Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan mengi
episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Ciri-ciri klinis
yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai
batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama
fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara
pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas
yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.1-3
Secara umum faktor risiko yang dapat memicu terjadinya asma terbagi atas faktor
genetik dan lingkungan. Mengingat patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara
deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas
bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak
napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.

1-3

Mekanisme sensitisasi terhadap

alergen serta perkembangan perjalanan alamiah penyakit alergi dapat memberi peluang untuk
mengubah dan mencegah terjadinya asma melalui kontrol lingkungan dan pengobatan pada
seorang anak. Pendidikan pada pasien dan keluarga merupakan unsur penting penatalaksanaan
asma pada anak yang bertujuan untuk meminimalkan morbiditas fisik dan psikis serta
mencegah disabilitas. 1-3

Bab II
Isi
Definisi Asma Bronkial
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas yang disertai
oleh peranan berbagai sel, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang
rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan,
dan batuk, khususnya malam atau dini hari. 1-3
1

Konsensus nasional di Indonesia juga menggunakan definisi praktis ini dalam definisi
operasionalnya, tetapi dengan tambahan kriteria yang lebih terarah. Konsensus ini dikenal
sebagai Konsensus Nasional Asma Anak (KNAA) yang disusun oleh Unit Kerja Koordinasi
(UKK) Respirologi IDAI Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004 mendefinisikan
bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai
berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), mausiman,
setelah aktivitas fisik, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau
keluarganya. 1-3
Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang mengenai hampir 6 juta anak berusia kurang
dari 18 tahun di Amerika Serikat. Pada 2003, Survei Kesehatan Nasional dari Centers for
Disease Control and Prevention mendapatkan prevalens asma seumur hidup adalah 12,5% dan
prevalens asma saat itu adalah 8,5% pada anak berusia kurang dari 18 tahun.1,5
Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara berkembang
dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma
pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%.
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma
pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa >
18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi
asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja
prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding
wanita. 1,2,5 WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan
laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. 1
Faktor Resiko
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat
ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma.1,2
1 Jenis kelamin. prevalens asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 - 2
kali lipat anak perempuan. Pada orang dewasa, rasio ini berubah menjadi sebanding
1

antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun.


Usia. Dari Australia, dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat
serangan mengi pada usia <6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama
sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten terbebas dari gejala
asma pada usia 28-35 tahun, 60% menetap menunjukkan gejala seperti saat anak-anak,
dan sisanya masih sering mendapat serangan meskipun lebih ringan daripada saat
masa kanak.
2

Riwayat atopi. Pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan terjadi
serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah megalami hay fever,
rhinitis alergi, eksema. Anak dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6 bulan
pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang tidak

pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan.


Lingkungan . Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko
penyakit asma. Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah

tungau, debu rumah, jamur, dan kecoa.


Ras. Dilaporkan prevalens asma dan kejadian asma pada ras kulit hitam lebih tinggi

daripada kulit putih.


Asap rokok. Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada

anak yang tidak terpajan asap rokok.


Outdoor air pollution. Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat
oksida, karbon monoksida, atau SO2 diduga berperan pada penyakit asma,

meningkatkan gejala asma,


Infeksi respiratorik. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa adanya hubungan

terbalik antara atopi dengan infeksi respiratori.


Patofisiologi
lnflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan
hal Yang mendasari terjadinya gangguan fungsi pada penyakit asma yaitu obstruksi saluran
respiratori yang mengakibatkan keterbatasan aliran udara yang bersifat reversibel. Perubahan
fungsional ini dihubungkan dengan gejala khas pada asma (seperti batuk, sesak, mengi) dan
respons saluran napas yang berlebihan terhadap rangsangan bronkokontriksi. Batuk
kemungkinan besar terjadi akibat rangsangan pada saraf sensorik saluran respiratori oleh
mediator inflamasi. Batuk berulang dapat merupakan satu~satunya gejala asma yang
ditemukan pada anak. Mediator inflamasi dapat juga mempengaruhi persepsi sesak napas
melalui pengaruhnya terhadap saraf aferen. Rangsangan saraf aferen, pada keadaan
hiperkapnea atau hipoksemia misalnya, akan merangsang timbulnya hiperventilasi alveolar
dan kerusakan lainnya akibat serangan asma akut. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot
polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan sel inflamasi. Mediator
tersebut antara lain histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan
oleh sel mast; neuropeptidase yang dikeluarkan saraf aferen' lokal dan asetilkolin yang berasal
dari saraf eferen post ganglionik.1,2,5
Asma hampir selalu berhubungan dengan saluran napas mengalami penyempitan dan
atau renspons yang berlebihan terhadap provokasi stimulus. Sebagai tambahan, inflamasi

