Oleh:
EDWIN SALEH SIREGAR
USULAN PENELITIAN
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh gelar Dokter Konsultan Bedah Digestif
Oleh:
EDWIN SALEH SIREGAR
USULAN PENELITIAN
Bandung
Oktober 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
NIP: 197206092006041001
NIP: 196507101991021001
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
(ScvO2) namun angka mortalitas pada sepsis berat dan syok septik masih tinggi. 5
Suatu nilai prediksi prognostik pada pasien sepsis berat dan syok septik sangat
dibutuhkan untuk menentukan agresifitas terapi yang akan kita pilih. Berbagai
cara digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di ruang
intensif.6
Berbagai cara scoring system yang umum dipergunakan antara lain Acute
Physiologic and Chronic Health Evaluation (APACHE), Sequential Organ
Failure Assesment (SOFA), Mortality Probability Model (MPM) dan Simplified
Acute Physiology Score (SAPS). Keempat scoring system ini berdasarkan nilai
parameter klinis dan laboraturium. Prognosis dari pasien sepsis dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain respon dari pasien, tempat dan sumber infeksi, tipe
infeksi, terapi antimikrobial dan restorasi perfusi.7 Kendala yang dapat dihadapi
dalam menerapkan scoring system tersebut adalah banyaknya parameter
laboraturium yang diperiksa dan tidak semua perawatan intensif di rumah sakit
lain memiliki kelengkapan fasilitas laboraturium. Pemeriksaan laboraturium yang
banyak dan lengkap juga memerlukan dana yang cukup besar bagi pasien yang
dirawat. Salah satu pemeriksaan yang cukup sering digunakan adalah pemeriksaan
saturasi oksigen vena sentral (ScvO2).7,8
Pada pasien pasca resusitasi , ScvO2 seringkali menunjukkan angka lebih
besar daripada 70% walaupun disertai dengan gejala oksigenisasi jaringan yang
abnormal. Defek ekstraksi oksigen ini mungkin berhubungan dengan kerusakan
mikrosirkulasi yang berat, kerusakan mitokondrial, gangguan respirasi di tingkat
seluler sehingga sebagian besar kasus menghasilkan peningkatan nilai dari ScvO2
ataupun saturasi vena campuran. Setelah dilakukan resusitasi awal, ScvO2 saja
tidak cukup sebagai panduan terapi cairan maupun terapi obat-obat vasoaktif
suportif.9-11
Pada pasien kritis dalam keadaan sepsis berat dan syok septik, parameter
hemodinamik global seringkali tidak dapat digunakan sebagai acuan. Untuk itu
diperlukan suatu penanda untuk menilai gangguan perfusi jaringan (shock
microcirculation). Pada keadaan ini peningkatan kadar laktat dalam darah diduga
dapat dijadikan penanda adanya gangguan/gagal perfusi jaringan atau sering
disebut gagal sirkulasi.12
Penentuan kadar laktat penting pada pasien syok, sepsis, pasca operasi,
cedera paru akut dan pada pasien kritis. Kadar konsentrasi laktat darah statis telah
banyak di teliti untuk dijadikan sebagai nilai prognostik pada pasien sepsis berat
dan syok septik karena laktat merupakan hasil dari produk metabolisme anaerob.
Konsentrasi laktat darah di refleksikan sebagai keseimbangan antara produksi dan
penggunaan laktat di jaringan, yang normal nya antara 0,5 1,8mm. Jika terjadi
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, maka akan terjadi
hipoksia jaringan, dapat juga di lihat saat penggunaan otot secara berat maka
piruvat akan direduksi menjadi laktat untuk menghasilkan energi, hal ini disebut
juga sebagai metabolisme anaerob. Kondisi inilah yang menjadi dasar studi untuk
menggunakan kadar laktat serum darah sebagai prediktor mortalitas.12
Namun nilai laktat statis tidak terlalu tepat untuk dijadikan prognostik
dan pedoman terapi pada pasien kritis. Perhitungan laktat beberapa jam kedepan
dengan di bandingkan dengan nilai laktat awal disebut sebagai lactate clearance.
