Laporan Kasus
KEBERHASILAN PENYELAMATAN TUNGKAI SETELAH PERBAIKAN
TERTUNDA PADA RUPTUR TOTAL ARTERI BRAKIALIS KIRI KARENA
TRAUMA
Sebagai salah satu sayarat guna kelulusan Bedah Dasar pada
Program Pendidikan Dokter Spesialis- 1 Fakultas
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Konsentrasi Ilmu Bedah
Diajukan Oleh
Terri Sandi Susyanto, dr
NPM 130221140505
Diajukan untuk memenuhi syarat pembuatan Karya Ilmiah jejang Bedah Dasar
Program Pendidikan Dokter Spesialis- 1 Fakultas Program Studi Ilmu Bedah
Menyetujui,
Pembimbing,
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................i
Abstrak......................................................................................................................................ii
Abstract......................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................................2
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................................2
2.1. Trauma Vaskular...........................................................................................................2
2.1.1. Epidemiologi............................................................................................................2
2.1.2. Mekanisme Trauma................................................................................................2
2.1.3. Diagnosis..................................................................................................................2
2.1.4.1. Indeks Arterial Pressure..................................................................................2
2.1.4.2. Pemeriksaan Imaging......................................................................................2
2.1.4. Penatalaksanaan.....................................................................................................2
2.1.4.1. Penatalaksanaan Non Operatif.......................................................................2
2.1.4.2. Penatalaksanaan Endovascular......................................................................2
2.1.4.3. Penatalaksanaan Operatif...............................................................................2
2.1.4.3.1. Repair Arteri..............................................................................................2
2.1.4.3.2. Amputasi.....................................................................................................2
2.1.5. Komplikasi...............................................................................................................2
2.1.5.1. Trombosis..........................................................................................................2
2.1.5.2. Infeksi................................................................................................................2
2.1.5.3. Stenosis..............................................................................................................2
2.1.5.4. Fistula arteri vena............................................................................................2
2.1.5.5. Aneurisma Palsu...............................................................................................2
2.1.5.2. Sindrom Kompartemen...................................................................................2
2.2.
BAB IV PEMBAHASAN.........................................................................................................2
BAB V KESIMPULAN............................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................2
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan dibanyak tempat didunia.
Trauma vaskular merupakan bagian yang penting dalam permasalahan trauma. Arteri
brakialis adalah arteri yang paling terluka sering di ekstremitas atas karena kerentanannya.
Cedera arteri brakialis menyumbang sekitar 28% dari semua cedera pembuluh darah. Trauma
pada pembuluh darah dapat berupa trauma tajam atau trauma tumpul. Trauma tajam, baik
akibat pisau maupun oleh penyebab lainnya.dan trauma tumpul yang dapat diakibatkan oleh
kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun crush injury.1, 2
Tujuan dari penanganan trauma vaskular sama seperti trauma lainnya yaitu live
saving dan diikuti oleh limb salvage dan pemulihan fungsi. Live saving bertujuaan untuk
menangani segera cedera vaskular yang dapat mengancam jiwa, limb saving bertujuan untuk
menyelamatkan tungkai yang terkena agar dapat dipertahankan dan tidak perlu diamputasi,
dan pemulihan fungsi agar sebisa mungkin fungsinya kembali seperti sedia kala. Kembalinya
fungsi juga ditentukan oleh trauma penyerta lainnya seperti trauma pada saraf saraf perifer
dan tulang serta jaringan lunak lainnya. Pada kenyataannya kebanyakan trauma adalah
trauma multiple, dengan trauma kompleks/kombinasi dengan melibatkan beberapa organ
dan sistem.2, 3
Trauma vaskular di ekstremitas merupakan suatu keadaan yang merupakan tantangan
bagi dokter dalam penatalaksanaannya. Risiko terhadap nyawa dan ekstremitas tinggi dan
margin untuk kesalahan sangat kecil. Manajemen cepat dan tepat dari cedera arteri brakialis,
perhatian terhadap cedera terkait, dan kesiapan untuk merevisi perbaikan pembuluh darah di
awal terjadinya kegagalan akan memaksimalkan kelangsungan hidup pasien dan
penyelamatan ekstremitas atas. Sebagian besar pasien dengan cedera arteri brakialis traumatis
di Indonesia tertunda dalam rujukan dan manajemen. Dalam tulisan ini, kami meninjau hasil
perbaikan bedah tertunda dari salah satu pasien ini.2-4
Pada laporan kasus ini dilaporkan seorang anak berusia empat tahun masuk ke
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan keluhan utama nyeri dan luka di
lengan kiri.
Lima jam sebelum masuk IGD, saat pasien sedang menyeberang jalan di daerah
Cianjur, pasien ditabrak mobil dan lengan bawah kiri pasien tersangkut, sehingga pasien
terseret sejauh 5 m.
Lima jam sebelum masuk IGD, saat pasien sedang menyeberang jalan di daerah
Cianjur, pasien tiba-tiba ditabrak mobil dan lengan bawah kiri pasien tersangkut, kemudian
pasien terseret sejauh 5 m.
