ROC berdasarkan status mortalitas pasien menggunakan uji Chi-Square
koreksi kontinuitas (kasus 2x2) jika syaratnya terpenuhi atau uji Fisher jika syarat
Chi-Square tidak terpenuhi. Uji Chi-Square untuk kasus 2x2 mensyaratkan bahwa
tidak lebih dari 25% sel memiliki frekuensi harapan <5. Kategorisasi lactate
clearance dilakukan berdasarkan analisis kurva ROC. Nilai cut-off diperoleh
sebagai nilai maksimal dari statistik J Youdent (sensitivitas + spesifisitas 1).
Kemudian dihitung besarnya Sensitifitas, Spesifitas, Nilai Duga Positif (NDP),
Nilai Duga Negatif (NDN), Rasio Kemungkinan Positif (RKP) atau possitive
likelihood ratio, Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) atau negative likelihood
ratio dan akurasi. Kemaknaan hasil uji statistik ditentukan berdasarkan nilai
p<0,05. Data yang diperoleh dicatat dalam formulir khusus kemudian diolah
dengan program SPSS versi 21.0 for Windows.

Tabel 3.1 Tabel 2x2 perbandingan uji diagnosis baru dengan uji diagnosis
baku emas.
Mortalitas
Mati

Hidup

Rendah
(< cut off)

Positif sejati
a

Positif palsu
b

a+b

Tinggi
(>cut off)

Negatif palsu
c
a+c

Negatif sejati
d
b+d

c+d

Lactate
clearance

a+b+c+d

33

Rumus utk menghitung parameter Diagnostik:

Sensitivitas : a/(a+c)

Spesifitas : d/(b+d)

Nilai Duga Positif : a/(a+b)

Nilai Duga Negatif : d/(c+d)

Rasio Kemungkinan Positif : Sensitivitas/(1-spesifitas)

Rasio Kemungkinan Negatif : (1-sensitivitas)/spesifitas

Akurasi : (a+d)/N

Tabel 3.2 Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi kategori Nilai Akurasi


Kategori Nilai Akurasi

Tingkat Interpretasi

50% - 60%

Sangat rendah

60% - 70%

Rendah

70% - 80%

Sedang

80% - 90%

Tinggi

90% - 100%

Sangat tinggi

Adapun kriteria kemaknaan hasil uji statistik yang digunakan adalah nilai
p apabila p0,05 signifikan atau bermakna secara statistika, dan p>0,05 tidak
signifikan atau tidak bermakna secara statistik. Data yang diperoleh dicatat dalam

34

formulir khusus kemudian diolah melalui program SPSS versi 21.0

versi

Windows.
3.2.3 Definisi Operasional Variabel
3.2.3.1 Lactate Clearance
Nilai lactate clearance yang dihitung dari data laktat awal di kurang
dengan laktat delayed dibagi dengan laktat awal dan dikalikan dengan 100%
3.2.4 Tata Cara Kerja Penelitian
3.2.4.1 Bahan Penelitian
1. Pemeriksaan Laboraturium
2. Alat tulis dan format penelitian
3.2.5 Lokasi Penelitian dan Jadwal Penelitian
3.2.5.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di IGD, ICU, HCU, IHC RSUP Dr. Hasan
Sadikin jalan Pasteur no. 38 Bandung
3.2.5.2 Jadwal Penelitian
Pengumpulan data penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2015 sampai
dengan Desember 2015 sampai jumlah sampel minimal terpenuhi.

3.2.6 Implikasi/Aspek Etik Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan data sekunder yang
diperoleh dari pemeriksan laboraturium subjek penelitian. Oleh karena itu,
kemungkinan akan timbul masalah yang berhubungna dengan etika mengenai

35

kerahasiaan medis. Masalah dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Masalah etika, maka peneliti akan mengajukan persetujuan ke Komite
Etik

Penelitian

Kesehatan

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung


b. Kerahasiaan medis, identitas pasien tidak dicantumkan dalam
penelitian ini.

36

Skema tatalaksana penelitian


Pasien sepsis berat yang datang ke
RSUPDrHasanSadikin

Kriteria inklusi dan eksklusi


Pemeriksaan Laktat awal (jam ke-0)

Resusitasi /
EGDT

Pemeriksaan Laktat jam ke-6


Pemeriksaan Laktat jam ke-24

Pengumpulan Data

Analisis data

37

38

Anda mungkin juga menyukai