Untuk dijadikan suatu prognostik dan agresifitas terapi, dihitung laktat secara
bertahap kemudian dibandingkan dengan laktat awal untuk melihat respon dari
terapi dan prognostik pada pasien sepsis berat dan syok septik. Lactate clearance
dihitung dengan cara ( lactate initial lactate delayed) / lactate initial x
100%.12,13
Berdasarkan uraian tersebut dapat diperoleh latar belakang situasi dan
kondisi yang mengindikasikan penggunaan lactate clearance sebagai prediktor
tingkat mortalitas , sehingga dapat dirumuskan tema sentral penilitian sebagai
berikut :
Sepsis berat dan syok septik memiliki angka mortalitas yang cukup
tinggi. Tinggi nya angka mortalitas ini merupakan hal penting pada
penatalaksanaan pasien karena akan menentukan agresifitas terapi yang dilakukan.
Penilaian dengan nilai laktat statis tidak memiliki hasil yang baik sebagai
prediktor, oleh karena itu dibutuhkan penilaian laktat awal dan laktat selanjutnya
untuk lebih tepat dijadikan sebagai prediktor mortalitas. Laktat klirens
menunjukkan sebagai nilai prognostik tetapi tidak semua studi menunjukkan hasil
yang sama.
Prediktor nilai mortalitas yang paling banyak digunakan di ICU adalah
skor APACHE II. Penilaian dengan APACHE II membutuhkan modalitas dan
data yang banyak, biaya yang lebih banyak dan hanya satu kali pengukuran pada
awal masuk ruang ICU dimana hal ini dapat dianggap sebagai data statis. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh prediksi mortalitas yang
lebih mudah, efisien dan tidak statis, kurang dapat difungsikan untuk mengukur
respon terapi. Dalam hal ini lactate clearance diharapkan memiliki kemampuan
dalam menentukan tingkat mortalitas pada pasien sepsis berat.
1.2
Rumusan Masalah
Apakah lactate clearance dapat digunakan untuk menilai tingkat
mortalitas dan respon terapi pada pasien sepsis berat di Rumah Sakit Hasan
Sadikin ?
1.3
Tujuan Penelitian
Mengetahui kegunaan nilai lactate clearance dalam menilai tingkat
mortalitas dan respon terapi pada pasien sepsis berat di Rumah Sakit Hasan
Sadikin ?
1.4
1.4.1
Kegunaan Penelitian
Kegunaan Ilmiah
Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
berguna
untuk
menambah
1.4.2
Kegunaan Praktis
Apabila terbukti bahwa nilai lactate clearance dapat digunakan untuk
menilai tingkat mortalitas pasien dengan sepsis berat, maka nilai lactate clearance
dapat digunakan sebagai evaluasi prognosis yang lebih sederhana pada pasien
sepsis berat, namun juga sekaligus digunakan sebagai evaluasi prognosis yang
mudah.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Pustaka
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik dengan etiologi mikroba
yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya adalah berupa kenaikan suhu tubuh
(>380C) atau (<360C), takikardia, peningkatan atau penurunan jumlah sel darah
putih dan adanya sumber dari infeksi. Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi
virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia mengacu pada
infeksi dari darah sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tetapi dapat
mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ.1
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ,
hipotensi atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia dan
perubahan status mental. Tidak hanya ginjal dan otak, seluruh organ tubuh dapat
dirusak oleh ada nya sepsis. Syok septik merupakan sepsis berat dengan tekanan
darah arteri <90 mmHg atau 40mmHg dibawah tekanan darah normal pasien
setelah pemberian cairan yang cukup dan membutuhkan support vasopressor.1
Sepsis menjadi penyebab kematian ke-10 di Amerika Serikat saat ini. Insiden
sepsis semakin sering dan akan terus meningkat seiring dengan umur. Setiap