pada dinding saluran napas, khususnya pada regio peribronkial, cenderung memperparah
penyempitan saluran napas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut. 1,2,5
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran
napas pasien asma dan penampakan remodeling saluran napas merupakan karateristik asma
kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran napas hampir selalu ditemukan
pada asma yang fatal dan menjadi penyebab obstruksi saluran napas yang persisten pada
serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan pemberian bronkodilator.
Sekresi mukus pada saluran napas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan volume saja
tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Perbedaan kualitas dan kuantitas dapat timbul
baik akibat infiltrasi sel inflamasi maupun terjadi perubahan patologis sel sekretori, pembuluh
darah epitel saluran napas dan lapisan submukosa. Penebalan dan perlengketan dari sekret
tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel
epitel, pengendapan albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan
DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis. Hipersekresi mukus pada pasien
asma merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme yang bertanggung jawab
terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan mekanisme patofisiologi
yang bertanggung jawab hingga terjadi Sekresi sel granulasi. Mediator penting yang
dikeluarkan oleh sel Goblet, yang mengalami metaplasia dan hiperplasia, merupakan bagian
dari rantai inflamasi. 1,2,5
Penebalan saluran napas, yang merupakan karateristik asma, terjadi pada bagian
kartilago dan membranosa dari saluran napas. Bersamaan dengan perubahan pada bagian
elastik dan hilangnya hubungan antara saluran napas dengan parenkim disekitarnya,
penebalan dinding saluran napas dapat menjelaskan mekanisme timbulnya penyempitan
saluran napas yang gagal untuk kembali normal dan terjadi terus menerus pada subgroup
pasien asma. Terdapat beberapa bukti yang ditemukan bahwa hilangnya fungsi saluran napas
yang merefleksikan remodeling, dapat timbul pada asma. 1,2,5
Manifestasi klinis
Asma bronkial merupakan penyakit inflamasi di mana ukuran diameter jalan napas
menyempit secara kronis akibat edema dan tidak stabil. Selama serangan pasien mengalami
mengi dan kesulitan bernapas akibat bronkospasme, edema mukosa, dan pembentukan mukus.
Terkadang inflamasi kronis menyebabkan perubahan ireversibel pada jalan napas.1,6,7
Asma adalah menjadi sindrom klinis yang dikarakterisitikan oleh batuk, mengi, dan
sesak napas serta sesak dada yang ditimbulkan oleh alergen, infeksi, atau stimulus lain.
Stimulus ini mencakup latihan khususnya pada iklim kering dan dingin, stres, emosi, merokok

pasif dan aktif, pemajanan tempat lerja pada bahan kimia, dan polusi udara. Gejala asma
mengacu pada trias: dispnea, batuk, dan mengi. 1,6,7
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada anak
yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas, dada terasa berat gejala
biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi pernapasan dan
inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan
aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien atau
keluarganya dapat menunjang penegakan diagnosis. 1,6,7
GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma didahului
batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme kemungkinan
diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang berulang
(episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada
penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu asma.4
Diagnosis Asma pada Anak
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dan ditanyakan dalam mendiagnosis dan
melakukan anamnesis dari pasien yang menderita asma yaitu sebagai berikut : 6-8

Hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi).