Ia kemudian dibawa ke puskesmas, dan kemudian dirujuk ke rumah sakit sekunder,
dan akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Pemeriksaan Fisik
Survei primer :
A : clear, dengan C-Spine Control
B : RR 26x/mnt, B/G simetris, VBS ka=ki, Rh -/-, Wh -/C : TD: 70/50 mmHG, N:132
D : GCS E4M6V5=15, Pupil : bulat, isokor 3/3 mm, RC +/+, parese -/Pada survei primer didapatkan pasien daam keadaan syok perdarahan kemudian dilakukan
resusitasi cairan resusitasi, awalnya diberikan cairan 300 cc kristaloid, 100 koloid seytelah
diberikan cairan didapatkan sirkulasi membaik T:110/70 mmHg. N : 110 x/mnt. Kemudian
Resusitasi cairan dilanjutkan.
Setelah keadaan pasien stabil kemudian dilanjutkan
Survei sekunder:
a/r thorak
: jejas (+), bentuk dan gerak simetris, VBS kanan=kiri, Rh -/-,wh -/-
a/r abdomen
a.r fasialis
FOTO KLINIS
STATUS PULSASI
Tidak didapatkan adanya pulsasi distal dari bagian yang mengalami trauma, pada arteri
brachialis kiri, radialis dan ulnaris kiri
10
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
11
USG Doppler
Kesan :
Tidak tampak flow pada arteri brachialis kiri, arteri ulnaris dan radialis kiri
Masih tampak flow pada arteri aksilaris kiri dengan pola gelombang masih dalam batas
normal
Pemeriksaan Laboratorium
PT
APTT
INR
Hemoglobi
n
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
GDS
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Natrium
Kalium
Urinalisis
: 11,5
: 23,4
: 1,07
: 7,1
pH
PCO2
PO2
: 21
HCO3
: 21.000
Base excess
: 338.000
SaO2
: 298
TCO2
: 162
Laktat
: 83
: 30
: 0,35
: 128
: 3,7
: dalam batas normal
11.9
-13,6
99,3
24,0
3,0
Pasien
kemudian
didiagnosis dengan:
Syok Perdarahan
gr
III
Respon
Cepat + Fraktur
Terbuka Humerus
Sinistra 1/3 distal
comminutive
displaced Gustilo
Anderson
IIIC
tipe
+ partial
loss m. biceps brachii + partial loss m. brachioradialis + skin loss + cedera vaskular ec
susp. ruptur Arteri brachialis DD/ thrombus
Di IGD pasien diperiksa, tidak ditemukan denyut nadi di arteri radialis kiri, arteri ulnaris kiri
dan bagian distal dari tempat cedera masih viable dan kami memutuskan untuk melakukan
debridement segera dan eksplorasi.
12
13
Setelah operasi dilakukan, kami menemukan perfusi ke distal dari lengan kiri dan tangan
membaik.
Pasien kemudian dirawat di ruang perawatan bedah
Foto Klinis Tgl 9-4-2015
14
DO: didapatkan luka dengan jaringan granulasi pada lengan kiri dengan fiksasi eksterna yang
terpasang efektif
Dilakukan Debridemen, kemudian dilakukan STSG dengan donor dari femoris sinistra
Dilakukan operasi
15
jangkauan gerakan siku terbatas dan penurunan sensibilitas karena cedera saraf.
BAB III
PEMBAHASAN
2.1. Trauma Vaskular
2.1.1. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di rumah sakit setiap
tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan pasien berumur 25-44 tahun, namun
laki-laki muda adalah kelompok dengan risiko tertinggi karena mereka sering melakukan
aktivitas yang juga berisiko tinggi. Secara keseluruhan, risiko kematian yang disebabkan
trauma akibat kecelakaan adalah tujuh kali lipat lebih tinggi pada populasi pria daripada
wanita. Penyebab kematian karena kecelakaan di antaranya adalah kecelakaan kendaraan
bermotor, terjatuh, terbakar, tertembak, dan terkena benda tajam.2-4
Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma vaskular. Dan
kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada ekstremitas bawah. Kasuskasus trauma vaskular tersebut terutama disebabkan oleh luka tembak kecepatan tinggi (7080%), luka tusuk (10-15%), dan luka tumpul (5-10%).2-6
2.1.2. Mekanisme Trauma
Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan tumpul. Trauma
16
tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau deselerasi dengan kecepatan
tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan oleh kehancuran dan separasi jaringan.
Dengan memahami biomekanika dari trauma yang spesifik akan memudahkan untuk
melakukan evaluasi awal karena trauma pada arteri berhubungan dengan beberapa faktor,
yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi hemodinamik, dan mekanisme trauma.2, 3
Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik (KE) yang
disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M) dan kecepatan (V), dan
2
dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V /2. Rumus ini berlaku baik untuk trauma
tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada kecepatan berefek lebih siginifikan dibandingkan
dengan perubahan pada massa.2, 3
Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak menjauhi titik
trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari objek penyebab trauma.
Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan sementara yang disebabkan
oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan ekstrim terjadi pada titik fiksasi
anatomis selama pembentukan kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat terjadi baik
sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan sumbu transversal
(teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan, dan fraktur
jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara yang diakibatkan
oleh penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang bersangkutan. Hal ini
dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang disebabkan oleh pemindahan
jaringan.2, 3
Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang dialami.
Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi komplit. Transeksi
komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung proksimal dan distal
pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu, laserasi parsial dapat
menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan pseudoaneurisma. Laserasi parsial,
seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap intima, yang dapat berujung kepada
trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap yang terbatas dapat tidak menyebabkan
penurunan hemodinamik daerah distal, dan karena itu dapat tidak terdiagnosis. Hal ini disebut
sebagai trauma arteri occult atau minimal jika dilihat dari angiografi. Trauma ini memiliki
risiko trombosis yang kecil, dan seringkali dapat sembuh secara spontan. Trauma arteri dan
vena yang bersamaan dapat menyebabkan terbentuknya fistula arteriovena.2, 3
Tipe Trauma
Laserasi parsial
Gejala Klinis
Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan
17
Transeksi
Kontusio
18
19
Hard Sign
Perdarahan yang Pulsatil
Hematom yang meluas
Bruit/ thrill pada area cedera
Hilangnya pulsasi ekstremitas
Indeks tekanan arteri <0.9
Soft Sign
Riwayat perdarahan
Luka di leher atau tungkai dengan
syok yang tidak dapat dijelaskan
Defisit neurologis pada saraf tepi
dekat pembuluh darah
Adanya luka risiko tinggi: Fraktur, dislokasi
atau luka tembus dekat pembuluh darah
2
20
dimana pulsasi di distal melemah. Pada kondisi ini belum ada konsensus, data yang tersedia
masih belum banyak, tidak ada rekomendasi berdasarkan evidence base dan penatalaksanaan
tergantung kepada masing masing institusi. Frykber ER dkk(1991) menemukan bahwa
penderita dengan luka dekat kepembuluh darah besar, dengan pemeriksaan fisik normal,
tanpa tanda tanda hard signs, ternyata angka negartive predictive value 99,3%.1,5 8
Pulsasi distal yang menurun dalam berbagai kepustakaan ditempatkan pada tempat
yang berbeda beda, tergantung kepada referensi yang dipakai. Ini adalah keadaan yang abu
abu. Beberapa kepustakaan menyarankan agar dilakukan modalitas pemeriksaan yang
diperlukan.
indikasi harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya trauma vaskular. Kesulitan
untuk mendiagnosis adanya trauma vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada
patah tulang tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah adanya defisit
neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa baal dan penurunan kekuatan motoris
pada ekstremitas. Aliran darah yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia sehingga
ekstremitas akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler tidak
menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri kolateral, namun penting
untuk menentukan viabilitas jaringan.8
Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry, doppler
ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi belum memberikan
hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi intra-operatif yang berguna dalam
mengetahui hasil rekonstruksi secara langsung, apakah masih ada lesi vaskular yang
tertinggal.
Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan sehingga
akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi. Arteriografi dilakukan bila
terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi. Arteriografi juga
dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui lesi vaskular yang multiple dan kondisi
kolateral yang ada.
Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal, dan
perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat ini terutama
berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat luput dari pengamatan karena
minimalnya gejala klinis yang ditampilkan. Indikasi untuk melakukan angiografi di antaranya
trauma tumpul yang signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan dislokasi dan
fraktur, tanda-tanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada ekstremitas, dan
adanya tanda defisit neurologis. Berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan, pasien
dengan luka tembus maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya tidak terganggu, dengan nilai
21
ankle-brachial indeks (ABI) yang 1, tidak memerlukan pemeriksaan angiografi namun tetap
perlu dilakukan pengawasan selama 12 24 jam.8
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang suara yang
ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah. Selain untuk diagnosis
awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah anastomosis arteri.Ultrasonografi colorflow duplex (CFD) telah disarankan sebagai pengganti ataupun tambahan pemeriksaan
arteriografi. Keuntungannya adalah sifatnya yang noninvasif dan tidak menimbulkan nyeri.
Alat ini portabel sehingga dapat dibawa ke sampai tempat tidur pasien, unit gawat darurat,
maupun ruang operasi.pemeriksaan ulangan dan tindak lanjut dapat dilakukan dengan mudah
tanpa adanya angka kecacatan dan alat ini relatif lebih murah.
Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:
22
proksimal tempat pemeriksaan, pasien shock atau terdapat luka multipel. Beberapa pusat
pelayanan trauma telah menggunakan kriteria ini untuk menyingkirkan kemungkinan cedera
vaskular pada penderita dengan pemeriksaan fisik normal, normal indeks arterial pressure dan
tanpa trauma diproksimalnya dan tanpa luka multipel.2, 3, 8
2.1.4.2. Pemeriksaan Imaging
Pasien pasien dengan soft signs memerlukan pemeriksaan lanjutan2
2.1.4.2.1. Ultrasonografi Duplex
Pada beberapa penelitian ternyata duplex ultrasonografi memiliki angka sensitifitas
100% dan spesifisitas 97.3%. Kemungkinan negatif palsu mungkin terjadi pada penderita
luka tembak, trauma didaerah poplitea, atau didaerah subklavikula, atau pada penderita
dengan terpasang splint atau dressing.
Alat ini sangat bermanfaat ditangan ahli karena sangat akurat dan tepat karena angka
sensitifitas dan spesifisitasnya mendekati 100%. Keterbatasan alat ini karena sangat
tergantung kepada keahlian operator.
Beberapa pusat trauma saat ini telah menggunakan modalitas ini untuk menyingkirkan
kemungkinan seseorang menderita cedera pembuluh darah jika, pemeriksaan fisik normal dan
duplex ultrasonografi normal.2-4
2.1.4.2.2. Arteriografi
Masih merupakan pemeriksaan baku emas dengan sensitifitas 99% dan spesifisitas
97%, biasanya tidak dibutuhkan pada cedera arteri ekstremitas atas, karena sebagian besar
pasien mengalami cedera terbuka. Kadang kadang dibutuhkan pemeriksaan arteriografi intra
operative untuk menentukan lokasi cedera arteri.