tahun diperkirakan sekitar 400.000 sampai 500.000 pasien mengalami sepsis di
Eropa dan Amerika Serikat. Early Goal Directed Therapy (EGDT) adalah
rekomendasi internasional untuk tatalaksana sepsis berat dan Syok septik, dengan
berdasarkan optimalisasi dari mean arterial pressure (MAP), central venous
pressure (CVP), urine output (UOP) dan central venous oxygen saturation
(SvO2) namun angka mortalitas pada sepsis berat dan syok septik masih tinggi.2
Suatu nilai prediksi prognostik pada pasien sepsis berat dan syok septik sangat
dibutuhkan untuk menentukan agresifitas terapi yang akan kita pilih. Berbagai
cara digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di ruang
intensif. 2,3
Pada pasien kritis dalam keadaan sepsis berat dan syok septik, parameter
hemodinamik global seringkali tidak dapat digunakan sebagai acuan. Untuk itu
diperlukan suatu penanda untuk menilai gangguan perfusi jaringan (shock
microcirculation). Pada keadaan ini peningkatan kadar laktat dalam darah diduga
dapat dijadikan penanda adanya gangguan/gagal perfusi jaringan atau sering
disebut gagal sirkulasi.2
Penentuan kadar laktat penting pada pasien syok, sepsis, pasca operasi,
cedera paru akut dan pada pasien kritis. Kadar konsentrasi laktat darah statis telah
banyak di teliti untuk dijadikan sebagai nilai prognostik pada pasien sepsis berat
dan syok septik karena laktat merupakan hasil dari produk metabolisme anaerob.
Konsentrasi laktat darah di refleksikan sebagai keseimbangan antara produksi dan
penggunaan laktat di jaringan, yang normal nya antara 0,5 1,8mmol/L. Jika
terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, maka akan terjadi
hipoksia jaringan, dapat juga di lihat saat penggunaan otot secara berat maka
piruvat akan direduksi menjadi laktat untuk menghasilkan energi, hal ini disebut
juga sebagai metabolisme anaerob.5 Namun kondisi laktat darah statis atau hanya
dilakukan satu saat pengukuran tidak dapat mencerminkan respon terapi dari
dapat disebabkan oleh adanya kebocoran kapiler pembuluh darah, sehingga terjadi
kebocoran cairan dari intravaskuler ke rongga interstisial. Hal ini menyebabkan
terjadinya penurunan tahanan pembuluh darah tepi, menigkatkan detak jantung
sebagai bentuk kompensasi dan meningkatnya oksigen vena campur. Suatu
keadaan yang disebut dengan syok hiperdinamik, sering ditemui dalam keadaan
sepsis berat. Permeabilitas mikrovaskular, khusunya molekul yang besar,
meningkat selama sepsis oleh karena endotoksin dan pelepasan dari mediator
inflamasi lainnya. Protein molekul besar lainnya yang normal akan mengisi
kapiler yang pecah dan air akan keluar secara osmosis. Gradasi onkotik akan
menjadi kurang efektif. Peningkatan tekanan kapiler oleh mediator sistemik,
seperti histamin, bradikinin dan disfungsi dari miokardial meningkatkan terjadi
nya ekstravasasi cairan. Keadaan ini menyebabkan terjadinya syok distributif
karena berkurangnya perfusi kejaringan.9
Venodilatasi yang dihasilkan oleh pengluaran mediator inflamasi seperti
nitrit oksida (NO), menurunkan pengisian ventrikel dan kardiak outoput dan
tekanan arterial. Secara normal harusnya sistem kardiovaskuler menyesuaikan
untuk menurunkan preload dan peningkatan resistensi sistem vaskuler sistemik,
kontraktilitas miokardial dan denyut jantung, tetapi pada sepsis mekanisme ini
tidak efektif karena respon sirkulasi yang buruk. Resusitasi cairan diberikan untuk
menambah aliran balik vena dan meningkatkan kardiak output.10-12
Hipoperfusi jaringan dapat terjadi dalam keadaan tekanan darah yang
normal dan curah jantung
10
2.1.2 Laktat
Pada individu sehat terdapat siklus berkelanjutan dari metabolisme dan
produksi laktat sehingga kadar laktat dalam darah rendah dalam keadaan normal.