Mata yang terasa gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi).
Eksem atopi.
Riwayat batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi.
Riwayat flu berulang dan sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca.
Adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga).
Sering terbangun pada malam hari,
Riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga).
Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet

berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur.
Adanya rasa sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga,
Riwayat merokok pada pasien dan orang lain yang merokok di rumah atau

lingkungan kerja.
Obat yang digunakan pasien.
Perlu juga ditanyakan tentang tanda-tanda gejala prodromal yang biasanya timbul,

kecepatan timbulnya onset, penyakit yang sedang diderita saat itu, jumlah kejadian setahun
terakhir, kunjungan ke rumah sakit akibat serangan asma dan juga waktu kerja efektif yang
hilang akibat menderita asma. Pasien dengan asma biasanya mengeluh munculnya asma
setelah beraktivitas berat dan membaik dengan istirahat. Disamping itu serangan gejala asma
lebih sering terjadi pada malam hari. Batuk juga dapat terjadi dan biasanya pada malam hari
dan tanpa sputum dan gejala biasanya tidak memburuk dalam jangka waktu yang sebentar.1,2
5

Beberapa pertanyaan berikut ini sangat berguna dalam pertimbangan diagnosis asma.1

Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang?


Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada malam hari?
Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah berolahraga?
Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat, atau batuk setelah

terpajan alergen atau polutan?


Apakah jika mengalami pilek, anak membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan antiasma?

Setelah menetapkan apakah seorang anak benar~benar mengalami mengi atau batuk
yang hebat, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi pola dan derajat gejala Pola gejala
harus dibedakan apakah gejala tersebut timbul pada saat infeksi virus atau timbul tersendiri di
antara batuk pilek biasa. Apabila mengi dan batuk hebat tersebut terjadi tidak bersamaan
dengan infeksi virus, selanjutnya harus ditentukan frekuensi dan pencetus gejala. Pencetus
yang spesifik dapat berupa aktivitas, emosi (misalnya menangis atau tertawa), debu, pajanan
terhadap bulu binatang, perubahan suhu lingkungan atau cuaca, aerosol/aroma yang tajam,
asap rokok atau asap dan perapian. Derajat berat ringannya gejala harus ditentukan untuk
mengarahkan pengobatan yang akan diberikan.1
Dalam GINA 2006 dinyatakan bahwa anak merupakan kelompok yang sulit untuk
didiagnosis. Hal ini disebabkan karena mengi episodik dan batuk merupakan gejala Yang
sering ditemukan pada penyakit anak terutama pada usia <3 tahun. Semakin muda usia anak,
semakin banyak diagnosis banding penyakit untuk menjelaskan mengi berulang/rekuren.
Diagnosis banding untuk bayi adalah fibrosis kistik, aspirasi susu rekuren, sindrom diskinesia
silia primer, defisiensi imun primer, kelainan jantung kongenital, malformasi kongenital yang
menyebabkan penyempitan aliran udara intratoraks, dan aspirasi benda asing. Apabila awitan
timbul pada masa neonatus, disertai gagal tumbuh, muntah, dan ditemukan tanda kelainan
kardiopulmonal, maka diperlukan pemeriksaan lanjutan, seperti uji keringat (sweat test) untuk
menyingkirkan fibrosis kistik. pemeriksaan fungsi imun, pemeriksaan untuk menilai adanya
refluks, serta foto toraks.1,4
Pada anak dengan gejala batuk rekuren dan mengi, ada beberapa hal yang baru
ditanyakan untuk memperkirakan diagnosis banding, yaitu:1

Apakah anak/orangtua benar-benar dapat menjelaskan apa yang disebut

dengan mengi?
Apakah terdapat gejala saluran napas atas: mendengkur, rinitis, rinosinusitis?
Apakah gejala timbul sejak hari pertama kehidupan?
6

Apakah awitan gejala sangat tibatiba/mendadak?


Apakah terdapat batuk berdahak yang kronik atau disertai produksi sputum?
Apakah mengi memburuk atau anak menjadi iritabel setelah makan dan

bertambah buruk jika berbaring, muntah, atau tersedak?