Hampir semua pasien dengan hardsign tidak memerlukan pemeriksaan arteriografi.2-4
2.1.4.2.3. CT Angiografi
Memberikan gambar dengan resolusi tinggi, dan dapat memberikan gambaran detil
kerusakan tulang dan jaringan lunak. Dari beberapa penelitian ternyata angka sensitivitas dan
spesifisitasnya sekitar 99% dan 87%. Beberapa pusat trauma menyarankan penggunaan
modalitas ini untuk menggantikan pemeriksaan angiografi. Memiliki keakuratan yang sangat
tinggi.2-4
2.1.4. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada perdarahan
yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa, tentunya pertolongan
pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan definitif dilakukan setelah
perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas daerah perdarahan.
Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak sistem kolateral yang ikut
23
terbendung.
Golden period pada lesi vaskular adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia yang jelas
terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan terhadap
adanya iskemia.2-4
2.1.4.1. Penatalaksanaan Non Operatif
Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih kontroversial.
Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri yang terdeteksi harus
diperbaiki,sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non operatif bila terdapat kriteria
klinis dan radiologis seperti low-velocity injury, disrupsi dinding arteri yang minimal (<
5mm) pada kelainan intima dan pseudoaneurisma, tidak ada perdarahan aktif, dan sirkulasi
distal masih utuh. Pendekatan ini dapat dilakukan pada arteri yang memiliki kolateral dan
terutama pada orang muda. Bila pendekatan non operatif yang digunakan, disarankan untuk
melakukan pencitraan vaskular untuk memantau penyembuhan atau stabilisasi.2-4
2.1.4.2. Penatalaksanaan Endovascular
Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk terapi beberapa
cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah, khususnya pada lokasi anatomis yang
jauh. Coil berguna untuk mengoklusi perdarahan dan fistula arteriovenosa.
Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah dengan penggunaan
teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent dan graft, perbaikan
endoluminal pada false aneurysm atau fistula arteriovenosa besar dapat dimungkinkan.2-4
24
25
26
Semua graft harus ditutup dengan jaringan viabel. Repair vena jarang dilakukan
karena jaringannya kolateralnya yang cukup banyak.
Kritikal iskemia time untuk arteri brachialis adalah sekitar 4 jam. Walaupun terdapat
kolateral yang memberikan makan kedistalnya, pembuluh darah ini tetap harus direpair dalam
12 jam. Sekitar 25% yang dilakukan repair sesudah 12 jam, hanya 25% yang fungsinya pulih
lagi.
Jika terdapat cedera komplek, maka cedera pembuluh darah harus diperbaiki lebih
dahulu dan diperiksa lagi sesudah repair ortopedi. Semua saraf dan tendon yang ditemukan
selama eksplorasi harus ditandai untuk perbaikan berikutnya. Pada saat eksplorasi vaskular ,
pembuluh darah yang kontusio,hematom subintimal, dan fraktur intima harus didebridement.
Pada masa lalu ada ketentuan bahwa dalam cedera kompleks , fiksasi tulang
dilakukan lebih dahulu, diikuti dengan jaringan lunak lainnya, dan terakhir baru
revaskularisasi. Hal ini dilakukan dengan alasan perbaikan arteri yang dilakukan lebih dahulu
akan rusak kembali saat dilakukan fiksasi tulang dan perbaikan jaringan lunak lainnya. Pada
masa sekarang hampir semua konsensus menyatakan bahwa perbaikan pembuluh darah
dilakukan lebih dahulu, baru diikuti dengan perbaikan lainnya. Revaskularisasi yang
dilakukan tersebut bisa dengan memakai shunt sementara , kemudian dilakukan fiksasi tulang
dan jaringan lunak baru diikuti dengan repair pembuluh darahnya. Pada ekstremitas atas
tindakan pemasangan shunt tidak dianjurkan sebab ukuran pembuluh darahnya terlampau
kecil untuk dilewati shunt.
Trauma.org menyatakan bahwa dalam setiap trauma kompleks prioritas pertama
adalah melakukan revaskularisasi, tentang bagaiman revaskularisasi yang akan dilakukan,
apakah shunt sementara atau definitif, tergantung kepada kondisi tulang, jaringan lunak dan
kondisi dari pasien. 2-4
Definitif revaskularisasi dilakukan pada kondisi kondisi
Tulang stabil
Cukup waktu
27
Pada kondisi tersebut diatas sebaiknya dilakukan pemasangan shunting temporer. Stabilisasi
tulang yang dilakukan adalah splint atau eksternal fiksasi. Terapi definitif ditunda sampai
kondisinya membaik dan setelah dilakukan revaskularisasi definitif
Sama seperti pada trauma vaskular ditungkai bawah, pada setiap tindakan repair
pembuluh darah harus dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi, walaupun insiden
kompartemen sindrome rendah. 2-4, 9
2.1.4.3.2. Amputasi
Salah satu pertimbangan yang sulit dalam penanganan trauma vaskular adalah kapan
dan dimana dilakukan amputasi. Usaha usaha agresif untuk melakukan revaskularisasi tidak
selalu dibenarkan, diperlukan pertimbangan pertimbangan tertentu sehingga pasien tercegah
dari waktu perawatan yang lama, kehilangan jam kerja yang lama, meningkatnya kejadian
sepsis, bahkan kematian.2-4, 6, 10
Tidak ada batasan yang tegas dalam melakukan amputasi. Trauma Org menyatakan
bahwa beberapa hal berikut dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan amputasi.