Kadar laktat tinggi ketika diproduksi lebih tinggi dari eliminasi, ketika kapasitas
eleiminasi menurun atau lebih sering keduanya terjadi bersamaan.15
Konsentrasi laktat didarah merefleksikan keseimbangan antara produksi
dan penggunaan laktat dijaringan, yang secara normal antara 0,5-1,8 mmol/l.
Laktat dihasilkan dari reduksi piruvat dan di metabolisme dengan oksidasi piruvat
dengan
reaksi
yang
dikatalisasi
menggunakan
NAD-dependent
lactate
11
terjadi, tidak hanya terjadi hipoksia dan anoksia dijaringan, tapi dapat terlihat juga
saat penggunaan otot secara berlebihan dan berat, dan metabolisme alkohol di
liver. Kondisi inilah yang mendasarkan beberapa studi untuk menggunakan kadar
laktat darah sebagai prediktor mortalitas.16,17
Pada dalam keadaan hipoksia, maka glikogen akan diubah menjadi
glukosa, selanjutnya glukosa akan diubah menjadi laktat. Laktat melalui aliran
darah masuk ke hati. Di dalam hati laktat akan diubah kembali menjadi glukosa.
Glukosa kembali masuk ke dalam darah yang selanjutnya akan digunakan di
dalam otot. Di dalam otot, glukosa diubah kembali menjadi glikogen. Hal ini
disebut dengan siklus asam laktat atau siklus Cori.18
12
Siklus krebs adalah reaksi metabolisme antara asetil ko-A dengan asam
oksaloasetat yang terjadi setelah proses glikolisis. Reaksi ini juga disebut siklus
asam sitrat dan merupakan pusat dari sekitar 500 reaksi metabolisme yang terjadi
di dalam sel. Fase kedua respirasi aerob adalah siklus krebs. Hasilnya adalah
karbon dioksida dan energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) yang berasal
dari karbohidrat, lemak, dan protein. ATP adalah sumber utama energi tubuh.
Jalur metabolisme ini berasal dari asam sitrat dan menghasilkan karbon dioksida
sebagai limbah. Jalur ini dapat menghasilkan energi kimia yang dapat digunakan
dalam bentuk ATP. Pada sel eukariotik, siklus krebs terjadi di dalam mitokondria.
Pada sel prokariotik seperti bakteri yang tidak memiliki mitokondria, urutan
reaksi dilakukan di dalam sitosol.19
13
14
15
16
melebihi kapasitas oksidatif mitokondria. Laktat berdifusi keluar dari sel dan
dikonversi menjadi piruvat dan selanjutnya dimetaboliosme secara aerob menjadi
karbondioksida dan ATP. Jantung, hati dan ginjal menggunakan laktat dengan
cara ini. Sebagai alternatif, jaringan hati dan ginjal dapat menggunakan laktat
untuk menghasilkan glukosa melalui jalur lain, yakni glukoneogenesis.22
Eritrosit berperan dalam membawa hasil glikolisis, meskipun demikian sel
ini tidak mempunyai mitokondria dan tidak dapat menggunakan oksigen untuk
memproduksi ATP, oleh karena itu sel darah merah menghasilkan asam laktat
melalui regenerasi ATP selama glikolisis anaerobik tetapi tidak dapat
menggunakan asam laktat. Semua jaringan lain dapat menggunakan asam laktat
untuk memproduksi acetyl-CoA melalui pyruvat dehydrogenase (PDH).23
Konsentrasi
laktat
di
arteri
tergantung
pada
produksinya
dan
17
Laktatawal
Produksi laktat yang dihasilkan tubuh terjadi secara terus menerus, sehingga