Apakah terdapat gejala atau gambaran klinis kelainan imunodefisiensi

sistemik?
Apakah gejala berlangsung kontinu dan tidak berkurang/membaik?

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan dua pemeriksaan yang mendasar yaitu pemeriksaan
secara umum atau pemeriksaan generalisata dan pemeriksaan secara lokal. Pada pemeriksaan
umum beberapa hal yang perlu diperhatikan dan diperiksa adalah :1,5
Kesadaran pasien : compos mentis, gelisah, apatis, sopor, delirium , dan koma.
Rasa sakit dan keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, dan berat.

Tanda-tanda vital ; tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernafasan dan suhu tubuh.
Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan

terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat,
kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada
auskultasi dapat ditemukan mengi, ekspirasi memanjang.1,2,5
Pada serangan asma baik yang akut maupun serangan asma menahun dapat ditemukan
gejala-gejala seperti dibawah ini :4,6,7
1. Kesulitan untuk batuk disertai dengan dyspnea, pemanjangan waktu ekspirasi,
mengi atau wheezing terutama pada daerah bronkial (berkurang apabila serangan
asma semakin parah), sekresi lendir, retraksi, menggunakan otot respirasi aksesori
dan buruknya pertukaran udara.
2. Kegelisahan, kelelahan, rasa kantuk bahkan koma.
3. Takikardia, biasanya pada awalnya disertai dengan hipertensi ringan yang
dilanjutkan dengan hipotensi. Pada akhirnya dapat berujung pada gagal jantung
dan pulsus paradoxus.
4. Kulit kemerahan dan lembab dengan sianosis dan keringnya membrana mukosa.
5. Respon baik setelah pemberian epinefrin, obat-obatan adrenergik, atau obat
golongan metilxantin. Pada asma menahun, respon terhadap obat-obatan tersebut
dapat buruk.
Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak ditemukan kelainan saat pasien tidak
mengalami serangan. Pada sebagian kecil pasien yang derajat asmanya lebih berat, dapat
dijumpai mengi di luar serangan. Dengan adanya kesulitan ini, diagnosis asma pada bayi dan
anak kecil (di bawah usia 5 tahun) hanya merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya
7

berdasarkan gejala dan - pemeriksaan fisis dan respons terhadap pengobatan). Sebab, pada
kelompok usia ini, tes fungsi paru atau pemeriksaan untuk mengetahui adanya
hiperresponsivitas saluran napas tidak mungkin dilakukan dalam praktek sehari~hari. Tidak
jarang, asma pada anak didiagnosis sebagai bentuk varian bronkitis sehingga mendapatkan
pengobatan yang tidak tepat dan tidak efektif, yaitu berupa pemberian antibiotika dan obat
batuk. Berdasarkan berbagai hal tersebut di atas, bayi dan anak di bawah 5 tahun dengan
batuk rekuren dan/atau mengi dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu:1

Normal
Salah satu varian spektrum asma
Penyakit atau keadaan serius yang membutuhkan diagnosis dan terapi yang
spesifik.

Pada anak yang tampak sehat dengan batuk malam hari yang rekuren, asma harus
dipertimbangkan sebagai probable diagnosis. Beberapa anak menunjukkan gejala setelah
berolahraga. Dengan demikian, jika terdapat keraguan dalam mendiagnosis asma ringan pada
seorang anak, dapat dilakukan tes dengan berolahraga (berlari cepat selama 6 menit).1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fungsi paru
Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak
banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari pengukuran
sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi (APE), pulse
oxymetry, spirometri, sampai pengukuran yang kompleks yaitu muscle strength testing,
volume paru absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan fungsi paru yang obyektif dan
lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostik anak dengan batuk, mengi rekuren,
aktivitas terbatas, dan keadaan lain yang berkaitan dengan sistem respiratorik. Pemeriksaan
fungsi paru ini terutama bermanfaat apabila ada manifestasi gejala asma yang tidak khas.
Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume
paru, 2) fungsi jalan napas, 3) pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada
penyakit paru restriktif seperti kelemahan otot napas, deformitas dinding dada, atau penyakit
interstitial paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan napas. Walaupun
pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk menilai parameter pertukaran
gas, pulse oximetry masih merupakan pemeriksaan yang berguna dan efisien.1,2,5
Pada uji fungsi jalan napas, hal yang paling penting adalah melakukan manuver
ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini terutama berguna pada penyakit dengan obstruksi
jalan napas, misalnya asma dan fibrosis kistik. Pengukuran dengan manuver ini yang dapat
8

dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced expiratory volume in 1 second (FEVI) dan
vital capacity (VC) dengan alat spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau
arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter. Pengukuran Variabilitas dan
reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendiagnosis asma, menilai
derajat berat penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman pengelolaan asma. 1,2,5
Pengukuran PEF pada asma tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran fungsi paru
lainnya. Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus dibandingkan dengan nilai terbaik anak
sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi, PEF harus diukul secara serial dalam
24 jam. Bahkan jika perlu, diukur selama beberapa minggu, karena derajat asma tidak
ditentukan oleh nilai baseline melainkan oleh variabilitas, terutam dalam 24 jam. Variabilitas
harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) PER dalam 1 hari. Metode yang
dianggap merupakan cara mengukur nilai diurnal PEF terbaik adalah pengukuran selama
paling sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik dari selisih nilai
PEF pagi hari terendah dengan nilai PEF malam hari tertinggi.1,2,5
Pengukuran PEF yang dilakukan secara tidak teratur, misalnya hanya 2-3 kali dalam
seminggu atau secara intermiten, tidak dapat menentukan perburukan fungsi panl lebih awal,
tetapi cara ini masih dapat memberikan informasi mengenai variabilitasnya` Untuk hal ini,
PEF lebih baik diukur pada pagi dan malam hari pada hari yang sama dan harus dilakukan
secara konsisten sebelum atau setelah pemberian bronkodilator. jika didapatkan variabilitas
PEF diurnal 220% (petanda adanya perburukan asma), diagnosis asma perlu dipertimbangkan.
Hal lain yang harus diingat adalah bahwa pada asma intermiten atau asma berat (severe
intractable disease), variabilitas PEF tidak selalu ditemukan. 1,2,5
Jika pemeriksaan fungsi paru tidak tersedia, lembar catatan harian dapat digunakan
sebagai alternatif karena metode ini mempunyai korelasi yang baik dengan fungsi paru.
Lembar catatan harian dapat digunakan dengan atau tanpa pemeriksaan PEF. Pada
pemeriksaan spirometri, adanya perbaikan FEVI sebanyak minimal 12% setelah pemberian
bronkodilator inhalasi dengan/tanpa glukokortikoid mendukung diagnosis asma. 1,2,5
Pada Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004, untuk mendukung diagnosis asma
anak dipakai batasan sebagai berikut: 1

Variabilitas PEF atau FEVI, >= 15%,


Kenaikan PEF atau FEV >=15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator
Penurunan PEF atau FEVl >= 20% setelah provokasi bronkus. Penilaian
variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama >= 2 minggu.

Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran napas


9

Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan/olahraga, udara kering dan
dingin, atau dengan salin hipertonik sangat menunjang diagnosis. Pada pasien yang
mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian respons saluran papas
terhadap metakolin, histamin, atau olahraga dapat membantu menegakkan diagnosis asma.
Pengukuran ini sensitif terhadap asma, tetapi spesifisitasnya rendah- Artinya, hasil yang
negatif dapat membantu menyingkirkan diagnosis asma persisten, gedangkan hasil positif
tidak selalu berarti bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan karena
hiperreaktivitas saluran napas juga terdapat pada pasien rinitis alergi dan kondisi lain seperti
fibrosis kistik, bronkiektasis, dan penyakit paru obstruksi menahun.1,2
Petanda Inflamasi Saluran Napas Non-Invasif
Penilaian terhadap inflamasi saluran napas akibat asma dapat dilakukan dengan cara
memeriksa eosinofil sputum, baik yang spontan maupun yang diinduksi dengan garam
hipertonik. Selain itu, pengukuran kadar NO ekshalasi juga merupakan cara menilai petanda
inflamasi yang noninvasif. Walaupun pada pasien asma (yang tidak menerima kortikosteroid
inhalasi) didapatkan eosinofilia pada sputum dan peningkatan kadar NO ekshalasi
dibandingkan dengan orang yang tidak menderita asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma
dan belum terdapat penelitian yang menyatakan bahwa hal ini dapat membantu dalam
diagnosis asma.1,2
Penilaian status alergi Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE
spesifik dalam serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat
membantu menentukan faktor risiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok usia <5
tahun dapat digunakan untuk hal-hal berikut ini:1

