PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakanng
Dewasa ini pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus
menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat baik material maupun spiritual. Untuk dapat merealisasi tujuan tersebut perlu
banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk
mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan
yaitu menggali sumber daya yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Untuk itu
dibutuhkan peran serta masyarakat dalam bentuk kesadaran dan kepedulian untuk
membayar pajak, salah satunya adalah Pajak Pertambahan Nilai.
Sesuai ketentuan perpajakan yang ada, sistem pemungutan pajak yang dianut di
Indonesia adalah self assessment yaitu masyarakat mendaftarkan diri sebagai wajib
pajak selanjutnya menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
Oleh karena itu sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui sistem pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagai mana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Sistem pemungutan pajak yang bersifat self assessment berpengaruh pada
sistem PPN yang dianut di Indonesia yaitu metode pengkreditan atau pembayaran.
Universitas Sumatera Utara
Jadi Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar atau yang lebih bayar dihitung
sendiri dengan menggunakan mekanisme pengkreditan pajak masukan terhadap pajak
keluaran. Pajak Masukan merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau
Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean dan atau pemanfaatan BKP tidak
berwujud dari luar daerah pabean dan atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean.
Sedangkan Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang wajib
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak.
Pengkreditan/pembayaran Pajak Keluaran terhadap Pajak Masukan apabila
Pajak keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka yang terjadi adalah PPN
tersebut kurang bayar. Jadi kurang bayar tersebut sebagai Wajib Pajak harus
menyetorkannya ke Kas Negara. Sebaliknya apabila ternyata Pajak Masukan lebih
besar daripada Pajak Keluaran, yang terjadi adalah PPN tersebut lebih bayar. Lebih
bayar tersebut dapat dimintakan kembali dalam bentuk uang (restitusi) atau dapat
dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
1.2. Rumusan Masalah
dalam
1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi penulis
1.4.2. Bagi Mahasiswa
1.4.3. Bagi pengajar
BAB 2
ISI
2.1. Pengertian Faktur Pajak
Berdasarkan fungsinya, Faktur Pajak mengandung tiga macam pengertian, yaitu
:
1)
Dalam pasal 1 angka 23 UU PPN 1984 dirumuskan bahwa Faktur Pajak adalah
2)
bukti pungut-an pajak yang dibuat oleh PKP Penjual atau Pengusaha Jasa.
Ditinjau dari sisi pembeli atau penerima JKP, Faktur Pajak adalah bukti pembayaran
pajak kepada PKP yang menyerahkan BKP atau JKP.
3)
Dalam memori penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 antara lain ditegaskan
bahwa Faktur Pajak adalah sarana untuk mengreditkan Pajak Masukan.
Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak karena penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau
bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak digunakan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap :
penyerahan Barang Kena Pajak
penyerahan Jasa Kena Pajak
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
ekspor Jasa Kena Pajak
langsung kepada konsumen akhir. Oleh karena itulah, Pengusaha Kena Pajak dapat
membuat Faktur Pajak Sederhana, dalam hal PKP melakukan :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan langsung
kepada konsumen akhir
2. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dan atau
penerima Jasa Kena Pajak yang diketahui identitasnya secara lengkap
Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan oleh pembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagai sarana untuk pengkreditan Pajak
Masukan. Direktorat Jenderal Pajak dapat menetapkan tanda bukti penyerahan atau
tanda bukti pembayaran sebagai Faktur Pajak Standar.
Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat :
1. Nama, alamat dan NPWP yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak
2. Jenis dan kuantitas Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak
3. Jumlah harga jual atau penggantian yang sudah termasuk PPN atau besarnya
PPN dicantumkan secara terpisah
4. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana
Faktur Pajak Sederhana dibuat paling sedikit dalam rangkap 2 (dua) yaitu :
Lembar ke-1 (asli) : untuk pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa kena Pajak
Lembar ke-2 : untuk arsip Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan
2.3. Tata cara pengadaan dan penggunaan Faktur Pajak
Tata cara pengadaan formulir Faktur Pajak Standar dilakukan dengan cara sebagai
berikut
1)
Setiap Faktur Pajak Standar wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak.
2)
Bentuk formulir Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kebutuhan administrasi
3)
4)
5)
ke-2
sebagai
arsip
PKP
yang
bersangkutan.
Dalam hal dibuat lembar ke-3, peruntukannya supaya disebutkan dengan jelas.