peningkatan ataupun penurun kadar laktat darah harus diukur secara
berkesinambungan. Pada beberapa penelitian sebelumnya, lactate clearance lebih
unggul dibandingkan dengan oxygen derived variables pada pasien sepsis dan
syok septik. Peningkatan kadar laktat yang terjadi secara terus menerus
merupakan tanda buruknya perfusi pada mikrosirkulasi dan juga sebagai tanda
dari adanya kegagalan organ, sehingga pengukuran kadar laktat yang hanya
dilakukan sekali saja tidak adekuat untuk dijadikan sebagai prognostik.23
Telah diketahui sebelumnya bahwa hiperlaktasemia berkorelasi dengan
mortalitas pada pasien dengan sakit kritis. Produksi laktat juga bukan hanya
disebabkan oleh metabolisme anaerob, namun juga oleh mediator inflamasi,
katekolamin, endotoxin, dan penurunan lactate clearance oleh hati. Meningkatnya
konsentrasi laktat serial didapatkan pada kondisi sirosis hepatis, gagal ginjal,
18
diabetes melitus, kanker, kejang, kolera, pankreatitis akut, dan penggunaan obatobatan (biguanid, Isoniazid, Nitroprusid, etanol, salisilat, laktulosa, dll). Pada
studi-studi sebelumnya, efektivitas penggunaan lactate clearance sebagai prediktor
mortalitas dibandingkan skoring seperti APACHE II, SOFA, SAPS II,
mengisyaratkan bahwa lactate clearance secara independen merupakan prediktor
mortalitas yang baik. 24,25
19
dapat digunakan sebagai alat monitor yang baik pada pasien dengan sakit kritis
termasuk sepsis dan henti jantung.30 Tidak seperti variabel derivat oksigen,
kemampuan tubuh untuk membersihkan laktat secara konsisten menentukan
survival yang lebih baik pada pasien yang menjalani resusitasi. Lactate clearance
secara biologis merefleksikan lebih mengenai homeostasis tubuh secara umum
dan memberikan data yang lebih berarti mengenai keadekuatan seluruh proses
resusitasi yang telah dilakukan. Ambamson et al menyebutkan bahwa mortalitas
secara signifikan menurun pada pasien dengan kadar laktat yang kembali ke
normal dalam 24 jam pertama, namun konsep ini tidak terlalu cocok dalam
mendeteksi hipoperfusi yang dini seperti pada pasien sepsis berat.24,25
Regnier et al menyebutkan bahwa lactate clearance memiliki kegunaan klinis
yang penting pada pasien dengan trauma akut. Pertama, lactate clearance
memberikan tambahan informasi prognostik yang penting, yang lebih unggul
dibandingkan pemeriksaan laktat inisial. Selain itu juga dapat membantu klinisi
untuk menilai keadekuatan proses resusitasi yang telah dilakukan, menilai derajat
keparahan dari cedera yang sedang berlangsung, dan respon fisiologis terhadap
interaksi antara cedera dan resusitasi yang diberikan. Kedua, studi ini mendukung
paradigma evaluasi lactate clearance pada fase awal terjadinya trauma, dimana
kebanyakan lactate clearance terjadi dalam dua jam pertama namun kemudian
dalam 2-4 jam selanjutnya dalam kondisi plateau. Ketiga, diperlukan nilai ambang
lactate clearance 20% perjam. Pada batas ini dihubungkan dengan penurunan
mortalitas, terutama pasien dengan laktat inisial 2-10 milimoles/liter. Selain itu,