Crush Injury
Multiple fracture
Kontaminasi berat
Pasien menginginkan
Pertimbangan lain diperlukan untuk cedera pada ekstremitas atas, dimana pertimbangan
amputasinya harus dikurangi. Kita harus lebih toleran menerima kondisi fungsi dan sensasi
yang menurun, diskrepansi pada lengan atas, hal ini karena protese pada ekstremitas atas
28
kurang memuaskan.
Tujuan utama dari pengobatan adalah pasien kembali nyaman dengan kondisinya dan
bekerja kembali seperti sediakala, sehingga salah satu pertimbangan untuk dilakukan
amputasi adalah dengan tujuan waktu perawatan yang pendek, biaya sedikit, cepat kembali
bekerja dan sedikit morbiditi akibat immobilisasi lama .10
2.1.5. Komplikasi
Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan perbaikan lesi
pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan yang adekuat. Komplikasi
yang dapat terjadi antara lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena, dan aneurisma
palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang dapat terjadi segera pasca
operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu merupakan komplikasi lama.
Rekomstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti
sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau penatalaksanaan pasca
bedah yang kurang terarah, akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas berupa
amputasi, atau terjadi emboli paru.5
2.1.5.1. Trombosis
Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vascular adalah komplikasi yang paling
sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi intima kurang akurat pada waktu
rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi trombosis segera setelah
anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki kesinambungan pembuluh arteri, pemakaian
graft vena autogen jauh lebih unggul dari koreksi dengan jahitan lateral ataupun anastomosis
ujung ke ujung, terutama pada trauma yang luas. Beberapa kesalahan teknis yang dapat
menyebabkan terjadinya trombosis:2, 8
1. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa dinding arteri,
dimana platelet dan trombin dapat lengket dan menyebabkan trombosis.
2. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat besar artinya dalam
kasus ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal. Kadang-kadang arus balik saja
tidak cukup untuk menjadi pegangan ada tidaknya lesi vaskular sebelah distal, karena
aliran darah balik dapat pula terjadi melalui kolateral. Akhir-akhir ini sering
dianjurkan untuk membuat arteriografi pra-operatif pada trauma luas.
3. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada anastomosis
yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin dengan perbandingan 1:500 dapat
dipakai untuk membilas daerah anastomosis dan membersihkan sisa-sisa bekuan
darah yang masih lengket dan dapat pula dipakai untuk membilas ke arah distal agar
29
arus balik mengalir dengan lebih lancar. Untuk meyakinkan tidak ada thrombus yang
tertinggal dapat dilakukan dengan memasukkan kateter balon Fogarthy sejauh
mungkin ke distal dan secara hati-hati mendorong trombus keluar. Bila persediaan
ada, maka dianjurkan memakai larutan trobolitik untuk menghancurkan thrombus
yang masih tersisa.
4. Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh tarikan yang
berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan terjadi pada jahitan bila dinding
pembuluh arteri tidak cukup untuk suatu jahitan lateral. Hal ini juga dapat terjadi bila
pembuluh arteri yang hilang cukup banyak dimana anastomosis ujung ke ujung tetap
dipaksakan. Kehilangan arteri lebih dari 2 cm sudah cukup untuk melakukan graft
dengan interposisi vena autogen. Sebaliknya juga jangan sampai terlampau panjang
memakai vena sebagai graft karena akan terjadi tekukan (kinking) yang dapat
mengganggu aliran darah laminar.
5. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis. Graft sintesis
biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang yang dapat dipakai sebagai
pegangan agar jangan terpelintir. Pada graft vena autogen yang panjang garis ini dapat
dibuat dengan benang hitam halus yang dijelujur sepanjang graft itu dilapiskan
adventisia.
Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu berhasil atau tidak
adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah distal. Namun kita harus waspada, karena
pulsasi sebelah distal ini belum menjamin suatu sukses dalam jangka waktu panjang. Apabila
pulsasi tidak teraba, sebagian besar dapat dikoreksi dengan segera melakukan operasi kedua
untuki melihat kemungkinan thrombosis, terutama bila timbul tanda-tanda iskemia tungkai
sebelah distal. Bila tanda-tanda distal dapat bertahan biarpun ada trombosis, maka sebaiknya
dipertimbangkan untuk menunda operasi kedua sampai keadaan umum mengizinkan
karenatindakan operatif yang berulang kali akan lebih sering menderita komplikasi infeksi.
Selain itu, bila cukup waktu, maka akan terbentuk system kolateral baru.pemeriksaan
Doppler (Ultrasonic Sounding Device) dapat menolong menentukan ada tidaknya aliran
kolateral yang mengisi pembuluh arteri distal dari sumbatan.
Harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada kemungkinan adanya
trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic blocks serig menambah keragu-raguan dalam
menangani kasus trauma vaskular. Hematoma di bawah lapisan intima atau robekan pada
intima sendiri akan terlihat sebagai spasme pada inspeksi. Tetapi memang spasme arteri dapat
terjadi bersama dengan trauma vaskular, yang biasanya dapat diatasi dengan pemberian
Papaverin hydroclorida atau procain hydrochloride 1%.