Menentukan apakah anak atopi.


Mengarahkan manipulasi lingkungan.
Memprediksi prognosis anak dengan mengi.

Uji kulit maupun pemeriksaan kadar IgE total mempunyai nilai negatif palsu yang
tinggi, tetapi jika positif, hasilnya bermakna. Penelitian TCRS menunjukkan bahwa nilai IgE
total yang tinggi pada usia <1 tahun (tetapi tidak pada saat lahir) merupakan faktor yang dapat
memprediksi tingginya IgE pada usia 6 tahun dan 11 tahun dan berhubungan dengan mengi
berkepanjangan, sebaliknya anak dengan mengi pada tahun pertama kehidupan tetapi
memiliki IgE normal, akan sembuh dari gejala mengi. Pengukuran IgE total lebih bermanfaat
untuk penelitian daripada untuk penerapan individual, sedangkan tes alergi yang spesifik
mungkin lebih bermanfaat bagi penerapan individual.1,5
Penatalaksanaan
B2-Agonis Kerja Pendek
10

B2-agonis kerja pendek, seperti albuterol, lavalbuterol, dan pirbuterol, merupakan


bronkodilator efektif yang bekerja dengan merelaksasi otot polos bronkus dalam waktu 5-10
menit setelah pemberian. Efek kerjanya berlangsung selama 4-6 jam. Biasanya, B2-agonis
diberikan untuk gejala akut dan sebagai profilaksis sebelum paparan alergen dan olahraga.
Pemberian

secara

inhalasi

lebih

disukai

karena

efek

samping-tremor, takikardia

berkepanjangan, dan iritabilitas-Iebih jarang terjadi. Penggunaan B2-agonis berlebihan


menunjukkan kontrol yang tidak adekuat dan perlu dilakukan perubahan dalam obat-obat
yang diberikan. Definisi penggunaan berlebihan bergantung pada beratnya asma anak;
penggunaan lebih dari satu kanister MDI per bulan atau lebih dari 8 puff per hari
menunjukkan kontrol yang buruk. 1-3
Obat Antikolinergik
Ipratropium bromid merupakan bronkodilator antikolinergik yang mengatasi
bronkokonstriksi, menurunkan hipersekresi mukus, dan meniadakan kerja iritabilitas reseptor
batuk dengan berikatan pada asetilkolin pada reseptor muskarinik yang ditemukan pada otot
polos bronkus. Tampaknya obat ini mempunyai efek aditif terhadap B2-agonis apabila
digunakan untuk eksaserbasi serangan asma akut. Penggunaan obat-obat antikolinergik jangka
panjang tidak didukung oleh literatur. 1-3
Kortikosteroid Oral
Kortiosteroid oral jangka pendek (3-10 hari) diberikan pada anak dengan eksaserbasi
akut. Dosis awal adalah 1-2 mg/ kg/hari prednison dilanjutkan dengan 1 mg/kg/hari selama 25 hari berikutnya. Penggunaan kortikosteroid oral jangka panjang dapat memberikan efek
samping sistemik berupa penekanan aksis hipotalamus- hipofisis-adrenal, gambaran
cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, diabetes, katarak, glaukoma, osteoporosis,
dan penekanan pertumbuhan. 1-3
Alur Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara
progresif. Serangan akut biasanya muncul akibat pajanan terhadap faktor pencetus, sedangkan
serangan berupa perburukan bertahap mencerminkan kegagalan pengobatan jangka panjang.,
Penyakit asma dibagai dalam 3 kelompok berdasarkan frekuensi serangan dan kebutuhan
obat, yaitu asma ringan, sedang, dan berat. Selain klasifikasi derajat penyakit asma di atas,
asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangannya, yaitu serangan ringan, sedang, dan
berat. 1,3
Serangan Asma Derajat Ringan
jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete
response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons
tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat B-agonis (hirupan atau oral)
11

yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat
ditambahkan steroid oral jangka pendek (35 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke
klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk re-evaluasi tatalaksana. Selain itu, jika
sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga
re~evaluasi dilakukan di klinik rawat jalan. Namun, jika setelah observasi 2 jam gejala timbul
kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan asma sedang. 1,3
Serangan Asma Derajat Sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali pasien hanya menunjukkan respons parsial
(incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu, derajat serangan
harus dinilai ulang sesuai pedoman. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang,
inhalasi langsung dengan B2-agonis dan ipratropium bromide (antikolinergik), pasien perlu
diobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari (RRS). Pada serangan asma sedang, diberikan
metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 35 hari. Walaupun belum tentu
diperlukan, Untuk persiapan keadaan darurat, pasien yang akan diobservasi di RRS langsung
dipasangi jalur parenteral sejak di UGD. 1,3
Serangan Asma Derajat Berat
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons (poor
response). yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman),
pasien harus dirawat di ruang rawat inap. Bila pasien diduga atau diperkirakan serangan berat,
maka langung diberikan nebulisasi dengan B2-agonis dan antikolinergik. Oksigen 2-4L/menit
diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Kemudian dipasang jalur parenteral dan
dilakukan foto toraks. Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti
napas, pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pada pasien dengan serangan
berat dan ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi
komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum. 1,3

Berikut adalah alur penatalaksanaan asma eksaserbasi akut menurut GINA 4

12

Berat
Berbicara dalam kata, duduk lebih
condong kedepan, gelisah (agitasi).
RR >30x/min. HR >120 bpm.
Saturasi O2<90%, PEF <= 50%

ARRANGE at DISCHARGE
Obat seperti yang diperlukan
Obat kontrol: memulai, memeriksa
teknik inhalasi obat
Prenisolon :FOLLOW
dilanjutkan,
UP biasanya
5-7
hari
(3-5 harihanya
untuk yang
anak)
Obat
dikurangi,
Follow
up : dalam
2-7 hari
diperlukan
saja

Obat kontrol dilanjutkan dosis


tinggi untuk jangka waktu pendek
(1-2 minggu) atau jangka panjang
(3 bulan), tergantung dari latar
belakang eksaserbasinya
Modifikasi faktor resiko yang dapat
berkontribusi dalam eksaserbasi,
Pencegahantermasuk teknik inhalasi
Pencegahan Primer
Action
plan
sudah
dimengerti
? lingkungan yang dapat
Pencegahan
primer: dapat
dilakukan
dengan menghindari
Apakah
di modifikasi
bersifat sebagai
faktor perlu
risiko terutama
indoor pollutants ?
seperti asap rokok, tungau, debu
rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen. outdoor pollutants seperti polen, jamur,
infeksi virus, polutan dan obat. 1,5
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma atau inflamasi pada seorang
anak yang Sudah tersensitisasi. Secara klinis hal ini telah dibuktikan dengan menggunakan
obat antihistamin. Pada early treatment of the atopic child (ETAC), pemberian cetirizine
selama 18. bulan pada anak dengan dermatitis atopi yang orang tuanya atopi, dapat mencegah
13