dikatakan pula bahwa kadar laktat inisial dan lactate clearance (LC) juga mampu
20
untuk memprediksi kematian dini (<24 jam), trauma berat (ISS >15), perlunya
prosedur operatif, dan lama inap di ICU, sehingga selain dapat menentukan
mortalitas namun juga dapat memprediksi morbiditas.24
21
yang tinggi ini dikombinasikan dengan deskripsi penyakit ini dijadikan sebagai
nilai prognostik dari pasien pasien yang dirawat di ICU.31
Berdasarkan hasil penelitian klasifikasi dengan menggunakan sistem
APACHE II akan lebih tepat digunakan secara dini, misalkan pada unit gawat
darurat atau pada awal masuk perawatan intensif karena hal ini dapat
meminimalisasi pengaruh terapi. Studi menyarankan untuk menggunakan hasil
terburuk selama 24 jam admisi perawatan intensif sebagai nilai yang digunakan
dalam menentukan skor APACHE II.31
Hasil dari studi validasi, skor APACHE II mampu menstratifikasi
kelompok pasien pada unit perawatan intensif berdasarkan prognosis secara kuat
dan stabil dan bahkan untuk sekelompok kecil pasien dengan kategori penyakit
spesifik. APACHE II dapat melengkapi klinisi dengan evaluasi sistematis dan
meningkatkan pemahaman mengenai bagaimana keparahan penyakit seseorang
individu dapat mempengaruhi hasil akhir dari suatu penyakit. Data mengenai hasil
akhir suatu penyakit dapat digunakan untuk pertimbangan dalam proses
pengambilan keputusan klinis.32
Dari hasil studi ini, diperoleh bahwa tidak ada asien yang mampu bertahan
hidup dari 24 pasien yang mengalami syok septik dengan skor APACHE II diatas
40. Informasi seperti ini apabila diintegrasikan dengan perjalanan klinis pasien,
dapat menyediakan elemen yang berguna bagi pengambil keputusan klinis.Namun
meskipun APACHE II telah terbukti dan tervalidasi dalam memperkirakan
prognosis pasien, perkiraan dari APACHE II tetaplah hanya estimasi prognosis.32
22
23
laki dan 14 pasien adalah wanita. Mean survival score dari skor APACHE II
adalah 36,5 dan skor kematian 67,4. Sementara untuk GCS mean survival skor
10,3 dan skor kematian 6,8. Dari hasil ini disimpulkan bahwa GCS memng lebih
cepat tetapi dalam memprediksi tingkat mortalitas APACHE II lebih superior
karena skor APACHE II menghitung berdasarkan parameter fisiologis multipel.
Dari data diatas maka skor APACHE II dijadikan gold standar saat ini sebagai
nilai prediktor prognosis dari pasien kritis.26
Pada tahun 2014 dilakukan penelitian pada 56 pasien dengan diagnosa
syok septik.
APACHE II, SOFA dan SAPS II. Dari 56 pasien terdapat 34 pasien mortalitas.
Dengan hasil penelitian skor APACHE II 25,36, skor SOFA 7,67 dan SAPS II
44,4. Disimpulkan SAPS II lebih bermakna digunakan sebagai prediksi
prognostik dari pasien syok septik.27
Pada penelitian lain tahun 2014, diteliti saturasi vena campuran (SvO2)
untuk dijadikan sebagai prediksi prognosis dari pasien sepsis dan sepsis berat. Di
temukan 24 dari 34 pasien dengan kadar SvO2 kurang dari 70% mengalami
mortalitas pada hari ke 28. Namun dari data statistik, spesifitas dari hasil
penelitian ini kurang spesifik untuk dijadikan sebagai prediksi prognosis.