30
Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6 jam akan
menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat, sehingga terjadi
kontraktur, misalnya Volkmann ischemic contracture.2, 3, 8
2.1.5.2. Infeksi
Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi trauma
vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk diatasi. Untuk
membantu pencegahan terhadap infeksi, diagnosis trauma vaskular harus cepat ditegakkan,
pemberian antibiotik yang sesuai, debridement luka yang adekuat, kesinambungan pembuluh
vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan pemberian nutrisi yang baik secara sistemik
penting untuk dilakukan. Diperlukan observasi yang ketat selama fase pasca operasi. Pada
kecelakaan dengan luka terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat mungkin
dikeluarkan dan kalau perlu luka dibilas dengan larutan antibiotik.
Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi. Tidak saja karena
tindakan koreksi ulang ini akan memberikan kegagalan langsung, tetapi juga berbahaya untuk
kelangsungan hidup pasien karena septikemi dan atau eksanguinasi. Yang harus
dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri proksimal dan distal dari daerah infeksi. Beberapa
hal yang masih dapat dikerjakan pada daerah infeksi ini adalah debridenen, transisi flap otot,
membasahi daerah infeksi dengan larutan antibiotic secara teratur dan terus-menerus serta
pemberian antibiotic yang terbaik. Infeksi adalah penyebab kedua dari kegagalan
rekonstruksi arteri pada trauma vaskular.2, 3, 8
2.1.5.3. Stenosis
Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan):
1. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau ketat atau
pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan dinding pembuluh tidak cukup.
Dapat pula karena tertinggalnya sisa jaringan pembuluh yang rusak. Bila lesi arteri
tidak diperbaiki dengan sempurna dapat terjadi iskemia relatif pada otot yang
akhirnya mengakibatkan suatu klaudikasio intermitten.
2. Hiperplasialapisanintimaterjadidijahitananastomosissetelahbeberapamingguatau
bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen. 2, 3, 8
2.1.5.4. Fistula arteri vena
Fistula arteri vena dapat disebabkan oleh trauma atau berupa suatu kelainan bawaan.
Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan oleh cedera luka tembus yang mengenai
arteri dan vena yang berdekatan sehingga darah dapat langsung mengalir dari arteri ke vena.
31
Biarpun tidak sering kelainan ini dapat pula terbentuk pada tindakan arteri yang kurang
cermat di daerah yang kaya pembuluh darah.
Segera setelah terbentuk fistula antara arteri dan vena, darah arteri akan mengalir
melalui pintasan ini ke dalam vena, dan selanjutnya diteruskan ke jantung. Ini menyebabkan
menurunnya resistensi pembuluh darah perifer, tekanan diastole akan menurun dan denyut
jantung akan tambah cepat. Tekanan vena setempat akan naik, sedangkan arus darah di
tempat tersebut akan berkurang setelah beberapa waktu. Pembuluh kolateral di daerah ini
akan melebar serta arteri dan vena yang terlibat juga akan melebar menyebabkan volume
darah yang melalui pintasan ini akan bertambah besar. Pembuluh vena melebar demikian
rupa sehingga terbentuk seperti varises. Hal ini bila berlangsung lama dapat menyebabkan
payah jantung karena curahnya yang bertambah.
Diagnosis fistula arteri vena tidak begitu sukar ditegakkan. Riwayat trauma tajam,
adanya pulsasi yang jelas disertai getaran pada perabaan dan pada auskultasi terdengar bissng
seperti bunyi mesin, semuanya ini menunjukkan adanya fistula antara pembuluh arteri dengan
pembuluh vena. Tanda lain yang mungkin timbul sebelah distal dari fistula adalah klaudikasio
intermitten, edema dan pelebaran vena yang berkelok-kelok dan disertai warna kulit yang
agak kebiruan.
Angiografi tidak diperlukan untuk diagnostik tetapi berguna untuk penentuan lokasi
pintasan yang akan dikoreksi. Waktu yang tepat untuk melakukan tindakan operasi adalah
segera setelah diagnostik ditegakkan. Prinsip dasar pada bedah vaskular juga berlaku di sini,
yaitu mencari dan melakukan jerat sementara pada proksimal dan distal dari arteri dan vena
yang
terlibat,
sebelum
fistulnya
dieksisi.
Bila
mungkin
pembuluh
arterinya
direkonstruksidengan jahitan langsung atau graft dengan vena autogen, sedangkan lesi
pembuluh darah vena biasanya dapat dijahit lateral langsung. Kelainan struktur dan
hemodinamika yang terjadi pada fistula arteri dan vena traumatic biasanya pasca operasi
menjadi normal kembali.2, 3, 8
2.1.5.5. Aneurisma Palsu
Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga lapisan dinding
pembuluh arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang disebabkan oleh kesalahan
pada prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan dinding arteri yang disebabkan oleh
jarum atau kateter atau kecelakaan pada waktu operasi hernia nukleus pulposus dan fraktur
ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun jarang trauma tumpul juga dapat
menyebabkan terjadinya aneurisma palsu.
Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang secara anatomik mengandung
32
banyak jaringan ikat kuat dan bersekat, yang dapat mengadakan tamponade terhadap
hematoma. Kemudian dengan tumbuhnya lapisan endotel baru yang berasal dari pinggir luka
lesi vaskular, maka terbentuklah rongga aneurisma palsu.
Benjolan yang berdenyut adalah tanda yang paling nyata dari aneurisma palsu.