Faktur Pajak Standar dapat dibuat dengan menggunakan komputer sepanjang
memenuhi sya-rat yang telah ditentukan.
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Berikut merupakan tata cara pengisian Faktur Pajak menurut per 24/PJ/2012
sebagai berikut :
(1) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib diisi secara lengkap, jelas
dan benar serta ditandatangani oleh PKP atau pejabat/ pegawai yang ditunjuk oleh
PKP untuk menandatanganinya.
(2) Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/ atau tidak
ditandatangani oleh PKP atau pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh PKP untuk
menandatanganinya sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.
(3) Alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan huruf b harus diisi sesuai
dengan alamat yang sebenarnya atau sesungguhnya.
(4) Dalam hal alamat PKP yang sebenarnya atau sesungguhnya berbeda dengan
alamat dalam Surat Keterangan Terdaftar atau Surat Pengukuhan PKP, maka PKP
harus memberitahukan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan untuk
meminta perubahan alamat dalam Surat Keterangan Terdaftar atau Surat
Pengukuhan
PKP
agar
sesuai
dengan
keadaan
yang
sebenarnyaatau
sesungguhnya.
(5) Jenis barang atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c harus diisi
dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan.Dalam hal diperlukan, PKP dapat
menambahkan keterangan lain dalam Faktur Pajak selain keterangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
2.5. Penggunaan Valas (Valuta Asing) dalam Faktur Pajak
Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP yang pembayarannya menggunakan valuta
asing, berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 diatur
sebagaiberikut:
-
PKP Rekanan wajib membuat Faktur Pajak Standar pada saat melakukan
penagihan kepada Pemungut PPN dengan menggunakan kurs yang berlaku
Dalam hal kurs pada saat pembuatan Faktur Pajak berbeda dengan kurs yang
berlaku pada saat pembayaran, maka Pemungut PPN dapat membetulkan
Faktur Pajak Standar yang telah diajukan oleh PKP Rekanan dengan
menyesuaikan jumlah uang, baik Dasar Pengenaan Pajak maupun PPN dan PPn
BM yang terutang dengan mencoret angka yang akan diperbaiki dan
mencantumkan angka yang seharusnya serta membubuhkan paraf disamping
angka yang diperbaiki tersebut ( tidak boleh dihapus atau ditip-ex)
PKP pembeli mengajukan permohonan tertulis kepada PKP penjual dengan tindasan
kepada Kepala KPP tempat PKP pembeli dan PKP penjual dikukuhkan sebagai PKP.
Berdasarkan permohonan tertulis dari PKP pembeli, PKP penjual membuat copy dari
arsip Faktur Pajak Standar yang disimpan untuk dilegalisir oleh KPP tempat PKP
penjual
dikukuhkan.
Legalisir diberikan oleh KPP tempat PKP penjual dikukuhkan setelah meneliti SPT
Masa PPN dari PKP penjual tersebut.
KPP tempat PKP pembeli dikukuhkan, wajib melakukan penelitian atas SPT Masa
PPN dari PKP pembeli, apakah Faktur Pajak yang dilaporkan hilang tersebut telah
dikreditkan sebagai Pajak Masukan atau belum
Tata cara pembatalan faktur pajak, sebagai berikut :
1. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak-nya telah diterbitkan, maka Faktur
Pajak tersebut harus dibatalkan.
2. Pembatalan transaksi harus didukung oleh bukti atau dokumen yang membuktikan
bahwa telah terjadi pembatalan transaksi. Bukti dapat berupa pembatalan kontrak
atau dokumen lain yang menunjukkan telah terjadi pembatalan transaksi.
3. Pengusaha Kena Pajak Penjual yang melakukan pembatalan Faktur Pajak harus
memiliki bukti dari Pengusaha Kena Pajak Pembeli yang menyatakan bahwa
transaksi dibatalkan.
4. Faktur Pajak yang dibatalkan harus tetap diadministrasi (disimpan) oleh Pengusaha
Kena Pajak Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut.
5. Pengusaha Kena Pajak Penjual yang membatalkan Faktur Pajak harus mengirimkan
surat pemberitahuan dan copy dari Faktur Pajak yang dibatalkan ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Penjual dikukuhkan dan ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Pembeli dikukuhkan.
6. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Penjual belum melaporkan Faktur Pajak yang
dibatalkan di dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, maka
Pengusaha Kena Pajak Penjual harus tetap melaporkan Faktur Pajak tersebut dalam
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan mencantumkan nilai 0
(nol) pada kolom DPP, PPN atau PPnBM
7. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak penjual telah melaporkan Faktur Pajak tersebut
dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagai Faktur Pajak Keluaran, maka PKP
Penjual harus melakukan Surat Pemberitahuan Masa PPN Masa Pajak yang
bersangkutan, dengan cara tetap melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan tersebut
dan mencantumkan nilai 0 (nol0 pada kolom DPP, PPN atau PPN dan PPn BM
8. Dalam hal PKP Pembeli telah melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan tersebut
dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagai Faktur Pajak Masukan, maka
Pengusaha Kena Pajak Pembeli harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan
Masa PPN Masa Pajak yang bersangkutan, dengan cara tetap melaporkan Faktur
Pajak yang dibatalkan tersebut dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP,
PPN atau PPN dan PPn BM
2.8. Faktur Pajak Cacat
Namun demikian, ternyata pengertian Faktur Pajak cacat tidak terbatas pada
Faktur Pajak yang tidak memenuhi Pasal 13 ayat (5) UU PPN saja. Dalam Peraturan
Dirjen Nomor 24/PJ/2012, masih terdapat kriteria lain untuk Faktur Pajak cacat. Kriteria
selengkapnya dari Faktur Pajak cacat adalah :
1. Faktur Pajak yang tidak memenuhi persyaratan formal sebagaimana diatur dalam
Pasal 13 ayat (5) UU PPN;
2. Faktur Pajak yang diterbitkan dalam hal surat pemberitahuan penggunaan Kode
Cabang tidak atau bterlambat disampaikan. Hal ini khusus bagi PKP yang telah
melakukan pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang, yang sistem penerbitan
Faktur Pajak-nya belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya,
dan/atau Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan
sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di
Kawasan Berikat dan/atau mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor
dan/atau berada di Kawasan Ekonomi Khusus;
3. Faktur Pajak yang diterbitkan dengan menggunakan Kode Cabang selain dari Kode
Cabang yang telah ditetapkan;
4. Faktur Pajak yang terdapat kesalahan dalam pengisian Kode dan Nomor Seri Faktur
Pajak;
5. Faktur Pajak yang diterbitkan tidak dimulai dari Nomor Urut 00000001 oleh PKP
pada awal tahun kalender bulan Januari atau pada Masa Pajak Pengusaha Kena
Pajak tersebut dikukuhkan bagi Pengusaha Kena Pajak yang baru dikukuhkan;
6. Faktur Pajak yang diterbitkan dalam hal sebelum Masa Pajak Januari tahun
berikutnya Pengusaha Kena Pajak menerbitkan Faktur Pajak mulai dari Nomor Urut
00000001 namun Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan
pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena
Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan pajak terutang dilakukan.
7. Faktur Pajak yang diterbitkan dalam hal surat pemberitahuan nama pejabat atau
kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak atau surat pemberitahuan
perubahan pejabat atau kuasa pendantangan Faktur Pajak tidak atau terlambat
disampaikan.
2.9. Sanksi terhadap pelanggaran dalam pembuatan Faktur Pajak
1) Berdasarkan Pasal 14 ayat (4) UU KUP ditetapkan bahwa Pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau tidak mengisi
selengkapnya, dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua
persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
2) Berdasaran Pasal 39A UU KUP, bagi setiap orang yang:
a) Membuat atau menggunakan Faktur Pajak tidak berdasarkan transaksi yang
sebenarnya; atau
b) Belum dikukuhkan sebagai PKP dengan sengaja membuat Faktur Pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 6
(enam) tahun serta denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam Faktur Pajak
PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat:
1. Identitas pembeli; atau
2. Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh
pedagang eceran.
(Psl 14 (1) huruf e UU KUP)
FP tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun Faktur Pajaknya
sendiri tidak dapat dikreditkan oleh pembelinya.
2.10.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1) Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
karena penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti
pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak digunakan oleh Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai.
2) Faktur pajak harus dibuat pada: saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak; saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran
terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak; saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian
tahap pekerjaan;atau saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan
kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
3) Dalam hal BKP yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, PPN
atau PPnBM dari BKP yang dikembalikan tersebut dapat mengurangi Pajak Keluaran
dan Pajak Penualan atas Barang Mewah yang terutang oleh pengusaha Kena Pajak
Penjual