Pengukuran dari SvO2 dapat menggambarkan kadar oksigen yang terpakai dan
yang tidak terpakai oleh sel tubuh, sehingga dapat menggambarkan penghantaran
oksigen ke jaringan.27
Terdapat studi yang meniliti nilai lactate clearance pada pasien syok
hipovelemik dan syok kardiogenik, di lakukan pemeriksaan kadar laktat pada saat
24
awal masuk, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke 24 kemudian dihitung nilai lactate
clearance dari 41 pasien. Dari hasil statistik nilai lactate clearance yang menurun
pada 24 jam pertama memiliki nilai positif untuk dijadikan sebagai prediksi
porgnostik kematian pasien. 27
Tahun 2012 suatu studi meniliti kadar laktat dan lactate clearance sebagai
prediksi mortalitas dari pasien trauma yang dirawat di ICU. Suatu penilitian
prospektif dengan jumlah 586 pasien trauma. Dari data didapatkan pada 327
pasien nilai laktat mengalami kenaikan dari nilai normal. Kemudian diperiksa
laktat jam ke 2 dan dilakukan perhitungan menilai lactate clearance. Kesimpulan
dari hasil statistik menunjukkan nilai lactate clearance cukup penting untuk
membantu klinisi menilai respon terapi dan menilai prognosa dari pasien trauma.
28
Pada tahun 2013 penelitian lain meniliti nilai lactate clearance sebagai
biomarker prediksi mortalitas pada seluruh pasien kritis dari beberapa ICU, dari
data statistik dinyatakan bahwa lactate clearance cukup baik untuk dijadikan
sebagai prediksi mortalitas. Suatu penelitian lain dari beberapa senter
membandingkan antara lactate clearance dengan saturasi oksigen vena sentral
sebagai terapi awal pada pasien sepsis. Dengan jumlah sampel 300 pasien dibagi
menjadi 2 kelompok untuk dilakukan resuistasi berdasarkan lactate clearance
dengan SVO2. Tidak ada perbedaan terapi antara kedua grup. Dari hasil data
pada grup lactate clearance memiliki lebih banyak pasien yang bertahan, dan
disimpulkan lactate clearance dapat dijadikan sebagai pedoman terapi
resusitasi.29,30
25
diperiksa satu kali pada awal masuk perawatan ICU. Kemudian dihitung nilai
lactate clearance dari masing-masing subjek. Dari penelitian ini diharapkan nilai
lactate clearance dapat digunakan sebagai prediksi mortalitas dan prognostik pada
pasien sepsis berat.
26
Sepsis Berat
Syok Septik
Perfusi Jaringan
Metabolisme Anaerob
Hipoksia Jaringan
Lactate Clearance
Mortalitas
27
2.3 Premis
Dari pernyataan beberapa penelitian sebelumnya di atas dapat diambil
beberapa premis sebagai berikut :
Premis 1 :
Premis 2 :
Laktat
merupakan
hasil
akhir
dari
produksi
metabolisme
anerob.11,13-15
Premis 3 :
Premis 4 :
2.4 Hipotesis
Berdasarkan premis yang disimpulkan dari berbagai kepustakaan di atas,
maka disusunlah hipotesis dari penelitian ini, yaitu :
Nilai lactate clearance dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas dan
prognostik pada pasien sepsis berat.
28
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
2 dari tanda tanda di atas disertai dengan hipotensi ( tekanan sistolik <
90mmHg atau tekanan rata-rata arteri <70mmHg)
29
30
dengan :
N = Jumlah sampel yang dibutuhkan
Z = Nilai Z dari tabel distribusi normal untuk taraf kepercayaan 95% (Z = 1,96)
Sen = Sensitivitas berdasarkan yang diharapkan (93%=0,93)
d = Presisi (10%)
P = Prevalensi kejadian (50% = 0,5)
Berdasarkan rumus di atas diperoleh:
N = 50,01 51
Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh jumlah sampel minimal yaitu 51 orang
pasien.
analitik.
3.2.1 Tipe dan Rancangan Penelitian
Tipe penelitian ini dalam penelitian ini adalah studi analitik dengan
rancangan
mempelajari hasil yang dinilai di kemudian hari berdasarkan paparan yang terjadi
saat penelitian dilaksanakan.
3.2.2 Analisis Data
Cara pengolahan data dalam penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu:
1.