Biasanya ada riwayat luka tembus. Berbatas tidak begitu tegas karena benjolan ini terletak di
bawah jaringa fasia yang kuat. Biasanya akan teraba getaran sistolik pada seluruh benjolan
ini, kadang disangka abses atau suatu neoplasma. Dapat pula terjadi bersamaan dengan fistula
arteri-vena. Pemeriksaan angiografi diperlukan bila ragu atau bila letak lesinya sukar dicapai
pada pemeriksaan di klinik. Pemeriksaan sonografi dapat pula menolong untuk menentukan
besar serta letak aneurisma palsu ini.
Dengan mencari dan mengikat sementara arteri proksimal dan distal dari lesi ini,
maka rekonstruksi arteri dapat dilakukan dengan leluasa. Kadang hanya diperlukan beberapa
jahitan lateral untuk menutup lesi arteri ini. Kemungkinan penyembuhan secara spontan
sangat kecil.
2.1.5.2. Sindrom Kompartemen
Sindroma kompartemen
disebabkan
oleh
kenaikan
tekanan
internal
pada
kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah dan syaraf tepi. Perfusi
menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau bahkan nekrosis otot.
Sindrom kompartemen ditandai oleh 5 P yaitu pain, pulseless, paresthesia, pallor, dan
paralysis. Akibat dari sindroma kompartemen antara lain:
1. Kerusakan jaringan akibat hipoksemia
Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan intramuskuler (IM) dan
kolaps aliran darah lokal sering terjadi pada cedera dengan hematoma otot, cedera
remuk (crushed injury), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi (tekanan darah
sistolik) rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat menyebabkan hipoperfusi
lokal. Pada pasien normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada tekanan
sistolik sekitar 80mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada
tekanan darah lebih tinggi.
2. Kerusakan akibat reperfusi
Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah) berlangsung
lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang
ekstensif. Pada kasus-kasus ekstremitas dengan syok berkepanjangan, kerusakan
akibat reperfusi sering lebih buruk dibanding cedera primernya. Karena itu
dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen di lengan atas.2, 3, 8
33
2.2.
Ada beberapa sistem skoring yang dapat digunakan untuk memprediksi hasil akhir dari
trauma ekstremitas, salah satu yang sering di gunakan adalah Mangled Extremity Severity
Score (MESS)3, 5, 8
2.2.1. Sistem Skoring MESS
Mangled Extremity Severity Score (MESS) adalah instrumen penilaian yang didesain untuk
memprediksi kemampuan hidup/bertahan dari anggota gerak yang cedera.
Dalam sistim ini dinilai empat kategori yaitu masing-masing kerusakan dari skeletal dan
jaringan lunak, waktu iskemia tungkai, ada tidaknya syok dan umur penderita itu sendiri.
Pada penderita dengan jumlah penilaian MESS 7 atau lebih memprediksi dibutuhkan
amputasi (7,8)
2.3.
Salah satu yang sering terjadi adalah keterlambatan dalam pelayanan kesehatan.
Keterlambatan tersebut bisa dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase 1: Keterlambatan dalam mencari pelayanan kesehatan
Dalam fase ini terjadi keterlambatan dalam memutuskan untuk mencari
pengobatan. Keterlambatan dalam fase ini biasanya disebabkan oleh faktor sosial
dan ekonomis atau faktor budaya dan tingkat pendidikan
2. Fase 2: Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan mencapai fasilitas kesehatan
Tahap ini terutama didominasi oleh faktor faktor sosio-ekonomik aktual yang
memprediksi apakah seorang pasien akan mengidentifikasi dan menjangkau
fasilitas medis pada waktu yang tepat. Diantara hambatan ini meliputi : kurangnya
34
35
sekunder. Hal ini sesuai dengan aturan live saving diikuti dengan limb salvage. Dilakukan
resusitasi dan kontrol perdarahan untuk mengatasi syok perdarahan, dan didapatkan respon
cepat pada pasien.
36
Setelah survei primer dilanjutkan dengan survei sekunder pada pasien ini di mana
didapatkan adanya fraktur terbuka humerus sinistra 1/3 distal comminutive displaced Gustilo
Anderson tipe IIIC + partial loss m. biceps brachii + partial loss m. brachioradialis + skin
loss + cedera vaskular ec susp. ruptur Arteri brachialis dd/ thrombus.
Pada pasien ini terjadi perdebatan saat akan dilakukan tindakan apakah akan dilkukan
limb salvage ataukah akan dilakukan tidak amputasi. Mempertimbangkan waktu iskemik
yang cukup lama sekitar 23 jam. Hal ini disebabkan waktu yang dibutuhkan dari saat
kejadian kemudian pasien dibawa ke fasilitas kesehatan tingkat 1 dan tingkat 2, kemudian
pada akhir nya dirujuk ke RSHS selama ini kurang lebih lima jam. Hal ini merupakan conteh
keterlambatan fase 2. Kemudian dilakukan penanganan sampai keputusan untuk operasi di
RSHS selama 18 jam, hal ini terutama diakibatkan dalam kesulitan dari keluarga untuk
mengambil keputusan di mana diberikan pertimbangan untuk tindakan limb saving atau
tindakan amputasi.
Selain itu prognosis dengan skoring MESS didapatkan pada pasien ini, didapatkan
nilai MESS = 7, dimana nilai MESS Nilai 7 memprediksi dibutuhkan amputasi.
MESS
Skor
Kerusakan Jaringan
Masif
4
Syok
Transien hipotensif
1
Iskemia
Ringan, 23 jam
1 x 2 = 2 (lebih dari 6 jam)
Umur
4 tahun
0
Total
7
Dengan mempertimbangkan semua faktor yang ada dan juga hasil dari keputusan
keluarga maka diputuskan untuk dilakukan tindakan limb salvage.