terjadinya asma sebanyak 50% bila anak tersebut hanya alergi terhadap debu rumah dan
serbuk sari. Hanya saja, obat ini secara keseluruhan tetap tidak dapat menurunkan kejadian
asma.1,5
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya serangan pada seorang anak yang
sudah menderita asma.1,5
Komplikasi
Berbagai komplikasi yang timbul akibat penatalaksanaan yang kurang tepat.5
Hipoksemia secara umum didefinisikan sebagai penurunan tekanan parsial oksigen dalam
darah. Normal tekanan parsial oksigen dalam darah arteri berkisar antara 80 hingga 100
mmol, tanpa spesifikasi lebih lanjut, akan mencakup baik konsentrasi oksigen terlarut dan
oksigen yang terikat pada hemoglobin.
Pneumotoraks merupakan suatu kondisi di mana ruang antara dinding rongga dada dan paruparu terisi udara, hal ini menyebabkan semua atau sebagian paru-paru menciut. Biasanya air
akan memasuki ruang pleura, melalui luka pada dinding dada atau lubang di paru-paru.
Emfisema merupakan penyakit paru obstruktif kronik yang didefinisikan sebagai kelainan
patologis dengan adanya pembesaran abnormal menetap ruang udara arah distal dari
bronkiolus terminalis, dengan adanya destruksi dari septum alveolaris tanpa adanya fibrosis.
Deformitas thorax adalah perubahan bentuk thorax dapat terjadi apabila asma berlangsung
lama dan dengan penanganan yang tidak baik.
Gagal napas terjadi pada asma yang tidak ditangani dengan baik.
Prognosis
Prevalens asma pada anak semakin meningkat dari waktu ke waktu, baik di negara
maju maupun di negara berkembang. Peningkatan ini diduga karena perubahan pola hidup
dan diet yang tidak sesuai, dan faktor lingkungan seperti polutan, baik indoor maupun outdoor
pollutants. Faktor risiko asma telah banyak diketahui, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengurangi prevalens asma. Upaya diagnosis dan tatalaksana saat ini
semakin berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi prevalens asrna tetap
tinggi. Pada penatalaksanaan dan pencegahan yang dilakukan dengan baik, prognosis
seseorang yang menderita asma adalah dubia ad bonam.1
Bab III
Penutup
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas yang disertai
oleh peranan berbagai sel, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang
rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan,
dan batuk, khususnya malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
14

penyempitan jalan napas yang luas, tapi bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel, baik
secara spontan maupun dengan pengobatan.
Prevalens asma pada anak semakin meningkat dari waktu ke waktu, baik di negara
maju maupun di negara berkembang. Peningkatan ini diduga karena perubahan pola hidup
dan diet yang tidak sesuai, dan faktor lingkungan seperti polutan, baik indoor maupun outdoor
pollutants. Faktor risiko asma telah banyak diketahui, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengurangi prevalens asma. Upaya diagnosis dan tatalaksana saat ini
semakin berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Penilaian derajat serangan dan penyakit asma penting untuk penatalaksaan asma.
Dengan pentalaksanaan yang adekuat dan sesuai dengan klasifikasi yang ada maka
diharapkan dapat memperbaiki tumbuh kembang dan kualitas hidup anak. Selain terapi
dengan obat-obatan standar untuk asma, diperlukan peran aktif keluarga dan pasien untuk
menghindari faktor pencetus. Edukasi dan hubungan yang baik antara pasien dengan dokter
dapat berguna dalam menangani pasien dengan asma.

Daftar Pustaka
1. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: UKK Respirologi IDAI; 2015.h.71-161.
2. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson ilmu kesehatan anak
esensial. Edisi keenam. Singapore: Saunders Elsevier; 2014.h.339-50.
3. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: IDAI; 2009.h.26972.
4. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide for asthma management and
prevention. 2015
5. Bernstein JA. Handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott Williams and
Wilkins; 2003.p.73-102.
15

6. Diunduh dari http://www.merckmanuals.com/professional/pulmonarydisorders/asthma-and-related-disorders/asthma pada tanggal 28 November 2015.


7. Diunduh dari http://www.mayoclinic.org/diseasesconditions/asthma/basics/definition/con-20026992 pada tanggal 28 November 2015.
8. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1643498/ pada tanggal
28 November 2015.

16

Anda mungkin juga menyukai