31
2.
Coding, yaitu data yang telah diedit kemudian diberikan kode sesuai
klasifikasi data yang telah ditentukan.
3.
Data Entry, yaitu data yang telah diedit serta diberi kode diolah
menggunakan program SPSS versi 21.0 for windows yakni program pengolahan
data statistik. Hal ini bertujuan untuk:
a.
b.
32
normal. Sebaliknya menggunakan uji Mann Whitney jika kedua kelompok status
mortalitas tidak memiliki distribusi data normal. Uji normalitas dilakukan dengan
uji Shapiro-Wilk. Adapun analisis perbandingan kategori lactate clearance hasil
kurva ROC berdasarkan status mortalitas pasien menggunakan uji Chi-Square
koreksi kontinuitas (kasus 2x2) jika syaratnya terpenuhi atau uji Fisher jika syarat
Chi-Square tidak terpenuhi. Uji Chi-Square untuk kasus 2x2 mensyaratkan bahwa
tidak lebih dari 25% sel memiliki frekuensi harapan <5. Kategorisasi lactate
clearance dilakukan berdasarkan analisis kurva ROC. Nilai cut-off diperoleh
sebagai nilai maksimal dari statistik J Youdent (sensitivitas + spesifisitas 1).
Kemudian dihitung besarnya Sensitifitas, Spesifitas, Nilai Duga Positif (NDP),
Nilai Duga Negatif (NDN), Rasio Kemungkinan Positif (RKP) atau possitive
likelihood ratio, Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) atau negative likelihood
ratio dan akurasi. Kemaknaan hasil uji statistik ditentukan berdasarkan nilai
p<0,05. Data yang diperoleh dicatat dalam formulir khusus kemudian diolah
dengan program SPSS versi 21.0 for Windows.
Tabel 3.1 Tabel 2x2 perbandingan uji diagnosis baru dengan uji diagnosis
baku emas.
Mortalitas
Mati
Hidup
Rendah
(< cut off)
Positif sejati
a
Positif palsu
b
a+b
Tinggi
(>cut off)
Negatif palsu
c
a+c
Negatif sejati
d
b+d
c+d
Lactate
clearance
a+b+c+d
33
Sensitivitas : a/(a+c)
Spesifitas : d/(b+d)
Akurasi : (a+d)/N
Tingkat Interpretasi
50% - 60%
Sangat rendah
60% - 70%
Rendah
70% - 80%
Sedang
80% - 90%
Tinggi
90% - 100%
Sangat tinggi
Adapun kriteria kemaknaan hasil uji statistik yang digunakan adalah nilai
p apabila p0,05 signifikan atau bermakna secara statistika, dan p>0,05 tidak
signifikan atau tidak bermakna secara statistik. Data yang diperoleh dicatat dalam
34
versi
Windows.
3.2.3 Definisi Operasional Variabel
3.2.3.1 Lactate Clearance
Nilai lactate clearance yang dihitung dari data laktat awal di kurang
dengan laktat delayed dibagi dengan laktat awal dan dikalikan dengan 100%
3.2.4 Tata Cara Kerja Penelitian
3.2.4.1 Bahan Penelitian
1. Pemeriksaan Laboraturium
2. Alat tulis dan format penelitian
3.2.5 Lokasi Penelitian dan Jadwal Penelitian
3.2.5.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di IGD, ICU, HCU, IHC RSUP Dr. Hasan
Sadikin jalan Pasteur no. 38 Bandung
3.2.5.2 Jadwal Penelitian
Pengumpulan data penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2015 sampai
dengan Desember 2015 sampai jumlah sampel minimal terpenuhi.
35
kerahasiaan medis. Masalah dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Masalah etika, maka peneliti akan mengajukan persetujuan ke Komite
Etik
Penelitian
Kesehatan
Fakultas
Kedokteran
Universitas
36
Resusitasi /
EGDT
Pengumpulan Data
Analisis data
37
38