Pada pasien ini saat operasi didapatkan adanya ruptur total dari arteri brakialis kiri
sampai ke bifurkasi dari radial kiri dan arteri ulnaris dengan kehilangan arteri, fraktur
sepertiga distal humerus kiri comminutive displaced dengan kehilangan tulang, ruptur total
dari saraf median dengan hilangnya saraf , hilangnya jaringan lunak dengan kehilangan
sebagian dari musculus biseps brachii pada bagian long head dan kehilangan sebagian otot
brachioradial. Kemudian dilakukan tindakan
dilanjutkan OREF dengan menggunakan 5 buah sand screw oleh dokter bedah ortopedi. Lalu
dilanjutkan dengan perbaikan arteri brakialis dengan grafting vena saphena magna dekstra.
Setelah itu dilakukan repair muscle. Pada pengelolaan pasien ini dilakukan operasi fiksasi
tulang dan dilanjutkan dengan operasi definitif anastomosis pada kedua arteri. Pertimbangan
untuk dilakukan tindakan fiksasi terlebih dahulu karena terdapat segemen tulang yang tidak
stabil dan ditakutkan tindakan fiksasi yang dilakukan sesudah revaskularisasi dapat merusak
37
anastomosis yang dibuat. Ada beberapat yang berpendapat jika ditemukan trauma kombinasi
maka yang dilakukan adalah tindakan revaskularisasi lebih dahulu, baik yang bersifat
temporer maupun yang bersifat permanen. Jika ditemukan kondisi kondisi tertentu dimana
segmen tulang yang fraktur tidak stabil, maka dianjurkan untuk dilakukan revaskularisasi
dengan shunting temporer. Pendapat ini oleh sebagian ahli\dari beberapa penelitian ternyata
bahwa tindakan fiksasi yang dilakukan sesudah revaskularisasi ternyata tidak merusak
anastomosis yang dibuat, hal ini disebabkan dokter yang melakukan tindakan fiksasi tulang
akan lebih berhati hati.
Gambar 4.1. Ruptur total dari arteri brakialis kiri sampai ke bifurkasi dari radial kiri
dan arteri ulnaris dengan kehilangan arteri
38
39
BAB V
KESIMPULAN
Kasus trauma vaskular merupakan kasus yang sering terjadi. Untuk kasus-kasus
cedera vaskular yang berat dengan risiko kehilangan tungkai dapat digunakan sistem skoring
yang dapat membantu kita dalam menentukan langkah dan tindakan apakah akan dilakukan
tindakan penyelamatan tungkai atau dilakukan amputasi.
Seringkali berbagai faktor dapat menyebabkan keterlambatan pasien trauma vaskular
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Berdasarkan kasus tersebut kami sarankan bahwa
jika ekstremitas masih viabel, kita mungkin dilakukan perbaikan arteri aman bahkan setelah
periode emas telah berlalu, dan dapat didapatkan hasil yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kenneth L. Mattox M, Ernest E. Moore M, David V. Feliciano M. Trauma, 7th Edition.
2013:747-82.
2. Todd E. Rasmussen M, FACS, Nigel R.M. Tai Q, MS, FCRS (Gen). Rich's Vascular
Trauma, Third edition2016.
3. Mattox K, Moore E, Feliciano D. Trauma, Seventh Edition. 2013.
4. Jack L. Cronenwett M, K. Wayne Johnston M, FRCSC. Rutherford's Vascular Surgery,
8th Edition. 2014.
5. Moini M, Hamedani K, Rasouli MR, Nouri M. Outcome of delayed brachial artery
repair in patients with traumatic brachial artery injury: prospective study. International
journal of surgery. 2008;6(1):20-2.
6. Steinke A, Grosel J. A guideline to efficiently treating traumatic brachial artery injury.
JAAPA : official journal of the American Academy of Physician Assistants.
2013;26(12):1-4.
7. Willy C, Stichling M, Engelhardt M, Vogt D, Back DA. [Acute therapeutic measures
for limb salvage Part 1 : Haemorrhage control, emergency revascularization,
compartment syndrome]. Der Unfallchirurg. 2016;119(5):374-87.
8. Eric R. Frykberg MF. Combined Vascular & Skeletal Trauma. traumaorg 10:5.
2005:http://www.trauma.org/archive/vascular/vascskeletal.html.
9. Belek KA, Alkureishi LW, Dunn AA, Devcic Z, Kuri M, Lee CK, et al. Single-stage
reconstruction of a devastating antebrachial injury with brachial artery, median nerve,
and soft tissue deficit: a case report and review of the literature. Eplasty. 2010;10:e33.
10. Tan TW, Rybin D, Doros G, Kalish JA, Farber A, Eslami MH. Observation and
surgery are associated with low risk of amputation for blunt brachial artery injury in
pediatric patients. Journal of vascular surgery. 2014;60(2):443-7.
11. Hasan SA, Cordell CL, Rauls RB, Eidt JF. Brachial artery injury with a proximal
humerus fracture in a 10-year-old girl. American journal of orthopedics.
2009;38(9):462-6.
40
12. Paryavi E, Pensy RA, Higgins TF, Chia B, Eglseder WA. Salvage of upper extremities
with humeral fracture and associated brachial artery injury. Injury. 2014;45(12):18705.